Kamis, 20 Desember 2012

IBU
(Kontemplasi Peradaban)
 
          Kasih ibu kepada beta
          Tak terhingga sepanjang masa
          Hanya memberi, tak harap kembali
          Bagai sang surya menyinari dunia
 
          Syair tersebut di atas sungguh  familiar dengan telinga kita. Seorang ibu adalah pribadi terdekat dari  anak-anak yang dilahirkan dari rahimnya.  Maxim Gorki dalam Mother  – sudah diterjemahkan oleh Pramoedya Ananta Toer (1925 – 2006)  menuliskan bahwa seorang ibu itu amat mencintai anaknya melebihi segalanya, bahkan nyawanya sendiri.

          Pengorbanan seorang ibu yang dilukiskan dalam syair di atas nampak dalam kisah-kisah menyedihkan sekaligus membanggakan. Robin Maxwell dalam Signora da Vinci, melukiskan perjuangan Caterina, ibu dari Leonardo da Vinci (1452 – 1519) dalam menapaki kariernya.  Sang ibu rela meninggalkan kampung halamannya dan ayahnya, Ernesto untuk pergi ke Florence. Di sana Caterina menyamar sebagai lelaki, untuk mendampingi anaknya yang sedang belajar melukis. Keberuntungan bepihak pada Leonardo muda karena dia dilindungi oleh keluarga kaya yakni: Keluarga Medici.  Ia memotong rambutnya yang panjang dan memakai kemben yang ketat serta  berganti nama menjadi Cato, "meminjam" nama  penyair Romawi yang terkenal itu. (Membayangkan penyamaran yang dibuat oleh Caterina, saya jadi ingat akan novel yang berjudul Pope Joan, yang sudah di-film-kan.  Novel dan film-nya tidak jauh berbeda. Paus Joan mengungkapkan kefeminitasannya karena melahirkan secara tak diharapkan dalam sebuah prosesi. Bdk. Rahasia-rahasia Vatikan, hlm 89.  Ini adalah  kisah fiksi tentang  Paus wanita). Berkat pengorbanan sang ibu, Leonardo da Vinci akhirnya menjadi seniman multi-talent yang belum ada tandingannya hingga detik ini. 

Pengorbanan seorang ibu itu sebenarnya sudah bisa kita lihat dalam tradisi Gereja abad pertengahan yakni burung pelican.  Dalam  mozaik-mozaik gereja, sering ada lukisan seekor burung yang temboloknya berwarna merah. Itulah darah. Ketika sang induk  tidak dapat memberikan makanan bagi anak-anaknya, maka ia mencucukkan temboloknya sendiri  dan mengambil makanan itu untuk diberikan kepada piyék-piyék-nya (anak burung). Tentu saja sang induk merasa kesakitan. Oleh para biarawan MSC, kisah ini disenandungkan dengan syair, "Pelikan yang kudus, Yesus Tuhanku."

          Kisah-kisah kerajaan maupun kekaisaran sering menampilkan para ibu suri, garwa padmi, permaisuri yang berambisi untuk  mengangkat putranya sendiri untuk  menjadi putra mahkota atau pangeran.  Pearl S.  Buck dalam Maharani mengisahkan seorang ibu yang berkorban mati-matian supaya anaknya menjadi Kaisar – kekaisaran Manchu di Cina. Namun sayang bahwa perjuangan sang Maharani – nama kecilnya Yehonala – itu tidak terwujud, sebab sang Kaisar, putranya  itu mati muda. Ada juga permaisuri bernama Olympia, yang  berambisi supaya anaknya, Alexander Agung dari Makedonia (356 – 323 seb.M) itu nantinya sebagai Raja bagaikan dewa. Maka, ketika mengandung, ia rela "ditemani tidur"  bersama ular-ular berbisa  (Bdk. Alexander the Great). Atau, Ibu dari Fransiska dalam Badai Pasti Berlalu tulisan Marga T,  memiliki keinginan supaya sang putri yang mengalami patah hati itu bisa hidup normal lagi. Ada tiga pria dalam kehidupan Fransiska yaitu: Kris, Helmy dan Edo. Atau kisah dari   Meggy Cleary,  seorang ibu yang luar biasa tegar. Colleen McCullough dalam The Thorn Birds mengisahkan pengorbanannya dalam membesarkan  putranya yang bernama Dane O'Neill yang bercita-cita menjadi pastor. Anak ini terlahir dari  hubungan gelap antara Meggy dengan seorang pastor dan akhirnya menjadi Kardinal.  Kardinal itu bernama Ralp de Bricassart. Akhir dari kisah ini yaitu, kematian Dane dan atas pertolongan sang Kardinal di Vatikan mengembalikan jenasah Dane ke kampung halaman di Drogheda  – Australia. Sedih memang!

          Lebih sedih lagi, ketika kita mengontemplasikan Ibu Kunthi, seorang  ibu dari Pandawa Lima (Yudistira, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa). Nyoman S. Pendit dalam Mahabharata melukiskan kesedihan Ibu Kunthi ketika hendak menyaksikan dengan kepala sendiri perang tanding antara Arjuna dan Karna. Mereka berdua dalah anak kandung sendiri. Ibu Kunthi menangis dengan air mata berlinang supaya peperangan itu dibatalkan. Namun kedua satria itu harus menjalankan dharma-nya masing-masing dan keberuntungan diraih pada pihak Arjuna (Bdk. Lakon wayang berjudul Karno Tanding dengan dalang Hadi Sugita).  Kita bisa juga melihat kesedihan seorang ibu dalam kisah Sangkuriang maupun kesedihan Yocaste dalam Oidipus Rex, kesedihan seorang janda dalam Malin Kundang dan penderitaan Penelope yang menunggu suaminya Odysius yang selama sepuluh tahun mengadakan perjalanan panjang dan penuh tantangan – the long  and winding road – dari  Troya menuju Itacha.  Maaf  kepada yang mulia:  Helene dari Troya (Tokoh ini ada dalam Iliad  karya  Homerus ± abad VIII seb. M) dan Cleopatra  dari Mesir (69  –  30 seb. M), sebab nama kalian tidak masuk dalam daftar ini.

          Seorang ibu itu bagikan pribadi yang memiliki kekuatan seperti baja namun lembut bagaikan bunga. Jung Chang dalam Angsa-Angsa Liar mengisahkan "keperkasaan" tiga generasi wanita hidup dalam tekanan dan penderitaan pada masa kekuasaan Mao Tse-Tung (1893 – 1976). Dalam suasana yang chaos, mereka bisa bertahan. Tidak ada pengeluhan, tidak ada penyesalan dan tidak ada rasa putus asa. Sebaliknya yang ada adalah harapan dan kegembiraan untuk menyambut hari esok yang membahagiakan. Barangkali ini yang sering didengung-dengungkan oleh orang-orang Kristiani, "Dia membuat segala sesuatu indah pada waktunya" (Pkh 3: 11).

          Kekuatan seorang ibu terletak pada kelembutannya. Tidak heranlah jika banyak  nama-nama yang disematkan untuk menghormati nama ibu, seperti:  Ibu pertiwi, Ibu kota, alma mater, rumah induk dan induk semang. Saya menjadi  ingat dan rindu kepada ibu saya yang tinggal di desa Playen – Gunungkidul. Saya memanggilnya simbok. Setiap pagi, simbok saya ndhodhok sambil mbopong (membawa) tenggok. Simbok  bekerja dari subuh hingga maghrib dan tidak pernah mengeluh, meskipun sakit boyok, yah karena menggendong  tenggok  tadi. Itulah ibuku.

221212.  
Markus Marlon

         
Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com

Tidak ada komentar: