Rabu, 26 Januari 2011

Bersyukur setiap saat

BERSYUKUR SETIAP SAAT

"Just to be alive is a grand thing."
~ Agatha Christie

Untuk menemukan sukses di dalam diri Anda, pada saat yang sama Anda perlu
bersyukur dan menyadari kehadiran mindset sukses tersebut. Tanpa rasa
syukur
yang besar, hampir mustahil rasanya kita bisa menemukan mindset sukses di
dalam diri. Mengapa? Karena rasa syukur yang besar merupakan dasar dari
segala hal yang positif di dalam persepsi kita. Ingatlah bahwa segala
sesuatu yang kita rasakan dan pikirkan merupakan hasil olahan pikiran kita
sendiri. Semua itu tidak lain dan tidak bukan merupakan persepsi kita
terhadap dunia, bukan dunia itu sendiri.

What you think makes you what you are. Apa yang kita pikirkan menjadikan
siapa diri kita. Jika kita berpikir bisa, maka kemungkinan besar kita bisa
mengatasi masalah yang sedang dihadapi. Ada juga pepatah yang berkata, "If
you think you can, you really can." Jika kita berpikir tidak bisa,
kemungkinan besar kita akan kalah dulu sebelum berperang dan mencari seribu
satu alasan mengapa kita tidak bisa melakukannya. Alam bawah sadar kita
selalu menuruti pikiran kita. Jika kita ragu-ragu melakukan sesuatu,
biasanya hasilnya pun biasanya mencerminkan keragu-raguan. Jika kita
melakukan sesuatu dengan mantap, maka hasilnya pun biasanya mantap, alias
memuaskan.

Sebagai analogi, seorang anak yang sering dimarahi dan dilabel sebagai
"pemalas" seringkali tumbuh sebagai seorang malas. Mengapa? Pikirannya
percaya akan label tersebut dan perbuatannya mengikuti label tersebut.
Inilah kekuatan bawah sadar yang seringkali dianggap sepele oleh para orang
tua. Ini bahayanya jika kita menyebut anak kita sendiri sebagai "pemalas"
atau "bodoh," karena bisa-bisa ia sungguh-sungguh tumbuh sebagai seorang
pemalas dan "bodoh."

Seringkali, label seperti ini kita lakukan juga terhadap diri sendiri.
Tidak
jarang kita dengar label diri sendiri yang cukup "aneh," misalnya: "saya
ini
tidak sepandai Anda jadi saya tidak bisa menulis buku," "saya ini bukan
anak
konglomerat dan tidak berbakat bisnis maka saya tidak berhasil dalam
bisnis," dan "saya ini tidak pandai sekolah jadi saya tidak selesaikan
sekolah saya." Saya hanya bisa tertawa saja karena semua itu adalah label
negatif yang dipakai diri sendiri untuk menjustifikasikan mengapa ia belum
juga menemukan sukses di dalam dirinya.

Kebenaran prinsip bahwa apa yang kita pikirkan menjadikan siapa diri kita,
tidak bisa dipungkiri lagi karena semua orang sukses (yang sesuai dengan
definisi ala Jennie S. Bev yang dituangkan dalam buku ini, tentunya)
mempunyai sikap penuh syukur, penuh berterima kasih, dan tidak senang
mencela siapa pun dan apa pun. Semakin positif diri kita, semakin banyak
hal-hal positif yang akan terproyeksikan keluar, dan semakin banyak orang
bermental positif (baca: sukses) yang akan tertarik untuk berkomunikasi.
Ini
juga yang menjawab mengapa "orang sukses kok temannya kebanyakan orang
sukses pula."

Kejelian hati dan pikiran kita untuk mengucapkan syukur dan berterima kasih
di setiap kesempatan merupakan dasar dari pikiran-pikiran positif, termasuk
mindset sukses. Dengan semakin jeli melihat hal-hal yang positif maka
semakin jeli pula kita melihat ke dalam diri dan mengambil sari bahwa kita
semua merupakan personifikasi sukses itu sendiri. Dengan selalu mengucapkan
terima kasih dan bersyukur akan hal-hal kecil, maka alam bawah sadar kita
semakin terbiasa untuk menerima hal-hal positif dengan kesadaran penuh. Ini
akan terakumulasi di dalam diri sedemikian rupa sampai akhirnya membentuk
diri kita yang baru.

Diri ini merupakan personifikasi sukses yang siap memproyeksikan keadaan di
dalam diri ke luar. Dengan kata lain, dengan memenuhi pikiran dan perasaan
kita dengan persepsi-persepsi positif, kita akan berhasil mengatasi
sumber-sumber negatif dari luar. Dengan isi pikiran dan perasaan yang
positif, maka perbuatan kita pun akan menarik hal-hal yang positif,
termasuk
hal-hal yang menggandakan kekuatan baik dari uang dan hal-hal lainnya.
Singkat kata, semakin tinggi nilai persepsi diri yang positif, mindset
sukses akan semakin terpancar dengan perbuatan-perbuatan yang menjadi
magnet
dari kebebasan finansial.

Sesuatu yang baru? Tidak juga, karena semua agama mengajarkan mengucapkan
syukur dan semua orang tua yang baik mengajarkan anak-anaknya untuk
berterima kasih kepada orang lain. Kenyataannya, karena satu dan lain hal,
manusia-manusia modern macam kita semua, lebih sering mencela daripada
bersyukur dan berterima kasih kepada orang lain. Lebih banyak
menjelek-jelekkan pihak lain daripada memuji, serta lebih banyak rasa iri
daripada membina hubungan yang sinergis.

Jika kebiasaan-kebiasaan tidak terpuji tersebut dipertahankan, sangatlah
mengecewakan hasilnya. Saya ingat ketika saya menunggu di tempat praktek
dokter di Jakarta beberapa tahun yang lalu, betapa saya merasa sungguh
tidak
berharga karena ternyata pak mantri yang mengurus registrasi sangat merasa
berkuasa dengan memerintah-merintah para pasien yang sedang sakit dengan
nada yang tidak enak. Hal-hal seperti ini sangat sering saya jumpai, dan
bisa ditebak bahwa pelaku demikian adalah orang-orang yang, maaf, biasanya
adalah pecundang. Walaupun dalam hati kecil saya mengerti bahwa pekerjaan
yang berhubungan dengan orang sakit pasti membawa stres.

Namun, sebenarnya ia bisa mengatur para pasien dengan cara yang lebih
sopan,
bahkan sebaiknya dilakukan dengan upaya supaya para pasien merasa sedikit
lebih nyaman di ruang tunggu dokter daripada di rumah. Satu ucapan singkat,
"terima kasih" kepada para pasien yang telah mengantri giliran dengan sabar
sebenarnya merupakan satu getaran positif yang mudah, murah, dan meriah.
Sayangnya, ia tidak menyadari keampuhan kata ini.

Untuk menemukan diri yang sukses di dalam, mengucapkan syukur bisa
dibarengi
ketika mengucapkan kata-kata pemacu dan melakukan visualisasi setiap jam
sebanyak sepuluh kali tersebut (yang dibahas dalam bab di atas). Bisa juga
Anda gunakan waktu khusus setiap hari, misalnya ketika bangun pagi,
menjelang tidur malam, dan ketika melakukan shalat maupun doa-doa khusus.

Saya sendiri tidak mengkhususkan diri kapan saya bersyukur dan berterima
kasih atas segala sesuatu yang terjadi dalam keseharian. Mengapa? Walaupun
cara demikian memang baik, namun seringkali jika tidak berhati-hati dan
pilot otomatis sudah bekerja, maka segala sesuatu yang dijalankan dengan
rutin akan menjadi rutinitas belaka. Rutinitas tidak lagi memberikan arti
mendalam, malah menjadi hambar.

Sebaliknya, saya biasanya mengucapkan terima kasih begitu ada sesuatu yang
menarik perhatian, mempunyai arti, dan dilakukan oleh orang lain untuk
saya.
Misalnya, begitu bangun pagi. Kalimat pertama yang diucapkan adalah,
"Terima
kasih untuk hari baru yang cerah ini." Setelah itu, saya mengucapkan terima
kasih pula untuk diberi nafas pada hari ini dan juga kesehatan saya dan
suami. Setelah itu, begitu membuka pintu kamar tidur, biasanya saya
disambut
oleh binatang piaraan saya. Satu lagi ucapan terima kasih saya haturkan
kepadaNya dan kepada si Happy itu. Terima kasih kepada Tuhan karena Happy
masih hidup dan lucu seperti kemarin, serta terima kasih kepada Happy
karena
tempat tidurnya rapi dan tidak berantakan, sambil biasanya saya mengusap
kepalanya yang berbulu itu.

Dari begitu bangun pagi di kamar lantai atas sampai turun ke lantai bawah,
sudah berapa kali saya mengucapkan terima kasih dan bersyukur? Mungkin
sudah
lima sampai tujuh kali. Dalam satu hari? Berapa kali saya berterima kasih
dan bersyukur di dalam hati? Berapa kali yang saya ucapkan dengan lantang
bersuara kepada orang lain? Mungkin bisa 50 sampai 100 kali, bisa jadi
lebih, karena tidak saya hitung.

Tidak praktis kedengarannya? Kok ya aneh mengucapkan terima kasih sampai
puluhan kali dan satu hari? Bahkan ratusan kali? Jawabannya mudah saja:
dengan berterima kasih dan bersyukur, kita selalu mencari sisi positif dari
segala sesuatu. Dengan mencari sisi positif, maka diri kita menjadi semakin
positif dalam melihat segala sesuatu. Bahkan hal-hal yang negatif sekali
pun
pasti ada positifnya, karena tidak ada setengah lingkaran "yin" yang
seratus
persen putih dan tidak ada lingkaran "yang" yang seluruhnya hitam. Pasti
ada
putih setitik di dalam hitam kelam dan ada hitam setitik di dalam putih
bersih.

Dengan selalu mengingat kelimpahan kita, otak kita mencetak keyakinan
(belief) bahwa memang benar kita hidup dalam kelimpahan. Maka, semua
perbuatan kita didasari oleh keyakinan ini, termasuk persepsi diri kita
sebagai personifikasi dari sukses. Lantas, sampai kapan Anda perlu
mengucapkan terima kasih dan bersyukur berpuluh-puluh kali tersebut?
Sepanjang hayat.

Ah, tidak praktis, mungkin itu lagi pendapat Anda. Sekali lagi saya
tekankan
bahwa buku ini tidak mengajarkan Anda untuk sukses dalam semalam, namun
dengan mengubah mindset maka segala faktor eksternal yang sering menjadi
atribut orang sukses akan datang dengan sendirinya bagaikan arus sungai.

Berterima kasih dan bersyukur toh tidak memerlukan modal uang maupun sumber
daya apa pun. Intinya hanya satu, yaitu kemauan keras untuk mengubah diri.
Jangan pikirkan "pahala" yang Anda dapat dari perbuatan ini dulu. Jangan
pula mengharapkan nasib Anda akan berubah dalam sekejap. Yang jelas, dengan
mengucapkan terima kasih kepada orang lain tanpa ada rasa keterpaksaan dan
rasa canggung saja sudah merupakan jembatan kita ke dalam hati orang itu.

"Terima kasih" tidak akan pernah ditolak oleh orang lain, malah biasanya
disambut dengan senyum lebar dan hati yang sedikit lebih lembut daripada
sebelumnya. Ini saja sudah merupakan magnet yang bisa membantu Anda dalam
memproyeksikan diri yang sukses ke luar. Jadi, jika ada keragu-raguan dan
keengganan untuk berterima kasih dan bersyukur dalam skala dan frekuensi
luar biasa, maka sebaiknya Anda urungkan niat Anda untuk menjadi
personifikasi dari sukses itu sendiri. [jsb]

* Jennie S. Bev adalah penulis buku best-seller Rahasia Sukses Terbesar
yang
bisa dibeli di toko-toko buku seluruh Indonesia. Ia juga dikenal sebagai
penulis dari 60 buku bisnis yang diterbitkan di Amerika Serikat dan Kanada.
Ia bermukim di Kalifornia Utara dan bisa dijumpai di rumah virtualnya
JennieSBev.com. Saat ini ia sedang merampungkan buku keduanya dalam Bahasa
Indonesia yang akan dirilis awal 2007.

Menguasai Emosi

Menguasai Emosi

Sebuah ketrampilan yang sangat penting kita kuasai dan juga perlu kita
ajarkan kepada anak-anak kita adalah ketrampilan menangani emosi - terutama
emosi negatif.

Mengapa ini penting? Karena dengan mengenali bagaimana kita menangani
emosi-emosi kita maka kita akan lebih bersahabat dengan diri kita sendiri.
Selama ini cara kita menangani emosi adalah dengan menekannya atau
mengeluarkannya (melampiaskan pada sesuatu atau orang lain.

Ketika kita mengatakan pada anak kita "sudah lupakan saja hal itu" maka itu
berarti kita mengajarkan pengabaian emosi yang pada gilirannya akan membuat
emosi itu tertekan ke dalam. Saat emosi tertekan ke dalam dan kemudian
terkumpul maka hal ini sama saja dengan mengumpulkan sampah di dalam rumah
kita - pada satu saat akan merugikan kita sendiri.

Membiarkan seorang anak melempar benda-benda atau memukul atau
berteriak-teriak saat marah adalah salah bentuk mengatasi emosi dengan
mengeluarkannya. Cara ini masih lebih baik dibandingkan yang pertama namun
jeleknya cara ini mengakibatkan penderitaan bagi orang lain yang tidak
bersalah.

Cara yang baik untuk menangani emosi adalah dengan cara melepaskannya. Ya
... ini kedengarannya mudah namun tak banyak dari kita yang tahu. Salah
satu tekniknya adalah dengan mengakui perasaan yang sedang bergejolak.
"Adik sedang marah ya...?" adalah salah satu bentuk pengakuan perasaan.
Ketika seorang anak diakui perasaannya maka dia akan merasakan penerimaan
diri yang sangat penting untuk membangun rasa aman.

Hal ini akan membuat seorang anak tumbuh dengan baik menjadi dewasa dengan
mengenal dirinya sendiri karena ia tahu apa yang terjadi dalam dirinya.

Sudahkah kita belajar untuk menghormati perasaan-perasaan anak kita dengan
cara mengakuinya?

Artikel yang terkait yang bisa Anda baca di website kami:
a.. Orangtua Pemicu Konflik Diri Anak?
http://www.sekolahorangtua.com/2007/06/30/orangtua-pemicu-konflik-diri-anak/
b.. Menghadapi Ledakan Emosi Anak
http://www.sekolahorangtua.com/2008/04/28/menghadapi-ledakan-emosi-anak/
c.. Bagaimana Membantu Anak Mengatasi Emosi Negatif bagian (1)
http://www.sekolahorangtua.com/2008/09/06/bagaimana-membantu-anak-mengatasi-emosi-negatif-1/
d.. Bagaimana Membantu Anak Mengatasi Emosi Negatif bagian (2)
http://www.sekolahorangtua.com/2008/12/11/bagaimana-membantu-anak-mengatasi-emosi-negatif-2/

Selasa, 25 Januari 2011

Jika kau mencintaiku

Jika Kau Mencintaiku

Suami saya adalah seorang insinyur, saya mencintai sifat apa adanya yang
alami dan menyukai perasaan hangat yang muncul ketika saya bersandar
di-dadanya yang bidang. 3 tahun masa pacaran dan 5 tahun masa-masa
pernikahan hingga saat ini. Sekarang saya harus akui, bahwa saya mulai
merasa lelah dengan semua ini, alasan-alasan saya mencintainya pada waktu
dulu, telah berubah menjadi sesuatu yang tak menakjubkan lagi.

Saya seorang wanita yang sentimentil, benar-benar sensitif dan berperasaan
halus, saya merindukan saat-saat romantis seperti seorang anak kecil yang
menginginkan permen. Sering saya berfantasi dan membayangkan suami saya
bisa menjadi seperti pria-pria romantis di­ film-film, bahkan
membanding-bandingkannya dengan mantan pacar-pacar saya yang terdahulu.
Namun suami saya bertolak belakang, rasa sensitifnya kurang,
ketidakbecusannya menciptakan suasana romantis dalam pernikahan kami telah
mematahkan harapan saya tentang cinta. Dia orang yang terlalu apa adanya &
jauh dari romantis. Suatu hari, akhirnya saya memutuskan untuk mengatakan
kepadanya, bahwa saya menginginkan perceraian.

"Mengapa?", dia bertanya dengan terkejut. "Saya lelah, kamu tak pernah mau
mengerti keinginanku", jawab saya. Dia terdiam dan termenung sepanjang
malam. Kekecewaan saya semakin bertambah, seorang pria yang bahkan tidak
dapat mengekspresikan perasaannya, apalagi yang saya bisa harapkan darinya?
Dan akhirnya dia bertanya, " Apa yang dapat saya lakukan untuk merubah
pikiranmu?"

Seseorang berkata, mengubah kepribadian orang lain sangatlah sulit dan itu
benar, saya pikir, saya mulai kehilangan kepercayaan bahwa saya bisa
mengubah pribadinya. " Saya punya pertanyaan untukmu, jika kamu dapat
menemukan jawabannya, saya akan merubah pikiran saya". Saya menatap matanya
dalam-dalam dan berkata "Seandainya, saya menyukai setangkai bunga yang ada
di tebing gunung curam & kita berdua tahu jika kamu memanjat gunung itu,
kamu akan mati. Apakah kamu akan melakukannya untukku?" Dia terdiam cukup
lama. dan berkata, "Saya akan memberikan jawabannya besok." Huuh.Hati saya
jengkel sekali mendengar responnya.

Esok paginya, dia tak ada dirumah, dan saya melihat selembar kertas dengan
coret-2an tangannya dibawah sebuah gelas berisi susu hangat yang
bertuliskan : "Istriku Sayang. 'AKU TIDAK MAU MENGAMBILKAN BUNGA ITU
UNTUKMU', tetapi ijinkan saya untuk menjelaskan alasannya." Ya TUHAN,
jawaban-nya itu menghancurkan hati saya. Saya lanjutkan untuk membaca
kembali :
"Kamu sering mengetik di komputer dan selalu mengacaukan program di PC-nya
dan akhirnya menangis didepan monitor, aku harus memberikan jari2-ku supaya
saya bisa menolongmu untuk memperbaiki programnya. "
"Kamu selalu lupa membawa kunci rumah ketika kamu keluar rumah, dan aku
harus memberikan kakiku supaya bisa mendobrak rumah, membuka pintu untukmu"
"Kamu suka jalan-2 ke luar kota tetapi selalu nyasar di tempat-2 baru yang
kamu kunjungi, aku harus menjemputmu, atau memberikan mataku mengarahkanmu
saat kamu menyetir mobil. "
"Kamu selalu pegal-2 pada waktu "teman baikmu" datang setiap bulannya, saya
harus memberikan tanganku untuk memijat kakimu yang pegal. "
"Kamu senang diam di dalam rumah, dan aku kuatir kamu akan jadi "aneh".
Sehingga aku harus memberikan mulutku untuk ceritakan humor dan cerita-2
untuk menyembuhkan kebosananmu. Serta mengajar banyak hal tentang berita2
perkembangan dunia, agar kamu bisa terus mengikutinya. "
"Kamu senang membaca banyak buku dan itu tak baik untuk kesehatan matamu,
aku harus menjaga mataku agar saat kita tua nanti, aku masih dapat menolong
menggunting kukumu dan mencabuti ubanmu, atau memegang tanganmu menelusuri
pantai, menikmati sinar matahari dan pasir laut yang indah, menceritakan
warna-2 bunga kepadamu yang bersinar indah seperti wajah cantikmu. "
"Sayangku, aku begitu yakin tak ada orang yang lebih mengenalmu selain
diriku dan tak ada yang mencintaimu lebih dan aku mencintaimu. Aku ingin
menjagamu dan bersamamu selalu. Karena itu, aku tak akan mengambil bunga
itu lalu mati & tak bisa lagi bersamamu. aku ingin menemanimu seumur
hidupku, hingga usai masa, hingga akhir segala sesuatu, percayalah.aku
mengasihimu lebih dari yang kamu duga!"

Air mata saya jatuh ke atas tulisannya, membuat tintanya menjadi kabur.
Saya terlalu menuntutnya menjadi seorang yang bukan dirinya. Lalu, saya
membaca kembali, "Dan sekarang sayangku, jika kamu telah selesai membaca
jawabanku, jika kamu puas dgn semua jawaban ini, tolong bukakan pintu rumah
kita, aku sekarang sedang berdiri disana dengan susu segar dan roti bakar
kesukaanmu?"

Saya segera membuka pintu dan melihat wajahnya yang penasaran sambil
tangannya memegang susu dan roti. Oh, saya percaya, tidak ada org yang
pernah mencintai saya seperti yang dia lakukan dan saya tahu harus
melupakan "romantisme film2? itu sendiri. Saya berjanji takkan pernah lagi
memaksanya memetik "bunga" itu, saya akan mencintai cintanya yang tulus,
jujur dan apa adanya meski terlihat kurang romantis

Itulah kehidupan, ketika seseorg dikelilingi cinta, kemudian perasaan itu
mulai berangsur2 hilang dalam perkawinan, karena sering kita abaikan
pengorbanan2 kecil sehari2 dan cinta sejati yang berada diantara kedamaian
dan kesepian. Cinta menunjukkan berbagai macam bentuknya, bahkan dalam
bentuk yang sederhana, sangat kecil dan dangkal, atau bahkan tak berbentuk
dan bisa juga dalam bentuk yang tidak kita ingini.

Bunga, Perhatian, Saat2 yg Romantis, Sapaan lembut, dsb, hanyalah bentuk
awal dari suatu hubungan jangka panjang. Diatas semuanya itu, Pilar Cinta
Sejati berdiri kokoh justru melalui pengorbanan2 kecil setiap hari,
Pengorbanan2 sederhana yang jarang kita sadari dan hargai keberadaannya,
namun sungguh bermakna.

http://pengharapan.com/jika-kau-mencintaiku.html

Minggu, 09 Januari 2011

Ada 3 tipe orangtua

Ada 3 Tipe Orangtua : Anda tipe yang mana ?
by Ariesandi Setyono

Halo, selamat siang Pak. Saya Indri pembaca buku Hypnoparenting. Saya ingin
minta waktu Bapak untuk konsultasi tentang masalah anak saya. Apakah Bapak
ada waktu?, demikian suara di seberang telepon. Setelah saya tanyakan apa
masalahnya kemudian kami menyepakati jadwal bertemu.

Masalah Irwan, anak Ibu Indri, adalah masalah motivasi belajar. Irwan duduk
di kelas dua sekolah dasar. Karena malas belajar maka nilainya jelek dan
akhirnya ia jadi minder di hadapan teman-temannya. Tidak berhenti sampai di
situ saja. Ia sering berkelahi dengan temannya dan berselisih dengan guru
dan orangtuanya. Ibu Indri sering dipanggil oleh guru Irwan dan sang guru
sudah angkat tangan terhadap masalah tersebut.

Pada hari yang telah disepakati saya menemui Ibu Indri dan Irwan. Setelah
ngobrol ringan beberapa saat saya mengetahui bahwa Ibu Indri dan suaminya
adalah tipe orangtua ketiga. Orangtua tipe pertama adalah orangtua
"pencegah masalah", orangtua tipe ini sering saya jumpai dalam seminar
ataupun pelatihan intensif yang saya berikan. Orangtua tipe kedua adalah
orangtua "pencari solusi". Mereka mencari solusi atas permasalahan anaknya.
Tipe ini juga sering saya jumpai di seminar saya dan tak jarang berlanjut
ke janji konsultasi dan terapi. Tipe ketiga adalah orangtua "tahu beres".
Tipe ini hampir tidak pernah saya temui dalam seminar saya tetapi sering
langsung datang ke ruang konsultasi dan terapi.
Orangtua tipe ketiga, seperti Ibu Indri dan suaminya, datang ke ruang
terapi dengan harapan bahwa masalah anaknya langsung beres. Mereka berharap
saya adalah makhluk ajaib yang langsung bisa menghipnosis anaknya untuk
menuruti keinginannya.

Ketika mereka tahu bahwa proses perubahan anaknya menuntut proses perubahan
diri mereka sendiri maka mereka jadi terheran-heran. Orangtua tipe ketiga
sering tidak menyadari bahwa permasalahan anaknya bersumber dari pendekatan
yang salah yang mereka lakukan sejak anak tersebut menjalani proses tumbuh
kembangnya. Orangtua tipe ketiga sering menganggap bahwa anaklah yang
sepenuhnya bertanggung jawab atas masalahnya. Mereka benar-benar susah
untuk menerima kenyataan bahwa merekalah pemicu utama dari tindakan
anak-anaknya.

Mengapa bisa begitu? Karena pada awal mulanya anak-anak hanya merespon
sikap dan tindakan orangtuanya. Ketika orangtua mengulangi sikap dan
tindakannya maka si anak juga mengulang respon yang sama. Dan akhirnya
karena sering diulang maka hal ini menjadi kebiasaan dan karakter si anak.

Setelah saya memberikan masukan pada Ibu Indri dan suaminya tentang masalah
Irwan kemudian saya mulai membantu Irwan secara pribadi untuk mulai
mengubah cara pandangnya. Pada dasarnya ia anak yang sangat baik dan cukup
punya pengertian tentang berbagai masalahnya. Ia mulai menyadari bahwa
kejengkelan terhadap orangtuanya yang sering menjadi pemicu dari sikapnya.
Saya meyakinkan padanya bahwa papa mamanya akan mengubah pendekatan mereka
padanya. Setelah itu kami berpisah.

Satu bulan kemudian Ibu Indri menelepon saya untuk minta waktu lagi. Ia
mengatakan bahwa perubahan anaknya hanya terjadi dua minggu saja. Setelah
itu sikapnya balik lagi seperti semula.

Singkat cerita kami bertemu kembali. Dan saya tahu apa yang harus saya
katakan pertama kali untuk memeriksa kembali kasus ini. Pertanyaan saya
pertama adalah seberapa konsisten ibu Indri dan suaminya menjalankan apa
yang saya minta. Mereka langsung mengatakan bahwa mereka susah sekali untuk
mengubah pola pendekatannya ke Irwan. Mereka sering kembali lagi ke pola
lama mereka yang menggunakan bentakan, cemoohan dan perkataan yang
merendahkan secara tidak langsung. Mereka sering mengambil jalan pintas.

Lalu saya harus bagaimana lagi. Saya sudah jengkel dan tak sabar melihat
sikapnya. Saya kan masih banyak pekerjaan lain. Saya tidak mengurusi dia
saja kan?, demikian Ibu Indri membela dirinya.

Kalau begitu siapa yang harus mengurusi Irwan yang masih sekecil itu ?,
demikian saya ingin tahu jawabannya. Lha saya kan sudah sekolahkan dia.
Saya sudah panggilkan guru les ke rumah untuk menemaninya belajar. Saya
sudah sediakan pengasuh khusus untuknya. Apa lagi yang harus saya lakukan
?, demikian katanya setengah putus asa.

Hmmmm tapi bukan itu saja yang dibutuhkan Irwan. Mereka semua tidak bisa
memenuhi tangki cinta Irwan. Hanya Ibu dan Bapak yang bisa melakukannya.
Dan Irwan benar-benar mengharapkan hal itu dari Bapak dan Ibu tetapi ia
jarang mendapatkannya. Kedekatan fisik Bapak Ibu tidak berarti kedekatan
emosional. Masalah ini hanya bisa diselesaikan jika bapak Ibu berkomitmen
pada diri sendiri untuk melakukan perubahan sehingga akhirnya Irwan akan
meresponnya dengan cara berbeda pula. Bapak Ibulah yang menjadi terapis
utama bagi Irwan bukan saya! Secanggih-canggihnya saya melakukan
hipnoterapi pada Irwan tetapi jika Bapak Ibu di rumah, yang jelas lebih
banyak berhubungan dengan Irwan, tidak mendukung tumbuhnya kebiasaan baru
maka cepat atau lambat hasil terapi akan terkikis habis, demikian saya
menjelaskan.

Dari contoh kasus di atas jelas sekali bahwa peranan orangtua sebagai
terapis bagi anaknya sendiri sangat besar. Orangtua adalah akar dari sebuah
pohon yang akan menyerap segala nutrisi yang ada di sekitarnya dan kemudian
menyalurkannya ke anak sebagai buah yang ada jauh di atas pohon. Untuk
menghasilkan buah yang baik maka akarnya yang harus diperhatikan agar bisa
menyalurkan nutrisi yang baik dan berguna bagi bakal buah yang akan
berkembang. Ketika buah sudah sudah muncul maka perlakuan kita untuk
mengubahnya hanya mempunyai pengaruh yang kecil atau bisa jadi terlambat.

Bagaimanakah dengan diri kita sendiri? Termasuk tipe orangtua manakah kita?
Saya percaya artikel ini jatuh ke tangan orangtua tipe pertama dan kedua.
Orangtua tipe ketiga yang tahu beres tidak akan mau repot membaca artikel
ini. Bila Anda punya teman atau kerabat yang tipe ketiga, email atau
beritahukan artikel ini pada mereka agar cepat sadar / tobat demi masa
depan anak-anaknya. Salam hangat penuh cinta.

Sumber :
http://www.sekolahorangtua.com/2007/06/14/ada-3-tipe-orangtua-anda-tipe-yang-mana/

Kamis, 06 Januari 2011

Apa yang kau inginkan dalam hidupmu ?

Apa Yang Kau Inginkan Dalam Hidupmu ??

Di Propinsi Zhejiang China, ada seorang anak laki-laki yang luar biasa,
sebut saja namanya Zhang Da. Perhatiannya yang besar kepada Papanya,
hidupnya yang pantang menyerah dan mau bekerja keras, serta tindakan dan
perkataannya yang menyentuh hati membuat Zhang Da, anak lelaki yang masih
berumur 10 tahun ketika memulai semua itu, pantas disebut anak yang luar
biasa. Saking jarangnya seorang anak yang berbuat demikian, sehingga ketika
Pemerintah China mendengar dan menyelidiki apa yang Zhang Da perbuat maka
merekapun memutuskan untuk menganugerahi penghargaan Negara yang Tinggi
kepadanya. Zhang Da adalah salah satu dari sepuluh orang yang dinyatakan
telah melakukan perbuatan yang luar biasa dari antara 1,4 milyar penduduk
China. Tepatnya 27 Januari 2006 Pemerintah China, di Propinsi Jiangxu, kota
Nanjing, serta disiarkan secara Nasional keseluruh pelosok negeri,
memberikan penghargaan kepada 10 (sepuluh) orang yang luar biasa, salah
satunya adalah Zhang Da.Mengikuti kisahnya di televisi, membuat saya ingin
menuliskan cerita ini untuk melihat semangatnya yang luar biasa.

Bagi saya Zhang Da sangat istimewa dan luar biasa karena ia termasuk 10
orang yang paling luar biasa di antara 1,4 milyar manusia. Atau lebih
tepatnya ia adalah yang terbaik diantara 140 juta manusia. Tetapi jika kita
melihat apa yang dilakukannya dimulai ketika ia berumur 10 tahun dan terus
dia lakukan sampai sekarang (ia berumur 15 tahun), dan satu-satunya anak
diantara 10 orang yang luar biasa tersebut maka saya bisa katakan bahwa
Zhang Da yang paling luar biasa di antara 1,4 milyar penduduk China.

Pada waktu tahun 2001, Zhang Da ditinggal pergi oleh Mamanya yang sudah
tidak tahan hidup menderita karena miskin dan karena suami yang sakit
keras. Dan sejak hari itu Zhang Da hidup dengan seorang Papa yang tidak
bisa bekerja, tidak bisa berjalan, dan sakit-sakitan. Kondisi ini memaksa
seorang bocah ingusan yang waktu itu belum genap 10 tahun untuk mengambil
tanggungjawab yang sangat berat. Ia harus sekolah, ia harus mencari makan
untuk Papanya dan juga dirinya sendiri, ia juga harus memikirkan obat-obat
yang pasti tidak murah untuk dia. Dalam kondisi yang seperti inilah kisah
luar biasa Zhang Da dimulai. Ia masih terlalu kecil untuk menjalankan
tanggung jawab yang susah dan pahit ini. Ia adalah salah satu dari sekian
banyak anak yang harus menerima kenyataan hidup yang pahit di dunia ini.
Tetapi yang membuat Zhang Da berbeda adalah bahwa ia tidak menyerah.
Hidup harus terus berjalan, tapi tidak dengan melakukan kejahatan,
melainkan memikul tanggungjawab untuk meneruskan kehidupannya dan papanya.

Demikian ungkapan Zhang Da ketika menghadapi utusan pemerintah yang ingin
tahu apa yang dikerjakannya. Ia mulai lembaran baru dalam hidupnya dengan
terus bersekolah. Dari rumah sampai sekolah harus berjalan kaki melewati
hutan kecil. Dalam perjalanan dari dan ke sekolah itulah, Ia mulai makan
daun, biji-bijian dan buah-buahan yang ia temui. Kadang juga ia menemukan
sejenis jamur, atau rumput dan ia coba memakannya. Dari mencoba-coba makan
itu semua, ia tahu mana yang masih bisa ditolerir oleh lidahnya dan mana
yang tidak bisa ia makan. Setelah jam pulang sekolah di siang hari dan juga
sore hari, ia bergabung dengan beberapa tukang batu untuk membelah
batu-batu besar dan memperoleh upah dari pekerjaan itu. Hasil kerja sebagai
tukang batu ia gunakan untuk membeli beras dan obat-obatan untuk papanya.
Hidup seperti ini ia jalani selama lima tahun tetapi badannya tetap sehat,
segar dan kuat.

Sejak umur 10 tahun, ia mulai tanggungjawab untuk merawat papanya. Ia
menggendong papanya ke WC, ia menyeka dan sekali-sekali memandikan papanya,
ia membeli beras dan membuat bubur, dan segala urusan papanya, semua dia
kerjakan dengan rasa tanggungjawab dan kasih. Semua pekerjaan ini menjadi
tanggungjawabnya sehari-hari.

Obat yang mahal dan jauhnya tempat berobat membuat Zhang Da berpikir untuk
menemukan cara terbaik untuk mengatasi semua ini. Sejak umur sepuluh tahun
ia mulai belajar tentang obat-obatan melalui sebuah buku bekas yang ia
beli. Yang membuatnya luar biasa adalah ia belajar bagaimana seorang suster
memberikan injeksi/suntikan kepada pasiennya. Setelah ia rasa ia mampu, ia
nekad untuk menyuntik papanya sendiri. Saya sungguh kagum, kalau anak kecil
main dokter-dokteran dan suntikan itu sudah biasa. Tapi jika anak 10 tahun
memberikan suntikan seperti layaknya suster atau dokter yang sudah biasa
memberi injeksi saya baru tahu hanya Zhang Da.

Orang bisa bilang apa yang dilakukannya adalah perbuatan nekad, sayapun
berpendapat demikian. Namun jika kita bisa memahami kondisinya maka saya
ingin katakan bahwa Zhang Da adalah anak cerdas yang kreatif dan mau
belajar untuk mengatasi kesulitan yang sedang ada dalam hidup dan
kehidupannya. Sekarang pekerjaan menyuntik papanya sudah dilakukannya
selama lebih kurang lima tahun, maka Zhang Da sudah trampil dan ahli
menyuntik.

Ketika mata pejabat, pengusaha, para artis dan orang terkenal yang hadir
dalam acara penganugerahan penghargaan tersebut sedang tertuju kepada Zhang
Da, Pembawa Acara (MC) bertanya kepadanya, "Zhang Da, sebut saja kamu mau
apa, sekolah di mana, dan apa yang kamu rindukan untuk terjadi dalam
hidupmu, berapa uang yang kamu butuhkan sampai kamu selesai kuliah, jika
besar
nanti mau kuliah di mana, sebut saja. Pokoknya apa yang kamu idam-idamkan
sebut saja, di sini ada banyak pejabat, pengusaha, orang terkenal yang
hadir. Saat ini juga ada ratusan juta orang yang sedang melihat kamu
melalui layar televisi, mereka bisa membantumu!" Zhang Da pun terdiam dan
tidak menjawab apa-apa. MC pun berkata lagi kepadanya, "Sebut saja, mereka
bisa membantumu" Beberapa menit Zhang Da masih diam, lalu dengan suara
bergetar iapun menjawab, "Aku Mau Mama Kembali. Mama kembalilah ke rumah,
aku bisa membantu Papa, aku bisa cari makan sendiri, Mama Kembalilah!"
demikian Zhang Da bicara dengan suara yang keras dan penuh harap.

Saya bisa lihat banyak pemirsa menitikkan air mata karena terharu, saya pun
tidak menyangka akan apa yang keluar dari bibirnya. Mengapa ia tidak minta
kemudahan untuk pengobatan papanya, mengapa ia tidak minta deposito yang
cukup untuk meringankan hidupnya dan sedikit bekal untuk masa depannya,
mengapa ia tidak minta rumah kecil yang dekat dengan rumah sakit, mengapa
ia tidak minta sebuah kartu kemudahan dari pemerintah agar ketika ia
membutuhkan, melihat katabelece yang dipegangnya semua akan membantunya.
Sungguh saya tidak mengerti, tapi yang saya tahu apa yang dimintanya,
itulah yang paling utama bagi dirinya. Aku Mau Mama Kembali, sebuah
ungkapan yang mungkin sudah dipendamnya sejak saat melihat mamanya pergi
meninggalkan dia dan papanya.

Tidak semua orang bisa sekuat dan sehebat Zhang Da dalam mensiasati
kesulitan hidup ini. Tapi setiap kita pastinya telah dikaruniai kemampuan
dan kekuatan yg istimewa untuk menjalani ujian di dunia. Sehebat apapun
ujian yg dihadapi pasti ada jalan keluarnya.ditiap-tiap kesulitan ada
kemudahan dan Allah tidak akan menimpakan kesulitan diluar kemampuan
umat-Nya. Jadi janganlah menyerah dengan keadaan, jika sekarang sedang
kurang beruntung, sedang mengalami kekalahan.. bangkitlah! karena
sesungguhnya kemenangan akan diberikan kepada siapa saja yg telah berusaha
sekuat kemampuannya.

Source : http://pengharapan.com/apa-yang-kau-inginkan-dalam-hidupmu.html

Rabu, 05 Januari 2011

Apa yang kita sombongkan ?

Apa Yang Kita Sombongkan ?

Seorang pria yang bertamu ke rumah Sang Guru tertegun keheranan. Dia
melihat Sang Guru sedang sibuk bekerja; ia mengangkuti air dengan ember dan
menyikat lantai rumahnya keras-keras. Keringatnya bercucuran deras.
Menyaksikan keganjilan ini orang itu bertanya, "Apa yang sedang Anda
lakukan?" Sang Guru menjawab, "Tadi saya kedatangan serombongan tamu yang
meminta nasihat. Saya memberikan banyak nasihat yang bermanfaat bagi
mereka. Mereka pun tampak puas sekali. Namun, setelah mereka pulang
tiba-tiba saya merasa menjadi orang yang hebat. Kesombongan saya mulai
bermunculan. Karena itu, saya melakukan ini untuk membunuh perasaan sombong
saya."

Sombong adalah penyakit yang sering menghinggapi kita semua, yang
benih-benihnya terlalu kerap muncul tanpa kita sadari.
Di tingkat terbawah, sombong disebabkan oleh faktor materi. Kita merasa
lebih kaya, lebih rupawan, dan lebih terhormat daripada orang lain.
Di tingkat kedua, sombong disebabkan oleh faktor kecerdasan. Kita merasa
lebih pintar, lebih kompeten, dan lebih berwawasan dibandingkan orang lain.
Di tingkat ketiga, sombong disebabkan oleh faktor kebaikan. Kita sering
menganggap diri kita lebih bermoral, lebih pemurah, dan lebih tulus
dibandingkan dengan orang lain. Yang menarik, semakin tinggi tingkat
kesombongan, semakin sulit pula kita mendeteksinya.

Sombong karena materi sangat mudah terlihat, namun sombong karena
pengetahuan, apalagi sombong karena kebaikan, sulit terdeteksi karena
seringkali hanya berbentuk benih-benih halus di dalam batin kita. Akar dari
kesombongan ini adalah ego yang berlebihan. Pada tataran yang lumrah, ego
menampilkan dirinya dalam bentuk harga diri (self-esteem) dan kepercayaan
diri (self-confidence). Akan tetapi, begitu kedua hal ini berubah menjadi
kebanggaan (pride), Anda sudah berada sangat dekat dengan kesombongan.
Batas antara bangga dan sombong tidaklah terlalu jelas.

Kita sebenarnya terdiri dari dua kutub, yaitu ego di satu kutub dan
kesadaran sejati di lain kutub. Pada saat terlahir ke dunia, kita dalam
keadaan telanjang dan tak punya apa-apa. Akan tetapi, seiring dengan waktu,
kita mulai memupuk berbagai keinginan, lebih dari sekadar yang kita
butuhkan dalam hidup. Keenam indra kita selalu mengatakan bahwa kita
memerlukan lebih banyak lagi. Perjalanan hidup cenderung menggiring kita
menuju kutub ego. Ilusi ego inilah yang memperkenalkan kita kepada dualisme
ketamakan (ekstrem suka) dan kebencian (ekstrem tidak suka). Inilah akar
dari segala permasalahan. Perjuangan melawan kesombongan merupakan
perjuangan menuju kesadaran sejati.

Untuk bisa melawan kesombongan dengan segala bentuknya, ada dua perubahan
paradigma yang perlu kita lakukan. Pertama, kita perlu menyadari bahwa pada
hakikatnya kita bukanlah makhluk fisik, tetapi makhluk spiritual.
Kesejatian kita adalah spiritualitas, sementara tubuh fisik hanyalah sarana
untuk hidup di dunia. Kita lahir dengan tangan kosong, dan (ingat!) kita
pun akan mati dengan tangan kosong. Pandangan seperti ini akan membuat kita
melihat semua makhluk dalam
kesetaraan universal. Kita tidak akan lagi terkelabui oleh penampilan,
label, dan segala "tampak luar" lainnya. Yang kini kita lihat adalah
"tampak dalam". Pandangan seperti ini akan membantu menjauhkan kita dari
berbagai kesombongan atau ilusi ego.

Kedua, kita perlu menyadari bahwa apa pun perbuatan baik yang kita lakukan,
semuanya itu semata-mata adalah juga
demi diri kita sendiri. Kita memberikan sesuatu kepada orang lain adalah
juga demi kita sendiri. Dalam hidup ini berlaku hukum kekekalan energi.
Energi yang kita berikan kepada dunia tak akan pernah musnah. Energi itu
akan kembali kepada kita dalam bentuk yang lain. Kebaikan yang kita lakukan
pasti akan kembali kepada kita dalam bentuk persahabatan, cinta kasih,
makna hidup, maupun kepuasan batin yang mendalam.
Jadi, setiap berbuat baik kepada pihak lain, kita sebenarnya sedang berbuat
baik kepada diri kita sendiri. Kalau begitu, apa yang kita sombongkan ?

http://pengharapan.com/apa-yang-kita-sombongkan.html

Selasa, 04 Januari 2011

Jatidiri = Jati + diri

Jatidiri: Jati+Diri

Mari kita telaah frase "jati diri". Sinonimnya adalah identitas diri.
Namun,
saya ingin pelesetkan sedikit menjadi "jati" plus "diri". Anda tahu pohon
jati? Beberapa dekade lalu, kayunya sering digunakan sebagai bahan untuk
perabotan rumah tangga, seperti lemari dan meja serta kursi. Sekarang sudah
semakin langka di alam karena penggunaan yang eksesif. Sungguh sayang.

Mari kita mempermasalahkan soal konservasi pohon jati, namun kita kembali
ke
istilah yang kita pelesetkan itu. Identitas diri = jati + diri.

Oke, kita semua tahu bahwa "diri" berarti diri kita sendiri, sedangkan
"jati" (bayangkan kayu jati) adalah contoh dari keteguhan dan kemampuan
alias fleksibilitas untuk membentuk diri. Dari sepotong kayu yang keras, ia
mampu bermetamorfosa menjadi perabotan rumah tangga yang berkualitas
tinggi.

Idealnya, "jati diri" kita pun demikian. Kita tetap tidak kehilangan
kepribadian sebagai "jati" namun selalu siap untuk berubah menjadi sesuatu
yang lebih berguna. Tentu saja, tetap dikenal sebagai "jati". Kita perlu
tetap dikenal sebagai diri kita sendiri. Jadi, jika nama Anda adalah Budi,
Anda tetaplah seorang Budi, namun mempunyai ketrampilan dan kelebihan yang
selalu bertambah dan selalu berubah dari satu kualitas menjadi kualitas
yang
lebih baik.

Sebagai manusia pembelajar, kita selalu berubah. Semakin banyak belajar,
tambah banyak informasi yang diserap, dan semakin mampu
menghubung-hubungkannya sehingga menjadi tambah berarti dalam suatu
kerangka
berpikir yang semakin matang pula. Tidak ada yang konstan di dunia ini,
kecuali bahan dasar dari suatu substansi. Sebagai manusia, kita terdiri
dari
fisik, psikis, dan emosi. Ketiga hal ini merupakan bahan dasar alias
substansi kita.

Bagaimana cara mempertahankan "kejatian" kita namun selalu siap menerima
perubahan dan bahkan ikut berubah sesuai dengan tuntutan zaman?

Pertama, selalu camkan di dalam hati bahwa saya adalah saya, bagaimana pun
keadaan fisik, psikis, emosi, dan finansial saya, saya tetaplah saya. Saya
tidak akan menjadi merasa berkekurangan di tengah-tengah kebingungan dan
keraguan. Saya punya sahabat setia yaitu saya sendiri. Saya cukup dengan
apa
yang saya miliki, namun saya membuka hati dan pikiran untuk menjadi lebih
baik daripada hari kemarin.

Kedua, saya siap menghadapi tantangan dengan hati yang lapang. Tidak ada
rasa ragu dan takut. Toh, apa pun terjadi, I am who I am and what I am.
Tidak akan ada perubahan soal siapa saya dan seperti apa identitas alias
"jati diri" saya.

Ketiga, saya sadar bahwa untuk bisa bertahan hidup di tengah-tengah
perubahan, saya perlu mengikuti perubahan di lingkungan internal (hati dan
pikiran) serta eksternal (pekerjaan dan proses pembentukan diri). Untuk
itu,
saya siap untuk selalu berkembang sepanjang yang diperlukan. Tidak ada yang
konstan di dunia dan saya menerima ini sebagai bagian yang tidak
terpisahkan
dari diri saya.

Siap?

* Jennie S. Bev adalah pengusaha, penulis, dan edukator asal Indonesia yang
bermukim di Kalifornia Utara. Ia telah menulis dan menerbitkan lebih dari
900 artikel dan 60 buku (dan ebook) di Indonesia, Amerika Serikat, Kanada,
Perancis, Jerman, dan Singapura.

Mengendalikan diri

MENGENDALIKAN DIRI
(Sebuah Percikan Permenungan)

Pada awal tahun baru ini, saya ingin sekali menggoreng dendeng rusa dan
untuk itu saya pergi ke kios "Rusa Merah" di kota Rusa - yang adalah
julukan lain kota Merauke. Di tengah jalan ada orang marah-marah kepada
penyeberang jalan, sebab menghalangi orang penting - very important
person - yang hendak menghadiri rapat. Secara gegabah dan tidak terkendali,
dirinya mengata-ngatai penyeberang jalan yang hampir saja ketabrak. Dalam
benakku terlintas bahwa jika tidak dilerai - karena emosinya yang sudah
memuncak - akan memukul penyeberang jalan, yang diduga bersalah itu.
Pepatah Latin, "Post verba verbera" yang artinya sesudah dikata-katai
kemudian digebugi, akan terjadi di persimpangan jalan. Namun, untunglah
karena yang dicemaskan tidak terjadi. Lalu, saya mengintip dari jendela
mobil, ternyata orang yang tidak bisa mengendalikan diri itu adalah orang
yang belum lama diwisuda sebagai M.Pd (Master Pendidikan). Ini adalah gelar
yang biasa disandang oleh para kepala sekolah di Merauke. Mungkin kita
pernah mendengar gelar, "Grand Master" atau "Master of Art" atau "Master of
Science." Mereka itu dinyatakan lulus, sebab diri mereka sudah bisa
menguasai dirinya sendiri (to master). Kemudian saya bermenung dalam hati,
"Apakah dalam suasana kacau-balau, chaos, suasana hati yang tidak menentu,
saya masih bisa hidup dengan tenang dan bisa mengendalian diri?" Ini
adalah sekelumit kisah tentang rasa emosi, kesal, marah-marah, bahkan
terjadi gesekan fisik, hanya karena tidak mampu mengendalikan diri.

Mari kita menegok ke belakang tentang kisah pengendalian diri, seseorang
yang bernama Gengis Khan (1167 - 1227). Konon sementara perang, sang Kaisar
ini amat kehausan. Ia memiliki gagak yang amat setia yang senantiasa
bertengger di pundaknya. Di tengah-tengah kehausannya, ia menemukan tetesan
air di dalam gua. Tetapi setiap kali mau meminumnya, burung gagak itu terus
menyambar tempurung dan airnya pun tumpahlah. Kejadian itu terjadi
berulang-ulang. Akhirnya yang keempat kali, sewaktu burung gagak akan
menyambar air dalam tempurung itu, Gengis Khan langsung menghunus pedang
tepat di tembolok burung gagak dan matilah seketika itu juga.

Sang kaisar penasaran dan memanjatlah ia ke sumber air itu. Dia kaget,
ternyata dalam sumber itu, airnya terdapat bangkai ular berbisa yang sudah
meracuni genangan air itu. Penyesalan selalu datang terlambat. Sang Kaisar
itu tidak mampu mengendalikan dirinya sendiri, tetapi dikendalikan oleh
emosi dan perasaan, yang mengakibatkan gegabah dalam mengambil keputusan.
Kata-kata indah, "Orang dianggap pahlawan bukan karena mampu menguasai
kota, melainkan karena orang itu bisa menguasai dirinya sendiri,"
mendapatkan tempatnya bagi kita yang sulit untuk mengendalikan diri.

Dalam suatu bimbingan rohani - tradisi para seminaris dan para
biarawan-biarawati - saya pernah dinasihati supaya mampu mengambil jarak
dengan problem yang sedang dihadapi. Pembimbing saya membagikan
pengalamannya demikian. Katanya, "Saya pernah jengkel terhadap seseorang.
Dalam kejengkelan itu, saya menulis surat yang berisi maki-makian terhadap
orang tersebut. Lalu surat saya masukkan amplop dan diberi alamat lengkap
dan ditempel perangko serta saya taruh di laci. Surat itu "menginap" dalam
laci selama dua hari. Setelah itu, surat saya baca kembali. Sungguh di luar
dugaan, saya menjadi malu membacanya, sebab isinya maki-makian dan
"penghuni kebun binatang". Memang dalam situasi yang kalut, orang sulit
untuk bisa mengendalian diri. Jika hati sedang "gelap" yang terjadi ialah
bahwa suasana di sekitar itu sepertinya tidak mendukung. Kalau diri kita
sedang menghadapi masalah, baiklah kita berani menyendiri dan berkata,
"Maaf! Biarkanlah saya sendiri dulu!" Dengan berhadapan dengan dirinya
sendiri - tanpa intervensi dari luar - suasana hati pelan-pelan akan
mereda.

Pengalaman kesendirian itulah yang membuat orang berlatih untuk
mngendalikan diri. Kesendirian juga merupakan moment yang tepat untuk
mengendapkan peristiwa-kejadian yang dialami yakni pengalaman suka-duka.
Sejarah yang mendukung kisah ini ada dalam diri Raden Mas Said. Dia adalah
putra sulung Tumenggung di bawah kerajaan Majapahit. Dalam kedalaman
hatinya, ia terpanggil untuk memberantas kejahatan dan kebatilan dalam
masyarakat. Untuk memenuhi "bisikan Tuhan" ia rela melepaskan gelar
keningratan dan bertapa di tepi sungai (kali), yang nantinya akan bergelar
Kali Jaga (Panjaga Kali). Dalam kesendiriannya, ia berhadapan dengan
"ego"-nya sendiri (Bdk. Cerita wayang lakon Dewa Ruci). Berkat
ketabahannya untuk berlatih mengendalikan diri, Raden Mas Said mendapatkan
"Nur" (cahaya, yang diartikan juga kekuatan) dari yang ilahi. Kemudian dia
diangkat menjadi wali yang terkenal dalam deretan nama sembilan wali (wali
sanga) dengan gelar Sunan Kali Jaga. Dalam memutuskan sesuatu, Sunan Kali
Jaga terkenal tenang penuh welas asih (belas kasih).

Tiba-tiba muncul pertanyaan, "Bagaimana saya sebagai orang yang hidup dalam
dunia nyata yang senantiasa berusaha mencukupi kebutuhan hidup ini. Lantas,
bagaimana saya bisa hidup dengan rasa tenang dan damai?" Jawaban imaginer
pun demikian, "Kebutuhan kita di dunia ini tidak terbatas. Kalau kita
hanya mengejar kebutuhan yang tidak terbatas itu, kita akan dikuasai oleh
hawa nafsu itu sendiri." Seorang guru agama Buddha berkata, "Bukankah tali
dawai yang terikat kencang terus dalam mandolin sekali-kali perlu
dikendorkan. Demikian pula, pikiran kita yang penuh dengan angan-angan,
cita-cita dan harapan itu pun perlu dikendorkan, relax, supaya menjadi
segar kembali, refresh." Kita perlu belajar dengan kata-kata Plato (438 -
348 SM), "Hidup yang tidak direnungkan ialah hidup yang tidak bermakna."
Merenung, hening, mengambil waktu jeda adalah cara yang tepat untuk
mengendalikan diri bagi orang-orang sibuk. Tawaran untuk hidup sehat di
kota-kota besar - mau tidak mau - mengedepankan kehidupan yang menjanjikan
ketenangan batin seperti; yoga, meditasi, rei ki, tai-chi. Saya yakin bahwa
orang-orang yang banyak mengolah batinnnya juga mampu mengendalikan diri.

Sementara merenungkan tentang makna pengendalian diri, di luar Biara MSC
terdengar suara petasan, "Dor! Dor!" serta kembang api yang memekakkan
telinga (rupanya petasan dan kembang api sisa Tahun Baru). Kemudian tanpa
terkendali, saya pun berteriak-teriak, sambil marah-marah supaya tidak
bermain petasan karena amat mengganggu. Kini kusadari bahwa ternyata
sulit mengendalikan diri. Kita pun - tanpa kecuali berguman, "Memang, baru
tahu ya?"

Merauke - Kota Rusa, 4 Januari 2011

Markus Marlon MSC

Senin, 03 Januari 2011

Apa yang kau lihat ?

Apa Yang Kau Lihat ?

Pada zaman dahulu hiduplah dua orang jendral perang besar, Cyrus dan
Cagular. Cyrus adalah raja Persia yang terkenal. Sedangkan Cagular adalah
kepala suku yang terus-menerus melakukan perlawanan terhadap serbuan
pasukan Cyrus, yang bertekat menguasai Persia.

Pasukan Cagular mampu merobek-robek kekuatan tentara Persia sehingga
membuat berang Cyrus karena ambisinya untuk menguasai perbatasan daerah
selatan menjadi gagal. Akhirnya, Cyrus mengumpulkan seluruh kekuatan
pasukannya, mengepung daerah kekuasaan Cagular dan berhasil menangkap
Cagular beserta keluarganya. Mereka lalu dibawa ke ibu kota kerajaan Persia
untuk diadili dan dijatuhi hukuman.

Pada hari pengadilan, Cagular dan istrinya dibawa ke sebuah ruangan
pengadilan. Kepala suku itu berdiri menghadapi singgasana, tempat Cyrus
duduk dengan perkasanya. Cyrus tampak terkesan dengan Cagular. Ia tentu
telah mendengar banyak tentang kegigihan Cagular.

"Apa yang akan kau lakukan bila aku menyelamatkan hidupmu?" tanya sang
kaisar.
"Yang mulia," jawab Cagular, "Bila Yang Mulia menyelamatkan hidup hamba,
hamba akan kembali pulang dan tunduk patuh pada Yang Mulia sepanjang umur
hamba."

"Apa yang akan kau lakukan bila aku menyelamatkan hidup istrimu?" tanya
Cyrus lagi.
"Yang mulia, bila Yang Mulia menyelamatkan hidup istri hamba, hamba
bersedia mati untuk Yang Mulia," jawab Cagular.

Cyrus amat terkesan dengan jawaban dari Cagular. Lalu ia membebaskan
Cagular dan istrinya. Bahkan ia mengangkat Cagular menjadi gubernur yang
memerintah di provinsi sebelah selatan.

Pada perjalanan pulang, Cagular dengan penuh antusias bertanya pada
istrinya, "Istriku, tidakkah kau lihat pintu gerbang kerajaan tadi?
Tidakkah kau lihat koridor ruang pengadilan tadi? Tidakkah kau lihat kursi
singgasana tadi? Itu semuanya terbuat dari emas murni! Gila!"

Istri Cagular terkejut mendengar pertanyaan suaminya, tetapi ia menyatakan,
"Aku benar-benar tidak memperhatikan semua itu."
"Oh begitu!" tanya Cagular terheran-heran, " Aneh, lalu apa yang kau lihat
tadi?"

Istri Cagular menatap mata suaminya dalam-dalam. Lalu ia berkata, "Aku
hanya melihat wajah seorang pria yang mengatakan bahwa ia bersedia mati
demi hidupku."
Apakah Anda tahu demi apa Anda mati? Demi kekasih Anda? Rumah? Negara?
Keyakinan? Kebebasan? Cinta? Tentukan demi apa Anda bersedia untuk mati,dan
Andapun akan menemukan demi apa Anda hidup. Hiduplah demi sesuatu yang Anda
bersedia untuk berkorban, bahkan mati pun rela, maka Anda akan hidup dengan
penuh. Anda pun akan menemukan bagaimana Anda bisa berbahagia.

Source : http://pengharapan.com/apa-yang-kau-lihat.html