by Ariesandi Setyono
Halo, selamat siang Pak. Saya Indri pembaca buku Hypnoparenting. Saya ingin
minta waktu Bapak untuk konsultasi tentang masalah anak saya. Apakah Bapak
ada waktu?, demikian suara di seberang telepon. Setelah saya tanyakan apa
masalahnya kemudian kami menyepakati jadwal bertemu.
Masalah Irwan, anak Ibu Indri, adalah masalah motivasi belajar. Irwan duduk
di kelas dua sekolah dasar. Karena malas belajar maka nilainya jelek dan
akhirnya ia jadi minder di hadapan teman-temannya. Tidak berhenti sampai di
situ saja. Ia sering berkelahi dengan temannya dan berselisih dengan guru
dan orangtuanya. Ibu Indri sering dipanggil oleh guru Irwan dan sang guru
sudah angkat tangan terhadap masalah tersebut.
Pada hari yang telah disepakati saya menemui Ibu Indri dan Irwan. Setelah
ngobrol ringan beberapa saat saya mengetahui bahwa Ibu Indri dan suaminya
adalah tipe orangtua ketiga. Orangtua tipe pertama adalah orangtua
"pencegah masalah", orangtua tipe ini sering saya jumpai dalam seminar
ataupun pelatihan intensif yang saya berikan. Orangtua tipe kedua adalah
orangtua "pencari solusi". Mereka mencari solusi atas permasalahan anaknya.
Tipe ini juga sering saya jumpai di seminar saya dan tak jarang berlanjut
ke janji konsultasi dan terapi. Tipe ketiga adalah orangtua "tahu beres".
Tipe ini hampir tidak pernah saya temui dalam seminar saya tetapi sering
langsung datang ke ruang konsultasi dan terapi.
Orangtua tipe ketiga, seperti Ibu Indri dan suaminya, datang ke ruang
terapi dengan harapan bahwa masalah anaknya langsung beres. Mereka berharap
saya adalah makhluk ajaib yang langsung bisa menghipnosis anaknya untuk
menuruti keinginannya.
Ketika mereka tahu bahwa proses perubahan anaknya menuntut proses perubahan
diri mereka sendiri maka mereka jadi terheran-heran. Orangtua tipe ketiga
sering tidak menyadari bahwa permasalahan anaknya bersumber dari pendekatan
yang salah yang mereka lakukan sejak anak tersebut menjalani proses tumbuh
kembangnya. Orangtua tipe ketiga sering menganggap bahwa anaklah yang
sepenuhnya bertanggung jawab atas masalahnya. Mereka benar-benar susah
untuk menerima kenyataan bahwa merekalah pemicu utama dari tindakan
anak-anaknya.
Mengapa bisa begitu? Karena pada awal mulanya anak-anak hanya merespon
sikap dan tindakan orangtuanya. Ketika orangtua mengulangi sikap dan
tindakannya maka si anak juga mengulang respon yang sama. Dan akhirnya
karena sering diulang maka hal ini menjadi kebiasaan dan karakter si anak.
Setelah saya memberikan masukan pada Ibu Indri dan suaminya tentang masalah
Irwan kemudian saya mulai membantu Irwan secara pribadi untuk mulai
mengubah cara pandangnya. Pada dasarnya ia anak yang sangat baik dan cukup
punya pengertian tentang berbagai masalahnya. Ia mulai menyadari bahwa
kejengkelan terhadap orangtuanya yang sering menjadi pemicu dari sikapnya.
Saya meyakinkan padanya bahwa papa mamanya akan mengubah pendekatan mereka
padanya. Setelah itu kami berpisah.
Satu bulan kemudian Ibu Indri menelepon saya untuk minta waktu lagi. Ia
mengatakan bahwa perubahan anaknya hanya terjadi dua minggu saja. Setelah
itu sikapnya balik lagi seperti semula.
Singkat cerita kami bertemu kembali. Dan saya tahu apa yang harus saya
katakan pertama kali untuk memeriksa kembali kasus ini. Pertanyaan saya
pertama adalah seberapa konsisten ibu Indri dan suaminya menjalankan apa
yang saya minta. Mereka langsung mengatakan bahwa mereka susah sekali untuk
mengubah pola pendekatannya ke Irwan. Mereka sering kembali lagi ke pola
lama mereka yang menggunakan bentakan, cemoohan dan perkataan yang
merendahkan secara tidak langsung. Mereka sering mengambil jalan pintas.
Lalu saya harus bagaimana lagi. Saya sudah jengkel dan tak sabar melihat
sikapnya. Saya kan masih banyak pekerjaan lain. Saya tidak mengurusi dia
saja kan?, demikian Ibu Indri membela dirinya.
Kalau begitu siapa yang harus mengurusi Irwan yang masih sekecil itu ?,
demikian saya ingin tahu jawabannya. Lha saya kan sudah sekolahkan dia.
Saya sudah panggilkan guru les ke rumah untuk menemaninya belajar. Saya
sudah sediakan pengasuh khusus untuknya. Apa lagi yang harus saya lakukan
?, demikian katanya setengah putus asa.
Hmmmm tapi bukan itu saja yang dibutuhkan Irwan. Mereka semua tidak bisa
memenuhi tangki cinta Irwan. Hanya Ibu dan Bapak yang bisa melakukannya.
Dan Irwan benar-benar mengharapkan hal itu dari Bapak dan Ibu tetapi ia
jarang mendapatkannya. Kedekatan fisik Bapak Ibu tidak berarti kedekatan
emosional. Masalah ini hanya bisa diselesaikan jika bapak Ibu berkomitmen
pada diri sendiri untuk melakukan perubahan sehingga akhirnya Irwan akan
meresponnya dengan cara berbeda pula. Bapak Ibulah yang menjadi terapis
utama bagi Irwan bukan saya! Secanggih-canggihnya saya melakukan
hipnoterapi pada Irwan tetapi jika Bapak Ibu di rumah, yang jelas lebih
banyak berhubungan dengan Irwan, tidak mendukung tumbuhnya kebiasaan baru
maka cepat atau lambat hasil terapi akan terkikis habis, demikian saya
menjelaskan.
Dari contoh kasus di atas jelas sekali bahwa peranan orangtua sebagai
terapis bagi anaknya sendiri sangat besar. Orangtua adalah akar dari sebuah
pohon yang akan menyerap segala nutrisi yang ada di sekitarnya dan kemudian
menyalurkannya ke anak sebagai buah yang ada jauh di atas pohon. Untuk
menghasilkan buah yang baik maka akarnya yang harus diperhatikan agar bisa
menyalurkan nutrisi yang baik dan berguna bagi bakal buah yang akan
berkembang. Ketika buah sudah sudah muncul maka perlakuan kita untuk
mengubahnya hanya mempunyai pengaruh yang kecil atau bisa jadi terlambat.
Bagaimanakah dengan diri kita sendiri? Termasuk tipe orangtua manakah kita?
Saya percaya artikel ini jatuh ke tangan orangtua tipe pertama dan kedua.
Orangtua tipe ketiga yang tahu beres tidak akan mau repot membaca artikel
ini. Bila Anda punya teman atau kerabat yang tipe ketiga, email atau
beritahukan artikel ini pada mereka agar cepat sadar / tobat demi masa
depan anak-anaknya. Salam hangat penuh cinta.
Sumber :
http://www.sekolahorangtua.com/2007/06/14/ada-3-tipe-orangtua-anda-tipe-yang-mana/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar