Mari kita telaah frase "jati diri". Sinonimnya adalah identitas diri.
Namun,
saya ingin pelesetkan sedikit menjadi "jati" plus "diri". Anda tahu pohon
jati? Beberapa dekade lalu, kayunya sering digunakan sebagai bahan untuk
perabotan rumah tangga, seperti lemari dan meja serta kursi. Sekarang sudah
semakin langka di alam karena penggunaan yang eksesif. Sungguh sayang.
Mari kita mempermasalahkan soal konservasi pohon jati, namun kita kembali
ke
istilah yang kita pelesetkan itu. Identitas diri = jati + diri.
Oke, kita semua tahu bahwa "diri" berarti diri kita sendiri, sedangkan
"jati" (bayangkan kayu jati) adalah contoh dari keteguhan dan kemampuan
alias fleksibilitas untuk membentuk diri. Dari sepotong kayu yang keras, ia
mampu bermetamorfosa menjadi perabotan rumah tangga yang berkualitas
tinggi.
Idealnya, "jati diri" kita pun demikian. Kita tetap tidak kehilangan
kepribadian sebagai "jati" namun selalu siap untuk berubah menjadi sesuatu
yang lebih berguna. Tentu saja, tetap dikenal sebagai "jati". Kita perlu
tetap dikenal sebagai diri kita sendiri. Jadi, jika nama Anda adalah Budi,
Anda tetaplah seorang Budi, namun mempunyai ketrampilan dan kelebihan yang
selalu bertambah dan selalu berubah dari satu kualitas menjadi kualitas
yang
lebih baik.
Sebagai manusia pembelajar, kita selalu berubah. Semakin banyak belajar,
tambah banyak informasi yang diserap, dan semakin mampu
menghubung-hubungkannya sehingga menjadi tambah berarti dalam suatu
kerangka
berpikir yang semakin matang pula. Tidak ada yang konstan di dunia ini,
kecuali bahan dasar dari suatu substansi. Sebagai manusia, kita terdiri
dari
fisik, psikis, dan emosi. Ketiga hal ini merupakan bahan dasar alias
substansi kita.
Bagaimana cara mempertahankan "kejatian" kita namun selalu siap menerima
perubahan dan bahkan ikut berubah sesuai dengan tuntutan zaman?
Pertama, selalu camkan di dalam hati bahwa saya adalah saya, bagaimana pun
keadaan fisik, psikis, emosi, dan finansial saya, saya tetaplah saya. Saya
tidak akan menjadi merasa berkekurangan di tengah-tengah kebingungan dan
keraguan. Saya punya sahabat setia yaitu saya sendiri. Saya cukup dengan
apa
yang saya miliki, namun saya membuka hati dan pikiran untuk menjadi lebih
baik daripada hari kemarin.
Kedua, saya siap menghadapi tantangan dengan hati yang lapang. Tidak ada
rasa ragu dan takut. Toh, apa pun terjadi, I am who I am and what I am.
Tidak akan ada perubahan soal siapa saya dan seperti apa identitas alias
"jati diri" saya.
Ketiga, saya sadar bahwa untuk bisa bertahan hidup di tengah-tengah
perubahan, saya perlu mengikuti perubahan di lingkungan internal (hati dan
pikiran) serta eksternal (pekerjaan dan proses pembentukan diri). Untuk
itu,
saya siap untuk selalu berkembang sepanjang yang diperlukan. Tidak ada yang
konstan di dunia dan saya menerima ini sebagai bagian yang tidak
terpisahkan
dari diri saya.
Siap?
* Jennie S. Bev adalah pengusaha, penulis, dan edukator asal Indonesia yang
bermukim di Kalifornia Utara. Ia telah menulis dan menerbitkan lebih dari
900 artikel dan 60 buku (dan ebook) di Indonesia, Amerika Serikat, Kanada,
Perancis, Jerman, dan Singapura.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar