"Just to be alive is a grand thing."
~ Agatha Christie
Untuk menemukan sukses di dalam diri Anda, pada saat yang sama Anda perlu
bersyukur dan menyadari kehadiran mindset sukses tersebut. Tanpa rasa
syukur
yang besar, hampir mustahil rasanya kita bisa menemukan mindset sukses di
dalam diri. Mengapa? Karena rasa syukur yang besar merupakan dasar dari
segala hal yang positif di dalam persepsi kita. Ingatlah bahwa segala
sesuatu yang kita rasakan dan pikirkan merupakan hasil olahan pikiran kita
sendiri. Semua itu tidak lain dan tidak bukan merupakan persepsi kita
terhadap dunia, bukan dunia itu sendiri.
What you think makes you what you are. Apa yang kita pikirkan menjadikan
siapa diri kita. Jika kita berpikir bisa, maka kemungkinan besar kita bisa
mengatasi masalah yang sedang dihadapi. Ada juga pepatah yang berkata, "If
you think you can, you really can." Jika kita berpikir tidak bisa,
kemungkinan besar kita akan kalah dulu sebelum berperang dan mencari seribu
satu alasan mengapa kita tidak bisa melakukannya. Alam bawah sadar kita
selalu menuruti pikiran kita. Jika kita ragu-ragu melakukan sesuatu,
biasanya hasilnya pun biasanya mencerminkan keragu-raguan. Jika kita
melakukan sesuatu dengan mantap, maka hasilnya pun biasanya mantap, alias
memuaskan.
Sebagai analogi, seorang anak yang sering dimarahi dan dilabel sebagai
"pemalas" seringkali tumbuh sebagai seorang malas. Mengapa? Pikirannya
percaya akan label tersebut dan perbuatannya mengikuti label tersebut.
Inilah kekuatan bawah sadar yang seringkali dianggap sepele oleh para orang
tua. Ini bahayanya jika kita menyebut anak kita sendiri sebagai "pemalas"
atau "bodoh," karena bisa-bisa ia sungguh-sungguh tumbuh sebagai seorang
pemalas dan "bodoh."
Seringkali, label seperti ini kita lakukan juga terhadap diri sendiri.
Tidak
jarang kita dengar label diri sendiri yang cukup "aneh," misalnya: "saya
ini
tidak sepandai Anda jadi saya tidak bisa menulis buku," "saya ini bukan
anak
konglomerat dan tidak berbakat bisnis maka saya tidak berhasil dalam
bisnis," dan "saya ini tidak pandai sekolah jadi saya tidak selesaikan
sekolah saya." Saya hanya bisa tertawa saja karena semua itu adalah label
negatif yang dipakai diri sendiri untuk menjustifikasikan mengapa ia belum
juga menemukan sukses di dalam dirinya.
Kebenaran prinsip bahwa apa yang kita pikirkan menjadikan siapa diri kita,
tidak bisa dipungkiri lagi karena semua orang sukses (yang sesuai dengan
definisi ala Jennie S. Bev yang dituangkan dalam buku ini, tentunya)
mempunyai sikap penuh syukur, penuh berterima kasih, dan tidak senang
mencela siapa pun dan apa pun. Semakin positif diri kita, semakin banyak
hal-hal positif yang akan terproyeksikan keluar, dan semakin banyak orang
bermental positif (baca: sukses) yang akan tertarik untuk berkomunikasi.
Ini
juga yang menjawab mengapa "orang sukses kok temannya kebanyakan orang
sukses pula."
Kejelian hati dan pikiran kita untuk mengucapkan syukur dan berterima kasih
di setiap kesempatan merupakan dasar dari pikiran-pikiran positif, termasuk
mindset sukses. Dengan semakin jeli melihat hal-hal yang positif maka
semakin jeli pula kita melihat ke dalam diri dan mengambil sari bahwa kita
semua merupakan personifikasi sukses itu sendiri. Dengan selalu mengucapkan
terima kasih dan bersyukur akan hal-hal kecil, maka alam bawah sadar kita
semakin terbiasa untuk menerima hal-hal positif dengan kesadaran penuh. Ini
akan terakumulasi di dalam diri sedemikian rupa sampai akhirnya membentuk
diri kita yang baru.
Diri ini merupakan personifikasi sukses yang siap memproyeksikan keadaan di
dalam diri ke luar. Dengan kata lain, dengan memenuhi pikiran dan perasaan
kita dengan persepsi-persepsi positif, kita akan berhasil mengatasi
sumber-sumber negatif dari luar. Dengan isi pikiran dan perasaan yang
positif, maka perbuatan kita pun akan menarik hal-hal yang positif,
termasuk
hal-hal yang menggandakan kekuatan baik dari uang dan hal-hal lainnya.
Singkat kata, semakin tinggi nilai persepsi diri yang positif, mindset
sukses akan semakin terpancar dengan perbuatan-perbuatan yang menjadi
magnet
dari kebebasan finansial.
Sesuatu yang baru? Tidak juga, karena semua agama mengajarkan mengucapkan
syukur dan semua orang tua yang baik mengajarkan anak-anaknya untuk
berterima kasih kepada orang lain. Kenyataannya, karena satu dan lain hal,
manusia-manusia modern macam kita semua, lebih sering mencela daripada
bersyukur dan berterima kasih kepada orang lain. Lebih banyak
menjelek-jelekkan pihak lain daripada memuji, serta lebih banyak rasa iri
daripada membina hubungan yang sinergis.
Jika kebiasaan-kebiasaan tidak terpuji tersebut dipertahankan, sangatlah
mengecewakan hasilnya. Saya ingat ketika saya menunggu di tempat praktek
dokter di Jakarta beberapa tahun yang lalu, betapa saya merasa sungguh
tidak
berharga karena ternyata pak mantri yang mengurus registrasi sangat merasa
berkuasa dengan memerintah-merintah para pasien yang sedang sakit dengan
nada yang tidak enak. Hal-hal seperti ini sangat sering saya jumpai, dan
bisa ditebak bahwa pelaku demikian adalah orang-orang yang, maaf, biasanya
adalah pecundang. Walaupun dalam hati kecil saya mengerti bahwa pekerjaan
yang berhubungan dengan orang sakit pasti membawa stres.
Namun, sebenarnya ia bisa mengatur para pasien dengan cara yang lebih
sopan,
bahkan sebaiknya dilakukan dengan upaya supaya para pasien merasa sedikit
lebih nyaman di ruang tunggu dokter daripada di rumah. Satu ucapan singkat,
"terima kasih" kepada para pasien yang telah mengantri giliran dengan sabar
sebenarnya merupakan satu getaran positif yang mudah, murah, dan meriah.
Sayangnya, ia tidak menyadari keampuhan kata ini.
Untuk menemukan diri yang sukses di dalam, mengucapkan syukur bisa
dibarengi
ketika mengucapkan kata-kata pemacu dan melakukan visualisasi setiap jam
sebanyak sepuluh kali tersebut (yang dibahas dalam bab di atas). Bisa juga
Anda gunakan waktu khusus setiap hari, misalnya ketika bangun pagi,
menjelang tidur malam, dan ketika melakukan shalat maupun doa-doa khusus.
Saya sendiri tidak mengkhususkan diri kapan saya bersyukur dan berterima
kasih atas segala sesuatu yang terjadi dalam keseharian. Mengapa? Walaupun
cara demikian memang baik, namun seringkali jika tidak berhati-hati dan
pilot otomatis sudah bekerja, maka segala sesuatu yang dijalankan dengan
rutin akan menjadi rutinitas belaka. Rutinitas tidak lagi memberikan arti
mendalam, malah menjadi hambar.
Sebaliknya, saya biasanya mengucapkan terima kasih begitu ada sesuatu yang
menarik perhatian, mempunyai arti, dan dilakukan oleh orang lain untuk
saya.
Misalnya, begitu bangun pagi. Kalimat pertama yang diucapkan adalah,
"Terima
kasih untuk hari baru yang cerah ini." Setelah itu, saya mengucapkan terima
kasih pula untuk diberi nafas pada hari ini dan juga kesehatan saya dan
suami. Setelah itu, begitu membuka pintu kamar tidur, biasanya saya
disambut
oleh binatang piaraan saya. Satu lagi ucapan terima kasih saya haturkan
kepadaNya dan kepada si Happy itu. Terima kasih kepada Tuhan karena Happy
masih hidup dan lucu seperti kemarin, serta terima kasih kepada Happy
karena
tempat tidurnya rapi dan tidak berantakan, sambil biasanya saya mengusap
kepalanya yang berbulu itu.
Dari begitu bangun pagi di kamar lantai atas sampai turun ke lantai bawah,
sudah berapa kali saya mengucapkan terima kasih dan bersyukur? Mungkin
sudah
lima sampai tujuh kali. Dalam satu hari? Berapa kali saya berterima kasih
dan bersyukur di dalam hati? Berapa kali yang saya ucapkan dengan lantang
bersuara kepada orang lain? Mungkin bisa 50 sampai 100 kali, bisa jadi
lebih, karena tidak saya hitung.
Tidak praktis kedengarannya? Kok ya aneh mengucapkan terima kasih sampai
puluhan kali dan satu hari? Bahkan ratusan kali? Jawabannya mudah saja:
dengan berterima kasih dan bersyukur, kita selalu mencari sisi positif dari
segala sesuatu. Dengan mencari sisi positif, maka diri kita menjadi semakin
positif dalam melihat segala sesuatu. Bahkan hal-hal yang negatif sekali
pun
pasti ada positifnya, karena tidak ada setengah lingkaran "yin" yang
seratus
persen putih dan tidak ada lingkaran "yang" yang seluruhnya hitam. Pasti
ada
putih setitik di dalam hitam kelam dan ada hitam setitik di dalam putih
bersih.
Dengan selalu mengingat kelimpahan kita, otak kita mencetak keyakinan
(belief) bahwa memang benar kita hidup dalam kelimpahan. Maka, semua
perbuatan kita didasari oleh keyakinan ini, termasuk persepsi diri kita
sebagai personifikasi dari sukses. Lantas, sampai kapan Anda perlu
mengucapkan terima kasih dan bersyukur berpuluh-puluh kali tersebut?
Sepanjang hayat.
Ah, tidak praktis, mungkin itu lagi pendapat Anda. Sekali lagi saya
tekankan
bahwa buku ini tidak mengajarkan Anda untuk sukses dalam semalam, namun
dengan mengubah mindset maka segala faktor eksternal yang sering menjadi
atribut orang sukses akan datang dengan sendirinya bagaikan arus sungai.
Berterima kasih dan bersyukur toh tidak memerlukan modal uang maupun sumber
daya apa pun. Intinya hanya satu, yaitu kemauan keras untuk mengubah diri.
Jangan pikirkan "pahala" yang Anda dapat dari perbuatan ini dulu. Jangan
pula mengharapkan nasib Anda akan berubah dalam sekejap. Yang jelas, dengan
mengucapkan terima kasih kepada orang lain tanpa ada rasa keterpaksaan dan
rasa canggung saja sudah merupakan jembatan kita ke dalam hati orang itu.
"Terima kasih" tidak akan pernah ditolak oleh orang lain, malah biasanya
disambut dengan senyum lebar dan hati yang sedikit lebih lembut daripada
sebelumnya. Ini saja sudah merupakan magnet yang bisa membantu Anda dalam
memproyeksikan diri yang sukses ke luar. Jadi, jika ada keragu-raguan dan
keengganan untuk berterima kasih dan bersyukur dalam skala dan frekuensi
luar biasa, maka sebaiknya Anda urungkan niat Anda untuk menjadi
personifikasi dari sukses itu sendiri. [jsb]
* Jennie S. Bev adalah penulis buku best-seller Rahasia Sukses Terbesar
yang
bisa dibeli di toko-toko buku seluruh Indonesia. Ia juga dikenal sebagai
penulis dari 60 buku bisnis yang diterbitkan di Amerika Serikat dan Kanada.
Ia bermukim di Kalifornia Utara dan bisa dijumpai di rumah virtualnya
JennieSBev.com. Saat ini ia sedang merampungkan buku keduanya dalam Bahasa
Indonesia yang akan dirilis awal 2007.