Senin, 29 Desember 2008

Kurir Pembawa Hadiah Tuhan

Alumni Pika yang budiman,
Kita semua selalu berusaha sedapat mungkin tidak mempunyai musuh. Karena musuh dapat membuat kita stres. Namun, dengan permainan kata-kata, Gede Prama mengidentikan musuh dengan kurir pembawa hadiah dari Tuhan. Mengapa demikian ? Baca selengkapnya artikel di bawah ini.


Kurir Pembawa Hadiah Tuhan
Oleh: Gede Prama

Bila diberi kesempatan untuk memilih, jarang sekali orang yang memilih untuk punya musuh. Entah itu orang biasa atau orang luar biasa, di desa atau di kota, orang berhasil maupun orang gagal, tua maupun muda, amat dan teramat jarang - kalau tidak mau dikatakan tidak ada - orang yang meniatkan diri untuk memiliki musuh. Hampir semuanya menghendaki kehidupan tanpa musuh. Sayapun dulunya juga demikian. Sebut saja Dalai Lama sebagai salah seorang pemenang hadiah nobel perdamaian yang amat terkenal dengan senyuman dan kesejukan hidupnya, ia memiliki musuh negeri Cina yang masih menduduki Tibet. Mahatma Gandhi yang dikenang sejarah dengan perjuangan di jalan antikekerasan, malah mengakhiri hidupnya dengan cara ditembak orang. John Lennon juga serupa, lagu Imagine yang ia nyanyikan dan menyentuh banyak kalbu manusia karena demikian bersahabat, tubuhnya juga diakhiri oleh peluru panas. Ibu Theresa yang menghabiskan sebagian besar hidupnya hanya untuk melayani orang-orang miskin di Calcutta, pernah disebut orang dengan sebutan seorang diktator ide. Demikian juga kehidupan Lady Diana yang berakhir tragis melalui sebuah kecelakaan karena dikejar-kejar orang.

Kalau orang-orang dengan kualitas dan kualifikasi demikian mengagumkan saja tetap ditakdirkan harus memiliki musuh selama hidup, apa lagi kita manusia-manusia biasa. Yang jelas, musuh adalah sebuah kenyataan yang harus diterima oleh siapa saja yang masih bernafas. Bahkan manusia matipun, banyak yang masih menyisakan musuh. Secara jujur harus diakui, kita semua tidak menyukai musuh. Secara lebih khusus, karena musuh menghadirkan godaan-godaan yang tidak kecil. Musuh memancing kita untuk tidak sabar. Musuh membuat kita tidak bisa tidur. Musuh memproduksi manusia menjadi stress. Bahkan tidak jarang terjadi, musuh membuka pintu-pintu kehidupan yang berbahaya seperti pembunuhan, penganiayaan dan pemerkosaan. Dan seberapa bahayapun kehadiran musuh, kita manusia tidak diberi pilihan lain kecuali harus menerimanya
sebagai sebuah kenyataan hidup. Boleh saja ada yang berpendapat lain, namun satu spirit dengan tokoh-tokoh pencinta kedamaian hidup seperti Dalai Lama, musuh sebenarnya juga menghadirkan fungsi-fungsi positif yang kontributif.

Dengan sedikit kejernihan saya ingin bertutur ke Anda, musuh sebenarnya pembawa-pembawa hadiah (kurir) yang diutus Tuhan. Ia diutus untuk membawakan banyak hadiah-hadiah kehidupan yang teramat berguna. Siapa saja yang membenci musuh secara amat berlebihan, apa lagi memutuskan untuk tidak bertemu musuh sama sekali, ia tidak akan pernah bisa menerima hadiah-hadiah amat berguna yang sengaja dikirim Tuhan khusus untuk kita. Sebutlah hadiah yang bernama kesabaran dan kearifan hidup. Keduanya secara amat meyakinkan dikirim Tuhan melalui tangan-tangan musuh. Dengan menemui musuh, awalnya banyak manusia memang harus mengurut-urut dada tanda mengeluh. Namun begitu dibiasakan, tidak saja kegiatan mengurut dada yang berkurang, tetapi kesabaran dan kearifanpun menjadi milik kita. Demikian juga dengan hadiah yang bernama keberanian. Siapa saja yang takut bertemu musuh, pada saat yang sama sedang memproduksi diri jadi seorang penakut dan pengecut. Alasan-alasan hidup tenang dan damai dengan cara tidak bertemu musuh bisa
saja diterima, namun jangan pernah lupa, musuh membawa kekuatan-kekuatan dari dalam (inner strength) yang hanya bisa dimiliki oleh siapa saja yang berani menghadapinya.

Hadiah Tuhan yang lain yang dibawa secara amat rajin oleh musuh adalah kedewasaan dan kematangan pribadi. Dulunya saya sering mengeluh kenapa dipertemukan dengan musuh-musuh yang demikian kejam dan arogan. Namun, kesediaan untuk senantiasa maju dan bertemu mereka, menghadiahkan sejumlah kedewasaan dan kematangan pribadi. Kualitas kematangan yang tidak pernah bisa diberikan oleh sekolah saya baik yang di Inggris maupun yang di Prancis. Dan hadiah terpenting yang kerap dibawa musuh adalah kualitas peace of mind. Awalnya, kehadiran musuh memang mengganggu kedamaian hidup. Namun begitu tubuh dan jiwa ini dibiasakan untuk selalu bertemu penuh ketenangan dengan musuh-musuh, ada serangkaian kualitas kedamaian yang perlahan datang.

Kemarahan dan kebencian yang selalu mengikuti siapa saja yang malas bertemu musuh, dengan sedikit ketenangan bisa mengusir kemarahan dan kebencian. Lebih dalam dari sekadar kemampuan mengusir kebencian dan kemarahan, frekuensi bertemu musuh yang cukup sering membuat kita sampai pada kualitas 'pemahaman' tentang kedamaian yang amat dan teramat mendalam. Rupanya, kedamaian yang lebih abadi bersembunyi dalam pemahaman yang kaya pembanding. Dan musuh, menghadirkan pembanding hidup yang amat mengagumkan. Saya amat dan teramat beruntung pernah bertemu musuh yang sangat kejam dan arogan. Ibarat film yang diputar-putar setiap hari, demikianlah memori saya menghadirkan pembanding kehidupan yang menjadi bahan pemahaman kedamaian yang lebih abadi. Tanpa pernah bertemu musuh yang kejam dan arogan, dan merasakan bagaimana tidak enaknya diperlakukan demikian, bisa jadi telah lama saya menjadi manusia angkuh dan sombong.

Bercermin dari sini, kalau dulu saya menakuti musuh, sekarang saya sedang mendidik diri untuk tanpa ragu bertemu musuh-musuh. Sebab, ia adalah kurir pembawa hadiah-hadiah mengagumkan yang dikirim Tuhan kepada kita. Punyakah Anda keberanian untuk itu ?

Senin, 22 Desember 2008

Sadarkah Kita

Sadarkah Kita.
                                                       
Sadarkah kita bahwa :
Kita dilahirkan dengan dua mata di depan, karena seharusnya kita melihat yang ada di depan, kita lahir dengan dua telinga,
satu kiri dan satu di kanan sehingga kita dapat mendengar dari kedua sisi. Menangkap pujian maupun kritikan, dan melihat mana yang benar.

Kita dilahirkan dengan otak tersembunyi di kepala, sehingga bagaimanapun miskinnya kita, kita tetap kaya. Tak seorang pun
yang dapat mencuri isi otak kita, yang lebih berharga dari segala permata yang ada.

Kita dilahirkan dengan dua mata, dua telinga, namun cukup dengan satu mulut. Karena mulut tadi adalah senjata yang tajam, yang dapat melukai, memfitnah, bahkan membunuh. Lebih baik sedikit bicara, tapi banyak mendengar dan melihat.

Kita dilahirkan dengan satu hati, yang mengingatkan kita untuk menghargai dan memberikan cinta kasih dari dalam lubuk
hati. Belajar untuk mencintai dan menikmati dicintai, tetapi jangan mengharapkan orang lain mencintai anda dengan cara dan
sebanyak yang sudah anda berikan. Berikanlah cinta tanpa mengharapkan balasan, maka anda akan menemukan bahwa hidup ini akan menjadi lebih indah.

Jumat, 19 Desember 2008

KIAT MEMBESARKAN ANAK

KIAT MEMBESARKAN ANAK
Sumber eKonsel Edisi September

Membesarkan anak bukanlah masalah sepele. Saya percaya bahwa para pembaca yang adalah orangtua (terutama ibu) akan membenarkan kalimat ini. Sebagaimana hubungan suami-istri akan mempengaruhi hubungan orangtua-anak, demikian pulalah hubungan orangtua-anak akan mempengaruhi hubungan suami-istri. Hubungan suami-istri yang sehat dan kuat cenderung menghasilkan anak-anak yang sehat dan kuat pula. Hubungan suami-istri yang lemah dan sakit-sakitan, cenderung membuahkan anak-anak yang lemah dan sakit-sakitan pula. Namun kebalikannya juga betul. Hubungan orangtua-anak yang lemah dan sakit-sakitan cenderung menghasilkan (atau merupakan tanda) hubungan suami-istri yang lemah dan sakit-sakitan. Dr. James Dobson, seorang psikolog dari Amerika, sangat menyadari peranan penting dari cara membesarkan anak yang sehat dalam keharmonisan hubungan suami-istri. Dalam bukunya "The New 'Dare to Discipline'" yang kemudian diintisarikan dalam majalah "Focus on the Family" (March, 1994) ia menjabarkan lima kiat membesarkan anak.

Kiat Pertama:
Menumbuhkan respek pada orangtua merupakan faktor yang sangat penting dalam membesarkan anak

Ada tiga alasan yang membuat hal ini penting, antara lain :
1) Karena sesunggguhnya anak belajar memberi respek kepada orang lain sewaktu ia belajar memberi respek kepada orangtuanya. Keluarga adalah unit sosial terkecil dan sering kali cara kita berinteraksi dan bereaksi terhadap dunia luar merupakan cermin dari bagaimana kita berinteraksi terhadap keluarga kita. Seorang anak yang tidak menghormati orangtuanya cenderung mengalami kesukaran menghormati figur-figur lain di luar rumahnya. Saya memahami adanya kasus-kasus tertentu di mana orangtua bukan hanya menelantarkan melainkan juga menindas anak mereka. Dalam kasus-kasus khusus seperti itu saya
menyadari kesukaran yang timbul bagi anak untuk menghormati orangtuanya. Namun saya percaya bahwa yang dimaksud oleh Dr. Dobson adalah kasus pada umumnya, dimana anak yang tidak dididik untuk hormat kepada orangtua cenderung menjadi anak yang sukar hormat kepada orang lain.

2) Karena respek pada orangtua akan menolong orangtua menanamkan nilai-nilai rohani dalam diri anak tatkala anak mencapai usia remaja. Apabila kita baru mau menanamkan pentingnya respek sewaktu anak menginjak remaja, niscaya kita telah terlambat dan akan mengalami kesulitan mengajarkan nilai-nilai rohani dalam dirinya.

3) Karena respek pada orangtua acap kali dikaitkan dengan respek pada Tuhan sendiri. Anak kecil yang belum berkemampuan berpikir secara abstrak sering kali mengasosiasikan figur orangtua, terutama ayah, dengan
figur Tuhan. Jadi, anak yang kurang ajar terhadap orangtua sejak kecil akan cenderung tidak respek
terhadap Tuhan pula.

Kiat Kedua:
Kesempatan terbaik untuk berdialog dengan anak adalah pada waktu kita baru saja mendisiplinkannya.

Membesarkan anak tidak terlepas dari konfrontasi dan disiplin karena adakalanya anak dengan sengaja melawan otoritas orangtua. Pada saat-saat seperti inilah penting bagi orangtua akan bertumbuh. Biasanya dalam saat konfrontasi dan disiplin seperti ini, anak akan meluap-luap dengan emosi dan setelah itu mengakhiri perlawanannya dengan tangisan. Ini adalah momen yang penting bagi kita, orangtua, untuk memeluk anak, mengatakan kepadanya bahwa kita mengasihinya dan memberi tahu anak akan kesalahannya. Dengan cara ini, anak akan memahami bahwa kita tidak menolaknya atau menghukum dirinya, melainkan menghukum perbuatannya. Jadi orangtua tidak seharusnya takut mendisiplin anak selama tidak berlebihan karena momen-momen seperti ini biasanya dapat mempererat hubungan orangtua-anak.

Kiat Ketiga:
Kendalikan anak tanpa berteriak-teriak. Menurut Dr.Dobson, berteriak-teriak memarahi anak tidak menyelesaikan masalah, malah akan membuat anak terbiasa dengan kemarahan orangtua. Menggunakan teriakan kemarahan untuk mengendalikan anak sama dengan mencoba menjalankan mobil dengan cara membunyikan klakson. Oleh karena itu cara yang lebih efektif adalah memanfaatkan sesuatu yang penting baginya. Saya setuju dengan pandangan Dr. Dobson ini karena saya pun menyaksikan betapa cepatnya anak-anak kami makan tatkala istri saya berkata, "Kalau tidak selesai makan, kalian tidak boleh ikut pergi." Bagaikan pelari yang mendekati garis final, demikian pula mereka berlari menuju meja makan dan makan dengan lahap -- tanpa kami harus berteriak-teriak marah.

Kiat Keempat :
Jangan melimpahi anak dengan materi. Pada waktu kita hidup dalam kekurangan, tidaklah sukar bagi kita untuk menolak permintaan anak dengan alasan bahwa kita tidak memiliki uang untuk membeli barang yang ia minta itu. Namun tatkala kita mempunyai uang, menolak permintaan anak menjadi cukup sulit. Kita seakan-akan tidak lagi memiliki alasan untuk menolak permintaannya. Setiap kali kami sekeluarga mengunjungi pasar swalayan, anak-anak selalu mengajak kami (sudah tentu dengan rayuan) untuk melihat-lihat di tempat penjualan mainan anak-anak dan setiap kali pula mereka meminta kami untuk membelikan sesuatu. Biasanya saya menolak permintaan mereka dengan alasan harganya, bagi kami terlalu tinggi. Dasar anak-anak, sekarang mereka mengubah taktik mereka. Setelah mangumandangkan permintaan mereka, pertanyaan pertama
yang mereka ajukan adalah, apakah harganya mahal atau tidak. Masalah mulai timbul (bagi kami), karena adakalanya barang yang mereka inginkan harganya memang tidak terlalu tinggi. Sedangkan alasan utama kenapa kami tidak bersedia membelikan barang itu adalah karena kami ingin membatasi barang mainan mereka agar tidak melimpah-ruah dan hilang nilainya. Akhirnya saya terpaksa mengatakan bahwa kami tidak dapat membelikan mainan itu karena mereka sudah memiliki mainan sejenis
itu atau kami menjanjikan untuk membelikan mainan itu pada hari ulang tahun mereka.

Dr. Dobson menekankan bahwa anak yang dilimpahi dengan materi iscaya mengalami kesukaran menghargai milik kepunyaannya. Saya menambahkan, anak yang tidak pernah menghargai milik kepunyaannya cenderung berkembang menjadi seseorang yang tidak berterima kasih dan mementingkan diri sendiri. Anak ini cenderung menjadi seseorang yang egois dan mementingkan haknya belaka, tanpa memikirkan kewajibannya dan kepentingan orang lain. Ia tidak mungkin menghargai pengorbanan orang lain dan tidak mengenal nilai pengorbanan diri. Segala sesuatu menjadi terlalu mudah baginya dan ia
pun akhirnya cenderung memudahkan atau meremehkan segala sesuatu. Ingatlah, membatasi kepunyaan mereka tidaklah sama dengan menyengsarakan mereka. Membatasi keinginan anak penting untuk kita lakukan pada abad kemakmuran materi ini demi kebaikannya sendiri.

Kiat Kelima:
Menjaga keseimbangan antara kasih dan disiplin. Terakhir, Dr. Dobson menjelaskan kita membesarkan anak adalah menjaga keseimbangan antara kasih dan disiplin. Ia menuturkan sebuah cerita yang pernah terjadi pada abad ke-13 di mana Raja Frederick II mengadakan sebuah percobaan dengan 50 bayi. Tujuan eksperimen ini ialah untuk mengetahui bahasa apa yang akan digunakan oleh anak-anak ini apabila mereka dibesarkan tanpa pernah mendengar perkataan apapun. Raja tersebut meminta ibu pengasuh ini untuk membersihkan dan memberi mereka makan namun melarang para pengasuh ini untuk membelai ataupun berbicara kepada bayi-bayi ini. Percobaan ini ternyata gagal total karena akhirnya kelima puluh bayi
ini akhirnya meninggal dunia.

Seorang anak membutuhkan kasih sayang dan penerimaan orangtuanya sama seperti ia memerlukan makanan dan minuman. Tanpa kasih sayang dan penerimaan, ia akan bertumbuh besar menjadi seorang manusia yang haus dan lapar akan kasih serta penerimaan orang lain. Namun ia pun memerlukan disiplin yang akan menolongnya menguasai diri dan patuh kepada otoritas di atasnya. Disiplin membantunya hidup dalam kerangka atau struktur sehingga ia tidak berkembang menjadi liar tak terkendali bahkan oleh dirinya sendiri. Disiplin diperlukan sebagai sarana orangtua mengkomunikasikan pelajaran-pelajaran bermakna yang ia perlukan.

Dr. Dobson menyimpulkan, "Tatkala anak menantang dan memberontak, menangkanlah tantangan itu dengan meyakinkan. Ketika anak bertanya, 'Siapakah yang berkuasa (di rumah ini)?' -- beri tahu dia bahwa andalah, sebagai orangtua, yang berkuasa (di rumah ini). Saat ia bergumam, 'Siapakah yang mengasihi saya?' -- dekaplah ia dalam pelukan Anda dan penuhi
dia dengan kasih sayang. Perlakukan dia dengan respek dan penuh penghargaan dan tuntutlah perlakuan yang sama darinya."

Selasa, 16 Desember 2008

Sebuah contoh pengendalian diri

Sebuah contoh pengendalian diri

Beberapa bulan yg lalu di meja pemesanan kamar hotel, saya melihat suatu
kejadian yg bagus sekali, bagaimana seseorang menghadapi orang yg penuh
emosi.

Saat itu pukul 17:00 lebih sedikit, dan hotel sibuk mendaftar tamu-tamu
baru. Orang di depan saya memberikan namanya kepada pegawai di belakang meja
dengan nada memerintah.

Pegawai tsb berkata, "Ya, Tuan, kami sediakan satu kamar 'single' untuk Anda."
"Single," bentak orang itu, "Saya memesan double."
Pegawai tsb berkata dg sopan, "Coba saya periksa sebentar."
Ia menarik permintaan pesanan tamu dari arsip dan berkata, "Maaf, Tuan.
Telegram Anda menyebutkan single. Saya akan senang sekali menempatkan Anda
di kamar double, kalau memang ada. Tetapi semua kamar double sudah penuh."
Tamu yg berang itu berkata, "Saya tidak peduli apa bunyi kertas itu, saya
mau kamar double."
Kemudian ia mulai bersikap "anda-tau-siapa-saya," diikuti
dengan "Saya akan usahakan agar Anda dipecat. Anda lihat nanti. Saya
akan buat Anda dipecat."
Di bawah serangan gencar, pegawai muda tsb menyela, "Tuan, kami menyesal
sekali, tetapi kami bertindak berdasarkan instruksi Anda."
Akhirnya, sang tamu yg benar-benar marah itu berkata, "Saya tidak akan mau
tinggal di kamar yg terbagus di hotel ini sekarang manajemennya benar-benar
buruk," dan ia pun keluar.

Saya menghampiri meja penerimaan sambil berpikir si pegawai pasti marah
setelah baru saja dimarahi habis-habisan. Sebaliknya, ia menyambut semua dengan
salam yg ramah sekali "Selamat malam, Tuan."
Ketika ia mengerjakan pekerjaan rutin yg biasa dalam mengatur kamar
untuk saya, saya berkata kepadanya, "Saya mengagumi cara Anda mengendalikan
diri tadi. Anda benar-benar sabar."
"Ya, Tuan," katanya, "Saya tidak dapat marah kepada orang seperti itu. Anda
lihat, ia sebenarnya bukan marah kepada saya. Saya cuma korban pelampiasan
kemarahannya. Orang yg malang tadi mungkin baru saja ribut dg istrinya, atau
bisnisnya mungkin sedang lesu, atau barangkali ia merasa rendah diri, dan
ini adalah peluang emasnya untuk melampiaskan kekesalannya."

Pegawai tadi menambahkan, "Pada dasarnya ia mungkin orang yg sangat baik.
Kebanyakan orang begitu."
Sambil melangkah menuju lift, saya mengulang-ulang perkataannya, "Pada
dasarnya ia mungkin orang yg sangat baik. Kebanyakan orang begitu."

Ingat dua kalimat itu kalau ada orang yg menyatakan perang pada Anda. Jangan
membalas. Cara untuk menang dalam situasi seperti ini adalah membiarkan
orang tsb melepaskan amarahnya, dan kemudian lupakan saja.

(by David J.S.)

Senin, 15 Desember 2008

Mengubah dunia

Mengubah dunia

Sufi Bayazid berceritera tentang dirinya seperti berikut ini :

"Waktu masih muda, aku ini revolusioner dan aku selalu berdoa : Tuhan, berilah aku kekuatan untuk mengubah dunia!

Ketika aku sudah separuh baya dan sadar bahwa setengah hidupku sudah lewat tanpa mengubah satu orang pun, aku mengubah doaku menjadi : Tuhan, berilah aku rahmat untuk mengubah semua orang yang berhubungan denganku : keluarga dan kawan-kawanku, dan aku akan merasa puas dan berarti!

Sekarang ketika aku sudah menjadi tua dan saat kematianku sudah dekat, aku mulai melihat betapa bodohnya aku, doaku satu-satunya sekarang adalah : Tuhan, berilah aku rahmat untuk mengubah diriku sendiri!

Seandainya sejak semula aku berdoa begitu, maka aku tidak begitu menyia-nyiakan hidupku!"
 
(disadur dari A. de Mello SJ, Burung-burung berkicau, CLC, 1994, hlm 187)

Jumat, 12 Desember 2008

Belajar dari ulat

Belajarlah Dari Ulat

Bagi penggemar tanaman atau yang memiliki hobi berkebun, seringkali
menemukan binatang yang menjengkelkan, dimana dedaunan muda yang tumbuh
segar, menjadi tak beraturan dan bolong-bolong bahkan habis dan tinggal
tangkainya saja. Ternyata setelah kita perhatikan ada hewan yang biasanya
berwarna hijau, sehijau dedaunan untuk kamuflase, binatang tersebut
adalah ulat.

Ulat adalah salah satu binatang yang sangat rakus dalam melahap hijaunya
dedaunan tanaman yang kita sayangi. Rasa marah yang sangat bila kita jumpai
tanaman kesayangan kita telah habis dedaunannya, bahkan hanya tinggal
ranting-ranting saja. Sedih dan marah rasanya karena usaha kita terasa
terampas begitu saja karena ulah sang ulat.

Dibalik kekesalan dan rasa marah, pernahkah kita mencoba untuk melihat atau
sedikit tertegun mengernyitkan dahi atas ulah sang ulat tersebut atau
sebaliknya kita membunuhnya untuk melampiaskan kekesalan hati, setega itukah
?

Hasil yang diakibatkan oleh ulah sang ulat memang sangat mengesankan bila
dibanding dengan wujud ulat yang lemah dan lunak tubuhnya. Melihat dari
akibat yang dihasilkan maka dapat kita katakan bahwa karakter ulat adalah
pekerja keras dalam menggunduli dedaunan tanaman kita, seakan-akan mereka
seperti dikejar deadline dan harus buru-buru untuk menyelesaikan. Hasilnya
sangat mengesalkan sekali buat kita, yaitu tanaman yang gundul dalam waktu
yang relatif singkat dan sekali lagi sungguh mengesankan.

Dalam menjalani misinya sang ulat tak membiarkan sedikit waktu terbuang.
Sang ulat baru berhenti ketika sampai pada saat yang ditentukan dimana ia
harus berhenti makan untuk menuju ke dalam kondisi puasa yang keras. Puasa
yang sangat ketat tanpa makan tanpa minum sama sekali, dalam lingkupan
kepompong yang sempit dan gelap.

Pada masa kepompong ini terjadi sebuah peristiwa yang sangat menakjubkan,
masa dimana terjadi transformasi dari seekor ulat yang menjijikkan menjadi
kupu-kupu yang elok dan indahnya dikagumi manusia. Sang kupu-kupu yang
terlahir seakan-akan menjadi makhluk baru yang mempunyai perwujudan dan
perilaku yang baru dan sama sekali berubah.

Haruskah kita membiarkan begitu saja sebuah peristiwa yang sangat indah dan
mengesankan ini, tentu tidak. Sebenarnya kita patut malu bila melihat tabiat
ulat yang pekerja keras. Ulat seakan tak mempunyai waktu yang terluang dan
terbuang sedikitpun. Waktu yang tersedia adalah waktu yang sangat berharga
bagi ulat untuk menggemukkan badan sebagai persiapan menuju sebuah keadaan
dimana diperlukan energi yang besar yaitu masa kepompong, seakan
dikejar-kejar oleh deadline sehingga sang ulat tak pernah beristirahat
sejenakpun untuk terus melahap dedaunan.

Berpacunya sang ulat dengan waktu, ternyata disebabkan sang ulat telah
mempunyai sebuah tujuan yang sangat jernih dan jelas yaitu mengumpulkan
semua potensi yang ada untuk menghadapi satu saat yang sangat kritis yaitu
masa kepompong, dimana pada masa kepompong tersebut dibutuhkan persiapan
yang prima. Datangnya masa kepompong adalah sebuah keniscayaan, maka sang
ulat mempersiapkan dengan kerja keras untuk menghadapinya.

Sebuah persiapan diri dengan kerja keras dilakukan juga pada hewan-hewan
yang mengalami musim dingin. Di mana untuk menghadapi masa sulit di musim
dingin, banyak hewan yang melakukan hibernasi selama musim dingin di
gua-gua atau liang-liang, agar terhindar dari ganasnya musim dingin. Agar
tubuh tetap hangat dan tersedianya energi maka sebelum menjelang musim
dingin, hewan-hewan tersebut akan menumpuk lemak sebanyak-banyaknya di
dalam tubuhnya, untuk dipakai sebagai bekal dalam tidur panjangnya.

Lalu coba kita berkaca dan mereview diri kita, adakah semangat yang luar
biasa selayaknya ulat yang telah menggunduli dedaunan, bukankah sebuah masa
depan dan tanggung jawab yang begitu beratnya harus kita pikul dan tunaikan.
Namun kita terbuai dan masih sering suka bermain-main, selayaknya tertipu
oleh permainan yang sangat melenakan.

Masa-masa dalam kehidupan kita sebagai individu atau kelompok, pasti tak
akan pernah luput dari masa yang menyenangkan dan kemudian digantikan
masa-masa yang sulit, itu adalah sebuah kepastian, sepasti bergantinya musim
hujan disongsong oleh musim kemarau yang memayahkan.

Di dalam masa-masa senang satu saat akan berganti menjadi masa yang sulit
dan bahkan menjadi sebuah musibah karena mengintai sebuah keterlenaan.
Sungguh benar hadist nabi untuk mengambil kesempatan lima sebelum lima: muda
sebelum tua, sehat sebelum sakit, kaya sebelum miskin, hidup sebelum mati
dan senggang sebelum sibuk. Dan bukankah kita telah diwanti-wanti
untuk senantiasa mempersiapkan diri dengan apa saja yang kita mampu, untuk
menggentarkan hati musuh-musuh kita.

Janganlah kita terlena bahkan kalah dengan hewan yang bernama ulat yang
mempunyai etos kerja unggul dan memiliki pola pandang yang jauh ke depan
yang meniti masa depan tersebut dengan kerja keras, karena masa depan dengan
kesulitan dan cobaan itu pasti akan datang dan menghampiri kita, maka
persiapan yang matang dan kerja keras yang mampu menolong kita dan
bukan kemalasan dan menunda-nunda pekerjaan.

Rabu, 10 Desember 2008

Pemberian terbaik

Pemberian Terbaik
Suatu ketika, hiduplah seorang petani bersama keluarganya. Mereka menetap di sebuah kerajaan yang besar, dengan raja yang adil dan bijaksana. Beruntunglah siapa saja yang tinggal disana. Tanahnya subur, keadaannya pun aman dan sentosa. Semuanya hidup berdampingan, tanpa pernah mengenal perang ataupun bencana.

Setiap pagi, sang petani selalu pergi ke sawah. Tak lupa ia membawa bajak dan kerbau peliharaannya. Walaupun sudah tua, namun bajak dan kerbau itu selalu setia menemaninya bekerja. Sisi-sisi kayu dan garu bajak itu tampak mengelupas, begitupun kerbau yang sering tampak letih jika bekerja terlalu lama. "Inilah hartaku yang paling berharga", demikian gumam petani itu dalam hati, sembari melayangkan pandangannya ke arah bajak dan kerbaunya.

Tak seperti biasa, tiba-tiba ada serombongan pasukan yang datang menghampiri petani itu. Tampak pemimpin pasukan yang maju, lalu berkata, "Berikan bajak dan kerbaumu kepada kami. "Ini perintah Raja!". Suara itu terdengar begitu keras, mengagetkan petani itu yang tampak masih kebingungan.

Petani itu lalu menjawab : "Untuk apa, sang Raja menginginkan bajak dan kerbauku ? Ini adalah hartaku yang paling berharga, bagaimana aku bisa bekerja tanpa itu semua". Petani itu tampak menghiba, memohon agar diberikan kesempatan untuk tetap bekerja. "Tolonglah, kasihani anak dan istriku...berilah kesempatan sampai besok. Aku akan membicarakan dengan keluargaku..."

Namun, pemimpi pasukan berkata lagi, "Kami hanya menjalankan perintah dari Baginda. Terserah, apakah kau mau menjalankannya atau tidak. Namun, ingatlah, kekuasaannya sangat kuat. "Petani semacam kau tak akan mampu melawan perintahnya." Akhirnya, pasukan itu berbalik arah, dan kembali ke arah istana.

Di malam hari, petani pun menceritakan kejadian itu dengan keluarganya. Mereka tampak bingung dengan keadaan ini. Hati bertanya-tanya, "Apakah baginda sudah mulai kehilangan kebijaksanaannya? Kenapa baginda tampak tak melindungi rakyatnya dengan mengambil bajak dan kerbau kita? Gundah, dan resah melingkupi keluarga itu. Namun, akhirnya, mereka hanya bisa pasrah dan memilih untuk menyerahkan kedua benda itu kepada raja.

Keesokan pagi, sang petani tampak pasrah. Bersama dengan bajak dan kerbaunya, ia melangkah menuju arah istana. Petani itu ingin memberikan langsung hartanya yang paling berharga itu kepada Raja. Tibalah ia di halaman Istana, dan langsung di terima Raja. "Baginda, hamba hanya bisa pasrah. Walaupun hamba merasa sayang dengan harta itu, namun hamba ingin membaktikan diri kepada Baginda. Duli Paduka, terimalah pemberian ini...."

Baginda Raja tersenyum. Sambil menepuk kedua tangannya, ia tampak memanggil pengawal. "Pengawal, buka selubung itu!! Tiba-tiba, terkuaklah selubung di dekat taman. Ternyata, disana ada sebuah bajak yang baru dan kerbau yang gemuk. Kayu-kayu bajak itu tampak kokoh, dengan urat-urat kayu yang mengkilap. Begitupun kerbau, hewan itu begitu gemuk, dengan kedua kaki yang tegap.

Sang Petani tampak kebingungan. Baginda mulai berbicara : "Sesungguhnya, aku telah mengenal dirimu sejak lama. Dan aku tahu kau adalah petani yang rajin dan baik. Namun, aku ingin mengujimu dengan hal ini. Ternyata, kau memang benar-benar hamba yang baik. Engkau rela memberikan hartamu yang paling berharga untukku. Maka, terimalah hadiah dariku. Engkau layak menerimanya...."

Petani itu pun bersyukur dan ia pun kembali pulang dengan hadiah yang sangat besar, buah kebaikan dan baktinya pada sang Raja.

Rekan-rekan Alumni Pika, bisa jadi, tak banyak orang yang bisa berlaku seperti petani tadi. Hanya sedikit orang yang mau memberikan harta yang terbaik yang dimilikinya kepada yang lain. Namun, petani tersebut adalah satu dari orang-orang yang sedikit itu. Dan ia, memberikan sedikit pelajaran buat kita.

Sesungguhnya, Tuhan sering meminta kita memberikan yang terbaik yang kita punya untuk-Nya. Tuhan, sering memerintahkan kita untuk mau menyampaikan yang paling berharga, hanya ditujukan pada-Nya. Bukan, bukan karena Tuhan butuh semua itu, dan juga bukan karena Tuhan kekurangan. Namun karena sesungguhnya Tuhan Maha Kaya, dan Tuhan sedang menguji setiap hamba-Nya.

Tuhan sedang menguji, apakah hamba-Nya adalah bagian dari orang-orang yang beriman dan mau bersyukur. Tuhan sedang menguji, apakah ada dari hamba-hamba-Nya yang mau menafkahkan harta di jalan-Nya. Dan Tuhan, pasti akan memberikan balasan atas upaya itu dengan pemberian yang tak akan kita bayangkan. Imbalan dan pahala yang akan kita terima, sesungguhya akan mampu membuat kita paham, bahwa Tuhan memang Maha Pemberi Kemuliaan. 

Mari kita berikan yang terbaik yang kita punya kepada-Nya. Marilah kita tujukan waktu, kerja dan usaha kita yang terbaik hanya kepada-Nya. Karena sesungguhnya memang, kita tak akan pernah menyadari balasan apa yang akan kita terima atas semua itu.

Tuhan selalu punya banyak cara-cara rahasia untuk memberikan kemuliaan bagi hamba-Nya. Dan Dia akan selalu memberikan pengganti yang lebih baik untuk semua yang ikhlas kita berikan pada-Nya.

Selasa, 09 Desember 2008

Aku Menangis Untuk Adikku

Aku Menangis Untuk Adikku

Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat terpencil. Hari demi
hari, orang tuaku membajak tanah kering kuning, dan punggung mereka
menghadap ke langit. Aku mempunyai seorang adik, tiga tahun lebih muda
dariku.

Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang mana semua gadis
disekelilingku kelihatannya membawanya, Aku mencuri lima puluh sen dari laci
ayahku. Ayah segera menyadarinya. Beliau membuat adikku dan aku berlutut
didepan tembok, dengan sebuah tongkat bambu di tangannya :
"Siapa yang mencuri uang itu?" Beliau bertanya.
Aku terpaku, terlalu takut untuk berbicara. Ayah tidak mendengar siapa pun
mengaku, jadi Beliau mengatakan:
"Baiklah, kalau begitu, kalian berdua layak dipukul!".
Dia mengangkat tongkat bambu itu tingi-tinggi. Tiba-tiba, adikku
mencengkeram tangannya dan berkata:
"Ayah, aku yang melakukannya! ".
Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku bertubi-tubi. Ayah begitu
marahnya sehingga ia terus menerus mencambukinya sampai Beliau kehabisan
nafas. Sesudahnya, Beliau duduk di atas ranjang batu bata kami dan memarahi:

"Kamu sudah belajar mencuri dari rumah sekarang, hal memalukan apa lagi yang
akan kamu lakukan di masa mendatang? ... Kamu layak dipukul sampai mati!
Kamu pencuri tidak tahu malu!".

Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan kami. Tubuhnya penuh
dengan luka, tetapi ia tidak menitikkan air mata setetes pun. Di pertengahan
malam itu, saya tiba-tiba mulai menangis meraung-raung.

Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan berkata :
"Kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi."

Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki cukup keberanian
untuk maju mengaku. Bertahun-tahun telah lewat, tapi insiden tersebut masih
kelihatan seperti baru kemarin. Aku tidak pernah akan lupa tampang adikku
ketika ia melindungiku. Waktu itu, adikku berusia 8 tahun. Aku berusia
11.Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia lulus untuk masuk
ke SMA di pusat kabupaten. Pada saat yang sama, saya diterima untuk masuk
kesebuah universitas propinsi. Malam itu, ayah berjongkok di halaman,
menghisap rokok tembakaunya, bungkus demi bungkus. Saya mendengarnya
memberengut: "Kedua anak kita memberikan hasil yang begitu baik...hasil yang
begitu baik..."
Ibu mengusap air matanya yang mengalir dan menghela nafas. Sambil berkata :
"Apa gunanya? Bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduanya sekaligus?".
Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah dan berkata:
"Ayah, saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi, telah cukup membaca banyak
buku."
Ayah mengayunkan tangannya dan memukul adikku pada wajahnya sambil berkata :
"Mengapa kau mempunyai jiwa yang begitu keparat lemahnya?. Bahkan jika
berarti saya mesti mengemis di jalanan saya akan menyekolahkan kamu berdua
sampai selesai!".

Dan begitu kemudian ia mengetuk setiap rumah di dusun itu untuk meminjam
uang. Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa ke muka adikku yang
membengkak, dan berkata :
"Seorang anak laki-laki harus meneruskan sekolahnya; kalau tidak ia tidak
akan pernah meninggalkan jurang kemiskinan ini."

Aku, sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak lagi meneruskan ke
universitas. Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang, adikku
meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit kacang
yang sudah mengering. Dia menyelinap ke samping ranjangku dan meninggalkan
secarik kertas di atas bantalku:

"Kak, masuk ke universitas tidaklah mudah. Saya akan pergi mencari kerja dan
mengirimu uang.".
Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku, dan menangis dengan
airmata bercucuran sampai suaraku hilang. Tahun itu, adikku berusia 17 tahun
& aku 20. Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun, dan uang yang
adikku hasilkan dari mengangkut semen pada punggungnya di lokasi konstruksi,
aku akhirnya sampai ke tahun ketiga (di universitas). Suatu hari, aku sedang
belajar di kamarku, ketika teman sekamarku masuk dan memberitahukan :

"Ada seorang penduduk dusun menunggumu di luar sana !".
Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku? Aku berjalan keluar, dan
melihat adikku dari jauh, seluruh badannya kotor tertutup debu semen
danpasir. Aku menanyakannya :
"Mengapa kamu tidak bilang pada teman sekamarku kamu adalah adikku?"
Dia menjawab, tersenyum, "Lihat bagaimana penampilanku. Apa yang akan mereka
pikir jika mereka tahu saya adalah adikmu? Apa mereka tidak akan
menertawakanmu?"
Aku merasa terenyuh, dan air mata memenuhi mataku. Aku menyapu debu-debu
dari adikku semuanya, dan tersekat-sekat dalam kata-kataku:

"Aku tidak perduli omongan siapa pun! Kamu adalah adikku apa pun juga! Kamu
adalah adikku bagaimana pun penampilanmu. ..".
Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk kupu-kupu. Ia
memakaikannya kepadaku, dan terus menjelaskan:
"Saya melihat semua gadis kota memakainya. Jadi saya pikir kamu juga harus
memiliki satu."
Aku tidak dapat menahan diri lebih lama lagi. Aku menarik adikku ke dalam
pelukanku dan menangis dan menangis. Tahun itu, ia berusia 20. Aku 23.

Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah, kaca jendela yang pecah telah
diganti, dan kelihatan bersih di mana-mana. Setelah pacarku pulang, aku
menari seperti gadis kecil di depan ibuku.
"Bu, ibu tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu untuk membersihkan
rumah kita!"
Tetapi katanya, sambil tersenyum :
"Itu adalah adikmu yang pulang awal untuk membersihkan rumah ini. Tidakkah
kamu melihat luka pada tangannya? Ia terluka ketika memasang kaca jendela
baru itu..".
Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat mukanya yang kurus, seratus
jarum terasa menusukku. Aku mengoleskan sedikit saleb pada lukanya dan
mebalut lukanya.aku bertanya :
"Apakah itu sakit ?".

"Tidak, tidak sakit. Kamu tahu, ketika saya bekerja di lokasi konstruksi,
batu-batu berjatuhan pada kakiku setiap waktu. Bahkan itu tidak
menghentikanku bekerja dan..." Ditengah kalimat itu ia berhenti.
Aku membalikkan tubuhku memunggunginya, dan air mata mengalir deras turun
kewajahku. Tahun itu, adikku 23. Aku berusia 26.

Ketika aku menikah, aku tinggal di kota . Banyak kali suamiku dan aku
mengundang orang tuaku untuk datang dan tinggal bersama kami, tetapi mereka
tidak pernah mau. Mereka mengatakan, sekali meninggalkan dusun, mereka
tidakakan tahu harus mengerjakan apa. Adikku tidak setuju juga, mengatakan :
"Kak, jagalah mertuamu aja. Saya akan menjaga ibu dan ayah di sini."

Suamiku menjadi direktur di pabriknya. Kami menginginkan adikku mendapatkan
pekerjaan sebagai manajer pada departemen pemeliharaan. Tetapi adikku
menolak tawaran tersebut. Ia bersikeras memulai bekerja sebagai pekerja
reparasi.

Suatu hari, adikku diatas sebuah tangga untuk memperbaiki sebuah kabel,
ketika ia mendapat sengatan listrik, dan masuk rumah sakit. Suamiku dan aku
pergi menjenguknya. Melihat gips putih pada kakinya, saya menggerutu:
"Mengapa kamu menolak menjadi manajer? Manajer tidak akan pernah harus
melakukan sesuatu yang berbahaya seperti ini. Lihat kamu sekarang, luka yang
begitu serius. Mengapa kamu tidak mau mendengar kami sebelumnya?"

Dengan tampang yang serius pada wajahnya, ia membela keputusannya :
"Pikirkan kakak ipar...ia baru saja jadi direktur, dan saya hampir tidak
berpendidikan. Jika saya menjadi manajer seperti itu, berita seperti apa
yang akan dikirimkan?"
Mata suamiku dipenuhi air mata, dan kemudian keluar kata-kataku yangsepatah-
sepatah :
"Tapi kamu kurang pendidikan juga karena aku!"
"Mengapa membicarakan masa lalu?" Adikku menggenggam tanganku. Tahun itu,ia
berusia 26 dan aku 29.

Adikku kemudian berusia 30 ketika ia menikahi seorang gadis petani dari
dusun itu. Dalam acara pernikahannya, pembawa acara perayaan itu bertanya
kepadanya:
"Siapa yang paling kamu hormati dan kasihi?".
Tanpa bahkan berpikir ia menjawab :
"Kakakku."

Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah kisah yang bahkan
tidakdapat kuingat :
"Ketika saya pergi sekolah SD, ia berada pada dusun yang berbeda. Setiap
hari kakakku dan saya berjalan selama dua jam untuk pergi ke sekolah dan
pulang ke rumah. Suatu hari, Saya kehilangan satu dari sarung tanganku.
Kakakku memberikan satu dari kepunyaannya. Ia hanya memakai satu saja dan
berjalan sejauh itu. Ketika kami tiba di rumah, tangannya begitu gemetaran
karena cuaca yang begitu dingin sampai ia tidak dapat memegang sumpitnya.
Sejak hari itu, saya bersumpah, selama saya masih hidup, saya akan menjaga
kakakku dan baik kepadanya."

Tepuk tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu memalingkan perhatiannya
kepadaku. Kata-kata begitu susah kuucapkan keluar bibirku akhirnya keluar
juga :
"Dalam hidupku, orang yang paling aku berterima kasih adalah adikku."
Dan dalam kesempatan yang paling berbahagia ini, di depan kerumunan perayaan
ini, air mata bercucuran turun dari wajahku seperti sungai.

Best Regard,
Rachel

Rabu, 03 Desember 2008

Mendefinisikan Ulang Kesuksesan

Mendefinisikan Ulang Kesuksesan

Hal apa yang paling diinginkan semua manusia ? Jawaban hanya satu : sukses.
Kesuksesan telah menjadi kebutuhan setiap insan manusia di muka bumi ini.
Itulah sebabnya orang menempuh berbagai cara untuk memperoleh. Salah
satunya  dengan jalan pendidikan formal. Sayangnya, sukses bukanlah hal yang
bisa  dengan mudah bisa diraih setiap orang. Orang bijak selalu berkata,
tidak  ada kesuksesan tanpa pengorbanan. There is no success without
sacrifice!

Meski sukses telah menjadi kebutuhan mutlak setiap manusia toh tidak
semua  orang memiliki pandangan yang sama tentang arti kesuksesan. Ada yang
menganggapnya sebagai kekayaan. Kelompok ini umumnya mencurahkan hidupnya
untuk menumpuk harta. Mereka melihat uang sebagai simbol kesuksesan. Itulah
sebabnya mereka menjadi serakah dan amat mendewakan uang. Uang menjadi
oksigen yang mutlak diperlukan bagi kehidupan mereka. Sayangnya orang-orang
seperti ini hidupnya hampa. Mereka umumnya cepat curiga terhadap orang
lain. Amat sulit bagi mereka untuk berpikir positif terhadap orang lain.
Kalau ada  yang mencoba dekat, mereka lantas berpikir : "Jangan-jangan orang
ini mau  mengambil harta saya." Seorang Mahaguru Kebijaksanaan pernah
berkata orang  yang menomorsatukan harta tidak akan menemukan arti hidup
yang sejati. "Sebab di mana hartanya berada, di situlah pula hatinya
berada," demikian  nasihat Sang Mahaguru.

Saya tidak memungkiri bahwa kekayaan--khususnya uang--penting bagi
hidup.  Siapa sih yang tidak butuh uang ? Sebuah lembaga keagamaan dan
lembaga sosial  pun butuh uang untuk kegiatan operasionalnya. Mana bisa kita
mendirikan  tempat ibadah tanpa uang yang merupakan sumbangan orang lain ?
Uang memang  penting tapi uang bukan segalanya. Uang adalah sarana untuk
membuat hidup  kita makin berarti. Baik bagi diri sendiri maupun orang lain.

Selain kekayaan, ada juga orang yang mengidentikkan kesuksesan dengan
ketenangan hidup. Kelompok ini tidak suka macam-macam. Sebagian bahkan
cenderung pasif dan menjauhkan diri dari kehidupan masyarakat. Sikap
seperti  ini juga merupakan sebuah pilihan dan kita tidak bisa mengatakan
itu  keliru.

Ada juga orang yang mengidentikkan kesuksesan dengan ketenaran. Mereka
rela menempuh jalan panjang yang menanjak demi popularitas. Terkadang
perjalanan panjang ini sangat melelahkan sehingga beberapa memilih jalan
pintas dengan mempraktekkan cara-cara kurang terpuji, seperti (maaf)
menjual  diri. Sudah bukan rahasia lagi kalau tidak sedikit penyanyi atau
bintang  film yang pernah tidur dengan produsernya. Tidak semua dari mereka
yang  mengambil jalan ini. Saya sendiri kenal dengan banyak artis yang tetap
mempertahankan kehormatannya daripada ditukar dengan popularitas.

Paham bahwa kesuksesan identik dengan ketenaran biasanya hanya terbukti
kebenarannya pada tahap awal. Lambat-laun, seiring makin meningkat
popularitas, banyak hal-hal tertentu terjadi yang pada akhirnya membuat
seorang tokoh publik (public figure) terpaksa menolak paham ini. Misalnya
dengan hilangnya privacy yang bersangkutan karena setiap gerak-geriknya
senantiasa diawasi masyarakat lewat pers. Terkadang saya sendiri amat iba
melihat bagaimana kehidupan seorang artis diobok-obok secara berlebihan
oleh  media massa. Pihak media selalu mengatakan bahwa apa yang disajikannya
adalah untuk memuaskan rasa ingin tahu pembaca atau penonton. Mungkin ada
benarnya juga. Yang pasti, jelaslah sudah bahwa kesuksesan tidak identik
dengan ketenaran.

Selanjutnya ada juga yang mendefiniskan kesuksesan dengan kesehatan yang
prima. Terhadap definisi ini terkadang saya mengajukan pertanyaan reflektif,
bukankah ada begitu banyak orang dengan kesehatan yang amat prima namun
hidupnya kosong ? Mereka sama sekali tidak berkarya dan berusaha menjadikan
hidupnya lebih berarti.

Jadi, apa sih definisi sukses yang tepat ? Saya tidak berpretensi menyebut
sebagai pakar kesuksesan karena saya pun masih terus belajar dan mencari
apa  arti sebuah sukses sejati. Yang pasti, saya pernah membaca satu
definisi  tentang sukses yang tampaknya cukup menarik untuk kita simak
bersama.
Menurut motivator terkenal, Zig Ziglar, sukses sejati mencakup delapan
bidang kehidupan, yakni: kebahagiaan, kesehatan, keuangan (kemakmuran),
keamanan, kualitas persahabatan (mempunyai banyak sahabat), hubungan
keluarga yang baik, pengharapan akan masa depan, dan kedamaian pikiran.
Itulah sebabnya kita sering mendengar orang berkata bahwa orang kaya belum
tentu sukses, namun orang yang sukses pasti kaya secara material dan
spiritual.

Meski demikian, sukses bukanlah sebuah tujuan akhir; sukses adalah
sebuah  perjalanan. Success is not a destination; success is a journey! Ya,
sukses  adalah sebuah perjalanan! Jika kita telah berhasil meraih sebuah
impian,  kita toh tetap harus meneruskan perjalanan. Akhir dari perjalanan
itu  adalah ketika kita menutup mata dan kembali ke hadirat-Nya. Motivator
dan pakar  kepemimpinan, Dr. John C. Maxwell selalu menegaskan agar dalam
perjalanan  sukses itu kita harus senantiasa melakukan apa yang harus kita
lakukan.

Intinya, tempuhlah perjalanan sukses dengan benar dan hargailah prosesnya
bukan hasil akhir. Bagaimana menurut Anda ? ***
Sumber : Internet

Selasa, 02 Desember 2008

Menempuh Perjalanan Sukses

Menempuh Perjalanan Sukses

Siapa manusia di dunia ini yang tidak menginginkan sukses ? Sejak jaman
dahulu kala sampai seterusnya sukses tetap menjadi sebuah impian, bahkan
kebutuhan mutlak setiap manusia. Sayangnya tidak semua orang memiliki
pemahaman yang memadai tentang apa itu sukses. Tak mengherankan jika
banyak  yang kemudian merasa stres atau frustrasi. Mereka menganggap sukses
seakan-akan suatu hal yang terlalu muluk, bahkan untuk sekadar
dibayangkan.

Dalam tulisan saya sebelumnya (yang berjudul Mendefinisikan Ulang
Kesuksesan) saya telah menegaskan bahwa sukses adalah sebuah perjalanan,
bukan tujuan akhir. Success is a journey, not destination! Dalam kerangka
berpikir seperti inilah kita memahami bahwa mencapai tujuan akhir bukanlah
segalanya. Dengan demikian kita harus lebih berfokus pada proses
perjalanan  sukses.

Saya amat berhutang budi kepada Dr. John C. Maxwell yang melalui
pengajaran maupun buku-bukunya telah menyadarkan saya mengenai hal ini.
Setelah lebih dari 25 tahun mempelajari dan bergaul dengan orang-orang
sukses, Maxwell sampai kepada satu kesimpulan mengenai apa itu sukses.
Dalam  bukunya The Success Journey, Maxwell memberikan definisi sukses yang
terdiri  dari 3 hal yaitu mengetahui tujuan hidup Anda (knowing your purpose
in  life), bertumbuh menggapai potensi maksimal Anda (growing to reach your
maximum potential), dan menaburkan benih yang membawa keuntungan bagi orang
lain (sowing seeds that benefit others).

Maxwell menambahkan ada 2 hari besar dalam kehidupan setiap orang.
Pertama  hari ketika kita dilahirkan dan kedua, hari ketika kita menemukan
alasan  mengapa Tuhan menghadirkan ke dunia ini. Sahabat saya, Aribowo
Prijosaksono  bahkan secara tegas mengatakan setiap manusia adalah
co-creator (pencipta)  realitas kehidupan. Tuhan memberikan kepada setiap
manusia anugerah  terbesar  berupa wewenang untuk menggunakan kuasa-Nya
dalam kehidupan ini.

Berangkat dari keyakinan seperti di atas, saya sangat yakin kalau setiap
manusia dikirim ke dunia ini dengan maksud tertentu. Psikolog Viktor
Frankl  pernah berkata, "Setiap orang memiliki pekerjaan atau misi spesifik
dalam  hidupnya." Dalam bahasa sederhana orang sering menyebutnya sebagai
jalur  atau jalan hidup.

Terus terang tidak mudah bagi seseorang untuk bisa menemukan misi spesifik
ini. Sahabat saya, seorang dokter spesialis ginjal yang sangat idealis,
dr.  Rully Roesli suatu ketika pernah mengingatkan saya betapa penting untuk
menggali tujuan hidup ini. "Kamu harus bisa menemukannya Paulus kalau
benar-benar ingin sukses," katanya.

Syukur puji Tuhan, saya termasuk orang yang sangat beruntung karena bisa
mengetahuinya sebelum usia 30 tahun. Setelah melalui serangkaian dinamika
kehidupan--termasuk beberapa peristiwa tragis yang nyaris membuat saya
bunuh diri--saya akhirnya tahu kalau saya harus berkarya dalam bidang
motivasi dan pengembangan potensi diri. Itulah yang membuat saya begitu
bergairah ketika menulis atau berbicara di depan publik mengenai hal-hal
yang bisa memberikan nilai tambah bagi kehidupan orang lain. Meski hingga
saat ini saya masih berwirausaha dalam bidang selular, toh saya merasa itu
bukan hidup saya sehingga saya kurang bisa menikmatinya.

Hal berikutnya yang juga penting adalah kita harus senantiasa bertumbuh
untuk menggapai potensi maksimal kita. Saya sangat yakin setiap manusia
pasti diberikan karunia, bakat atau kelebihan-kelebihan tertentu.
Kadang-kadang potensi seperti ini tidak kita kembangkan. Padahal salah
satu ungkapan syukur kepada Sang Pencipta bisa kita ekspresikan dengan
mendayagunakan potensi kita secara maksimal.

Seorang teman pernah geleng-geleng kepala melihat kebiasaan membaca saya.
Hampir tidak ada hari yang saya lewatkan tanpa membaca. Bahkan di
waktu-waktu sempit, seperti menunggu kedatangan seseorang, selalu saya
gunakan untuk membaca. Setiap hari saya usahakan untuk selalu mendengarkan
berbagai kaset-kaset motivasi, menonton acara TV yang bermutu dan membuat
kliping berbagai artikel yang menarik. Saya sepenuhnya sadar bahwa saya
tidak akan pernah bisa memberikan sesuatu kepada orang lain (entah itu uang
atau ilmu) kalau saya sendiri tidak memilikinya. Itulah yang membuat saya
berkomitmen untuk bertumbuh dan memperbaiki diri setiap hari. Penulis Novel,
H.G. Wells berkata bahwa ukuran sukses adalah rasio antara seperti apa kita
sekarang ini dan seperti apa kita seharusnya.

Hal terakhir yang tak kalah pentingnya jika kita berbicara tentang sukses
adalah menaburkan benih yang membawa keuntungan bagi orang lain. Saya rasa
semua agama mengajarkan agar kita mencintai sesama sebagai wujud cinta
kepada Tuhan. Bukankah kita dikenang orang dari apa yang kita berikan ?
Bukan  dari apa yang kita ambil ! Sukses yang hanya dinikmati seorang diri
bukanlah  sukses sejati melainkan sebuah bentuk egoisme. Selamat menempuh
perjalanan sukses Anda! ***
Sumber : Internet