Minggu, 14 September 2008

Berbahagia Secara Murah Meriah

Para Alumni Pika yang berbahagia,
Sebagian orang mengatakah, mencari kebahagiaan itu mahal ongkosnya. Tapi dalam artikel Gede Prama di bawah ini, kebahagiaan itu murah-meriah. Dia menulis : "Bila ingin berbahagia, berbahagialah. Tidak diperlukan uang yang amat banyak, mobil yang terlalu mewah, rumah yang bergengsi, jabatan yang mengundang decak kagum".  Benarkah demikian, mari kita simak tulisannya. (PDS)


Berbahagia Secara Murah Meriah
Oleh: Gede Prama

Ketika tulisan ini dibuat, tidak ada satupun media - dari cetak sampai dengan elektronik - yang absen dari pemberitaan penyerangan Amerika ke Afganistan. Tidak hanya di Indonesia, di muka bumi ini manusia hampir semuanya terbelah dua dalam bersikap : pro atau anti Amerika. Ketika gedung WTC New York runtuh ditabrak pesawat yang dikendalikan teroris 11 September 2001 lalu, sebagian besar manusia tersentuh empatinya terhadap duka cita yang sedang melanda Amerika. Namun, ketika Amerika memborbardir Afganistan dengan senjatanya, empati sebagian orang malah berubah.

Ini semua seperti sedang bertutur ke kita, penyerangan dan penghancuran melalui teknologi dan senjata lengkap dengan seluruh kekuatannya, mudah sekali merubah posisi empati menjadi antipati. Lebih dari sekadar mengundang antipati, layak diragukan kalau setiap kekuatan yang dipamerkan melalui jalan-jalan menghancurkan dan menghanguskan akan membuat penyerang dan penghancurnya akan tambah kuat dan tambah dihormati dalam jangka panjang. Dalam gunungan kebencian dan dendam, bisa jadi malah sebaliknya. Penyerangan dan penghancuran hanya akan membuat penyerangnya menjadi semakin tidak berdaya pada akhirnya.

Kalau menoleh pada sejarah sebagai saksi, mungkin deretan peristiwa seperti ditarik mundurnya pasukan Amerika dari Vietnam, Irak yang harus mundur dari Kuwait beberapa tahun lalu, atau mundur perlahannya Soviet setelah menyerang Afganistan bisa digunakan sebagai bahan renungan. Belum lagi jika ditambah oleh banyak rezim penguasa represif yang jatuh tidak oleh kekuatan lawan, melainkan jatuh oleh kekuatan dan sikap represifnya sendiri.

Dalam tataran renungan di mana penyerangan, kebencian, dendam hanya bisa membuat manusia berputar-putar dalam satu lingkaran kebencian ke lingkaran kebencian yang lain, mungkin layak untuk direnungkan keluar dari lingkaran terakhir. Sebab, memperhatikan dan memuaskan dendam dan kebencian, tidak membuat keduanya jadi hilang. Sebaliknya, malah semakin berkobar dari hari ke hari.

Asal muasal dari dendam dan kebencian - kalau boleh jujur - mirip dengan sebuah cerita Zen. Pada suatu hari, ada dua orang rahib yang berjalan di tengah hutan. Ketika siap menyeberangi sungai, ada seorang wanita cantik yang berteriak dari belakang minta diseberangkan dengan cara digendong. Rahib yang lebih muda heran, sedangkan yang lebih tua menyanggupi permintaan terakhir. Dan singkat cerita selamatlah wanita tadi sampai di seberang sungai karena digendong rahib yang lebih tua. Dua jam setelah kejadian ini berlalu, rahib yang muda bertanya keheranan, kenapa rahib tua mau menggendong wanita cantik. Dengan sedikit jengkel rahib tua menjawab : 'Saya sudah menurunkan wanita cantik tadi dua jam yang lalu, sedangkan kamu masih menggendongnya dalam pikiranmu sampai dengan sekarang'.

Demikianlah kebencian dan kemarahan terjadi. Satu atau sejumlah kejadian di masa lalu yang tidak terlalu mengenakkan, tetap kita ingat dan kita bawa ke mana-mana. Kendatipun kehidupan bergerak terus ke depan, tetap saja muatan-muatan kebencian kita bawa kemanapun kita pergi. Ibarat menggendong monyet, ini memang kegiatan berat yang tidak enak. Tetapi tetap saja orang rela menggendongnya ke mana-mana. Apa lagi sebabnya kalau bukan karena diikat kuat oleh tali dendam dan kebencian.

Oleh karena alasan inilah, J. Krishmanurti dalam banyak kesempatan mengajak banyak orang untuk hidup keluar dari apa-apa yang kita ketahui. Salah satu buku pemikir cerdas ini berjudul Freedom From The Known. Tidak untuk dilupakan semuanya, melainkan menghindarkan diri agar tidak berputar dari satu keterkondisian ke terkondisian yang lain. Keterkondisian dari masa lalu ini, tidak saja membuat orang tidak segar dalam melihat hari ini, tetapi juga membuat manusia hidup dalam tataran yang semakin rendah dari hari ke hari. Bagaimana tidak semakin rendah, kalau hari-hari kehidupan diisi dengan kebencian, dendam dan peperangan.

Sebagai manusia biasa, kadang sayapun dikunjungi oleh kebencian dan kemarahan. Dan sadar akan bahayanya keterkondisian, pelan namun meyakinkan saya usir tamu-tamu terakhir dengan berbagai cara. Nyanyian, pujian kepada Tuhan, membaca hal-hal yang menyenangkan, tertawa bersama teman dan keluarga, atau melihat musuh sebagai guru kebijakan dan kesabaran yang sengaja dikirim Tuhan, adalah sebagian cara yang bisa digunakan untuk mengusir kebencian dan kemarahan. Dalam skala yang lebih dalam, meditasi bisa dipertimbangkan dalam hal ini. Di mana, semua hal yang berbau
penilaian, penghakiman dan pengkotakan dibuang jauh-jauh.

Sulit diceritakan melalui kata-kata, bagaimana indahnya dunia yang diselami melalui meditasi. Sebab, meditasi adalah kegiatan mengalami sendiri di dalam hati. Yang jelas, penghakiman, penilaian dan pengkotakan layak untuk dibuang jauh-jauh. Mengalir dan mengalir, demikianlah seorang sahabat memberikan saran. Di tingkatan meditasi yang sudah bebas dari penghakiman dan penilaian ini, berlaku ungkapan sederhana sebagaimana pernah dikutip penulis buku Zen Paths To Harmony : "If you want to be happy, just be". Bila ingin berbahagia, berbahagialah. Tidak diperlukan uang yang amat banyak, mobil yang terlalu mewah, rumah yang bergengsi, jabatan yang mengundang decak kagum. Dengan sedikit niat, kebahagiaan di tingkatan ini menjadi sesuatu yang murah meriah.

Namun sekali lagi, ini lebih mudah dilakukan oleh sahabat yang tidak menggendong dendam dan kebencian ke mana-mana.

Tidak ada komentar: