Kamis, 04 September 2008

Manusia dan anjing

Manusia dan Anjing
(Mohamad Sobary)

"AKU punya kejutan besar, Bu," kata anak sulung saya sore itu di dalam mobil
ketika saya membayar parkir dan kemudian pelan-pelan kami meninggalkan
hiruk-pikuk ujung barat halaman stasiun Gambir. Ia baru saja turun dari
kereta api Argo Gede jurusan Bandung-Jakarta untuk berlibur akhir pekan di
rumah.

"Kejutan apa, nduk ?" .
"Ini pengalaman rohani."
"Lha iya, apa ?" desak istri saya.

Syahdan, ia pun bercerita tentang seekor anjing kecil yang terkaing-kaing di
bawah pohon di sebidang kebun di depan tempat "kos-kosan" nya. Anjing itu,
ketika didekatinya, ternyata luka parah di bagian kaki depannya. Makhluk itu
tak mampu berjalan. Anak saya pun membopongnya ke dokter hewan. Dan sang
dokter menjamin dalam waktu pendek hewan manis itu akan sembuh.

"Betul, dok ?" tanya anak saya.
"Betul. Jangan khawatir," jawab dokter.

Dan benar. Anjing itu sembuh. Dan anak saya terkejut, karena ketika mau
berangkat kuliah, hewan itu menyambutnya di jalan kecil di dekat sebidang
kebun tempat ia beberapa hari lalu ditemukan. Dan bukan cuma itu.

"Dia nganterin aku sampai di tepi jalan raya tempat aku menunggu kendaraan.
Dan ketika aku pulang, dia pun menyambutku. Begitu setiap hari. Ih, demi
Allah, Bu, dia tahu membalas budi."
"Memang, anjing memang hewan paling setia."
"Sekarang sahabatku bertambah seekor anjing," kata anak saya.

Ketika usia lima tahunan dulu, ia minta dibelikan hewan. Tapi di rumah BTN
yang kecil, kami tak bisa menyisakan tempat yang cocok buat hewan. Sekarang
ia mendapatkan apa yang dulu tak diperolehnya. Ini sejenis "dream comes
true" baginya. Dan ia berhak merasa bangga.

Rupanya, jiwa anak saya tersentuh. Orang tua sering tak tahu, kapan jiwa
anaknya bertambah matang. Sebagai ayah, saya merasa berbahagia mempunyai
anak yang mulai membaca alam dan memaknai simbol-simbol halus yang terentang
dalam hidup.

Diam-diam anjing itu mengajarinya ilmu tafsir simbol yang pasti belum
diajarkan dosennya di jurusan Antropologi yang dia pilih. Dan di sepanjang
sisa perjalanan pulang itu ia bicara terus perkara sahabat, tolong-menolong,
terima kasih dan loyalitas. Ia sedang merumuskan nilai-nilai baru untuk
orientasi hidupnya sendiri. Sering saya berpikir, mungkin tiap pemimpin
mendambakan betapa enaknya jika anak buahnya mempunyai jiwa anjing, yang
paham akan arti terima kasih dan loyalitas.

"Tapi ini impian muluk, Nak"
"Emangnya kenapa, Pak ?"

Saya pun menjelaskan, bahwa di kantor-kantor-dalam birokrasi apa pun, dan di
mana pun-loyalitas tak dikenal. Orang, pegawai, karyawan, pada dasarnya cuma
loyal pada duit, dan pada cita-citanya sendiri. Tiap orang sibuk berjuang
bagi dirinya sendiri.

Tentu saja ada tutup, ada selubung, ada kedok, pemanis kata, hiasan bibir,
atau gincu-yang disebut ideologi-yang menutup secara indah, dan memberi
pengesahan moral terhadap cita-cita pribadinya agar langkah politiknya tak
kelihatan begitu telanjang seperti alam.

"Apa keadaan kita seburuk itu ?"
"Dalam beberapa hal bahkan lebih buruk."
"Apa bapak kecewa, atau bahkan putus asa mengharap loyalitas di kantor ?"
"Kecewa ya, tapi putus asa tidak."

Lagi pula di kantor orang sudah tahu sejak dulu, bahwa saya tak pernah
mengharap mereka bersikap loyal pada saya. Kita harus loyal pada nilai.
Maka, dikotomi yang mengkotak-kotakkan orang menjadi "orangnya si ini",
"orangnya si itu" jelas bukan orientasi hidup yang sehat.

Bagi saya, loyal pada nilai itu artinya orang cuma loyal pada kantor, pada
tujuan bersama. Orientasi ini harus diperjuangkan dengan biaya mahal sekali
pun. Saya kira inilah kesejatian hidup di dalam semua organisasi.

"Apa orang tak menyambut gagasan itu?"
"Pada tataran idiil bukan cuma menyambut tapi ada bahkan yang cepat
memuji-muji, bahwa gagasan ini demokratis, dan bahwa baru dalam masa
kepemimpinan inilah anak buah diajari orientasi yang benar, dan diberi
otonomi."

"Dia pasti orang baik," kata anak saya.
"Mungkin. Tapi mungkin pula penjilat."
"Apa dia tidak tulus ?"
"Tulus itu urusan hati, dan menjilat urusan mulut dan lidah, sedang
lidah-orang bilang-tak bertulang."
"Siapa tahu dia loyal beneran."

Memang tak mustahil di suatu kantor ada loyalitas tulen. Tapi loyalitas tak
bisa ditentukan buru-buru. Kalau orang tampak loyal hanya semasa aktif, saat
menjabat, bandit pun bisa lebih dari itu. Maka, tunggulah sampai masa
pensiun. Kalau setelah pensiun ia memusuhi atasan, memfitnah, atau menipu,
tahulah kita bagaimana status rohaniah manusia jenis ini.

Kita sering lupa, Tuhan menjadikan manusia dalam seindah-indahnya kejadian.
Tapi, Tuhan pun-bila kita culas, busuk, dan ingkar-mudah mengubah status
kita menjadi lebih hina dari hewan melata.

Sering saya termangu-mangu membaca firman itu. Dan sering pula saya heran,
roda hidup berputar cepat, dan anak saya, tiba-tiba sudah mahasiswi tahun
pertama di Universitas Padjajaran, dan mandiri di Bandung sana, sedang kami
sekeluarga, di Jakarta.

Jarak geografis menciptakan rindu. Dan rindu menggali lebih dalam saling
pengertian. Rupanya, selama ini kita kurang saling mengenal. Maka, dari
jauh, kini kita belajar lagi membikin pengertian dan merumuskan nilai-nilai
baru dalam hidup kita.

"Nak, jaga anjingmu itu baik-baik. Ia memberi kita renungan, bahwa bila
manusia ingin menjadi manusia sejati-yang tahu membalas budi, dan memiliki
loyalitas-maka ia harus gigih belajar dari sesama, juga dari anjing.*

Tidak ada komentar: