(Kontemplasi Peradaban)
Setiap kali kita menghadiri suatu sumpah (jabatan baru, kaul-kaul kebiaraan, pernikahan) maka terbersit dalam pikiran kita, apakah orang ini mampu menepati sumpahnya. Semua orang menyadari bahwa yang namanya sumpah itu "tidak main-main."
Waktu emeritus Paus Benediktus XVI (Lahir: 16 April 1927) membacakan pidato pengunduran dirinya sebagai Paus – dikabarkan – bahwa ada petir menyambar di Gereja St. Petrus – Vatikan. Kejadian ini dimuat bahkan menjadi cover story pada bulletin Catholic Life. Untuk orang Jawa, jika mendengar orang mengucapkan sumpah, mereka akan berkidung, "Bumi gonjang-ganjing langit kelap-kelap katon lir kincanging alis…"
Janji, sumpah, kaul, commitment, niat tulus adalah ungkapan yang – barangkali – dianggap sakral. Apalagi, jika sumpah itu dilakukan dan disaksikan oleh banyak orang (votum publicum) maka, dia akan terikat dengan sumpahnya itu. Kita menjadi ingat akan kata-kata yang disampaikan Zhu Rong Li, Perdana Mentri China dalam suatu kesempatan, "Sediakan sepuluh peti mati bagi saya kelak, Jika ternyata saya di akhir jabatan melakukan korupsi." Kata-kata ini bagaikan wewaler bagi dirinya sendiri. Ini pula yang diucapkan oleh orang-orang yang sekarang mendekam di penjara, "Gantung saya di tugu monas jika terbukti korupsi satu sen saja!" atau "potong tangan saya, jika terbukti korupsi!" Di sini kita perlu meneladan Sang Nabi dalam hadis-nya yang ditulis oleh HR. Bukhari, "Apabila Fatimah, mencuri maka aku pun akan memotong tangannya." (Fatimah adalah putri Muhammad).
Sumpah itu sakral, demikian pula, orang yang disumpahi kadang kala berpikir panjang pula,"Jangan-jangan sumpahnya terjadi pada diriku!" Dan kadangkala kita merasa bahwa kata-kata itu bertuah. Resi Gotama dalam lakon wayang yang berjudul, "Telaga Modirdo Cupu Manik" menyumpahi istrinya Dewi Windradi menjadi batu dan ketiga anaknya menjadi kera (Sugriwa-Subali-Dewi Anjani). Kisah "Malin Kundang, Si Anak Durhaka" merupakan sebuah legenda dari Sumatra yang amat termasyur. Akhir dari cerita tersebut sangat tragis, ibunya berkata, "Oh Tuhan, kalau benar ia anakku, aku sumpahi dia menjadi sebuah batu!" Tidak berapa lama kemudian angin bergemuruh kencang dan badai dahsyat datang menghancurkan kapal Malin Kundang. Setelah itu tubuh Malin Kudang perlahan-lahan menjadi kaku dan lama-kelamaan akhirnya berubah menjadi batu karang.
Ingat "Sumpah Palapa?" Tentu saja lamunan kita langsung ke Majapahit. Agus Soerono dalam bukunya yang berjudul "Jayaning Majapahit" mengilustrasikan makna sumpah palapa. Pada awalnya Gajah Mada mengucapkan sumpah sukla brahmacari – sumpah untuk tidak menikah atau menyentuh wanita, sebelum mewujudkan dan menyatukan kepulauan Nusantara di bawah panji-panji kebesaraan Kerajaan Majapahit. Namun, sumpah itu – katanya – berbau religious, maka digantilah Sumpah Amukti Palapa, yang sebenarnya maknanya sama yakni tidak akan menikmati segala sesuatu kesenangan hidup, termasuk makanan, kekayaan, kemewahan termasuk wanita.
Sumpah yang agung dan mulia juga diucapkan oleh Dewabrata yang berhak menjadi raja, namun ia menolak demi cintanya kepada ayahnya, Raja Sentanu dalam Mahabharata. Dewabrata bersumpah di hadapan sang ayahanda dan calon ibunya, "Aku berjanji tidak akan kawin. Dengan demikian, aku takkan pernah punya anak. Seluruh hidupku akan kupersembahkan untuk berbakti pada rakyat dan kerajaan dan untuk kesucian." Ketika Dewabrata mengucapkan sumpah sucinya, bergemuruhlah kembang-kembang suci menaburi kepalanya, sementara di angkasa bergema suara merdu, "Bhisma…bhisma…bhisma" Kata bhisma menyatakan bahwa seseorang telah mengucapkan sumpah yang berat dan suci dan berjanji akan benar-benar melaksanakannya.
Jumat, 20 Maret 2015 Markus Marlon
Website :
http://pds-artikel.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar