Selasa, 10 Maret 2015

Membaca

MEMBACA
(Kontemplasi Peradaban)

          Pernahkah Anda menonton film Inggris atau Amerika dan melihat ada rak buku yang terletak di ruang tamu atau ruang keluarga? Saya sering melihatnya. Dan pernahkan Anda menonton sinetron Indonesia – yang umumnya bercerita tentang keluarga-keluarga super kaya – dan melihat ada rak buku di ruang tamu atau ruang keluarga? Saya belum pernah melihatnya!

Kegiatan Membaca Mulai Memudar 

          Sudah menjadi pemandangan umum bahwa di Ruang Tunggu seperti di Stasiun, Bandara maupun Rumah Sakit tersedia pesawat Televisi. Bahkan di rumah-rumah, pesawat Televisi bagaikan sahabat yang setia "menemani"  seorang ibu atau pembantu rumah tangga dalam memasak atau menyeterika dan mencuci pakaian. Anak-anak kecil pun sejak bayi sudah diperkenalkan dengan pesawat Televisi sebagai "teman" –nya. Dengan adanya pesawat Televisi atau yang disebut juga kotak ajaib maupun box idiot, sebenarnya seorang bayi "kurang berkenalan" dengan buku.      

          Kegiatan membaca seharusnya dipupuk sejak dini, karena di kemudian hari, ternyata kebiasaan  membaca yang pernah dibuat tersebut itu memiliki kekuatan yang  dahsyat. Tetapi kita harus mengakui bahwa anak yang sekarang ini adalah anak zamannya. Mereka tidak bisa kita jadikan anak maupun remaja tahun 70-an, yang pada waktu tehnologi tidak semaju seperti sekarang ini. Pada zaman ini, buku memiliki "saingan" yang sangat berat. Pada zaman dulu, kegiatan membaca sungguh mendapatkan tempat yang sangat istimewa. Bahkan Thomas à Kempis (1379 – 1471), penulis buku terkenal  "De imitatione Christi" (Mengikuti jejak Kristus),  pernah berucap, "In omnibus requiem quaesivi et nusquam inveni, nisi in angelo cum libello" yang artinya aku telah mencari ketenangan di mana-mana dan tidak di suatu tempat pun aku menemukannya kecuali di sebuah sudut kecil dengan (membaca) sebuah buku.  

Kedahsyatan Kegiatan Membaca

          Pengaruh  buku   sungguh luar biasa. Banyak orang yang setelah "menjadi orang" berkata bahwa dirinya menjadi seperti sekarang  ini  karena buku. Sebagai contoh, Pater  Franz Magnis-Suseno SJ berkata demikian, "Kisah-kisah seperti The Last of the Mohicans karangan Cooper, Winnetou-nya Karl May  membuat daya imaginasiku berkembang." Atau kita lihat buku terkenal yang berjudul "Don Quixote"  karangan Miguel de Cervantes.  Cervantes, penulis Spanyol  (1547-1616) adalah seorang petualang buku. Pelbagai buku telah dilalapnya habis.  Ia menguasai  bacaan-bacaan Latin Klasik. Ia mendalami bacaan-bacaan sejarah bangsa-bangsa. Don Quixote adalah buku terkenal yang mengisahkan tentang seorang yang bernama Don Quixote de la Mancha yang tergila-gila dengan membaca. Lewat buku yang dibacanya, ia berpetualangan dengan ide-idenya sendiri, sehingga dia menemukan kebahagiaan dalam hidupnya. Pantas bila dunia menyebut Don Quixote sebagai the ambassador of readings.

 Kalau kita mundur   lagi ke zaman Yunani  kuno,  kita akan berjumpa dengan Alexander Agung (356-323 s.M dari Macedonia. Oleh gurunya yakni Aristoteles (384-322 s.M), Alexander Agung diberi bacaan wajib yang berjudul "The Illiad" karangan Homerus (lahir abad ke-8 s.M). Dengan membaca karya sastra tersebut, pikiran Alexander Agung menjulang tinggi – bahkan mungkin "liar"  –  dan mengidolai sang pahlawan yakni Achilles dan akhirnya ia mampu menguasai dunia pada usia mudanya.  Konon, buku "The Illiad" dijadikan bantal bagi  Alexander Agung, tatkala dirinya  tidur.  Dalam film Troy, tokoh Achilles ini memang sungguh luar biasa. Dan bukankah tokoh-tokoh para kudus juga mengalami pertobatan ketika membaca buku? St. Ignatius dari Loyola (1491-1556) misalnya, ketika dia sakit karena luka parah dan tidak bisa berbuat apa-apa, "terpaksa" membaca buku Kisah Santo-Santa dan akhirnya bertobat dan menulis buku yang sangat kesohor,  "Latihan Rohani."  St. Agustinus (354-430) mengakui bahwa dirinya seorang pendosa berat. Pada suatu hari ia mendengar suara. Suara itu datang dengan nada berulang-ulang, "Tole, lege, tole, lege" (Ambil dan bacalah,  ambil dan bacalah). Sambil membendung air matanya,  ia segera membuka Kitab Suci. Di sana ia membaca teks yang memperingatkan, agar ia tidak hidup dalam ketidakbenaran. Karena pengaruh buku yang ia baca, ia menjadi orang kudus dan gagasan-gagasan teologisnya hingga sekarang masih dipelajari oleh banyak orang.

Menumbuhkan Daya Refleksif 
          Perasaan yang didapat lewat membaca berbeda dengan menonton Televisi atau film. Keunikan membaca adalah orang diajak untuk membayangkan hal-hal yang diceriterakan di dalam buku. Berbeda dengan  menonton yang secara visual sudah bisa ditangkap oleh mata. Oleh sebab itu, seringkali menonton sebuah film yang diangkat dari buku mengecewakan karena apa yang dibayangkan berbeda dengan yang divisualisasikan. Ketika saya membaca buku "Gone with the Wind"  peran Scharlet Ohara begitu dahsyat. Sebagai tokoh utama ia membuat orang yang membacanya menjadi gemas. Tetapi, setelah melihat filmnya,  bayangan kelincahan dan kecantikannya menjadi pudar.  Tokoh  yang bernama Yuri dalam "Dokter Zhivago" karangan Boris Pasternak sungguh memilukan bagi yang membaca. Tetapi setelah menonton  filmnya,   rasa kasihan terhadap tokoh itu mulai menghilang. Membaca novel "Memoirs of Geisha" karya Arthur Golden, hati saya menjadi miris karena Sayuri sebagai tokoh utama diperlakukan semena-mena dan tidak adil. Tetapi setelah menyaksikan filmnya   yang berdurasi 90 menit itu,  rasa miris itu pun lenyap. 

          Setiap buku atau majalah  yang kita baca itu pada akhirnya mengajak kita untuk mengkonfrontasikan dengan kehidupan kita. Misalnya,  buku tulisan Hans-Peter Grosshans yang berjudul  "Luther" dapat memberikan pencerahan kepada kita.  Buah pena dan gagasan-gagasannya tentang  "Reformasi" menyadarkan Gereja Katolik untuk lebih bercermin diri karena sudah menyimpang jauh dari ajaran Kitab Suci. Bacaan Rohani tulisan Wilfrid McGreal berjudul  "Yohanes Salib" yang adalah seorang penyair dan tokoh mistik menginginkan agar orang yang tengah mencari kesatuan dengan Tuhan mendapatkan bimbingan atau pembimbing rohani yang baik dalam perjalanan mereka. Dari sana pula, kita kita merenungkan kembali, apakah sebagai pribadi yang ingin maju dan berkembang dalam pengetahuan, masih senantiasa "rindu" membaca buku?  Petrarca (1304 – 1374)   –   seorang penyair dan humanis Italy   –   berkata, "Libris satiari nequeo" yang berarti aku tidak pernah dipuaskan oleh buku. Setelah buku yang satu dilalap habis, ada kerinduan lagi melahap buku berikutnya.  Kata-kata, "Lebih baik menjadi kutu buku daripada mati kutu," mendapatkan penerapannya.

Penutup: Mari Mencintai Buku
Sahabat yang paling tidak pernah mengecewakan adalah buku. Buku bisa kita bawa ke manapun pergi dan dia senantiasa setia menjadi "teman dialog."  Kebiasaan membaca buku tentu akan mengembangkan diri sendiri karena dengan membaca dapat membuka cakrawala atau wawasan. Bukankah buku adalah "Jendela dunia"?

Selasa, 10 Maret 2015   Markus Marlon
 
Website :
http://pds-artikel.blogspot.com

Tidak ada komentar: