Jumat, 24 Mei 2013

SOK

SOK
(Kontemplasi  Peradaban)
 
          Malam Minggu (18 Mei 2013), saya  kongko-kongko  (bahasa percakapan yang berarti: duduk santai dengan pembicaraan yang tidak menentu ujung pangkalnya)  di Libra (lingkaran Brawijawa) yang indah di depan Mesjid Agung, "Al-Aqsa"  yang megah – Merauke.
          Dalam suasana santai, ada beberapa remaja  Jamer  (Jawa-Merauke: orang Jawa lahir dan besar di Merauke) yang berbicara sekenanya. Katanya, "Orang yang rajin ke Gereja itu namanya  sok  suci. Orang yang merasa diri tampan itu namanya  sok  ganteng. Orang yang merasa diri pintar itu namanya  sok  pintar." 
Lantas, gadis belia  turunan Toraja itu menimpali, "Kalau ada orang yang suka berbuat baik pada orang lain itu apa namanya?"  Saya – meskipun bukan dari kelompok mereka – berkata, "sok  sial! Eh maaf, sok  sosial!"
Kata  sok  itu sebenarnya merupakan dialek melayu Jakarta, yang memiliki makna merasa mampu, hebat, tampan, cantik tetapi sebenarnya tidak atau berlagak (suka pamer dan sebagainya).
Dan sialnya lagi, orang-orang seperti ini sering kita jumpai di mana-mana.  Banyak kisah-kisah menarik berkenaan dengan orang yang merasa diri hebat, yang ditulis dalam cerita  fable  (kisah-kisah binatang untuk menyindir perilaku hidup  manusia).  Din Man dalam bukunya yang berjudul  200 Kisah Terindah Sepanjang Masa dari China  memberikan cerita tentang  "Keledai Yang Sombong."  Keledai itu mengangkut patung-patung dewa yang hendak dibawa ke kuil. Dalam perjalanan ke sana, banyak orang menghormati patung-patung itu sambil membungkukkan badan. Tetapi keledai yang sombong itu pun berkata, "Lihat, mereka membungkukkan badan untukku!"  Keledai lupa bahwa orang-orang itu tidak sama sekali menghormati keledai.
Kisah  fable  lagi yang ditulis oleh pencerita dari Yunani:  Aesop  ( ± abad VI  seb. M) tentang katak yang  sok  pintar.  Dikisahkan bahwa si katak  akan pergi ke pulau seberang seperti yang dibuat oleh para burung. Tetapi burung-burung itu menyesalkan keadaan katak yang tidak bisa terbang.   Katak itu memiliki gagasan  brilliant , katanya, "Tolong, kalian berdua memegang tongkat dengan mulut kalian, aku akan menggeggamnya di tengah-tengah dengan mulutku dan kita akan pergi bersama."  Kedua burung itu pun bersedia. Semua berjalan dengan baik. Namun, sewaktu mereka terbang di atas sebuah padang rumput, dua sapi memandang ke atas dan melihat  trio itu. Seekor dari kedua sapi itu berkomentar, "Wah, ada dua ekor burung terbang dan membantu seekor katak!"  Katak yang mendengar kata-kata sapi itu pun  menjadi jengkel dan berkata, "Ini semua karena gagasanku!"  Tentu saja setelah berbicara,  gigitannya terlepas dan ia  pun jatuh dan tewas.  Katak itu  sok  cerdas karena memiliki gagasan hebat.
Memang, kebanyakan orang tidak suka dengan orang yang  sok  pintêr dan berlagak diri  tahu tentang banyak hal.  Kata  pintêr  dalam arti tertentu  memiliki makna negatif.  Peribahasa Jawa yang berbunyi, "Wong pintêr keblinger"  merujuk pada orang pandai tetapi terjerumus karena kepandaiannya sendiri.  Berhadapan dengan orang-orang  sok  pintêr,  orang-orang akan meyejajarkan dengan  pintêr  ngapusi  atau  pintêr  goroh  (pandai menipu).  Makanya orang-orang yang suka  sok  itu cepat atau lambat akan ditinggalkan orang.
Orang-orang yang merasa diri hebat dan berlagak  serta   sok  pintar,  sok  kaya, sok  cantik  juga   sok  kuasa  itu sepertinya lupa dengan ungkapan Jawa, "Aja dumeh, ana salah, ana kalah, ana ngalah"  yang berarti: jangan  sok-sokan atau mentang-mentang. Dalam hidup ini ada saatnya kita berbuat salah, ada waktunya kita kalah dan ada  tempo-nya kita harus mengalah.  Hidup kita ini tidak selamanya  "berada di atas." Ingat prinsip  "Cakramanggilingan"  yang berarti hidup kita ini berputar – kadang untung namun kadang pula buntung.   Kita juga perlu belajar dari orang-orang Tionghoa yang berkata, "Tian Shang You Tian"  yang berarti: di atas langit, masih ada langit. Lalu, "Untuk apa kita harus  sok?"
Jumat, 24 Mei 2013   Markus Marlon
 

Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com

Rabu, 01 Mei 2013

LETIH
(Kontemplasi Peradaban)
         
Ada seorang  wanita   single  pulang dari kantor pada malam hari.  Ia  sungguh-sungguh  letih,  lesu, lelah, lemah,  loyo dan lunglai,  karena bekerja dari pagi hingga  sore (09.00  to 17.00).  Ia menonton Televisi sambil main-main  channel  sembari meluruskan badan dengan kaki  slonjor.

Tiba-tiba di luar rumah, terdengar suara kendaraan yang sedang parkir di depan rumahnya, yakni mobil sang pacar.  Wanita muda itu pun langsung berdiri dan  mandi sambil bersenandung  di kamar mandi. Dalam waktu yang amat singkat,  rasa letih  pun musnah.

Kebanyakan orang letih karena beban mental yang dibawanya serta. Novelis Inggris Margareth Storm Jameson (1891 – 1986) pernah  berkata bahwa  hampir semua orang menghabiskan  waktu beberapa menit setiap jamnya untuk hidup di masa lampau dengan menyesali kegagalannya atau memikirkan masalah-masalah yang akan datang. Kadang-kadang mereka murung-murung tanpa sebab. Namun di pihak lain,  juga banyak orang menjadi letih karena  relasinya dengan orang lain, bahkan orang yang terdekatnya sekalipun Gary Champan  (1938 – sekarang)  dalam bukunya yang berjudul   Loving Solution  menulis,  "Kami sungguh tidak bahagia dalam perkawinan ini. Kami menghadapi permasalahan berat yang tidak bisa kami pecahkan. Kami selalu bertengkar tentang hal yang sama, lalu rujuk kembali dan semuanya beres selama beberapa minggu. Selanjutnya kami bertengkar kembali. Kami letih" (hlm. 8).  Pengaruh negatif  yang kuat dari keletihan dapat menimbulkan kesalahpahaman dalam berelasi. Vince Lombardi (1953 – 1970) pelatih sepak bola,  pernah berkata, "Keletihan membuat kita semua menjadi pengecut."  Ketika kita letih atau sakit, kita sering cenderung untuk lebih bersifat reaktif.  

Setelah kita keluar dari pintu rumah kita, di hadapan kita sudah mengular permasalahan-permasalahan yang meletihkan.  Tukang ojek  ataupun kernet yang berteriak-teriak mencari penumpang dan seolah-olah teriakannya ditujukan kepada kita. Di depan kantor berjumpa dengan tukang parkir dan satpam yang tidak bersahabat. Kemudian di kantor tidak ada sapaan ramah dari rekan kerja, seolah-olah kami semua mengidap penyakit  Monday  syndrom.  Pekerjaan yang  kita hadapi setiap hari membuat letih. Amat berbeda dengan pemikiran yang dilukiskan oleh Arfan Pradiansyah   dalam bukunya yang berjudul,  "I love Monday."   Ia menulis bahwa sebagian besar hidup kita dalam pekerjaan, maka sudah layak dan sepantasnya jika kita mencintai pekerjaannya itu.   Henri Nouwen (1932 – 1996) dalam bukunya yang berjudul,   "Menggapai  Kematangan  Hidup Rohani"   telah memberikan masukan yang tepat. Ia menulis bahwa seorang mahasiswa-wi merasa lunglai  karena tidak mendapatkan teman-teman untuk berbagi pengalaman, curhat. Seorang guru menjadi letih karena tidak diterima oleh para muridnya dan seorang karyawan menjadi  lesu karena tidak dihargai oleh  boss-nya.  Ini semua pengalaman hidup dalam bermasyarakat.  Namun Ajahn Brahm  ( lahir di London, 7 Agustus 1951 –  suatu hari mengadakan  travelling  ke Tailand dan menjadi biksu pada usia 23 tahun) yang kumpulan  wejangannya ditulis dalam buku yang berjudul   "Horeee! Guru si Cacing Datang"  mengatakan bahwa  badan kita boleh sakit tetapi pikiran kita tidak boleh sakit maupun letih. Stamina pikiran bisa distabilkan  dengan meditasi.  Dalam pariwara,  keletihan bisa dilawan dengan obat yang namanya  fatigon.  Padahal kata  fatigon  sendiri berasal dari bahasa Latin, "fatigatio-onis" yang berarti keletihan, kepenatan dan kelelahan.

"Menjadi letih itu suatu pilihan," kata seseorang.  Ada seorang ibu muda yang bekerja siang malam, ibarat kaki menjadi kepala dan kepala jadi kaki tetapi ia tidak merasa letih  yah  karena demi anaknya.  Pilihan untuk tidak letih itu pun telah ditulis oleh Viktor Frankl (1905 – 1997)  dalam bukunya yang berjudul,   "Man's  Search for Meaning".  Dalam Kamp Nazi Jerman ia membuat penemuan yang sangat berarti.  Ketika seseorang memilih agar hidupnya bermakna, ia berjuang – meskipun terseok-seok – membantu sesama tawanan. Orang ini berusaha membantu orang lain dalam keletihannya yang amat sangat.  Namun tidak dapat dipungkiri bahwa ada beberapa orang yang mengalami  compassion fatigue  (keletihan berbuat baik). Misalnya di kota-kota besar, seperti Jakarta banyak pengemis,  "pak  ogah"  yang mencari uang dengan mengemis atau menjadi  fasilitator  mobil-mobil yang hendak belok. Orang-orang sudah bosan untuk berbuat baik dengan member sesuatu kepada mereka. Sudah hilang rasa belas kasih.

 Dalam arti ini, kita perlu berguru kepada Yesus, "Sang pemberi air hidup sejati."  Ia pernah bersabda, "Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu" (Mat. 11: 28).

Rabu, 01 Mei 2013  Markus Marlon

Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com