(Sebuah Percikan Permenungan)
Ibu Theresa dari Calcuta pernah memberi sekantong beras kepada seorang
petani beragama Hindu yang miskin sekali di pinggir kota Calcuta. Ibu
Theresa heran melihat bahwa tidak lama kemudian, petani itu membawa separuh
dari kantong itu keluar rumah. "Apa yang dilakukannya?" Ternyata, petani
Hindu itu memberikan
sebagian dari berasnya kepada seorang petani Kristen yang lebih miskin
lagi.
Motto negara Amerika yang berbunyi E pluribus unum yang aslinya dipilih
oleh John Adams, Benyamin Franklin dan Thomas Jefferson mengajak setiap
warga untuk saling menghargai perbedaan. Hal yang sama bisa dilihat pada
semboyan negara Indonesia "Bhineka Tunggal Ika" yang berarti Berbeda-beda
tetapi satu adanya atau Unity in diversity. Menghargai perbedaan memang
sungguh merupakan anugerah jika setiap pribadi menghayatinya. Sejak bumi
diciptakan, Tuhan tidak menciptakan semuanya seragam, melainkan suatu
perbedaan, sehingga makhluk hidup itu saling melengkapi. Penciptaan manusia
pertama, yaitu Adam dan Hawa konteks perbedaan, tetapi saling melengkapi
dan saling menghargai sehingga manusia itu diciptakan sederajat. Bertitik
tolak dari sanalah, maka John Gray dalam bukunya "Man from Mars and Woman
from Venus" mengajak para pembaca untuk bercermin bahwa dalam setiap
manusia itu memiliki kelebihan dan kekurangannya. Dengan demikian, itulah
yang menjadi alasan supaya dalam kelemahannya, manusia itu saling membantu
dan saling menolong.
Penghargaan perbedaan itu dalam filsafat China dikenal dengan yin-yang.
Istilah ini menunjuk pada prinsip aktif dan pasif dari dunia. Yang atau
laki-laki menghadirkan Terang, aktif. Sedangkan Yin atau wanita
menghadirkan suatu kegelapan dan pasif, penerimaan. Frans von
Mangnis-Susena pernah mengaplikasikan terang-gelap, hitam-putih, baik-buruk
dalam dunia pewayangan. Orang beranggapan bahwa Pandawa selalu di pihak
yang baik, sehingga tidak ada cela dalam diri mereka. Sedangkan Astina
selalu pada pihak yang buruk, sehingga yang ada hanyalah keserakahan,
dengki dan iri hati. Tetapi menurut Magnis-Susena, meskipun Pandawa
senantiasa dalam pihak yang benar, tidak jarang mereka juga bertindak
culas. Dalam lakon wayang, "Pandawa Dadu" Yudistira bertindak amat gegabah,
sehingga mempertaruhkan seluruh harta bendanya bahkan adik-adiknya serta
istrinya dalam permainan dadu tersebut.
Kalau dalam berpikir kita menggunakan "kaca mata kuda"maka dengan gampang
kita akan menolak perbedaan di antara umat manusia. Peter Rosler Garcia,
ahli Politik dan Ekonomi Luar Negeri dari Hamburg menulis demikian. Contoh
paling dahsyat tentu saja kelompok Nazi Jerman. Mula-mula mereka
mengasingkan kaum Yahudi. Jerman "asli" dilarang membeli barang di toko
milik Yahudi atau menikah dengan orang Yahudi. Kemudian sinagoga dan rumah
ibadah Yahudi dibakar. Juga, orang Yahudi dipaksa menjual rumah, tanah,toko
dan perusahaan mereka kepada orang Jerman "asli". Akhirnya, kelompok Nazi
membunuh dalam pabrik kematian mereka, kita-kira enam juta orang Yahudi
dari hampir seluruh negara Eropa (Kompas 3 Januari 2006). Dalam film "Hotel
Rwanda", kita menyaksikan, anggota suku Hutu membunuh lebih dari satu juta
warga suku Tutsi walaupun kedua suku itu punya bahasa, agama, kebudayaan
dan falsafah hidup yang sama. Dan banyak sekali di antara mereka kawin
campur. Satu-satunya perbedaan adalah bahwa suku Tutsi pada umumnya lebih
kaya.
Jaman sekarang ini di banyak tempat mengadakan dialog atau seminar tentang
masalah kerukunan beragama. Seperti yang dikemukakan oleh Komaruddin
Hidayat dalam artikelnya yang berjudul "Mengadili Keyakinan Agama." Ia
menulis demikian, "Oleh karena itu, jika kebenaran agama semata berdasarkan
keyakinan – bisa jadi berdasarkan Kitab Suci dan pencarian makna hidup –
sudah pasti kebenaran dan agama selalu bersifat plural dan tidak bisa
diseragamkan. Setiap pemeluk agama akan memandang dirinya sebagai titik
terdekat dan jalan pintas meraih keselamatan Tuhan. Orang lain (the others,
outsiders) bagaikan domba-domba sesat atau kelompok kafir yang harus
diselamatkan (Kompas 3 Januari 2006). Pengalaman pribadi saya dalam dialoq
dengan orang yang berkeyakinan lain, tidak pernah menyinggung tentang
doktrin fundamental. Adalah tidak mudah menerangkan makna trinitas kepada
orang yang beragama Hindu misalnya. Sebaliknya sulit juga menjelaskan makna
reinkarnasi kepada orang yang beragama Protestan. Namun, dalam setiap agama
memiliki nilai-nilai universal yang diterima, misalnya tentang cinta kasih,
kejujuran dan kesalehan. Cita-cita kita bersama adalah adanya hidup rukun
dan damai dalam perbedaan. Belum lama ini saya yang kebetulan seorang
Katolik berdialog dengan seorang Ustad. Percakapan kami tidak tentang
keyakinan, melainkan tentang hobby, makanan kesukaan, dan keluarga. Kami
merasa amat senang dan kunjungan dilanjutkan terus, sehingga sudah seperti
saudara sendiri.
Merauke, 9 Februari 2011
Markus Marlon msc