Senin, 08 Maret 2010

Penyakit akibat timbunandebu di Paru

Penyakit akibat Timbunan Debu di Paru

  • Oleh Anies
SELAMA ini yang menjadi fokus perusahaan dalam hal keselamatan kerja baru sebatas mengupayakan angka kecelakaan kerja menjadi nol. Padahal penyakit akibat kerja, terutama yang menahun, menjadi ancaman yang serius. Salah satunya pneumokoniosis.

Pneumokoniosis adalah sekumpulan penyakit yang disebabkan oleh penimbunan debu di dalam jaringan paru-paru. Gejala umumnya antara lain batuk kering, sesak napas, kelelahan, dan berkurangnya berat badan.

Debu masuk ke dalam paru-paru bersama udara yang kita hirup ketika bernapas. Debu tersebut biasanya berukuran mini antara 1-10 mikron. Debu berukuran 5 - 10 mikron akan ditahan oleh jalan napas bagian atas, sedangkan yang berukuran 3 - 5 mikron ditahan di bagian tengah jalan napas.  Partikel-partikel yang berukuran 1 - 3 mikron ditempatkan langsung di permukaan jaringan dalam paru-paru.

Pneumokoniosis dibedakan menjadi tiga jenis, tergantung jenis debu penyebabnya. Jika disebabkan debu silika bebas (SiO2) disebut silikosis. Jika disebabkan debu campuran disebut antrakosilikosis. Dan jika disebabkan debu asbes disebut asbestosis.

Silikosis banyak diderita pekerja di pertambangan batu keras, pekerja teknik sipil dengan batu-batu keras, pekerja penghalusan dan pemolesan batu, pekerja pabrik keramik, serta pekerja di proyek yang menggunakan pasir sebagai amplas.

Pada tahap ringan, silikosis ditandai dengan sesak napas (dyspnoea) ketika bekerja. Mula-mula ringan namun lama-lama bertambah berat. Kadang-kadang disertai batuk kering atau tanpa dahak. Penderita silikosis tahap ringan lazimnya tidak merasakan penyakit yang diderita. Kinerja mereka di tempat kerja juga nyaris tidak terganggu.

Gangguan baru dirasakan jika penyakit tersebut masuk ke tahap sedang. Pada kondisi itu kinerja pekerja di tempat kerja mulai terganggu. Jika dibiarkan silikosis bisa berkembang ke tahap berat. Jika sudah demikian penderita akan mengalami sesak napas hebat yang bisa mengakibatkan cacat total.
Rawan TBC Yang perlu diwaspadai, penderita silikosis sangat rentan terserang penyakit tuberkulosis (TBC). Risiko itu akan semakin meningkat jika penderia bekerja di tempat yang padat, gizinya buruk, dan tinggal di lingkungan yang angka kesakitan tuberkolosisnya tinggi.

Orang yang terpapar debu silika tidak serta-merta langsung menderita silikosis. Jika jumlah paparan silika hanya 1-2 mg kuarsa/m3, gejala baru dirasakan antara lima hingga lima belas tahun kemudian. Lama dan singkatnya kemunculan gejala tergantung pada kadar debu di udara, dosis paparan kumulatif, serta lamanya debu berada di dalam paru.

Sampai saat ini belum jelas mekanisme silika bebas menimbulkan silikosis. Namun ada empat teori tentang mekanisme tersebut. Pertama, terori mekanis yang menganggap permukaan runcing debu-debu merangsang terjadinya penyakit. Kedua, teori elektromagnetik yang menduga bahwa gelombang-gelombang  elektromagnetiklah yang menyebabkan fibrosis paru-paru. Ketiga, teori silikat yang menjelaskan bahwa SiO2 bereaksi dengan air dan jaringan paru-paru sehingga terbentuk silikat yang mengakibatkan kelainan pada paru-paru. Keempat, teori imunologis yang menjabarkan bahwa penyakit timbul karena tubuh mengadakan zat anti yang bereaksi dengan antigen dari debu di dalam paru-paru.

Perkembangan penyakit ini biasanya lambat.  Perjalanan penyakit cenderung melambat setelah tidak terjadi paparan, tetapi gejala-gejalanya bisa meningkat. Gagal jantung kanan dan infeksi pernapasan penyerta merupakan kejadian-kejadian terminal. 

Beberapa upaya bisa dilakukan untuk mengurangi risiko silikosis. Salah satunya dengan melakukan substitusi. Misalnya dalam proses  "sandblasting", bahan untuk meratakan permukaan logam yang biasanya berupa debu pasir diganti dengan bubuk alumina.

Selain itu bisa dengan mengurangi kadar silika bebas di dalam ruangan. Caranya dengan membuat ventilasi umum dan lokal. Ventilasi umum dibuat dengan mengalirkan udara ke ruang kerja dengan membuka pintu dan jendela. Adapun ventilasi lokal atau pompa keluar setempat, dimaksudkan untuk menghisap debu dari ruang kerja ke luar.

Cara lainnya adalah dengan memilih metode yang memungkinkan berkurangnya debu di udara. Misalnya dengan pengeboran basah (wet drilling). Dan yang terpenting adalah  menggunakan masker yang standar.
Antrakosilikosis Antrakosilikosis merupakan pneumokoniosis yang banyak diderita pekerja tambang batubara. Berbeda dari silikosis yang muncul karena paparan silika bebas, pada antrakosilikosis zat itu tidak menjadi penyebab dominan. Penyakit tersebut muncul karena  debu campuran.

Batubara mengandung banyak zat, yaitu karbon, sedikit hidrogen, sulfur dan fosfor, serta bermacam-macam batu yang beberapa di antaranya mengandung silika bebas. Debu campuran dari tambang batubara berasal dari serpihan-serpihan pasir bubuk batu, kaolinit, batu tulis, serta batu kapur batubara. Karena itu semua pekerja pertambangan batubara, baik yang bertugas di tempat pencucian hingga yang bertugas memuat batubara, berisiko menderita penyakit ini.

Pada stadium dini, tanda dan gejala penyakit biasanya tidak terlihat. Pada kebanyakan pekerja batubara, pneumokoniosis dengan penyulit hanya timbul bila beban debu sangat tinggi. Gangguan fungsi paru baru ditemukan pada stadium lanjut.

Beberapa cara pencegahan antrakosilikosis dan aneka komplikasinya, antara lain dengan ventilasi umum dan lokal, memotong (cutting) arang batu secara basah dengan menyemprotkan air pada rantai alat pemotong terutama yang bersentuhan dengan permukaan, membasahi permukaan arang batu dengan air, dan menggunakan masker debu baik di pertambangan maupun di pengolahan arang batu.
Ujung Jari Melebar Pneumokoniosis yang dipicu oleh paparan debu asbes disebut asbestosis. Asbes merupakan campuran berbagai silikat, namun yang paling dominan adalah magnesium silikat.

Pekerja yang berisiko tinggi menderita asbestosis antara lain yang pekerja di pertambangan, penggilingan, dan pengolahan asbes. Debu asbes yang terhirup ke dalam paru-paru akan berubah menjadi "badan-badan asbestos", yang jika diperiksa menggunakan mikroskop tampak seperti batang dengan panjang mencapai 200 mikron.

Gejala-gejala asbestosis antara lain sesak napas, batuk, dan banyak mengeluarkan dahak.  Tanda-tanda fisik yang dapat dijumpai berupa sianosis atau pelebaran ujung jari. Kelainan secara radiologis atau dengan foto rontgen paru, mudah dikenali karena menunjukkan gambaran khas. Berupa "ground glass appearance" atau titik-titik halus di basis paru-paru dengan batas jantung dan diafragma yang tidak jelas.

Pada pekerja yang telah lama terpapar debu asbes, retensi serat-serat asbesnya cukup besar. Jika dibiarkan, serat tersebut secara perlahan-lahan akan menimbulkan jaringan ikat pada paru yang progresif. 

Debu asbes masuk ke dalam tubuh melalui berbagai cara. Antara lain dengan mengisap debu ketika bernapas, menelannya bersama ludah dan dahak, atau mengonsumsi makanan serta minuman yang mengandung sejumlah kecil serat-serat tersebut. Sebagian serat yang tertelan diduga menembus dinding usus, tetapi migrasi selanjutnya dalam tubuh tidak diketahui. Setelah masa laten yang panjang, antara 20-40 tahun, serat tersebut bisa menimbulkan kanker paru.

Ada beberapa cara untuk mencegah penyakit ini. Di pertambangan asbes, pencegahan dilakukan dengan melakukan pengeboran secara basah. Pada industri tekstil yang menggunakan asbes, harus diadakan ventilasi lokal atau pompa keluar setempat.

Sebaiknya sewaktu membersihkan mesin karding, dilakukan dengan cara penghisapan hampa udara (vaccum). Selain itu pekerja yang melakukan pembersihan mesin karding harus menggunakan alat pelindung diri secukupnya dan tidak boleh ada pekerja lain yang tidak bertugas berada di ruangan tersebut. (13)
    
– Prof Dr dokter Anies, MKes, PKK, guru besar Ilmu Kesehatan Masyarakat dan Kedokteran Pencegahan Fakultas Kedokteran Undip, pakar kedokteran lingkungan.

Tidak ada komentar: