Rabu, 18 Februari 2009

Membakar Surga

Membakar Surga, Menyiram Neraka
Oleh: Gede Prama

Melakukan kilas balik kehidupan, mungkin itu salah satu hobi dan kesenangan
saya di waktu senggang. Bukannya tidak menghargai dan tidak mensyukuri hari
ini, tetapi saya masih meyakini bahwa kita lahir dari 'ibu kandung' yang
bernama masa lalu. Dari bibit-bibit masa lalu itulah kita dibuat. Kemanapun
kita bergerak, apapun kita lakukan, atau apa saja yang kita impikan di masa
depan, bibit-bibit terakhir akan senantiasa ikut dan ada dalam diri kita.

Dalam salah satu perjalanan kilas balik untuk mengenali bibit dan bahan dari
masa lalu tadi, masih teringat jelas dalam bayangan, bagaimana orang tua dan
kakak-kakak saya pertama kali mengajarkan agama. Mirip dengan pengalaman
banyak sekali orang - dan ini sudah saya cek ke banyak sekali orang secara
lintas agama - sayapun dijejali pelajaran agama melalui pendekatan
surga-neraka. Mereka yang hidup baik masuk surga, mereka yang hidup jahat
masuk neraka. Sederhana, simpel dan mengena - demikianlah banyak orang tua
dan banyak manusia meyakini.

Saya khawatir, tidak hanya saya, jangan-jangan Andapun masuk dalam perangkap
surga-neraka ini. Kendati sudah belajar ilmu pengetahuan ke sana-sini,
menumpuk perjalanan karir dan hidup yang tidak sedikit, tetap saja bayangan
akan surga dan neraka mengikuti setiap perbuatan, ucapan dan pikiran saya
sebagai manusia biasa.

Positifnya, ada semacam pagar dan rel-rel yang membuat kita tidak terlalu
jauh melanggar etika-etika hidup dan kehidupan. Boleh saja ada yang
beranggapan bahwa agama gagal dalam memecahkan masalah manusia kontemporer,
namun tanpa pagar dan rel-rel yang bernama surga-neraka, peradaban manusia
tentu saja akan jauh lebih mengerikan dibandingkan apa yang kita alami
sekarang-sekarang ini.

Negatifnya, pagar dan rel-rel tadi mengurangi keikhlasan, ketulusan dan
kemurnian kita dalam berdoa. Surga-neraka membuat banyak manusia kemudian
melakukan 'transaksi dagang' dengan Tuhan. Kalau baik, surga hadiahnya.
Kalau jahat, neraka hukumannya. Bukankah itu rumus-rumus sederhana kaum
pedagang ? Saya tidak tahu, sejauh bacaan saya terhadap sejumlah buku suci,
tidak ada satupun buku suci yang menyebutkan bahwa Tuhan berprofesi sebagai
pedagang. Maha Kuasa, Maha Pengasih, Maha Pemaaf adalah sebagian sebutan
yang diberikan kaum bijak pada Tuhan. Tetapi sebagai pedagang ? Belum pernah
saya mendengar dari kiai, pendeta, rahib, pemuka agama manapun, atau kaum
bijak yang lain.

Dalam bingkai perenungan seperti ini, saya angkat topi sekali kepada seorang
pemikir Sufi - maaf lupa namanya - yang memiliki keinginan untuk membakar
surga dan menyiram neraka. Bukan untuk berperang dan mbalelo kepada Tuhan,
namun untuk melapangkan jalan keikhlasan, ketulusan dan kemurnian dalam
berdoa.

Pada setiap agama memang ada rangkaian cara berdoa yang sama sahnya. Hanya
saja, dalam cara manapun, niat untuk berdagang dengan Tuhan, senantiasa
menjadi penghambatnya keihklasan, ketulusan dan kemurnian. Coba Anda
bayangkan kalau berdoa, dilengkapi dengan harapan agar gaji kita naik bulan
depan. Atau berdoa sambil memohon agar Anda dicium wanita cantik setelah
berdoa. Bukankah seluruh keheningan dan kebersihan doa kita menjadi
terganggu ? Ia mirip dengan kaki dan badan bersih yang berjalan di atas
jembatan yang kotor. Demikianlah nasib siapa saja yang berdoa disertai niat
berdagang dengan Tuhan.

Dalam tataran refleksi seperti ini, kadang saya memang agak kecewa dengan
warna awal tentang agama yang masuk ke dalam pikiran ini. Kenapa mesti
surga-neraka ? Kenapa bukannya keihlasan, ketulusan dan kecintaan pada Tuhan
? Demikianlah kira-kira hati kecil ini kadang melemparkan kekecewaannya.

Pandangan seperti ini memang bukan pandangan populer. Bahkan beresiko untuk
dikira melakukan radikalisasi agama. Dan pada sahabat-sahabat yang kurang
menyukai sikap seperti ini, mohon izinkan saya berjalan dengan jalan ini.
Dan jangan dibumbui oleh kebencian. Ini penting, karena kebencian jenis
terakhir ikut juga membuat jembatan doa saya menjadi lebih kotor lagi.

Saya tidak tahu, apa yang ada di benak dan niat Anda ketika berdoa. Saya
berusaha untuk mengurangi sekecil-kecilnya niat untuk berdagang dengan
Tuhan. Untuk kemudian, bergerak ke dalam jembatan-jembatan doa yang bernama
keheningan, ketulusan, kemurnian dan kecintaan pada Tuhan.

Jangan tanya saya hasilnya, karena ini hanya ditanyakan oleh 'pedagang' doa.
Jangan juga tanya kemana saya mau pergi dengan langkah-langkah doa seperti
ini. Apa lagi kalau ditanya apakah saya pernah bertemu Tuhan dengan cara
seperti ini. Jelas saja tidak jawabannya. Bagi mereka yang hidup dalam
kaidah-kaidah hasil, cara seperti ini memang membingungkan. Namun, siapa
saja yang menyelami prinsip-prinsip mengalir dalam kehidupan, ia akan bisa
mencernanya secara lebih mudah.

Seperti air laut yang disinari mata hari, kemudian menjadi awan, dan pada
tahap berikutnya menjadi hujan, melewati sungai dan kembali jadi laut lagi,
demikianlah keikhlasan dan kecintaan pada Tuhan sedang saya bangun.
Keindahan memang relatif dan sulit dijelaskan. Rezeki memang bukan urusan
kita manusia. Apa lagi kesuksesan, ia adalah hasil kombinasi banyak variabel
yang kompleks. Dan kalau benar pemikir Sufi di atas mau membakar surga dan
menyiram neraka, saya akan ikut berkontribusi di sana.

Tidak ada komentar: