CATUT
(Kontemplasi Peradaban)
“Nunc animis
opus, Aenea, nunc pectore
firmo” – Aeneas, sekarang ini kerja jiwamu
hendaknya dilakukan dengan hati nurani yang kokoh (Vergilius).
Ketika seseorang memerbaiki rumah atau pagar kemudian ada paku yang sudah tidak dipakai lagi dan perlu untuk dibuang, maka dibutuhkan sebuah catut. Dalam Kamus Bahasa Jawa, “cathut” berarti peralatan untuk mencabut paku. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, catut diartikan sebagai penyalahgunakan (kekuasaan, nama orang dan jabatan) untuk mencari untung. Banyak orang yang mencatut nama pejabat untuk kepentingan pribadi.
“History repeat itself” – Sejarah akan berulang dengan sendirinya. Kisah catut-mencatut sudah ada sejak dulu kala. Dalam kisah pewayangan yang berjudul, “Karno Tanding” Kunti, ibu para Pandawa mencatut nama besar kelima anaknya (Yudistira, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa) agar Karno, yang pada waktu itu berpihak pada Doryudana, bergabung dengan adik-adiknya. Pencatutan nama itu tentunya tidak diketahui oleh kelima anaknya. Ini adalah insitiatif sang ibu yang prihatin terhadap keutuhan keluarganya. Meskipun demikian, Karno tetap kuekueh dengan pendiriannya, yakni berseberangan dengan adik-adiknya.
Aesop (620 – 506 seb.M) pun memberikan kisah tentang pencatutan yang dilakukan seekor kera yang menggunakan nama kota besar Piraeus, pelabuhan kota Athena.
Waktu itu, ikan lumba-lumba menolong kera yang terlempar di laut. Kemudian terjadilah percakapan antara kedua binatang tersebut.
“Apakah kamu orang Athena?” Lumba-lumba itu bertanya.
“Ya, betul,” kera itu berbohong. “Saya merupakan anggota salah satu keluarga paling terkemuka di seluruh Athena.”
“Kalau begitu kamu pasti tahu Piraeus,” lumba-lumba berkata dengan bangga, mengacu pada pelabuhan indah yang ia jadikan tempat tinggal.
Karena menduga bahwa Piraeus itu pasti merupakan seorang pejabat termasyur, kera pun menjawab, “Ya, aku mengenalnya. Ia adalah salah satu teman terbaikku.”
Ketika lumba-lumba mendengar jawaban bohong itu, ia menyelam ke dasar laut dan membiarkan kera itu tenggelam.
“Nomen est omen” – Nama adalah pertanda. Dalam sebuah nama selalu terkandung sebuah harapan baik. Lantas, bagaimana jika nama baik itu dicatut untuk hal-hal yang kurang baik, misalnya untuk memengaruhi suatu kebijakan. Nama baik tetaplah menjadi nama baik, tergantung pribadi yang menyandangnya. Ia akan tetap menjadi pribadi yang marwah. Jadi meskipun namanya dicatut, ia tetap akan stabil, tak tergoncangkan.
Dalam budaya Jawa ada pepatah yang berbunyi, “Yen ora cluthak bisa galak” atau sebaliknya “cluthak ora galak”. Maknanya, “orang itu (pemimpin) kalau bersih (jika tidak nggragas, pemakan segala/ serakah) selalu mampu bersikap tegas”. Jika yang dicatut namanya itu “bersih”, maka ia akan galak dan tegas.
Demikianlah, mencatut nama orang lain merupakan tindakan yang kurang terhormat. “Penyalahgunaan nama” yang dalam bahasa Inggris diartikan sebagai “to abuse” berasal dari bahasa Latin, “abusus”. “Abusus” terdiri dari kata “ab” yang berarti dari dan “utor” berarti menggunakan. Dengan demikian, “abusus” menunjuk pada “menyimpang dari penggunaan sebenarnya.
Kamis, 26 November 2015
Markus Marlon