(Sebuah Percikan Permenungan)
Pengantar:
Pernahkah Anda menonton film Inggris atau Amerika dan melihat ada rak buku
yang terletak di ruang tamu atau ruang keluarga? Saya sering melihatnya.
Dan pernahkan Anda menonton sinetron Indonesia – yang umumnya bercerita
tentang keluarga-keluarga super kaya – dan melihat ada rak buku di ruang
tamu atau ruang keluarga? Saya belum pernah melihatnya!
Kegiatan Membaca Mulai Memudar
Sudah menjadi pemandangan umum bahwa di Ruang Tunggu seperti di Stasiun,
Bandara maupun Rumah Sakit tersedia pesawat Televisi. Bahkan di
rumah-rumah, pesawat Televisi bagaikan sahabat yang setia "menemani"
seorang ibu atau pembantu rumah tangga dalam memasak atau menyeterika dan
mencuci pakaian. Anak-anak kecil pun sejak bayi sudah diperkenalkan dengan
pesawat Televisi sebagai "teman" –nya. Dengan adanya pesawat Televisi atau
yang disebut juga kotak ajaib maupun box idiot, sebenarnya seorang bayi
"kurang berkenalan" dengan buku.
Kegiatan membaca seharusnya dipupuk sejak dini, karena di kemudian hari,
ternyata kebiasaan membaca yang pernah dibuat tersebut itu memiliki
kekuatan yang dahsyat. Tetapi kita harus mengakui bahwa anak yang sekarang
ini adalah anak zamannya. Mereka tidak bisa kita jadikan anak maupun remaja
tahun 70-an, yang pada waktu tehnologi tidak semaju seperti sekarang ini.
Pada zaman ini, buku memiliki "saingan" yang sangat berat. Pada zaman dulu,
kegiatan membaca sungguh mendapatkan tempat yang sangat istimewa. Bahkan
Thomas à Kempis (1379 – 1471), penulis buku terkenal "De imitatione
Christi" (Mengikuti jejak Kristus), pernah berucap, "In omnibus requiem
quaesivi et nusquam inveni, nisi in angelo cum libello" yang artinya aku
telah mencari ketenangan di mana-mana dan tidak di suatu tempat pun aku
menemukannya kecuali di sebuah sudut kecil dengan (membaca) sebuah buku.
Kedahsyatan Kegiatan Membaca
Pengaruh buku sungguh luar biasa. Banyak orang yang setelah "menjadi orang"
berkata bahwa dirinya menjadi seperti sekarang ini karena buku. Sebagai
contoh,
Pater Franz Magnis-Suseno SJ berkata demikian, "Kisah-kisah seperti The
Last of the Mohicans karangan Cooper, Winnetou-nya Karl May membuat daya
imaginasiku berkembang." Atau kita lihat buku terkenal yang berjudul "Don
Quixote" karangan Miguel de Cervantes. Cervantes, penulis Spanyol
(1547-1616) adalah seorang petualang buku. Pelbagai buku telah dilalapnya
habis. Ia menguasai bacaan-bacaan Latin Klasik. Ia mendalami bacaan-bacaan
sejarah bangsa-bangsa. Don Quixote adalah buku terkenal yang mengisahkan
tentang seorang yang bernama Don Quixote de la Mancha yang tergila-gila
dengan membaca. Lewat buku yang dibacanya, ia berpetualangan dengan
ide-idenya sendiri, sehingga dia menemukan kebahagiaan dalam hidupnya.
Pantas bila dunia menyebut Don Quixote sebagai the ambassador of readings.
Kalau kita mundur lagi ke zaman Yunani kuno, kita akan berjumpa dengan
Alexander Agung (356-323 s.M dari Macedonia. Oleh gurunya yakni Aristoteles
(384-322 s.M), Alexander Agung diberi bacaan wajib yang berjudul "The
Illiad" karangan Homerus (lahir abad ke-8 s.M). Dengan membaca karya sastra
tersebut, pikiran Alexander Agung menjulang tinggi – bahkan mungkin
"liar" – dan mengidolai sang pahlawan yakni Achilles dan akhirnya ia mampu
menguasai dunia pada usia mudanya. Konon, buku "The Illiad" dijadikan
bantal bagi Alexander Agung, tatkala dirinya tidur. Dalam film Troy, tokoh
Achilles ini memang sungguh luar biasa. Dan bukankah tokoh-tokoh para kudus
juga mengalami pertobatan ketika membaca buku? St. Ignatius dari Loyola
(1491-1556) misalnya, ketika dia sakit karena luka parah dan tidak bisa
berbuat apa-apa, "terpaksa" membaca buku Kisah Santo-Santa dan akhirnya
bertobat dan menulis buku yang sangat kesohor,
"Latihan Rohani." St. Agustinus (354-430) mengakui bahwa dirinya seorang
pendosa berat. Pada suatu hari ia mendengar suara. Suara itu datang dengan
nada berulang-ulang, "Tole, lege, tole, lege" (Ambil dan bacalah, ambil dan
bacalah). Sambil membendung air matanya, ia segera membuka Kitab Suci. Di
sana ia membaca teks yang memperingatkan, agar ia tidak hidup dalam
ketidakbenaran. Karena pengaruh buku yang ia baca, ia menjadi orang kudus
dan gagasan-gagasan teologisnya hingga sekarang masih dipelajari oleh
banyak orang.
Menumbuhkan Daya Refleksif
Perasaan yang didapat lewat membaca berbeda dengan menonton Televisi atau
film. Keunikan membaca adalah orang diajak untuk membayangkan hal-hal yang
diceriterakan di dalam buku. Berbeda dengan menonton yang secara visual
sudah bisa ditangkap oleh mata. Oleh sebab itu, seringkali menonton sebuah
film yang diangkat dari buku mengecewakan karena apa yang dibayangkan
berbeda dengan yang divisualisasikan. Ketika saya membaca buku "Gone with
the Wind" peran Scharlet Ohara begitu dahsyat. Sebagai tokoh utama ia
membuat orang yang membacanya menjadi gemas. Tetapi, setelah melihat
filmnya, bayangan kelincahan dan kecantikannya menjadi pudar. Tokoh yang
bernama Yuri dalam "Dokter Zhivago" karangan Boris Pasternak sungguh
memilukan bagi yang membaca. Tetapi setelah menonton filmnya, rasa kasihan
terhadap tokoh itu mulai menghilang. Membaca novel "Memoirs of Geisha"
karya Arthur Golden, hati saya menjadi miris karena Sayuri sebagai tokoh
utama diperlakukan semena-mena dan tidak adil. Tetapi setelah menyaksikan
filmnya yang berdurasi 90 menit itu, rasa miris itu pun lenyap.
Setiap buku atau majalah yang kita baca itu pada akhirnya mengajak kita
untuk mengkonfrontasikan dengan kehidupan kita. Misalnya, buku tulisan
Hans-Peter Grosshans yang berjudul "Luther" dapat memberikan pencerahan
kepada kita. Buah pena dan gagasan-gagasannya tentang "Reformasi"
menyadarkan Gereja Katolik untuk lebih bercermin diri karena sudah
menyimpang jauh dari ajaran Kitab Suci. Bacaan Rohani tulisan Wilfrid
McGreal berjudul "Yohanes Salib" yang adalah seorang penyair dan tokoh
mistik menginginkan agar orang yang tengah mencari kesatuan dengan Tuhan
mendapatkan bimbingan atau pembimbing rohani yang baik dalam perjalanan
mereka. Dari sana pula, kita kita merenungkan kembali, apakah sebagai
pribadi yang ingin maju dan berkembang dalam pengetahuan, masih senantiasa
"rindu" membaca buku? Petrarca (1304 – 1374) – seorang penyair dan humanis
Italy – berkata, "Libris satiari nequeo" yang berarti aku tidak pernah
dipuaskan oleh buku. Setelah buku yang satu dilalap habis, ada kerinduan
lagi melahap buku berikutnya. Kata-kata, "Lebih baik menjadi kutu buku
daripada mati kutu," mendapatkan penerapannya.
Penutup: Mari Mencintai Buku
Sahabat yang paling tidak pernah mengecewakan adalah buku. Buku bisa kita
bawa ke manapun pergi dan dia senantiasa setia menjadi "teman dialog."
Kebiasaan membaca buku tentu akan mengembangkan diri sendiri karena dengan
membaca dapat membuka cakrawala atau wawasan. Bukankah buku adalah "Jendela
dunia"?
Merauke, 28 Maret 2011
Markus Marlon msc