# Arvan Pradiansyah
Seorang dokter sedang memeriksa pasien yang terbaring lemas di tempat tidur.
Tak lama kemudian ia berdiri dan berkata kepada istri pasien. "Maaf, saya
turut berduka cita atas meninggalnya suami ibu". Lalu, suara protes lemah
terdengar dari tubuh lemas yang terbaring di tempat tidur, "Tidak, saya
masih hidup". Mendengar hal itu, istrinya langsung menjawab, "Diam! Dokter
itu lebih tahu daripada kamu!".
Mungkin anda tertawa mendengar lelucon tersebut. Sebenarnya, hal itu
merefleksikan kenyataan masyarakat. Kita sering lebih menghargai posisi
keteimbang kebenaran, lebih menghargai penampilan ketimbang karakter, lebih
menghargai sertifikat ketimbang isi dan substansi. Ini bisa menjelaskan
mengapa bznyak orang tertarik memperoleh gelar tanpa susah payah.
Padahal apa artinya sertifikat ? menurut saya, sertifikat hanyalah potret
mengenai perjalanan hidup seseorang, belum tentu menggambarkan kapasitas dan
kompetensinya. Orang yang bergelar doktor tapi kemudian berhenti belajar,
maka ia pun ketinggalan dalam waktu singkat, Orang yang memiliki SIM tapi
tak pernah menyetir mobil, pastilah kehilangan keahliannya. Jadi sertifikat
apapun bentuknya sebenarnya sekedar potret, sertifikat hanyalah nilai,
sedangkan prinsipnya adalah mendapatkan kompetensi dengan belajar.
Toh kenyataannya, banyak orang yang lebih mementingkan sertifikat ketimbang
proses belajarnya. Dalam suatu pelatihan bersertifikasi, saya pernah tidak
meluluskan seorang peserta, karena ia belum dapat menunjukkan keahlian yang
diperlukan, namun dia tetap menuntut sertifikat, akhirnya saya hanya
memberikan certificate of attendance ( sertifikat kehadiran ) kepadanya,
anehnya ia cukup puas dan bangga dengan sertifikat tadi.
Orang-orang seperti ini banyak kita jumpai di seminar dan studi banding ke
luar negeri / dalam negeri, sering yang dicari sertifikat atau citra (
seminar di luar negeri sering tidak mengeluarkan sertifikat ). Saya pernah
mengikuti konferensi internasional si salah satu negara ASEAN, ternyata
peserta terbanyak dari Indonesia. Namun, itu hanya pemandangan hari pertama
dan malam penutupan. Di hari-hari seminar, banyak peserta yang menghilang
entah kemana. Bahkan di hari terakhir, seorang peserta seminar mengatakan
kepada saya bahwa kopernya overweight, padahal ia akan mampir lagi di negara
tetangga buat berbelanja. Anda tahu barang apa yang lalu ditinggalkannya?
Tak lain, tas berisi semua makalah seminar. "Habis mau bagaimana lagi, koper
saya sudah terlalu berat."
Berbeda dari manusia jenis pertama yang lebih mementingkan citra dan
sertifikat, ada orang yang memang senang belajar, berdiskusi, ikut pelatihan
dan datang ke seminar. Ini disebut manusia pelajar. Orang ini banyak ilmunya
tetapi sayangnya ia tidak menerapkan ilmu itu untuk meningkatkan kualitas
hidupnya. Mereka tahu cara mendidik anak, tapi tetap tak bisa dekat dengan
anak. Tahu cara berkomunikasi, tapi lebih sering mengalami miskomunikasi.
Tahu cara mengelola organisasi, tapi menerapkan manajemen pokoke alias
manajemen otoriter. Inilah ciri pelajar, Stephen Covey mengatakan, "to know
but not to do is not to know." Maksudnya, mengetahui sesuatu tetapi tidak
melakukan apa-apa, sama saja dengan tidak mengetahui. Anda mempunyai banyak
buku terbaru, tapi tak pernah satu kalipun membacanya, sama saja nilainya
dengan orang yang tak pernah membeli buku, bahkan sama dengan orang yang tak
bisa membaca.!
Manusia terbaik adalah pembelajar. Inilah orang yang senantiasa belajar,
kemudian mengamalkan apa yang diperolehnya. Rekan saya mengatakan, perbedaan
antara orang Indonesia dan Amerika seperti ini, "orang Indonesia datang ke
seminar untuk belajar sesuatu yang baru, sementara orang Amerika datang ke
seminar untuk menerapkan hal yang baru." Orang pertama cuma menangkap,
sedangkan orang kedua menjalani proses pembelajaran yang meliputi empat
tahap : menangkap ( capture ), memperluas dan mengaitkan dengan pengalaman
sendiri ( expand ), menerapkan ( apply ), dan berbagi ( share ).
Dengan mengamalkan ilmu dan membagikan pengalaman menerapkannya kepada orang
lain, kita memenuhi bukan hanya kebutuhan mental ( to learn ), melainkan
juga kebutuhan spriritual ( to leave a legacy ). Kita meningkatkan kualitas
hidup orang lain. Dengan demikian, hidup kita pun lebih berkualitas dan
lebih bermakna.
(Penulis adalah dosen FISIP Universitas Indonesia dan konsultan SDM Franklin
Covey Indonesia )