Selasa, 14 Oktober 2003

Melenggang Pulang

Melenggang Pulang
Sabtu, 3 Oktober 2009 | 04:57 WIB
Gede Prama

Mari pulang, marilah pulang, Pulanglah kita bersama-sama.

Ketika bencana menerjang Indonesia dengan jumlah korban ratusan ribu
manusia, ada yang menulis Indonesia, Natural disaster or mass murder.
Dengan cara pandang ini, bencana tidak punya wajah lain terkecuali buruk.
Namun, ia yang merenung di tengah bentangan sejarah, bercakap-cakap dengan
alam, melihat tidak ada satu pun putaran waktu di mana kehidupan hanya
berisi kebahagiaan. Amerika Serikat sebagai contoh, sebelum menjadi
kekuatan ekonomi nomor satu, dunia sempat mengalami sejarah yang
berdarah-darah. Jepang sebagai kekuatan ekonomi nomor dua dunia bangkit
justru setelah dua kotanya hangus oleh bom atom. China yang kini duduk
sebagai kekuatan ekonomi nomor tiga juga serupa. Beberapa puluh tahun lalu,
bahkan memakan nasi pun sudah terhitung mewah.
Becermin dari sini, mendengar ada korban manusia akibat gempa tentu
mengundang keprihatinan sekaligus doa semoga semua berbahagia. Berbuat
untuk meringankan beban korban tentu lebih mulia. Namun yang layak
direnungkan, alam sebagai guru sedang berbicara apa?
Di Timur dikenal beberapa jenis guru. Dari guru hidup, guru buku suci, guru
simbolik, sampai dengan guru rahasia di dalam diri. Menyangkut guru hidup
dan guru buku suci, lebih mudah mencapai kesepakatan. Namun menyangkut guru
simbolik, apa lagi guru rahasia di dalam diri, hanya mereka yang dibekali
kepekaan yang bisa merasakan.
Bila boleh lari, semua mau lari dari bencana. Karena tidak bisa lari, para
suci kemudian merenung dalam-dalam dan menemukan cahaya. Yesus bercahaya
ribuan tahun karena disakiti. Mahatma Gandhi menerangi banyak jiwa karena
ditembak mati. Jalalludin Rumi rangkaian katanya menggetarkan sukma juga
karena mengalami kesedihan kehilangan guru.
Pelajarannya, bencana tidak saja hulunya air mata. Ia juga awal kehidupan
yang bercahaya. Kehilangan orang dekat akibat bencana tentu menyedihkan.
Cacat tubuh karena terkena reruntuhan bangunan, sungguh kejadian yang
menyentuh hati.
Namun, kehidupan penuh guru simbolik. Di antara demikian banyak simbolik,
kematian adalah yang teragung. Di tengah kebahagiaan, sedikit yang mau
merenung dalam-dalam. Namun di depan kematian, kita terpaksa kita menggali
dalam-dalam.

Wajah dukacita
Siapa saja yang pernah "bercakap-cakap" dengan kematian akan dibukakan
makna, dukacita memiliki dua wajah.
Pertama, ia membuat manusia menjadi semakin terhubung ke atas, samping,
bawah. Terutama karena melalui dukacita, kita sadar ternyata manusia hanya
makhluk tidak berdaya. Dalam ketidakberdayaan, kita hanya saling menyayangi
yang menyembuhkan.
Kedua, dukacita berfungsi seperti mesin turbo yang mendorong manusia keluar
dari alam derita ini. Andaikan kehidupan hanya berisi kebahagiaan, maka
manusia akan terus berputar dalam lingkaran kelahiran, penderitaan,
kematian.
Bila begini cara memandangnya, Indonesia bukanlah neraka yang hanya berisi
hukuman dan kesalahan. Indonesia adalah lahan subur pertumbuhan jiwa.
Perhatikan apa yang terjadi ketika Aceh diterjang tsunami, tidak saja
sahabat Islam yang menyediakan tangan untuk membantu. Orang Katolik,
Kristen, Hindu, Buddha, Konghucu ikut bersama-sama berdoa sekaligus
mengulurkan bantuan. Dalam bahasa seorang guru, saat manusia membantu,
sesungguhnya tidak saja sedang meringankan beban pihak lain, tetapi juga
membangkitkan energi kasih sayang yang ada dalam dirinya.
Di Peru pernah ditulis oleh para tetua ribuan tahun lalu, tidak ada yang
kebetulan, semuanya hanya rangkaian pesan. Di tempat di mana alam kerap
menggoda manusia dengan dukacita, mungkin layak bertanya, seberapa banyak
manusia yang sudah menemukan cahaya di balik dukacita kemudian mengizinkan
cahaya itu membimbing dirinya?

Serupa rumah
Kehidupan serupa rumah. Bila rumahnya kotor penuh sampah, ia mengundang
lalat dan nyamuk berdatangan. Jika taman penuh bunga bermekaran, ia
mengundang kupu-kupu warna-warni berdatangan dari segala penjuru.
Di hadapan alam yang kerap berbicara dengan bahasa dukacita, memaki dan
mencaci mungkin hanya akan menambah tumpukan sampah. Mencari cara bertumbuh
di tengah lumpur dukacita mungkin lebih membuat Indonesia menjadi taman
jiwa yang menawan.
Dalam perspektif ini, bisa dimaklumi bila Ezra Bayda memberi judul karyanya
At Home In The Muddy Water. Di Timur, puncak perjalanan ke dalam kerap
disimbolkan dengan bunga padma yang bertumbuh dan mekar di lumpur, tetapi
tidak kotor oleh lumpur.

Ibarat lumpur
Bencana ibarat lumpur. Hanya mereka yang penuh cinta dan keikhlasan yang
bisa mekar seperti bunga padma. Dikatakan demikian, karena kekuatan suci
dari atas sedang memancing manusia dengan kasih sayang, dan siapa yang
mengisi hidupnya dengan cinta dan keikhlasan, sedang mencoba memakan kail
yang datang dari atas.
Bila ini terjadi, bencana bukan hukuman, ia hanya bimbingan untuk segera
pulang. Persis seperti lirik lagu anak-anak yang dikutip di awal.
Senang-sedih dan dualitas lainnya ada dalam pikiran. Belajar melampauinya
dengan memeluk semua apa adanya. Inilah yang dilakukan para guru
tercerahkan di Timur.

Gede Prama Penulis Buku Sadness, Happiness, Blissfulness: Transforming
Suffering Into The Ultimate Healing

Tidak ada komentar: