Jumat, 22 Juni 2012

PAMER

PAMER
(Sebuah Percikan Permenungan)

Tahun 2010, setelah landing di Bandara Selaparang, saya singgah di salah
satu keluarga di Narmada – Lombok. Tuan rumah menyuguhi makanan yang lezat
yaitu "Ayam Bakar Taliwang". Rasanya sebanding "bebek rica-rica" a la
Manado. Sembari menikmati masakan yang lezat tersebut, saya memerhatikan
foto-foto yang mengenakan toga sebagai simbul sarjana. Seingatku
keluarga ini memiliki lima anak, tetapi yang dipasang hanya empat. Kemudian
saya mencoba bertanya kepada tuan rumah, "Ibu, bukankah ada lima anak,
kenapa yang satu tidak dipasang fotonya?" Ibu itu dengan malu-malu kucing
berkata, "Anak yang nomor empat tidak sekolah, jadi tidak ada fotonya."

Sudah menjadi gejala umum bahwa setiap orang ingin dianggap manusia super.
Super (bhs. Latin) di sini diartikan melebihi, unggul dan lebih tinggi dari
pada yang lain. Karena sifat unggulnya itu, terkadang orang-orang ingin
pamer, yang dalam bahasa keren-nya snobbish. Dari sana pula muncul kata
snobisme. Lihat saja foto-foto yang ada di Facebook maupun Blacberry,
semua berisi kiprah-kiprah kita dan pasti ada foto-foto supaya orang-orang
tahu. Myra Sidharta – seorang psikolog – melukiskan makna snobisme
dengan bagus. Snobisme adalah kecenderungan manusia yang suka memamerkan
benda-benda miliknya yang mahal dan trendy. Namun seorang snob akan menjadi
lebih tinggi kalau dirinya memiliki hubungan dengan orang-orang yang tingkat
posisi sosialnya lebih tinggi. Snobisme kini menular ke mana-mana tak
terkendali. Seorang satpam misalnya, akan merasa lebih betah kalau bekerja
ada keluarga yang sering kedatangan tamu-tamu yang berkedudukan tinggi atau
seseorang akan bangga sekali karena memiliki teman-teman hebat.

Mohammad Sobary pernah juga mengemukakan tentang orang-orang yang suka
pamer. Tulisnya, "Dalam hidup harian, kita silau dengan gemerlapnya dunia.
Kalau orang yang datang ke rumah itu memakai dasi dan pakaiannya mentereng,
spontan kita percaya dia itu orang baik-baik. Tak tahunya garong. Kalau
calon menantu selalu datang dengan mercy mengkiap, calon mertua pun bersedia
membungkuk badan ketika membuka pintu. Ibaratnya, mencium tangan calon
menantu pun bersedia. Kita sudah silau dengan simbol kemewahan semacam itu.
Dan kita tidak bisa menduga bahwa (sering terjadi) calon menantu teryata
koruptor atau buronan yang sedang dicari polisi." Memang sih, tidak semua
yang berbau pamer itu tidak baik. Ada pamer yang mendatangkan kebaikan,
seperti pameran lukisan maupun expo furniture. Ini dilakukan untuk
mendatangkan hasil yang lebih baik.

Berbicara tentang pamer, saya jadi ingat akan buku yang ditulis oleh Idrus
(1921 – 1979) dengan judul, "Hikayat Puteri Penelope." Novel ini memberikan
kepada kita suatu argumentasi indah hidup sebagai rakyat kebanyakan, padahal
sang puteri adalah anak seorang raja. Statusnya itu membuat setiap geraknya
menjadi "gunjingan" massa, pun dalam urusan yang sangat pribadi sekali yaitu
masalah perkawinan. Ia sudah bosan hidup dengan bergelimpangan harta.
Akhirnya ia beserta keluarganya sengaja menjadi orang biasa di Itali in
cognito. Di sana mereka menginap di sebuah penginapan rakyat yang murah.
Dalam suatu kesempatan jalan-jalan, Puteri Penelope berkenalan dengan
seorang mahasiswa Italia yang bernama Pictro Pirandello. Hubungan mereka
tanpa ada sas-sus yang berarti. Sang puteri akhirnya memutuskan secara resmi
untuk hidup menjadi orang biasa-biasa saja. Ia tidak berniat memamerkan apa
yang dia miliki: harta, kekayaan bahkan gelar kebangsawanannya.

Pepatah yang berbunyi, "You are what you wear" agaknya patut untuk disimak.
Bondan Winarno dalam Kiat, memperingatkan kita dengan tulisannya. Kalau kita
memakai baju batik dan kemudian mengenakan dasi, nah jangan marah kalau
dikatakan norak. Kalau dalam undangan disebut lounge suit, jangan
berani-beraninya memakai jas dan celana yang berwarna.

Memang dalam mengenakan pakaian, orang senantiasa berelasi dengan orang
lain. Kecuali kalau kita di kamar sendiri. Di sana tidak ada orang yang
menegur, meskipun seseorang berpakaian yang sangat vulgar sekalipun.
Perkataan John Donne (1572 – 1631) yang berbunyi, "No man is an Island"
rupanya sangat relavan dengan kehidupan kita.

Kita telah lupa falsafah kerendahan hati nenek moyang. Mereka tidak tertarik
memamerkan kekayaan yang benar-benar mereka miliki. Para petani yang
mendapat keuntungan besar dalam panen, menyimpan uang emas mereka dalam
tiang bambu rumah mereka. Kekayaan itu memang ia sembunyikan. Orang boleh
mengira bahwa mereka hanyalah petani-petani miskin, namun mereka gembira
dalam hati. Mereka tidak takut, kalau pada suatu saat terjadi musim
paceklik. Kita perlu membangun budaya ugahari seperti yang telah diajarkan
oleh sejarah nenak moyang kita. Sekali lagi, Bondan Winarno menulis, "Dalam
berpakaian, janganlah meniru orang-orang Amerika yang dengan tenang memakai
celana kotak-kotak merah dan hijau, jangan juga terlalu genit, kalau tidak
mau dijuluki burung merak." Yang penting sesuaikanlah dengan situasi dan
kondisi (25 April 2012).
Markus Marlon msc

Skolastikat MSC
"Biara Hati Kudus"
Jl. Raya Pineleng , KM. 9 PINELENG
MANADO – 95361

Tidak ada komentar: