Kamis, 31 Juli 2008

Etos kerja

Etos Kerja dalam Sepincuk Nasi Pecel

UNTUK apakah kita hidup?
Tanyakanlah ini kepada Mak Paenah yang tiap hari berjualan pecel di
depan Gedung DPRD Sumatera Utara (Sumut) di Medan. Dalam usianya yang-
menurut pengakuannya-86 tahun, Mak Paenah masih setia mendorong-
dorong kereta pecelnya demi mengumpulkan rupiah selembar demi
selembar dari Rp 1.500 per pincuk (piring dari daun pisang) pecel
jualannya itu.

Gerobaknya cukup berat dengan dua roda becak yang sering kempis
anginnya. Sebuah topi bambu lebar menemani tubuh ringkihnya menempuh
jarak sekitar lima kilometer dari rumah cucunya di kawasan Glugur ke
Gedung DPRD Sumut di Jalan Imam Bonjol melewati jalanan aspal yang
terik dan ramai.

Pernah suatu hari Mak Paenah tidak kunjung muncul pada jam makan
siang, dan baru datang berjualan saat matahari sudah sangat condong
ke barat.

"Aku diserempet mobil. Iki lho awakku babak bundas (lihat tubuhku
babak belur)," katanya dalam ujaran yang selalu tercampur dengan
bahasa Jawa kasar.

Setiap hari, biasanya sekitar pukul 11.00, ia sudah tiba menggelar
dagangannya. Dan, beberapa jam kemudian, ia pulang lagi dengan kereta
dorongnya yang sudah kosong dan segepok uang di dalam tas pinggang
yang terbuat dari kain batik lusuh.

Soal berapa banyak uang dalam tas pinggangnya itu, Mak Paenah sering
tidak tahu. Ia memang tidak peduli dapat uang berapa hari itu.
Bahkan, sering ada beberapa lembar ribuan tercecer di bawah kakinya,
yang lalu diambilkan orang lain. Yang ia tahu pasti, ia tidaklah
pernah rugi.

"Bathi kuwi ora usah okeh-okeh. Serakah jenenge... (kalau untung itu
jangan besar-besar. Serakah namanya...)," katanya pelan. Tidak
serakah ini pula yang membuat Mak Paenah cenderung royal dalam
memberi nasi pecel saat dagangannya hampir habis. Kata orang, kalau
beli di Mak Paenah, sebaiknya menjelang ia mau pulang. Pasti dapat
pecel lebih banyak.

Dengan keyakinan pasti tidak rugi itu pula, sering Mak Paenah
membelikan rokok untuk orang lain yang tampak memerlukannya. Andi
Lubis, fotografer harian Analisa, Medan, yang perokok berat, beberapa
kali diberi rokok oleh Mak Paenah kalau tampak sedang bengong dan
tidak merokok.

"Nyoh rokok. Kowe lagi ra duwe duwit tho? (Ini rokok. Kamu sedang
tidak punya uang kan?)" kata Mak Paenah tanpa basa-basi.

Bagi Mak Paenah, apa salahnya menyisihkan uang untuk menyenangkan
orang lain. Tidak jarang ia memberikan pecelnya secara gratis kalau
ada yang lapar, tapi tak punya uang.


***
JADI, untuk apa Mak Paenah berjualan pecel dalam usianya yang sudah
sangat senja itu? Di kota-kota besar, orang-orang yang jauh lebih
muda darinya sudah santai-santai di rumah menikmati uang pensiun
bersama cucu-cucu.

"Aku bekerja karena memang manusia itu harus bekerja. Aku sakit kalau
nganggur. Menganggur adalah bersahabat dengan setan. Kerja selalu ada
kalau kita mau mencarinya. Jangan mau menganggur, sampai kita mati,"
katanya seakan ahli filsafat.

Banyak yang meragukan apakah benar Mak Paenah benar telah berusia 86
tahun. Tapi, mendengar beberapa cerita yang sering diungkapkannya
sambil meracik pecel, apalagi mengamati wajahnya yang selalu teduh
itu, kita yakin bahwa setidaknya ia sudah berusia di atas 80 tahun.
Ia pernah bercerita bagaimana suaminya yang tentara terbunuh dalam
perang kemerdekaan, sementara saat itu anak sulungnya kira-kira
berusia belasan tahun.

Begitu suaminya meninggal, rasa tanggung jawab untuk menghidupi
ketiga anaknya memaksa Mak Paenah yang lahir dan besar di Blitar,
Jawa Timur, ini berjualan pecel. Baginya, tidak ada cerita untuk
meminta belas kasihan dari orang lain.

"Aku hanya bisa bikin pecel. Jadi, aku mencari makan dengan pecel
ini. Sudah puluhan tahun tanganku bikin sambel pecel. Sampai kapalan
mengulek... he-he-he...," kata Mak Paenah sambil memamerkan mulutnya
yang sudah ompong.

Mengapa tidak menikah lagi setelah menjanda waktu itu ?

"Sopo sing gelem karo rondo bakul pecel...lethek...he-he-he... (siapa
yang mau dengan janda penjual pecel yang lusuh dan bau)," katanya
terkekeh.

Tapi, setelah anak-anaknya bisa mandiri, untuk apa uangnya ?

"Keuntungan penjualan, tiap hari saya simpan di bawah bantal. Uang
itu saya pakai untuk menolong orang kalau ada yang membutuhkannya.
Siapa tahu, kan?" katanya dengan arif.

Mak Paenah menceritakan, ia pernah menolong tetangganya yang mendadak
membutuhkan uang. Tetangganya itu tidak menyangka ketika tiba-tiba
Mak Paenah yang hanya berjualan pecel itu mampu meminjaminya uang
dalam jumlah cukup besar, tanpa bunga pula.

Setiap pagi, Mak Paenah mengambil Rp 150.000 dari simpanannya untuk
berbelanja di Pasar Glugur. Pukul 04.00, ia sudah bangun dan pada
pukul 06.00 ia sudah mulai memasak bumbu-bumbu pecel dan juga
sayurannya.

"Bangun pagi membuat saya sehat. Tiap hari berbelanja dan menawar
juga membuat saya tidak pikun," paparnya. Dalam usianya itu, Mak
Paenah sering membuat kagum orang dengan kemampuannya menghitung
dengan cepat.

"Meja ini habis sembilan pincuk. Jadi, tiga belas ribu lima ratus,"
katanya suatu kali saat menagih kepada para wartawan yang makan.


***
PADA bulan Juni dan Juli 2002 , para wartawan Medan yang biasa
mangkal di depan Gedung DPRD kehilangan Mak Paenah. Dua bulan lebih
wanita tua itu menghilang. Banyak yang kuatir kalau-kalau Mak Paenah
sakit, atau bahkan sudah meninggal dunia. Dan, Mak Paenah baru muncul
lagi pada akhir Juli.

Ternyata, Mak Paenah pulang ke Blitar menengok sanak saudaranya.
Menurut dia, semua yang dikenalnya sudah meninggal.

"Uangku habis Rp 3,5 juta untuk beli oleh-oleh. Tapi, aku senang bisa
melihat Blitar lagi. Sudah sangat berubah. Aku sama sekali tidak bisa
mengenali tempat mana pun di sana," katanya dengan mata berbinar-
binar saat membicarakan kota yang ditinggalkannya pada awal tahun
1940-an ini.

Ketika diingatkan bahwa para wartawan kuatir dengan kepergiannya
selama dua bulan itu, Mak Paenah justru marah.

"Kamu yang muda-muda kok tidak punya perasaan. Kan, semua tahu di
mana rumahku. Kalau kuatir, ya mbok menengok ke rumah. Coba,
bagaimana kalau saya sakit betulan? Ya, kan? " kata Mak Paenah.

Namun, sejak awal Agustus ini, Mak Paenah menghilang kembali. Setelah
ditengok ke rumahnya, ternyata ia tidak kurang suatu apa.

"Aku pindah tempat jualan. Aku ngalah pada yang muda yang lebih perlu
uang,'' katanya yang kemudian menimbulkan tanda tanya.

Ternyata, Mak Paenah kini memilih berjualan di Lapangan Merdeka.
Menurut dia, di depan Gedung DPRD itu sudah muncul seorang saingan.
Seorang penjual pecel yang masih muda dilihatnya selalu berusaha
menyainginya dalam merebut hati pembeli.

"Aku tidak ingin bersaing. Rezeki sudah ada yang mengatur. Biarlah
aku yang sudah tua ini pindah," katanya tanpa emosi. (ARBAIN RAMBEY)
 
Sumber: KOMPAS - Jumat, 16 Agustus 2002 

Tidak ada komentar: