Jumat, 27 November 2015

Royal

ROYAL
(Kontemplasi Peradaban)
 

“Invisa nunquam
 imperia retinentur diu” – pemerintahan yang
dibenci tidak pernah dapat bertahan lama (Seneca).
 
          Di jawa ada cemilan yang  bernama rondho royal.  Ini adalah makanan tradisional yang terbuat dari tape yang digoreng dengan tepung beras. Makanan ini sangat terkenal di Jawa, terutama di Jepara (Jawa Tengah). Sulit menafsirkan kata tersebut. Dalam buku yang berjudul, “Kamus Basa Jawa” yang disusun oleh Tim Balai Bahasa Yogyakarta, mengulas makna Rondho dan Royal”.  Rondho (Bhs. Jawa artinya janda) dan royal (Bhs. Jawa artinya  “seneng mbuang dhuwit utawa nglakoni maksiyat; tumindak beborosan kanggo senenge dhewe” = senang membuang uang atau bertindak maksiat; boros untuk kesenangannya sendiri).

Meskipun royal itu sebuah kata yang kebarat-baratan, namun  - seperti yang tertulis di atas  -  kita tahu bahwa kata royal sudah masuk dalam khazanah bahasa Jawa. Orang Jawa yang gemar memboroskan uang untuk bergaya mewah diistilahkan sebagai royal, menandakan bahwa orang-orang ini hendak meniru tingkah laku dari kalangan  menak dan priyayi.

          Ternyata konotasi untuk royal begitu jelek bagi orang Jawa. Dan untuk zaman sekarang ini, hidup royal karena orang itu kelebihan harta. Kelebihan harta bisa membuat orang “lupa daratan”   yang dalam bahasa Jawa  disebut dengan istilah  “melik gendhong lali” – yang memiliki banyak uang akan lupa  atau bahasa kasarnya, “kere munggah bale”. Orang yang amat miskin yang tiba-tiba mendapatkan fasilitas yang berlimpah-ruah, sehingga dengan mudah menggunakannya  untuk royal.

 Lantas kita berkata, “Bagaimana tidak royal, jika uang dengan mudah didapatkan. Gaji pokok sudah jutaan, tunjangan uang duduk dan lain-lain?”  Kesempatan untuk hidup royal dengan mudah mendapatkan uang pula, membuat mereka tidak memiliki  sense of crisis.  Suami mengadakan  study banding, sedangkan istri-istri mereka  shopping. Tidaklah salah jika dalam bahasa Indonesia kata royal juga berpadanan dengan foya-foya. Dan kata itu bersinonim dengan plesir yang diserap dari pleasure. Maka, pleasure loving  berarti suka plesir dan bersenang-senang. 

Kehidupan yang  royal pada awalnya memang berkaitan dengan raja dan kaum monarki. Istilah ini dianggap sejajar dengan kata regal yang artinya tampil menakjubkan bak seorang raja. Di sini mungkin kita pernah mendengar tokoh seorang permaisuri yang bernama Antoniette. Maria Antoinette (1770 – 1793) permaisuri dari Louis XVI (1754 – 1793) memiliki banyak julukan namun sayang bahwa  sebagian besar julukan itu negatif.  Ia sering merayakan pesta di istana, membelanjakan barang-barang perhiasan yang mahal-mahal, bahkan ketika negeri Prancis mengalami kesulitan keuangan, “Ia berfoya-foya di atas penderitaan rakyat.”  Dan akibatnya dapat kita ketahui, ia dan suaminya dihukum pancung dengan hukuman  guillotine.  Memang, “gula plures interemit quam gladius” – kerakusan itu (dapat) membinasakan lebih banyak hal dibandingkan dengan pedang.

Dalam dunia pewayangan pun, kita kenal tokoh Punakawan yang berjudul, “Petruk kantong bolong”. Sang tokoh ini sakunya berlubang-lubang sehingga uang cepat mengalir entah ke mana. Ibaratnya kalau orang ini pejabat, maka uang itu mengalir entah ke mana. Karena kantong-nya  bolong, uang bisa untuk royal dengan mentraktir teman-teman kantor atau untuk biaya istri simpanan dan lain sebagainya. Kelakuan seperti ini, kita menjadi ingat akan kata-kata Seneca (4 seb. M – 65 M), filsuf-negarawan-dramawan  mengatakan, “Invisa nunquam imperia retinentur diu” – pemerintahan yang dibenci tidak pernah dapat bertahan lama.

Dalam suasana seperti ini, baiklah jika kita meneladani asketis Muhammad SAW. Asep Salahudin menulis, “Rasulullah  lebih memilih menyatu dengan rakyat. Istananya tidak dibangun berlapiskan emas permata, tetapi menjadi bagian dengan masjid tempat keluar masuk masyarakat. Alih-alih memakai pagar yang menghabiskan uang rakyat, pintu rumahnya justru dibiarkan terbuka agar para sahabat dan komponen bangsa dapat berdialog setiap saat” (Kompas, 4 Februari 2012). Para petinggi pemerintah dan orang-orang terhormat di Senayan sana,  perlu untuk bersikap ugahari, kalau bisa sehati seperasaan dengan rakyat yang sedang susah (sense of crisis).

 

Senin, 12 Oktober 2015  
Markus Marlon

Tidak ada komentar:

Posting Komentar