Selasa, 22 Desember 2015

CATUT
(Kontemplasi  Peradaban)
 
“Nunc animis
opus, Aenea, nunc pectore
 firmo” – Aeneas, sekarang ini kerja jiwamu
 hendaknya dilakukan dengan hati nurani yang kokoh (Vergilius).
 
       Ketika seseorang memerbaiki rumah atau pagar kemudian ada paku yang sudah tidak dipakai lagi dan perlu untuk dibuang, maka dibutuhkan sebuah catut. Dalam  Kamus Bahasa Jawa, “cathut” berarti peralatan untuk mencabut paku. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, catut diartikan sebagai penyalahgunakan (kekuasaan, nama orang dan jabatan) untuk mencari untung. Banyak orang yang mencatut nama pejabat untuk kepentingan pribadi. 

          “History repeat itself”  – Sejarah akan berulang dengan sendirinya.  Kisah catut-mencatut sudah ada sejak dulu kala. Dalam kisah pewayangan yang berjudul,  “Karno Tanding”  Kunti, ibu para Pandawa mencatut nama besar kelima anaknya (Yudistira, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa) agar Karno, yang pada waktu itu berpihak pada Doryudana,  bergabung dengan adik-adiknya. Pencatutan nama itu tentunya tidak diketahui oleh kelima anaknya. Ini adalah insitiatif sang ibu yang prihatin terhadap keutuhan keluarganya. Meskipun demikian, Karno tetap  kuekueh dengan pendiriannya, yakni berseberangan dengan adik-adiknya. 

          Aesop (620 – 506 seb.M) pun memberikan kisah tentang pencatutan yang dilakukan  seekor kera yang menggunakan nama kota besar  Piraeus, pelabuhan kota Athena.

Waktu itu, ikan lumba-lumba menolong kera yang terlempar di laut. Kemudian terjadilah percakapan antara kedua binatang tersebut.

      “Apakah kamu orang Athena?” Lumba-lumba itu bertanya.
            “Ya, betul,”  kera itu berbohong. “Saya merupakan anggota salah satu  keluarga paling terkemuka di seluruh Athena.”
            “Kalau begitu kamu pasti tahu Piraeus,” lumba-lumba berkata dengan bangga, mengacu pada pelabuhan indah yang ia jadikan tempat tinggal.
            Karena menduga bahwa Piraeus itu pasti merupakan seorang pejabat termasyur, kera pun menjawab,  “Ya, aku mengenalnya. Ia adalah salah satu teman terbaikku.”
            Ketika lumba-lumba mendengar jawaban bohong itu, ia menyelam ke dasar laut dan membiarkan kera itu tenggelam.
 

       “Nomen est omen” – Nama adalah pertanda. Dalam sebuah nama selalu terkandung sebuah harapan baik.  Lantas, bagaimana jika nama baik itu dicatut untuk hal-hal yang kurang baik, misalnya untuk memengaruhi suatu kebijakan. Nama baik tetaplah menjadi nama baik, tergantung pribadi yang menyandangnya. Ia akan tetap menjadi pribadi yang marwah.  Jadi meskipun namanya dicatut, ia tetap akan stabil, tak tergoncangkan.

Dalam budaya Jawa ada pepatah yang berbunyi, “Yen ora cluthak bisa galak” atau sebaliknya  “cluthak ora galak”.  Maknanya, “orang itu (pemimpin) kalau bersih (jika tidak nggragas, pemakan segala/ serakah) selalu mampu bersikap tegas”.  Jika yang dicatut namanya itu “bersih”, maka ia akan  galak  dan tegas.

Demikianlah, mencatut nama orang lain merupakan tindakan yang kurang terhormat.  “Penyalahgunaan nama” yang dalam bahasa Inggris diartikan sebagai  “to abuse”  berasal dari bahasa Latin, “abusus”. “Abusus” terdiri dari kata “ab” yang berarti dari dan “utor” berarti menggunakan.  Dengan demikian, “abusus” menunjuk pada “menyimpang dari penggunaan sebenarnya.

Kamis, 26 November 2015   
Markus Marlon

Senin, 07 Desember 2015

Jalan Sempit

JALAN  SEMPIT
 
“Et arcta via est, quae ducit ad vitam”  –  dan sempitlah jalan yang menuju kepada kehidupan (Mat 7: 14).
 
       “Pernahkan kita mengalami hidup itu terasa nyaman, sepertinya tidak ada masalah?” Seolah-olah jalan begitu lebar dan luas, tanpa gangguan. Tetapi tiba-tiba dalam kasus lain, sepertinya jalan begitu berat dan akhirnya kita menyerah.

          Setiap saat, kita senantiasa diperhadapkan pada pertanyaan dalam diri, “Saya akan ikut jalan mana?” Para tetua penduduk asli Amerika  memberikan petuah kepada anak-anak muda supaya berani melangkah di jalan yang sempit dan berkelok-kelok,  menanjak dan melintasi gunung-gunung terjal. Mereka menambahkan lagi, “Jalan itu penuh dengan begitu banyak kesulitan dan rintangan dan hanya yang kuatlah yang  bisa mencapai puncak gunung.”  Melalui legenda itu, para orang tetua  suku Indian mengajar  anak-anak  bahwa  bahwa jalan yang paling mudah bukanlah jalan yang terbaik.

Ronggowarsito (1802 – 1873 ) yang popular dengan  “jaman edan”-nya  memberikan ulasan tentang kehidupan manusia yang tidak mau ikut arus. Ia memuji orang yang waspada dan tidak lupa, “… begja-begjane kang lali,  luwih begja kang eling lan waspada” – Namun bagaimana pun juga betapapapun nikmatnya kehidupan mereka yang ikut menjadi  edan, masih lebih bahagia  mereka yang tetap mempertahankan kesadarannya.  Kalau kita ikut arus  zaman edan tersebut, akan banyak teman yang pasti hidup lebih terjamin di dunia ini. Bagaimana pun juga, kita harus hidup di jalan yang benar, karena  “invia virtuti nulla est via” – untuk sebuah kebajikan tidak ada jalan yang tidak bisa dilalui.

          Hal yang sama juga apa yang ditulis oleh Richard Bach (lahir 23 Juni 1936) yang terkenal dengan buku  the best seller-nya yang berjudul, “Jonathan Livingstone Seagull”.  Si camar itu berani meninggalkan cara hidup yang biasa-biasa saja. Semua burung lain melarangnya, namun ia tetap berpendirian untuk menjadi  “yang lain”  dan akhirnya menemukan kebahagiaan. Lain dengan cerita yang dikisahkan Antony de Melo (1931 – 1987) dalam bukunya yang berjudul “Burung Berkicau”  di sana ada orang lebih senang ikut masyarakat umum dan mengikuti cara hidup mereka (ikut arus) dan memang terasa nyaman. 

          Masih tentang  “jalan sempit”. Salah seorang murid Socrates yang bernama Cebes menulis di dalam bukunya yang berjudul,  “Tabula” demikian, “Apakah engkau melihat sebuah pintu kecil yang ada di depannya, namun tidak ramai serta hanya sedikit  saja yang melaluinya ?” Itulah jalan yang menuju kepada pengajaran sejati (Bdk. William Barclay dalam bukunya yang berjudul, “Pemahaman Alkitab Setiap hari Injil Matius”, hlm. 454).  Jalan sempit yang menyelamatkan juga ditulis oleh John Bunyan (1628 – 1688)  dalam bukunya yang sangat terkenal bahkan monumental, “The Pilgrim’s  Progress”.  Bunyan menulis bahwa jalan sempit itu penuh resiko dan tantangan, “Siapa takut?”

Senin, 19 Oktober  2015    Markus Marlon

Kamis, 03 Desember 2015

AMARAH
Kontemplasi Peradaban
 
Furor fit laesa saepius patientia – kesabaran yang
 sering dinistakan dapat berubah menjadi kemarahan (Publius Syrus).
 
       Siapa pun orangnya tentu pernah marah. Ada yang marah terlihat dari body language-nya yang tenang-tenang saja. Namun ada juga yang marahnya tidak terkendali seperti Baladewa, saudara  Kresna: meluap-luap. Dan  ketika kita melihat amarahnya, dari raut mukanya seolah-olah akan berbuat jahat. Itulah dalam bahasa Arab, ammarat  itu berarti menyuruh seseorang untuk berbuat jahat. Tidak heranlah jika dalam bahasa Latin, ada pepatah, “furor arma ministrant” – kemarahan mengarah untuk memakai senjata.

          Kebanyakan di antara kita berpikir bahwa amarah hanyalah dipunyai oleh mereka yang berkuasa. Seorang jendral marah kepada para prajutir, seorang direktur marah kepada karyawan-karyawannya dan seterusnya. Adolf  Hitler (1889 – 1945) misalnya – dalam biografinya – dituliskan bahwa kalau ada yang tidak sesuai dengan keinginannya langsung marah-marah. Penulis buku “Strategi Perang”  Sun Tzu (544 – 496 Seb. M) pernah menulis, “When the officer  get angry  easily with their men, it indicates that they are weary  of war” – Jika seorang pemimpin mudah marah-marah terhadap bawahannya, ketahuilah bahwa ia sudah capek dan jenuh dengan perang.

          “Menghadapi orang yang sedang marah-marah, jangan dilawan dengan marah”  kata seorang bijak, “Namun hadapilah dengan penuh kesabaran.”  Shakespeare  (1564 – 1616) dalam dramanya yang berjudul,  “Merchant of Venice”  merekam apa yang dikatakan Antonio. Antonio (tokoh utama) itu berkata, “Kan  kulawan kemarahannya dengan kesabaran, kan
kutanggung derita di bawah kuasa amarahnya dengan sikap setenang roh…”  Kalau ada api padamkanlah  dengan air.

          Kita harus sadar bahwa nafsu kemarahan itu hanya sejenak. Banyak orang yang menyesal setelah marah besar terhadap anaknya. Horatius (65 – 8 seb. M) pernah menulis, “Ira furor brevis est: animum rege, qui nisi imperat: hunc frenis, nunc tu compesce catena” – Nafsu amarah itu hanya sejenak: Arahkanlah hatimu, jika nafsu itu tidak ditundukkan, ia akan menguasaimu. Kekanglah nafsu itu dengan kendali atau dengan rantai.”

          Ya, memang, tali pada busur kadang-kadang  dikendorkan  – biarpun itu busur Apolo  –  agar tidak putus. Demikian pula, menurut bahasa Konfusius (551 – 479 seb. M), “Orang tidak dapat melihat bayangannya sendiri di dalam air yang mengalir, tetapi ia dapat melihatnya pada air yang diam.”

Rabu, 28 Oktober 2015  
Markus Marlon