Senin, 30 November 2015

Rela

RELA
Kontemplasi Peradaban
 
“Qui proiecto
vestimento suo exiliens, venit ad eum”
 – Lalu ia menanggalkan mantolnya, segera
 berdiri dan pergi mendapatkan Dia (Mrk 10: 50).
 
       Saya pernah mendengar sebuah lagu secara samar-samar, “Aku rela kasihku  pergi bersama si dia….” Sebuah lagu yang menyentuh kalbu dan mengharukan. Lantas kita bertanya, “Tetapi benarkah, orang itu rela melepaskan dia?”

          Zaman sekarang ini, sering kita dengar ungkapan seperti, “Aku rela berkorban demi nyai” atau “Para relawan mengawal  nawacita  yang dicanangkan oleh Jokowi” atau, “Pejabat itu dengan mudah rela melepaskan jabatannya yang empuk”. Memang, orang yang rela itu seolah-olah mengganggap bahwa relasi, kekayaan itu bagaikan mainan. Kemudian kita bertanya,  “Benarkah demikian?”

          Sri Paduka Mangkunagara IV (1809 – 1881) dalam bukunya yang berjudul, “Wedhatama”  menulis, “Lila lamun, kelangan nora gegetun...” – rela yang berarti tidak menyesal, apabila kehilangan sesuatu.  Istilah  lila yang biasanya diterjemahkan sebagai “rela” sebenarnya memiliki makna yang jauh lebih dalam.  Lila juga berarti “permainan”.  Kerelaan hanya bisa terjadi, apabila kita mengganggap dunia  ini hanya sebagai suatu permainan atau pertunjukan. Kehilangan dan keperolehan atau  suka dan duka semuanya hanya terjadi dalam “permainan” yang sedang kita mainkan. Maka,  saya sering  merasa heran apabila ada orang yang memiliki jabatan, kemudian  bersikap mati-matian untuk memegang jabatan tersebut. Ingatlah bahwa semuanya akan berlalu, “There is a time for everything…” – untuk segala sesuatu ada masanya (Pkh 3: 1).

          Memang benar bahwa yang paling sulit itu adalah rela melepaskan jabatan. Dengan jabatan itu, seseorang bisa memerintah dan memiliki fasilitas. Shakespeare (1564 – 1616) dalam dramanya yang berjudul, “King Henry VIII” memperlihatkan kepada kita bahwa seorang raja yang ambisius tidak pernah mau melepaskan jabatannya. Dalam drama itu, Kardinal Wolsey berkata,

                   Aku menuntutmu ‘tuk mengenyahkan ambisimu!
                   Karena itulah dosa yang membuat malaikat jatuh!
 
          Sang Kardinal mengingatkan bahwa jabatan itu sifatnya hanya sementara. Hal itu sama dengan kisah-kisah  “Bhagavad Gita”  –  Nyanyian mulia  yang ditulis  3000 tahun  sebelum Masehi.  Ketika Arjuna dalam keadaan loyo – tidak semangat, Krishna memberi nasihat, “Ibarat seseorangmelepaskan pakaian lama dan memakai pakaian baru…”        Hidup ini bagaikan melewati  cakra panggilingan  (roda berputar) yang bermakna: hari ini memegang jabatan tapi esok atau lusa tentu harus dilepaskan.

          Sebagai akhir dari kontempasi ini, baiklah kita merenungkan lebih dalam lagi,  dengan mengutip kisah Bartimeus (Mrk 10: 50). Ditulisnya, “Ia menanggalkan mantolnya, melonjak dan datang kepada Yesus.” Menanggalkan mantolnya memunyai arti sama dengan meninggalkan segala-galanya. Mantol sejak jaman kuno memiliki makna khusus, “Kalau engkau mengambil mantol  saudaramu sebagai tanggungan, engkau harus mengembalikannya sebelum matahari terbenam; sebab mantol itu satu-satunya yang ia punyai untuk menutup tubuhnya (Kel 22: 25 – 26).

 

Jumat, 30 Oktober 2015 
Markus Marlon

Jumat, 27 November 2015

Royal

ROYAL
(Kontemplasi Peradaban)
 

“Invisa nunquam
 imperia retinentur diu” – pemerintahan yang
dibenci tidak pernah dapat bertahan lama (Seneca).
 
          Di jawa ada cemilan yang  bernama rondho royal.  Ini adalah makanan tradisional yang terbuat dari tape yang digoreng dengan tepung beras. Makanan ini sangat terkenal di Jawa, terutama di Jepara (Jawa Tengah). Sulit menafsirkan kata tersebut. Dalam buku yang berjudul, “Kamus Basa Jawa” yang disusun oleh Tim Balai Bahasa Yogyakarta, mengulas makna Rondho dan Royal”.  Rondho (Bhs. Jawa artinya janda) dan royal (Bhs. Jawa artinya  “seneng mbuang dhuwit utawa nglakoni maksiyat; tumindak beborosan kanggo senenge dhewe” = senang membuang uang atau bertindak maksiat; boros untuk kesenangannya sendiri).

Meskipun royal itu sebuah kata yang kebarat-baratan, namun  - seperti yang tertulis di atas  -  kita tahu bahwa kata royal sudah masuk dalam khazanah bahasa Jawa. Orang Jawa yang gemar memboroskan uang untuk bergaya mewah diistilahkan sebagai royal, menandakan bahwa orang-orang ini hendak meniru tingkah laku dari kalangan  menak dan priyayi.

          Ternyata konotasi untuk royal begitu jelek bagi orang Jawa. Dan untuk zaman sekarang ini, hidup royal karena orang itu kelebihan harta. Kelebihan harta bisa membuat orang “lupa daratan”   yang dalam bahasa Jawa  disebut dengan istilah  “melik gendhong lali” – yang memiliki banyak uang akan lupa  atau bahasa kasarnya, “kere munggah bale”. Orang yang amat miskin yang tiba-tiba mendapatkan fasilitas yang berlimpah-ruah, sehingga dengan mudah menggunakannya  untuk royal.

 Lantas kita berkata, “Bagaimana tidak royal, jika uang dengan mudah didapatkan. Gaji pokok sudah jutaan, tunjangan uang duduk dan lain-lain?”  Kesempatan untuk hidup royal dengan mudah mendapatkan uang pula, membuat mereka tidak memiliki  sense of crisis.  Suami mengadakan  study banding, sedangkan istri-istri mereka  shopping. Tidaklah salah jika dalam bahasa Indonesia kata royal juga berpadanan dengan foya-foya. Dan kata itu bersinonim dengan plesir yang diserap dari pleasure. Maka, pleasure loving  berarti suka plesir dan bersenang-senang. 

Kehidupan yang  royal pada awalnya memang berkaitan dengan raja dan kaum monarki. Istilah ini dianggap sejajar dengan kata regal yang artinya tampil menakjubkan bak seorang raja. Di sini mungkin kita pernah mendengar tokoh seorang permaisuri yang bernama Antoniette. Maria Antoinette (1770 – 1793) permaisuri dari Louis XVI (1754 – 1793) memiliki banyak julukan namun sayang bahwa  sebagian besar julukan itu negatif.  Ia sering merayakan pesta di istana, membelanjakan barang-barang perhiasan yang mahal-mahal, bahkan ketika negeri Prancis mengalami kesulitan keuangan, “Ia berfoya-foya di atas penderitaan rakyat.”  Dan akibatnya dapat kita ketahui, ia dan suaminya dihukum pancung dengan hukuman  guillotine.  Memang, “gula plures interemit quam gladius” – kerakusan itu (dapat) membinasakan lebih banyak hal dibandingkan dengan pedang.

Dalam dunia pewayangan pun, kita kenal tokoh Punakawan yang berjudul, “Petruk kantong bolong”. Sang tokoh ini sakunya berlubang-lubang sehingga uang cepat mengalir entah ke mana. Ibaratnya kalau orang ini pejabat, maka uang itu mengalir entah ke mana. Karena kantong-nya  bolong, uang bisa untuk royal dengan mentraktir teman-teman kantor atau untuk biaya istri simpanan dan lain sebagainya. Kelakuan seperti ini, kita menjadi ingat akan kata-kata Seneca (4 seb. M – 65 M), filsuf-negarawan-dramawan  mengatakan, “Invisa nunquam imperia retinentur diu” – pemerintahan yang dibenci tidak pernah dapat bertahan lama.

Dalam suasana seperti ini, baiklah jika kita meneladani asketis Muhammad SAW. Asep Salahudin menulis, “Rasulullah  lebih memilih menyatu dengan rakyat. Istananya tidak dibangun berlapiskan emas permata, tetapi menjadi bagian dengan masjid tempat keluar masuk masyarakat. Alih-alih memakai pagar yang menghabiskan uang rakyat, pintu rumahnya justru dibiarkan terbuka agar para sahabat dan komponen bangsa dapat berdialog setiap saat” (Kompas, 4 Februari 2012). Para petinggi pemerintah dan orang-orang terhormat di Senayan sana,  perlu untuk bersikap ugahari, kalau bisa sehati seperasaan dengan rakyat yang sedang susah (sense of crisis).

 

Senin, 12 Oktober 2015  
Markus Marlon

Stres

STRES

 
        “Neque semper
 arcum tendit Apollo” – Apolo tidak
 terus-menerus meregang busurnya (Horatius).
 
         Ada anak yang duduk di bangku Sekolah Dasar  mengeluh kepada ibunya, “Ma, aku stres dengan banyaknya PR di sekolah!”  Juga ada seorang ibu rumah tangga  yang berkata, “Duh saya stres memikirkan harga-harga barang yang  melambung terus!” 

        Zaman sekarang ini, stres bagaikan “penyakit jiwa” yang melanda orang tanpa kenal strata sosial maupun usia.

Penyebab stres (stressor) bermacam-macam dan akibatnya pun sangat bervariasi,  mulai dari yang ringan seperti gugup sampai yang berat seperti kecenderungan ingin bunuh diri.

Lantas kita bertanya, “Apakah stres bisa dihindari?” Jawabannya: tergantung. Ada stressor  yang  tidak dapat dihindari misalnya kematian  orang yang kita kasihi. Sebaliknya ada stressor yang dapat dihindari. Misalnya, jika kita stres dikejar oleh batas waktu suatu tugas, kita dapat mengerjakan tugas itu lebih dini dan lebih bijak mengatur waktu. Ini namanya stres yang baik dengan istilah: eustress dan stres yang membuat kita hampir  patah semangat disebut  distress.

Kehidupan para kudus tidak terlepas dari  pengalaman  “malam gelap jiwa”  tetapi mereka dapat mengatasinya.  Santa Theresia dari Avila (1515 – 1582) misalnya, memiliki pengalaman pada masa tengah umur yang membuat dirinya gelisah, cemas dan stres  ketika menghadapi tugas pelayanannya.  Namun, ia kemudian berusaha gembira dengan bernyanyi dan menari.

Arthur Schopenhauer (1788 – 1860) berkata, “Kehidupan adalah suatu pertempuran panjang dan kita harus berjuang dalam setiap langkahnya”. Dalam Kitab “Bhagavad Gita”  Arjuna mengalami stres yang sangat berat,  ketika menghadapi orang-orang yang dihormati dan disayangi  (Bhisma, Drona, Krepa dan Salya).

Baik jika kita – ketika mengalami stres – ingat akan kata-kata Ayub, “Does not man have hard service on earth…?” (Ayb 7: 1)  – bukankah manusia harus bergumul di bumi?  Atau kita tengok kutipan ini, “Take the rough with the smooth” – Jangan berharap jalan hidup kita selalu mudah. Rintangan atau stres membuat hidup kita makin kuat.

Kamis, 8 Oktober 2015  
Markus Marlon

Kamis, 26 November 2015

MELAMPAUI  RASA TAKUT

“Prajurit yang telah
 menyaksikan pedang berkilau
 di atas kepalanya, tidaklah peduli dengan batu-batu
yang dilemparkan kepadanya oleh anak-anak di jalanan” (Kahlil Gibran).
 
Ada sebuah pertanyaan ditujukan kepada seseorang, “Pernah Anda merasa takut: Takut menghadapi suami yang sedang marah, takut kehilangan anak yang tidak lama lagi akan pindah ke rumah mertua, takut terhadap kehidupan rumah tangga yang  gonjang-ganjing  masalah ekonomi?”    

Dale Carnegie (1888 – 1955)  dalam bukunya yang berjudul, “Petunjuk Hidup Tentram dan Bahagia”  menulis bahwa sebagian besar ketakutan yang kita alami itu tidak nyata.  Tetapi yang terjadi, seringkali kita  “takut-bimbang-ragu”  sehingga rasa takut itu menguasai diri kita, “mau begini takut dan mau begitu takut.”  Julius Caesar (100 – 44 seb.M)  dalam hal ini mengatakan bahwa penakut mati berkali-kali, sedangkan seorang pemberani hanya mati satu kali dalam hidupnya.

Rasa takut dan kuatir itu bagaikan melihat bayangannya sendiri ketika kena sinar matahari pada pagi atau sore hari. Bayangan itu amat besar sekali. Demikian pula, sering, apa yang kita kuatirkan itu amat besar dan ternyata apa yang dikuatirkan tidak terjadi sama sekali. Selama "penantian" di ambang rasa takut itu, kehidupan menjadi tidak nyaman.

Ketakutan membuat seseorang ragu-ragu dalam melangkah. William Shakespeare (1564 - 1616) dalam dramanya yang berjudul, “Hamlet” mengangkat istilah “to be or not to be”  untuk mengambil keputusan yang sangat genting. Situasi batin yang dialami oleh Hamlet penuh dengan keraguan dan  kebimbangan. Dia salah mengambil keputusan dan ini berakibat fatal, yakni kematian ayah tirinya.

Bagaimana  “way out”-nya agar kita bisa melampaui rasa takut. Yang pertama, mungkin kita pernah mendengar istilah yang dicetuskan oleh Ignatius Loyola  (1491 – 1556)  “contra agere” – melakukan sebaliknya: hadapi rasa takut itu dengan keberanian. Yang kedua seperti yang dilakukan Julius Caesar, “Mari kita melintasi sungai Rubicon.”  Hadapi rasa takut itu dan lampaui saja.

Selasa, 13 Oktober 2015    Markus Marlon

 

Rabu, 25 November 2015

Ujaran Kebencian

UJARAN  KEBENCIAN
(Kontemplasi Peradaban)
 
“Bad news travels fast” –
 kabar buruk cepat menyebar.
 
Kepala Polri Jendral (Pol) Badrodin Haiti telah menandatangani Surat Edaran No. SE/6/X/2015  pada 8 Oktober 2015 tentang penanganan Ujaran Kebencian (hate speech) agar polisi lebih peka terhadap potensi konflik sosial dengan segera mendekati dan mendamaikan pihak-pihak yang berselisih.
 
Tentu saja surat edaran tersebut menunai pro-kontra. Kebebasan berekspresi di Indonesia yang terkungkung pada  era Orde Baru memuncak seiring dengan masuknya Indonesia di  era digital. Media sosial menjadi ruang baru bagi warga negara untuk mengekspresikan  pandangan dengan berbagai bentuk, baik itu teks, karikatur, maupun gambar yang diolah melalui teknologi fotografi (Kompas “Menangani Ekspresi Kebencian”  30 Oktober 2015).
 
Dalam era digital ini, amat mustahil orang tidak memegang gawai yang seolah-olah dunia – memang – ada dalam genggaman. Karena dunia dalam genggaman, maka orang dengan mudah menulis kata-kata di  BBM, SMS, e-mail, dan  twitter  yang bisa jadi merupakan ujaran kebencian. Misalnya ada orang yang meng-upload  sebuah  status. Dan tidak diduga, ternyata kata-kata tersebut melukai hati orang lain. Mulai dari situlah, terjadi  “perang digital” yang tentunya menguras banyak energi. Yang tadinya teman baik, kini saling benci hanya karena  status itu. Orang menuduh bahwa status itu ditujukan pada dirinya.
 
Dan jika “perang digital” itu semakin mamanas, maka muncullah hasutan sana-sini. Ini sungguh amat berbahaya.  Hasutan baru terjadi,  jika diwujudnyatakan, entah itu dalam kata-kata maupun perbuatan. Pembunuhan Julius Caesar  (100 – 44 seb.M) yang terjadi pada pertengahan Maret 44 karena ditusuk hingga mati oleh Marcus Junius Brutus (85 – 42 seb.M) awalnya merupakan hate speech  – ujaran kebencian.  Peristiwa ini terjadi karena adanya kata-kata yang mengarah pada perundingan  dari Marcus Brutus, Cassius, Casca, Trebonius, Ligarius, Decius Brutus dan Mettelus Cimmber. Akan lebih mendalam  jika kita membaca kisah-kisah konspirasi dari para Mafioso dan Godfather serta  Sherlock Holmes tulisan Sir Arther Conan Doyle.

Kita menjadi sadar bahwa   hate speech – ujaran kebencian itu memang  awalnya hanyalah ujaran-ujaran yang biasa dan sederhana,  namun lama-kelamaan menjadi besar, akhirnya terjadilah ujaran kebencian “kriwikan dadi grojogan”.  Dan tidak jarang dalam bergosip itu terselip juga berita bohong dan fitnah. Kita tahu bahwa  kaum muslimin diperintahkan untuk tidak membicarakan orang lain di belakang-belakang atau membicarakan keburukan orang bukan di hadapan yang bersangkutan. Dalam Al-Quran surat 49: 12 diterangkan sebagai berikut, “Hai, orang-orang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah mempergunjingkan …” (Bdk. Buku tulisan Christine Huda Dodge dengan judul, “Memahami segalanya tentang Islam”).
           
          Ujaran kebencian memang berbahaya yang dalam bahasa saat ini disebut sebagai desas-desus atau (seperti yang tadi dituliskan)  gossip.  Lakon wayang berjudul, “Drona Gugur” hanya karena kabar buruk yang diterimanya. Disebarkanlah sebuah  gossip bahwa sang putra, Aswatomo tewas dalam peperangan, padahal yang mati bukan dia tetapi gajah yang bernama Estitomo.  Dari situlah, Drona menangis sedih, berduka yang membuat dirinya tidak stabil dan tewaslah ia.

          Demikian pula, orang-orang yang di-bully dalam dunia maya bisa menjadi frustasi  karena – barangkali – foto-fotonya direkayasa dan sudah tersebar ke mana-mana (cyber bullying) dan tidak kuasa untuk menahannya. Dalam sekejab pun nama baiknya luluh-lantak.   Tentang hal ini, Vergilius (70 – 19 seb. M)  pernah berkata, “Fama nihil est celerius” – tidak ada yang lebih cepat daripada desas-desus.

Dalam perang, orang takut dengan desas-desus. Bahkan Napoleon Bonaparte (1769 – 1821) berkata bahwa  desas-desus lebih berbahaya daripada pedang. Kita menjadi ingat akan kisah perang masyur :  Sam Kok  atau The Three Kingdom. Tokoh yang sering disebut-sebut dalam perang itu adalah Cao-Cao.  Ia selalu berhati-hati dalam menghadapi pelbagai situasi, terutama si  telik sandi (mata-mata).  Cao-cao mengatakan bahwa desas-desus yang disebarkan oleh telik sandi  itu itu sungguh-sungguh – bahkan melebihi –  “hate speech” – ujaran kebencian”.

Kamis, 5 November 2015   Markus Marlon

Minggu, 15 November 2015

MEMIMPIN
Kontemplasi Peradaban
 
“Omnia orta
occidunt” – Siapa saja yang
 naik berkuasa suatu ketika ia juga akan turun.
 
 
Pilkada sertentak (9 Desember  2015)  akan digelar. Masing-masing partai sudah mulai mengelus-elus jagonya.  Ingar-bingar pesta demokrasi tentunya akan menyerap dana miliaran rupiah,  bahkan (mungkin) triliyunan rupiah. Semoga saja dengan dana serta energi dari para calon tersebut, akan “ditemukan” para pemimpin daerah dan walikota yang  mumpuni.      
Rakyat merindukan pemimpin yang bijaksana, rakyat mendambakan pemimpinan yang adil, rakyat mencita-citakan seorang pemimpin yang mampu mengentaskan dari keterpurukan ekonomi, pendidikan dan kesehatan. Suara rakyat adalah suara Tuhan, “Vox populi, vox Dei”. Itulah sebabnya amanat yang diberikan kepada para pemimpin, janganlah dicederai.
Banyak teori kepemimpinan yang sejatinya terarah kepada rakyat yang dipimpinnya. Dari para pujangga Jawa kita mengenal ajaran seperti:  Asthabrata,  Dasa Darma Raja,  Wulang Reh  dan  Tripama. Dari empat karya tersebut, kita bisa mengenal  delapan watak yang tunggal seorang pemimpin (Bumi, Matahari, Rembulan, Angin,  Samodra, Api,  Kartika, Mendhung). Juga sepuluh watak kebajikan dalam kepemimpinan (Paciraga, Ajava, Dhana, Tapa, Susila, Madava, Akrodha, Kanthi, Avirodhana, Avihimsa). Lantas kita kenal empat kode etik kepemimpian dalam  “Wulang Reh” dan tiga rujukan tokoh kepemimpinan yakni: Patih Suwando, Adipati Karna dan Kumbakarna (Bdk. Buku dengan judul,  “Sang Pemimpin”  tulisan Pardi Suratno).
Sejujurnya, rakyat tidak akan banyak menuntut atau neko-neko terhadap pemimpinnya.  Hal yang diharapkan dari mereka hanyalah tercukupinya kebutuhan primer: sandang-pangan-papan. Kita mungkin ingat akan kata-kata dari Juvenalis (60 – 140) penulis Romawi, “Panen et circenses”. Kelompok  yang dulu memberikan perintah, jabatan (politik), tentara dan semuanya kini mereka tidak mengurus apa-apa lagi dan mereka hanya mendambakan dua hal yaitu roti dan permainan. Rakyat disuguhi roti dan hiburan  (para gladiator yang sedang berlaga) agar rakyat tidak berontak.  Apa yang dibuat sang pemimpin,  tentu hanya menyejahterakan sebagian orang saja. Padahal, di sini pemimpin diharapkan menjadi payung, pangayom dalam menyejahterakan rakyat.
Kita jadi ingat kisah  heroic dari Umar bin Khattab (579 – 644) yang  rela memanggul beras berkeliling mencari warganya yang kelaparan (memerintah pada tahun 634 – 644). Atau penulis yang menamakan diri Multatuli.  Multa tuli (Bhs. Latin)  arti secara harfiah adalah “aku telah banyak menderita”. Perkataannya   terekam dalam  sebuah buku  yang berjudul,  “Max Havelaar”. Tulisnya, “Apa yang kita makan, minum, pakai dan sebagainya, alangkah bahagianya kalau itu bukan pemberian orang, bukan belas kasihan orang, melainkan keringat kita sendiri” (Bdk. “Tempo Intermezo” – Secangkir Kopi untuk Havelaar, 20 Juni 2010).  Seorang pemimpin berusaha untuk memberdayakan rakyatnya agar mandiri (berdiri atas kaki sendiri).
          Menjadi pemimpin tidaklah mudah seperti  membalikkan tangan. Menjadi pemimpin pertama-tama (seharusnya) memiliki kematangan emosi dan afeksi yang baik.  Pepatah Latin menulis, “Regnare nolo liber ut non sim mihi” – Aku tidak mau berkuasa jika terhadap diriku sendiri aku tidak menjadi orang bebas. Bagaimana mungkin menjadi pemimpin kalau dalam dirinya terbelenggu dengan orang-orang yang mendektenya. Sebenarnya apa yang ada di dalam dadanya adalah untuk memakmurkan rakyatnya.
Demikianlah kita tidak boleh lupa akan sejarah para pemimpin kita terdahulu. Tahun 1925 salah satu pendiri bangsa  yang kemudian menjadi ketua DPR pertama (dulu bernama KNIP), namanya  Kasman Singodimedjo (1904 – 1982). Dalam pidatonya, ia sempat  melukiskan sosok H. Agus Salim (1884 – 1954). Singodimedjo pun berkata, “Jalan pemimpin itu bukan jalan yang mudah. Memimpin adalah menderita” – een leidersweg is een lijdensweg. Leiden is lijden.  Sekali lagi, itulah arti dari Multatuli. Yesus Kristus sendiri telah mengatakan beberapa abad yang lalu,“…Son of Man did not come to be served, but to serve...” – Anak Manusia  datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani ( Mrk 10: 45).
Akhirnya, kontemplasi ini akan saya akhiri dengan kisah sejarah yang sudah melegenda. Raja Harun Ar-Rasid (766 – 809) adalah kalifah kelima dari kekalifahan Abbasiyah dan memerintah tahun 786 – 803.  Ada banyak kisah tentang Raja Harun Ar-Rasid. Syahdan, raja itu terkenal karena sering menyamar sebagai rakyat jelata. Kadang-kadang baginda menyamar sebagai penjual martabak. Pernah pula sebagai seorang pengemis tua di pinggir jalan.
          Itulah yang disebut incognito. Menanggalkan segala keagungan, lalu menyamar sebagai orang yang tidak dikenal. Ber-incognito atau secara diam-diam menempatkan diri di tempat orang lain adalah cara yang paling baik kena untuk menyelami dan merasakan kenyataan yang sesungguhnya.
Jumat, 23 Oktober 2015   Markus Marlon
 

__._,_.___
Posted by: Markus Marlon <markus_marlon@yahoo.com>

“Tindak kekerasan adalah bentuk lain dari kemalasan. Ia digunakan oleh orang-orang yang tidak mau bergumul dengan karunia akalnya. Mereka enggan menempa diri dengan belajar, menganalisis persoalan secara cermat, berargumen, apalagi berdialog.” (Prof. Dr. Khaled Abou El Fadl)

VISIT YOUR GROUP New Members 1
• Privacy • Unsubscribe • Terms of Use
__,_._,___

bukankah iman membutuhkan realisasi tindakan nyata. Bukan jar koni bro seperti budaya yg mengemuka sekarang ini....???

salam sumringah & setia menyemai...
yohanes mudjita

▶ Show quoted text
Posted by: mudjita yohanes <mudjita@yahoo.com>

“Tindak kekerasan adalah bentuk lain dari kemalasan. Ia digunakan oleh orang-orang yang tidak mau bergumul dengan karunia akalnya. Mereka enggan menempa diri dengan belajar, menganalisis persoalan secara cermat, berargumen, apalagi berdialog.” (Prof. Dr. Khaled Abou El Fadl)

VISIT YOUR GROUP New Members 1
• Privacy • Unsubscribe • Terms of Use

__,_._,___
Delivery to the following recipient failed permanently:

     pds56@indosat.blackberry.com

Technical details of permanent failure:
Google tried to deliver your message, but it was rejected by the server for the recipient domain indosat.blackberry.com by mx03.bis3.ap.blackberry.com. [216.9.247.34].

The error that the other server returned was:
550 #5.1.0 Address rejected pds56@indosat.blackberry.com

----- Original message -----

X-Received: by 10.140.34.41 with SMTP id k38mr22662117qgk.95.1445570283880;
        Thu, 22 Oct 2015 20:18:03 -0700 (PDT)
X-Forwarded-To: pds56@indosat.blackberry.com
X-Forwarded-For: pdsarwono@gmail.com pds56@indosat.blackberry.com
Delivered-To: pdsarwono@gmail.com
Received: by 10.55.149.5 with SMTP id x5csp840938qkd;
        Thu, 22 Oct 2015 20:18:03 -0700 (PDT)
X-Received: by 10.107.15.223 with SMTP id 92mr22741763iop.152.1445570283137;
        Thu, 22 Oct 2015 20:18:03 -0700 (PDT)
Return-Path: <sentto-2818039-76521-1445570281-pdsarwono=gmail.com@returns.groups.yahoo.com>
Received: from ng15-vm6.bullet.mail.gq1.yahoo.com (ng15-vm6.bullet.mail.gq1.yahoo.com. [98.136.219.188])
        by mx.google.com with ESMTPS id os5si1498733igb.68.2015.10.22.20.18.02
        for <pdsarwono@gmail.com>
        (version=TLS1 cipher=ECDHE-RSA-AES128-SHA bits=128/128);
        Thu, 22 Oct 2015 20:18:03 -0700 (PDT)
Received-SPF: pass (google.com: domain of sentto-2818039-76521-1445570281-pdsarwono=gmail.com@returns.groups.yahoo.com designates 98.136.219.188 as permitted sender) client-ip=98.136.219.188;
Authentication-Results: mx.google.com;
       spf=pass (google.com: domain of sentto-2818039-76521-1445570281-pdsarwono=gmail.com@returns.groups.yahoo.com designates 98.136.219.188 as permitted sender) smtp.mailfrom=sentto-2818039-76521-1445570281-pdsarwono=gmail.com@returns.groups.yahoo.com;
       dkim=pass header.i=@yahoogroups.com;
       dmarc=pass (p=NONE dis=NONE) header.from=yahoogroups.com
DKIM-Signature: v=1; a=rsa-sha256; c=relaxed/relaxed; d=yahoogroups.com; s=echoe; t=1445570281; bh=XDzNc+y0EZeiN5CWp0V174zhNyxJXbPfC1s1wwXV+X0=; h=To:In-Reply-To:References:From:List-Id:List-Unsubscribe:Date:Subject:Reply-To:From:Subject; b=wdJrOXQKvY5DM4v6ZdthGs4hMAOfj2jdnVj9X6oJBcVLOkSROhhmhJKHYulJFdQiRzvx9JB7pRCqtkq8HK+xe8CxEjmTYG1uJIazN7uLLXnqZOGN97l0ztabDpUaKQl8uRc6u9GaUj+9S2X5kPjjnNKsblZ+i5SjJEQ73dhUlys=
Received: from [98.137.0.87] by ng15.bullet.mail.gq1.yahoo.com with NNFMP; 23 Oct 2015 03:18:01 -0000
Received: from [10.193.39.6] by tg7.bullet.mail.gq1.yahoo.com with NNFMP; 23 Oct 2015 03:18:01 -0000
X-Yahoo-Newman-Id: 2818039-m76521
X-Sender: mudjita@yahoo.com
X-Apparently-To: serayu-net@yahoogroups.com
X-Received: (qmail 5433 invoked by uid 102); 23 Oct 2015 03:18:00 -0000
X-Received: from unknown (HELO mtaq2.grp.bf1.yahoo.com) (10.193.84.33)
  by m3.grp.bf1.yahoo.com with SMTP; 23 Oct 2015 03:18:00 -0000
X-Received: (qmail 3848 invoked from network); 23 Oct 2015 03:18:00 -0000
X-Received: from unknown (HELO mta1004.groups.mail.ne1.yahoo.com) (98.138.100.119)
  by mtaq2.grp.bf1.yahoo.com with SMTP; 23 Oct 2015 03:18:00 -0000
X-Received-SPF: pass (domain of yahoo.com designates 106.10.151.229 as permitted sender)
X-YMailISG: hbnmAVEWLDtaques3.SOaWM0B30vwVc01tx5hwcqrYC2Laim
 UYNq3WhXjunLEAHme3XmQDMKVzFdqZS8Re_5Ne.Iwt3lpMaEfFUpnGqb9Ta8
 QZaJmyCB2egzkdaJ1uaq703vBMmVPoAXn33B.EKDYOtIQhvvVuv2ybZf1Bel
 tlpmQygVdnHASk3eok3DqvIG3E5Lz2SWVS84oQluwqCcc3UcHv9W0K3cTuAL
 30Cw6y8bjR_fimcxFi_15o75vX5g5S5S3.KLqORhFM0dzL20GzQN0O1EXYO1
 IgTqYy7Dbp2KZkDY3uOrm7AlyfI5kv7NIIAG6iF6ZE87fXhElhuZ3QKPyvE3
 gXDfI_kfA8sIJx7yAiHji_vRN1HQG7xoCMJ1R8Ez3DoVRg73_NvXvHLG_6eN
 _k2zmBycNUk1pnGJh9i1feuuYV7sw0sl9LmFhpzAId22xWm3Q6t5khgeoQl6
 eYpS74MusOs.kqjtHJUzqN2z45DebfI9LpBooo8zR4yGidtK0t_K86NJxGBm
 dq9GUkpCEdnzH52LER3oh.y4WMkYV8h9kqpc1UlavqW2m7sio4rOWs6nZSTY
 XiJdw3fCyTNWUxHL6UctDG0uCcmFdAI1Kc8E2XnPG44QZooVwYDvY4tMjVzM
 M_BZV3KXirre3hna8EiZ9xF6feI.Pd04Ry7HJfC1Bni7U9pzjTlC2ZLT16jU
 LF_3nGenVkjq9x7OlRX1keVkRNOkxahpNPaYbhmzu04STPK_Zw86VwVmmhHw
 WCYKONd9d9qc_ZA8X8TgILs9tVUli6NdMzmXB0pSuVkVT3AZi1YSEWAFZvn8
 2b5LVw3L2xlTz66dtsxm9rX0ZIoInL..jzfa_NRfgsCa1mTvofQcYIXqXAZO
 5IKDZvGwweIHRFcO6ryqBDR920tUk3.m4QDU2Vgp2nAwAT_QclmV9FgdvpV7
 AiT5YzpZCoDIF..U.ioczgjzuPsyMGJwefw.shmUpwqacr.AtPZjbnkpMcy9
 F9OHu8V8OCs1YKdQ48sB0KbS.idNxsQ7mOcVl3GSt36QgIf_H2EY8931Uwqr
 9NyVYoFUgXApxx1jwXAouBtH4IflmDBBeDgLrKqUxB_kEFVvLR.Cy.cLTGe1
 zOxefqwgcqpklViMX01KUyn8i.otjk7eGhgusE6dwduRWCvwCsNwD9ahW7xV
 CKdlusgPOED2MPEzKYNISl7gUorCurzlHVvcO85TAvSSn.kiygJkKMA8u7Vk
 AIJm.jmybgJtuwfEGfl3NQx.0tRue9trkDBQgWz6pSkEWmL5Kng.9ElqufgS
 TJfB1ti7Y9Ns5dr3_ttbTlb1NYJoLyLVbep1OWG.LGVZ36xGZGPxF7mEqBSV
 4ChslpXFTnayPrR66PsmRVt3CkMT2SwFBzjIQreGU3R7Pccp6VyZhG6SPewe
 _hitujn1at4JdLovW70D.kHVl9tsXeipqa1oI2Pe9YFtnzmQypQg9.Ld40cU
 j.mw4Coyfb3ZyYFmiwHVjADAw9dqe1mMdOmpCVc4OxjsCi6YE5cSOkGSAOzr
 HLBpqYFXMKq4HvfZ0mOggcy4i1CSRYlePRZkx2oIOQGsJWFliVhEpYTyjI57
 VJxSIOOQpjiMymiq3.b3eupbn7mM.Xpz
Authentication-Results: mta1004.groups.mail.ne1.yahoo.com  from=yahoo.com; domainkeys=neutral (no sig);  from=yahoo.com; dkim=pass (ok)
X-Received: from 127.0.0.1  (EHLO nm33-vm6.bullet.mail.sg3.yahoo.com) (106.10.151.229)
  by mta1004.groups.mail.ne1.yahoo.com with SMTPS; Fri, 23 Oct 2015 03:17:59 +0000
X-Received: from [106.10.166.127] by nm33.bullet.mail.sg3.yahoo.com with NNFMP; 23 Oct 2015 03:17:56 -0000
X-Received: from [106.10.150.28] by tm16.bullet.mail.sg3.yahoo.com with NNFMP; 23 Oct 2015 03:17:56 -0000
X-Received: from [127.0.0.1] by omp1029.mail.sg3.yahoo.com with NNFMP; 23 Oct 2015 03:17:56 -0000
X-YMail-OSG: hjy1Y0EVM1mdY2qSbfWrPo2A7OFx4knYsUWHn7REXRgC_JNA8fhvZkr23WyNEm4
 .rxXu12HYff9f6wlymLYYzxAHUzgproFWI6lmwXdkFWoVWiWaK34dNhEeecQEzA9OFgsWlS_abvY
 qH96BYkgY1NAfS7DWYebldC7d0Q5e2ZZTnsP2XdFmVxTu.SUIyV1y4ECYWTgEjOWhC7uVgDf2SpU
 gPAyJujJoYoTUjplYfc5jAIXqGUC8q_f5qtd1Nt.AaNCDrX6G44NdvSoTVZyGaxj_vl2yHHPpOcc
 AaoExFZdHJl4pV_rgDqyP9H7qLvQaAmInOT.sa.aKWdDxqPIDzIigsZ.hT42r6atbEOyRqxxKoA2
 vNnd_RsQWhTj9.8KqOlTrBknGUbDCAHZjgNKDVLZyB75Pi2UAWRbXuqpQhklSgm9b5BMJl.CgJOn
 eV0uYHNawXowJb5cO1k6SfTO9z6yFPoWbuqpZhLQD4Y.0oML5qIVGwUQ8_p06oEleQztdCuvcFxt
 4ud4H5BlNhlA3
X-Received: by 106.10.196.179; Fri, 23 Oct 2015 03:17:56 +0000
To: "serayu-net@yahoogroups.com" <serayu-net@yahoogroups.com>
Message-ID: <1788287887.1452984.1445570275939.JavaMail.yahoo@mail.yahoo.com>
In-Reply-To: <1084522528-1445569948-cardhu_decombobulator_blackberry.rim.net-1627126487-@b2.c1.bise3.blackberry>
References: <1084522528-1445569948-cardhu_decombobulator_blackberry.rim.net-1627126487-@b2.c1.bise3.blackberry>
X-Originating-IP: 98.138.100.119
X-Original-From: mudjita yohanes <mudjita@yahoo.com>
From: "mudjita yohanes mudjita@yahoo.com [serayu-net]" <serayu-net@yahoogroups.com>
X-Yahoo-Profile: mudjita
Sender: serayu-net@yahoogroups.com
MIME-Version: 1.0
Mailing-List: list serayu-net@yahoogroups.com; contact serayu-net-owner@yahoogroups.com
Delivered-To: mailing list serayu-net@yahoogroups.com
List-Id: <serayu-net.yahoogroups.com>
Precedence: bulk
List-Unsubscribe: <mailto:serayu-net-unsubscribe@yahoogroups.com>
Date: Fri, 23 Oct 2015 03:17:55 +0000 (UTC)
Subject: Bls: Bls: Bls: [SERAYU-NET] MEMIMPIN
Reply-To: serayu-net@yahoogroups.com
X-Yahoo-Newman-Property: groups-email-tradh-m
Content-Type: multipart/alternative;
 boundary="----=_Part_1452983_1328775415.1445570275912"

bukankah iman membutuhkan realisasi tindakan nyata. Bukan jar koni bro seperti budaya yg mengemuka sekarang ini....???
salam sumringah & setia menyemai...yohanes mudjita

     Pada Jumat, 23 Oktober 2015 10:12, "wisnu_rosariastoko@yahoo.com [serayu-net]" <serayu-net@yahoogroups.com> menulis:

  
Mas Mudjita Ytk, kalau umat cuma mau dipimpin tapi gak bersedia memberikan kolekte yang mencukupi dan memadai; terus gimana dong?

Powered by Telkomsel BlackBerry®From:  "mudjita yohanes mudjita@yahoo.com [serayu-net]" <serayu-net@yahoogroups.com>Sender:  serayu-net@yahoogroups.comDate: Fri, 23 Oct 2015 03:10:09 +0000 (UTC)To: serayu-net@yahoogroups.com<serayu-net@yahoogroups.com>ReplyTo:  serayu-net@yahoogroups.comSubject: Bls: Bls: [SERAYU-NET] MEMIMPIN
   haaaahhaaaa....sebuah perwujudan iman, bukan talk only bro

     Pada Jumat, 23 Oktober 2015 10:07, "wisnu_rosariastoko@yahoo.com [serayu-net]" <serayu-net@yahoogroups.com> menulis:

  
1. Ing ngarso sung tulodho
2. Ing madya mangun karso
3. Tut wuri handayani....

4. Kolekte ojo lali....

Powered by Telkomsel BlackBerry®From:  "mudjita yohanes mudjita@yahoo.com [serayu-net]" <serayu-net@yahoogroups.com>Sender:  serayu-net@yahoogroups.comDate: Fri, 23 Oct 2015 03:02:29 +0000 (UTC)To: serayu-net@yahoogroups.com<serayu-net@yahoogroups.com>ReplyTo:  serayu-net@yahoogroups.comSubject: Bls: [SERAYU-NET] MEMIMPIN
   ndherek matur...
kepemimpinan jowo1. Ing ngarso sun tulodo2. Ing madya mangun karso3. Tut wuri handayani....masih relevan dengan kepemimpinan gereja ????salam sumringah & setia menyemaiyohanes mudjita

     Pada Jumat, 23 Oktober 2015 9:08, "Markus Marlon markus_marlon@yahoo.com [serayu-net]" <serayu-net@yahoogroups.com> menulis:

  
MEMIMPINKontemplasiPeradaban  “Omniaorta occidunt”– Siapa saja yang naik berkuasasuatu ketika ia juga akan turun.  Pilkada sertentak (9 Desember  2015)  akan digelar. Masing-masing partai sudahmulai mengelus-elus jagonya.

----- Message truncated -----

Sabtu, 14 November 2015

Putus Asa

PUTUS ASA

Pernahkah kita melihat layang-layang yang putus talinya? Layang-layang itu melayang-layang tanpa tujuan dan tidak berdaya sama sekali. Demikian pula dengan orang yang putus cinta, kena PHK (Putus Hubungan Kerja) dan putus asa. Semua menunjukkan kesedihan dan tiadanya harapan.

Keputusasaan yang dalam bahasa Inggris adalah  "discouragement" hingga saat ini merupakan pembunuh yang terhebat. Mengapa menjadi "pembunuh yang terhebat?" Karena orang yang putus asa cepat atau lambat akan menjadi lesu, letih, loyo, lelah dan lunglai dan pada akhirnya akan "terbunuh".

Pada kenyataannya, kata "dis" berasal dari Dewa Romawi yang juga dipanggil Pluto yang adalah Dewa Neraka atau Hades. Kediamannya berada bersama-sama dengan orang yang sudah meninggal.

Kata "dis" ini -kita tahu- mengawali sesuatu dengan yang tidak baik, seperti "dishonest", "dishonour", "disgrace", "disorder" dan semuanya menunjukkan pembalikan dari yang baik (positif). Maka kita bisa membayangkan bagaimana karakter dewa Dis atau Pluto itu.

Buku klasik, "The Pilgrim's Progress" tulisan John Bunyan (1628 - 1688) menggambarkan, orang yang putus asa, seolah-olah hidup dalam krangkeng (penjara). Jiwanya terpenjara dan tidak mampu berbuat apa-apa.

Memang, kalau kita sedang putus asa,  seolah-olah dunia kiamat. Tetapi itu hanya sementara saja. Hidup itu  kadang-kadang ada  "up-down", susah-sedih, putus asa-penuh harapan dan seterusnya. Ingat kata-kata Pengkotbah, "There is a time for everything" --- Untuk segala sesuatu ada waktunya (Pkh 3: 1).

Ketika menghadapi rasa putus asa, baiklah kita berpaling pada Horatius (65 - 8 seb.M) penulis satir Romawi Kuno. Dia menulis kata-kata motivasi,  "Quo circa vivite fortes adversis opponite pectora rebus" - Hiduplah dengan tegar dan beranilah menentang hal-hal yang berlawanan,  dengan hati yang kuat.

--oo000oo--------------------
Buku Motivasi "Sebagai sahabat dalam peziarahan hidup"  ----oo000oo--------

Senin, 28 September 2015
Markus Marlon

Memimpin

MEMIMPIN
Kontemplasi Peradaban
 
“Omnia orta
occidunt” – Siapa saja yang
 naik berkuasa suatu ketika ia juga akan turun.
 
 
Pilkada sertentak (9 Desember  2015)  akan digelar. Masing-masing partai sudah mulai mengelus-elus jagonya.  Ingar-bingar pesta demokrasi tentunya akan menyerap dana miliaran rupiah,  bahkan (mungkin) triliyunan rupiah. Semoga saja dengan dana serta energi dari para calon tersebut, akan “ditemukan” para pemimpin daerah dan walikota yang  mumpuni.      
Rakyat merindukan pemimpin yang bijaksana, rakyat mendambakan pemimpinan yang adil, rakyat mencita-citakan seorang pemimpin yang mampu mengentaskan dari keterpurukan ekonomi, pendidikan dan kesehatan. Suara rakyat adalah suara Tuhan, “Vox populi, vox Dei”. Itulah sebabnya amanat yang diberikan kepada para pemimpin, janganlah dicederai.
Banyak teori kepemimpinan yang sejatinya terarah kepada rakyat yang dipimpinnya. Dari para pujangga Jawa kita mengenal ajaran seperti:  Asthabrata,  Dasa Darma Raja,  Wulang Reh  dan  Tripama. Dari empat karya tersebut, kita bisa mengenal  delapan watak yang tunggal seorang pemimpin (Bumi, Matahari, Rembulan, Angin,  Samodra, Api,  Kartika, Mendhung). Juga sepuluh watak kebajikan dalam kepemimpinan (Paciraga, Ajava, Dhana, Tapa, Susila, Madava, Akrodha, Kanthi, Avirodhana, Avihimsa). Lantas kita kenal empat kode etik kepemimpian dalam  “Wulang Reh” dan tiga rujukan tokoh kepemimpinan yakni: Patih Suwando, Adipati Karna dan Kumbakarna (Bdk. Buku dengan judul,  “Sang Pemimpin”  tulisan Pardi Suratno).
Sejujurnya, rakyat tidak akan banyak menuntut atau neko-neko terhadap pemimpinnya.  Hal yang diharapkan dari mereka hanyalah tercukupinya kebutuhan primer: sandang-pangan-papan. Kita mungkin ingat akan kata-kata dari Juvenalis (60 – 140) penulis Romawi, “Panen et circenses”. Kelompok  yang dulu memberikan perintah, jabatan (politik), tentara dan semuanya kini mereka tidak mengurus apa-apa lagi dan mereka hanya mendambakan dua hal yaitu roti dan permainan. Rakyat disuguhi roti dan hiburan  (para gladiator yang sedang berlaga) agar rakyat tidak berontak.  Apa yang dibuat sang pemimpin,  tentu hanya menyejahterakan sebagian orang saja. Padahal, di sini pemimpin diharapkan menjadi payung, pangayom dalam menyejahterakan rakyat.
Kita jadi ingat kisah  heroic dari Umar bin Khattab (579 – 644) yang  rela memanggul beras berkeliling mencari warganya yang kelaparan (memerintah pada tahun 634 – 644). Atau penulis yang menamakan diri Multatuli.  Multa tuli (Bhs. Latin)  arti secara harfiah adalah “aku telah banyak menderita”. Perkataannya   terekam dalam  sebuah buku  yang berjudul,  “Max Havelaar”. Tulisnya, “Apa yang kita makan, minum, pakai dan sebagainya, alangkah bahagianya kalau itu bukan pemberian orang, bukan belas kasihan orang, melainkan keringat kita sendiri” (Bdk. “Tempo Intermezo” – Secangkir Kopi untuk Havelaar, 20 Juni 2010).  Seorang pemimpin berusaha untuk memberdayakan rakyatnya agar mandiri (berdiri atas kaki sendiri).
          Menjadi pemimpin tidaklah mudah seperti  membalikkan tangan. Menjadi pemimpin pertama-tama (seharusnya) memiliki kematangan emosi dan afeksi yang baik.  Pepatah Latin menulis, “Regnare nolo liber ut non sim mihi” – Aku tidak mau berkuasa jika terhadap diriku sendiri aku tidak menjadi orang bebas. Bagaimana mungkin menjadi pemimpin kalau dalam dirinya terbelenggu dengan orang-orang yang mendektenya. Sebenarnya apa yang ada di dalam dadanya adalah untuk memakmurkan rakyatnya.
Demikianlah kita tidak boleh lupa akan sejarah para pemimpin kita terdahulu. Tahun 1925 salah satu pendiri bangsa  yang kemudian menjadi ketua DPR pertama (dulu bernama KNIP), namanya  Kasman Singodimedjo (1904 – 1982). Dalam pidatonya, ia sempat  melukiskan sosok H. Agus Salim (1884 – 1954). Singodimedjo pun berkata, “Jalan pemimpin itu bukan jalan yang mudah. Memimpin adalah menderita” – een leidersweg is een lijdensweg. Leiden is lijden.  Sekali lagi, itulah arti dari Multatuli. Yesus Kristus sendiri telah mengatakan beberapa abad yang lalu,“…Son of Man did not come to be served, but to serve...” – Anak Manusia  datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani ( Mrk 10: 45).
Akhirnya, kontemplasi ini akan saya akhiri dengan kisah sejarah yang sudah melegenda. Raja Harun Ar-Rasid (766 – 809) adalah kalifah kelima dari kekalifahan Abbasiyah dan memerintah tahun 786 – 803.  Ada banyak kisah tentang Raja Harun Ar-Rasid. Syahdan, raja itu terkenal karena sering menyamar sebagai rakyat jelata. Kadang-kadang baginda menyamar sebagai penjual martabak. Pernah pula sebagai seorang pengemis tua di pinggir jalan.
          Itulah yang disebut incognito. Menanggalkan segala keagungan, lalu menyamar sebagai orang yang tidak dikenal. Ber-incognito atau secara diam-diam menempatkan diri di tempat orang lain adalah cara yang paling baik kena untuk menyelami dan merasakan kenyataan yang sesungguhnya.

Jumat, 23 Oktober 2015   Markus Marlon