Kamis, 01 Oktober 2015

Bangga

BANGGA
Kontemplasi  Peradaban
 
“Pulchrum
 pro patria mori”   -
 adalah indah mati untuk tanah air
 
Orang yang bangga itu ketika berjalan membusungkan dada atau berjalan dengan gagah karena bangga atas prestasi atau diri sendiri.  Orang yang sedang berbangga hati akan berjalan atau berdiri tegap sehingga dadanya terlihat lebih menonjol. Dalam bahasa Inggris kita mengenal kata  to be proud, misalnya, “I’m really proud of you for no giving up” – Aku sangat bangga kepadamu karena kau tidak menyerah begitu saja.  Dari asal katanya,  proud  sama sekali tidak mengandung pengertian sombong. Kata ini diambil dari bahasa Prancis kuno  prod, prud yang berarti cakap dan berani, juga berakar dari bahasa Latin prodesse yang artinya bermanfaat dan memberi faedah. 
 
Demikian pula jika kita bangga menjadi Katolik dan menjadi Indonesia,  tidak ada rasa kesombongan sedikit pun.  Di sini pula kita menjadi ingat  slogan  Mgr. Albertus Soegijapranata SJ (1896 – 1963), “100 % Katolik dan 100 % Indonesia. Slogan yang sangat terkenal itu amat terjelas terlihat dalam film yang berjudul, “Soegija”.  Dalam film tersebut dan dalam buku yang ditulis Ayu Utami dengan judul, “Soegija 100% Indonesia”  memberikan kepada kita gambaran bagaimana seorang uskup  mengedepankan nilai-nilai kekatolikan dan keindonesiaan yang sangat kental.
 
Jujur saja, nilai-nilai kekatolikan itu meresap pada seluruh lini kehidupan. Pendidikan dan kesehatan serta pelayanan para misionaris (imam, biarawan-wati) mewariskan sesuatu yang sangat luar biasa. Dari sana nilai-nilai kekatolikan menjiwai banyak orang. Kualitas pendidikan, pelayanan yang ramah dan pekerjaan yang tanpa pamrih itu sering terdengar dari kalangan yang mengalaminya. Inilah yang sangat membanggakan.
 
A.B. Susanto dalam bukunya yang berjudul “Visi Hidup”  menyitir kata-kata Bung Karno (1901 - 1970), “Bangsa yang besar adalah bangsa yang membangun untuk kemakmuran rakyatnya, bukan penguasanya.”  Rakyatlah yang harus dibela dan dilindungi. Inilah yang sering menjadi ungkapan kebanggaan bangsa Indonesia, “Gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerto raharjo” – merupakan suatu ungkapan  untuk menggambarkan keadaan bumi pertiwi Indonesia yakni kekayaan alam yang berlimpah dan keadaan yang tenteram. Dalam dunia pewayangan kita mengenal negara yang dipimpin Yudhistira, putra Pandu yang memimpin adil-makmur. Atau Rama, suami Shinta yang memimpin negeri-nya dengan aman-sejahtera.
 
Melalui trials dan errors, bangsa Indonesia pernah mengalami jatuh-bangun.  Beberapa orang pesimis dengan para pemimpin dan mengatakan bahwa kebusukan mental (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) sudah meraja dan tidak mungkin bisa disembuhkan. Namun, kita tetap optimis bahwa meskipun bangsa Indonesia mengalami keterpurukan, masih ada titik-titik terang di tengah-tengah kita. Yakin bahwa masih ada orang jujur di negeri ini. Kejujuran mencari pemimpin yang berjiwa kejujuran tinggi memang tidak mudah. Namun kita meyakini kelak para pemimpin yang jujur pasti akan hadir menerangi negeri kita (satria piningit).
 
Pepatah mengatakan, “Hujan emas di negeri orang tetap akan lebih bahagia hujan batu di negeri sendiri”. Tidak dapat disangkal bahwa kampung halaman adalah tempat yang sangat dirindukan. Memang dari pelbagai ulasan (media massa maupun media elektronik) ada beberapa putra terbaik Indonesia bekarya di mancanegara. Mereka berargumen bahwa di negeri orang dirinya lebih dihargai. Ini yang dalam Ramayana kita kenal dengan Wibisana, yang lebih memilih Rama sebagai rajanya sebab negaranya sendiri penuh dengan keangkaramurkaan. Berbeda dengan Kumbakarna yang memiliki semboyan, “Right and wrong is my country”.  Ia sangat mencintai negaranya apa pun kondisinya.
 
Mungkin kita pernah mendengar kata-kata John Kennedy (1917 – 1963), “Jangan tanyakan apa yang negeri berikan negara kepadamu, tetapi tanyakan apa yang kuberikan kepada negara”.  Sikap seperti ini, merupakan sikap patriotik. Cinta pada negara dan bangsa. Meskipun diberi  iming-iming gaji yang besar dan fasilitas yang sangat mencukupi, seorang yang cinta tanah air akan memilih tinggal di Indonesia dan menjadi ujung tombak pembangunan. Dengan pengetahuan dan bakatnya, ia menyumbangkannya kepada tanah air (contribution).  Pepatah Latin berbunyi, “Melius  mori quam sibi vivere” – lebih baik mati daripada hidup untuk diri sendiri.
 
Akhirnya baik jika kita mengutip Pepatah Latin, “Pro Ecclesia et Patria” – bagi Gereja dan negara. Kita mencintai gereja dan negara. Inilah yang dalam Injil ditulis, “Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah” (Mrk 12: 17).

          Selasa, 15 September  2015   Markus Marlon
           “Bene qui latuit bene vixit” (Ovidius, penyair)