Jumat, 25 September 2015

Gusur

GUSUR
(Kontemplasi  Peradaban)

“Omnia sint
fausta et prospera” –
Semoga semua sejahtera dan makmur.

Menyaksikan foto alat berat backhoe merobohkan hunian warga di bantaran sungai Ciliwung di kawasan Kampung Pulo, Jatinegara, Jakarta Timur terasa miris.  “Betapa tidak?” Sebab “rumah mereka yang penuh kenangan itu” akan lenyap dari pandangan mereka. Di rumah itu, mereka memadu kasih, di rumah tersebut, mereka bercengkrama dan di rumah itu mereka berteduh setelah seharian mencari uang di terik sinar matahari yang panas.
“Rumah” betapa pun jeleknya tetap dirindukan. Itulah sebabnya orang ingin selalu pulang ke kampung halaman ketika lebaran tiba (mudik). Dan di rumah itu, terasa “nyes”  serta damai. Maka, tidak mengherankan jika orang Jawa memunyai ungkapan  “sedumuk bathuk senyari bumi”.  Sedumuk bathuk berkaitan dengan harga diri.  Sedangkan  Senyari bumi  berkaitan dengan kepemilikan tanah. Kepemilikan tanah jangan sampai diganggu orang lain, diserobot atau diambil alih orang lain. Bagi orang Jawa mengenai  urusan tanah memang sangat sensitif. Hal ini karena sebagai petani (agraris) mata pencahariannya terkait dengan produksi lahan.  Itulah sebabnya ada salah satu warga yang berkata, “Selama ini kami tinggal di rumah kami sendiri. Tak pernah membayar. Bagaimana kalau kami tak sanggup, kami khan bisa diusir” kata Emi (Kompas, 21 Agustus 2015).  Waktu di rumah yang sekarang sudah diratakan itu dalam hatinya, ia berkata, “Pauper in aere suo” – Meskipun miskin tetapi tanpa utang, seperti apa yang ditulis oleh Horatius (65 – 8 seb.M).  Ia tinggal di rumah tanpa beban sewa atau kost.
“Kampung Pulo Telah Diratakan” begitulah bunyi sebuah tulisan di internet. Dan mereka akan direkolasi ke Rusunawa Jatinegara Barat. Namun sebagian besar penghuni kuatir tak mampu membayar biaya sewa unit Rusunawa Rp. 300.000,-  per bulan. Kekuatiran tersebut dapat dimengerti, sebab pekerjaan mereka tidak tetap. Di sinilah Ovidius (20 seb.M – 17 M ) penulis Romawi kuno pernah berkata, “Pauper ubique iacet” – di mana-mana orang miskin itu tidak dihargai. Bahkan mereka bagaikan kaum Nisadha dalam “Kisah-kisah Mahabaratha”. Kaum Nisadha ini sudah miskin, terpinggirkan lagi. Bahkan tidak jarang mereka itu dijadikan  tumbal.  Sekali lagi, Ovidius berkata, “Pauperis est numeris pecus” – orang miskin itu (sebentar-sebentar) menghitung (jumlah) sapinya. Ya, orang miskin itu selalu penuh perhitungan. Penuh perhitungan karena uang yang didapatkan harus bercucuran keringat dan membanting tulang.
Di lain pihak, jangan dikiranpihak pemerintah tidak bergumul menghadapi masalah itu. Dari hatinya yang terdalam, mereka juga sedih karena mereka juga sesama manusia yang memiliki perasaan. Sebagai pemegang kebijakan (stakeholder), mereka diperhadapkan dengan suatu dilema yang sangat pelik. Di sinilah Kahlil Gibran (1883 – 1931) dalam bukunya yang berjudul, “The Voice of The Master” menulis, “Apakah kalian seorang gubernur yang memandang rendah kepada rakyat, tidak pernah keluar, selain untuk menggeledah saku-saku mereka atau mengeksploitasi mereka demi keuntungan sendiri?”
Apa yang ditulis Gibran di atas sebenarnya hendak mengatakan kepada kita, betapa pentingnya melayani rakyat jelata. Saya menjadi ingat kisah Istana dan puri serta kisah cinta para putri dan pangeran.  Yang masih terpateri dalam ingatan adalah  kisah, “The Queen” – Sang permaisuri.  Diceriterakan bahwa Sang Permaisuri senantiasa berhias diri kamar atas sebuah puri.  Di kamar itu hanyalah ada cermin-cermin sehingga sang  permaisuri selalu berkata, “Dari sudut mana pun saya tetap cantik dan molek.”  Tindakan yang dibuat oleh sang permaisuri itu diprotes oleh sang raja. Maka, dibobolah cermin-cermin tersebut dan dari sana tercipta lobang-lobang. Dan betapa kagetnya dia, tatkala melihat melalui  “lobang  jendela” ternyata di seberang sana banyak rakyat yang menderita. Mereka tinggal di daerah kumuh yang sebelumnya tidak terbayangkan oleh sang permaisuri.
“Bonum commune” – kebaikan bersama, adalah  cita-cita dari para pemangku kebijakan. Mereka bekerja melayani masyarakat, supaya “semua rakyat merasakan keadilan, kedamaian dan kesejahteraan.”  Penggusuran yang dilakukan pemprov (pemerintahan provinsi) itu tidak tanpa alasan. Dari penelurusan Litbang Kompas, Kampung Pulo sudah menjadi kawasan langganan banjir sejak sebelum masa kemerdekaan dan dikelilingi aliran sungai. Pada 1970-an, Kampung Pulo menjadi bagian dalam program perbaikan kampung MH Thamrin, khususnya untuk perbaikan serta pembangunan jalan dan saluran air (Kompas, 21 Agustus 2015).
Kini, Kampung Pulo sudah diratakan dan yang perlu dipikirkan ialah “iustitia omnibus”  – keadilan bagi semua. Program penormalan sungai memang harus dilakukan, tetapi jangan abaikan  manusia di dalamnya.

Sabtu, 22 Agustus 2015   Markus Marlon

Senin, 21 September 2015

Berpikir Besar

BERPIKIR BESAR
(Kontemplasi  Peradaban)

Kota Tarakan (Kalimantan Utara) di waktu malam sungguh indah.  Saya tiba di kota itu pada suatu malam (Kamis, 13 Agustus 2015). Kotanya bersih dan  Bandara  “Juata” tertata bersih dan rapi. Tidak jauh dari sana, saya melihat ada tulisan seperti laiknya  baliho, “Orang yang berpikiran kecil atau  sempit atau picik membicarakan orang-orang. Orang yang berpikiran rata-rata atau sedang membicarakan kejadian-kejadian dan orang yang berpikiran besar membicarakan ide-ide atau gagasan-gagasan.”  Kata mutiara itu membuat saya tercenung sejenak dan dalam hati saya berpikir, “Yach, kebanyakan orang suka sekali membicarakan orang lain, termasuk saya!”
Dari permenungan tersebut, di atas terpikirkan untuk merenungkan bagaimana itu berpikir besar. Orang yang memiliki pemikiran besar, diandaikan mereka itu tentu legowo, berpikir positif dan tidak mudah terprovokatif dengan kata-kata orang lain. Barangkali inilah yang dikatakan James Allen dalam sebuah tulisannya, “Pemikiran mulia akan melahirkan pribadi mulia, pemikiran negatif akan melahirkan kemalangan”.
“Pemikiran mulia” menurut Kahlil Gibran (1883 – 1931) dalam bukunya yang berjudul, “Jesus the son of Man” diartikan sebagai  “Burung Rajawali takkan membangun sarangnya di pohon yang lemah. Dan singa takkan membuat sarangnya di antara tanam-tanaman.” Seorang yang berpikiran besar tidak akan “terganggu” dengan hal-hal kecil yang menghalangi visinya, “Anjing menyalak kafilah berlalu.” Inilah yang dalam pepatah Latin ditulis, “Aquila non captat muscas”  – burung garuda tidak akan menangkap lalat-lalat.
Sering kita melihat, orang-orang yang berpikiran picik banyak ber-koar-koar  tentang dirinya. Ia mengira bahwa ia adalah yang terbaik. Baiklah jika kita merenungkan apa yang didongengkan oleh Aesop, yang menulis fable tentang singa.  Pada waktu itu tikus berkata, “Lihat ini aku melahirkan sepuluh anak. Betapa bahagianya aku” Kemudian babi pun berkata, “Lihat saya melahirkan sebelas anak. Senang ada banyak keturunan.” Kemudian singa itu pun mengaum, “Lihat ini saya melahirkan satu anak saja. Tetapi ini adalah anak singa!”  orang Latin mengatakan, “non multa sed multum” – bukan banyaknya tetapi kualitasnya.
Orang yang berpikiran besar lebih mementingkan kualitas hidup. Ia tidak akan membuang-buang energi yang tidak bermanfaat. Bagaimana dengan Anda?

Rabu, 20 Agustus 2015  -  Markus Marlon

Kamis, 17 September 2015

JAIM
(Kontemplasi  Peradaban)

“Minuunt praesentia
famam” – kehadirannya membuat
kemasyurannya berkurang. Ketika jauh,
orang dikagumi, tetapi ketika ia dekat kekaguman
terhadapnya akan berkurang (Claudianus). 

Saya pernah – beberapa tahun yang lalu – berteman dengan seseorang yang sungguh amat jaim sekali.  Jaim adalah ungkapan yang sudah biasa kita dengar (jaga image, atau pencitraan). Saya ingat waktu itu, ia sedang menerima “tamu agung” dan tentunya mengenakan pakaian jas lengkap. Lantas, saya mendekati dia serta sok akrab. Ternyata dia seolah-olah tidak mengenalku. Dalam hati saya berkata, “Oh dia sedang jaim, pasang wibawa. Besok saja kalau dia sedang  sendirian akan saya sapa.” Benar, esoknya ketika teman saya itu sedang santai-santai sendirian, dia bisa bergaul akrab denganku.
Orang yang menjaga image itu tentu akan lelah, karena dirinya tidak bertindak seperti apa adanya. Ia “bertindak seolah-olah”. Seolah-olah baik, seolah-olah wibawa, seolah-olah suci. Untuk itulah dia senantiasa sibuk dengan apa yang ada di luarnya. Misalnya, ketika seorang biarawan menggunakan  “pakaian kebesaran” ia bertindak kudus dan brevier selalu ada di tangannya.  Padahal, Proverbia Latina mengatakan, “Habitus non facit monachum” – Pakaian tidak membuat seseorang menjadi rahib atau orang suci.
Saya menjadi ingat novel  masterpiece  tulisan Victor Hugo (1802 – 1885) yang berjudul, “The Hunchback of Notre-Dame”.  Dalam kisah itu ditampilkan sosok Claude Frollo, seorang vikjend atau wakil uskup. Gaya hidupnya yang kaku serta menyangkal gairah birahi duniawi. Ia telah menciptakan citra diri suci di mata umum.  Tiada yang menyangka bahwa sang vikjend ini berwatak keji. Sejak tersihir pesona Esmerlada, si gadis gipsy ini, imannya mulai goyah. Imannya kewalahan melawan keindahan si bunga  lily  perawan suci dari dunia gelandangan, gipsy.  Di sini kita bisa merasakan, betapa berat menjaga image. Ia seorang wakil uskup, namun di pihak lain ia mengingini gadis itu, “Tidak  gampang memang!”
Biasanya orang yang jaim itu hemat kata (bicara apa yang perlu) dan penampilan perfect. Dari jauh kelihatan bersinar bak bintang, mencorong (Bhs Jawa, artinya kemilau dan menyilaukan). Baiklah kita sejenak menyimak dongeng fable dari Aesop (620 – 564 seb.M  ), pendongeng Yunani kuno. Kancil amat ketakutan melihat singa dari jauh. Si raja hutan itu amat seram, berwibawa. Suatu hari kancil bertemu muka di tengah jalan dengan singa. Namun singa itu diam saja. Lantas, hari berikutnya kancil bertemu muka lagi dan mereka berdua bercerita. Dan akhirnya lama-kelamaan, kancil dan singa bisa bersendau gurau. Kini kancil tidak takut lagi dan singa menjadi tidak berwibawa.  Inilah yang oleh Erasmus (1466 – 1536) dikatakan sebagai, “Nimia familiaritis parit contemptum” – Keakraban yang berlebihan dapat menyebabkan diremehkan.
Julius Caesar  (100 – 44 seb.M) disebut-sebut sebagai orang yang jaim. Dalam kisahnya, meskipun akrab dengan Mark Antony (83 – 30 seb.M), ia jarang sekali bersendau gurau dengan Mark Antony di muka umum. Ternyata Caesar memiliki kata-kata gaib yang berunyi, “Qui bene latuit, bene vixit” – Siapa yang (dapat) hidup baik adalah dia  yang (dapat) bersembunyi dengan baik. Ungkapan ini adalah ciptaan Ovidius (43seb.M – 17 M).
Sekarang saya bertanya, “Apakah anda ingin jaim?”  Mudah saja, jaga jarak dalam pergaulan serta jangan bersendau gurau, kurangai bicara yang tidak perlu, bersembunyi dan jangan sering muncul supaya berwibawa dan tampillah selalu perfect.  Sekali lagi saya katakan, “Tetapi itu melelahkan!”

Senin, 24 Agustus 2015  Markus Marlon

Selasa, 15 September 2015

Merdeka

MERDEKA
(Kontemplasi  Peradaban)

What God has in
your future, supersede what’s in
your past – Apa yang Tuhan telah dan sedang
siapkan untuk masa depan Anda mengalahkan apa
yang ada pada masa lalu Anda (Joel Osteen).

Kata-kata Bung Karno (1901 – 1970), “Jasmerah” – jangan sekali-sekali melupakan sejarah, sulit untuk dihapus dari ingatan kita. Lantas, 21 Abad yang lalu, Cicero (106 – 43 seb.M) sudah berkata, “Historia magistra vitae, nuntia vetustatus” – Sejarah adalah guru kehidupan, pesan dari masa lalu.
Cita-cita Founding Fathers
Kata-kata Bung Karno dan Cicero tersebut di atas  hendak mengajari kita untuk berani menengok ke belakang, betapa besar perjuangan Soekarno-Hatta bagi Republik kita ini. Tanpa kejujuran terhadap diri sendiri, Soekarno dan Hatta, (founding fathers)  tidak mungkin mampu “melompat” berjuang. Karena jujur dengan diri sendiri dan memegang kuat komitmen kepada rakyat, mereka bisa menolak  iming-iming dan segala tawaran dari Pemerintah Belanda (Kompas, 20 Mei 2015  dalam artikel, “Elite, Belajarlah ke Soekarno-Hatta”).
Bung Hatta memperlihatkan sikap  mortification (matiraga) saat diasingkan di Boven Digoel, pedalaman Papua pada 1934 – 1935. Karena tidak mau bekerja sama dengan pemerintahan kolonial Hinda Belanda. Sedangkan Bung Karno harus masuk keluar penjara karena perjuangannya meraih kemerdekaan, “Gerbang emas kemerdekaan!”
Saat-saat ini, bangsa Indonesia sudah menikmati masa-masa kemerdekaan dan kita tahu semua bahwa negeri kita itu bagaikan surga seperti yang dilagukan Koes Plus era 70-an, “Orang bilang tanah kita tanah surga.”  Kekayaan itulah yang sebenarnya memfasilitasi para pemegang kebijakan (stakeholder) dari pusat hingga akar rumput (grassroot) dalam pelayanan. 
Makna Kemerdekaan
Orang dididik supaya merdeka dari kegelapan dan melihat terang.  Helen Keller (1880 – 1968)  dan  Louise Braille (1809 – 1852) telah memerdekakan dari buta bisa “melihat”,  Pusat-pusat  Rehabilitasi narkoba telah membebaskan orang-orang yang ketagihan. Lapas-lapas (Lembaga Pemasyarakatan) telah mengubah orang-orang yang bertindak kriminal menjadi orang yang berguna bagi masyarakat.  Sekolah-sekolah (baik formal maupun formal)   telah mengajak anak-anak melihat dunia yang lebih luas (cakrawala).
Setelah seseorang  merdeka dari belenggu-belenggu yang menjerat, pada gilirannya, ia harus menggunakan kebebasannya itu secara bertanggung jawab. Viktor Frankl (1905 – 1997) pernah menyarankan agar Patung Liberty (patung kemerdekaan) di Panti Timur dilengkapi dengan “Patung Tanggung Jawab” di Pantai Barat.  Mungkin yang ia maksud adalah, kemerdekaan menuntut kita untuk membuat keputusan yang tepat. Bila kita takut membuat pilihan yang tepat, kita akan kehilangan kemerdekaan kita. 
Demikian, “warisan” kemerdekaan yang sudah diperjuangankan oleh para  founding father itu sudah layak dan sepantasnya “dinikmati” dengan penuh rasa tanggung jawab. Untuk itu, kita menjadi  miris bila melihat dalam berita-berita para putra bangsa terbaik dipenjarakan  karena melakukan korupsi, misalnya. Mereka memakai rompi orange dengan tulisan “tahanan KPK” dan ketika keluar dari pemeriksaan KPK, tangannya mengacung jempol dengan senyum lebar. Tidak malu.
Merdeka  Untuk
Ada sebuah kisah “kecik” – kecil.  Seorang anak kecil diminta menjaga adiknya.  Tatkala ada ibunya, ia menjaga dengan baik. Tetapi ketika ibunya keluar rumah untuk beberapa saat, ia tidak  menjaga adiknya. Nah, di sinilah si anak itu merasa merdeka dari ibunya, sehingga bertindak yang kurang baik.
Ungkapan “merdeka dari” itu tidak mendewasakan. Mumpung merdeka dari pengawasan, maka ia bertindak ngawur dan setelah diawasi lagi, maka ia langsung berubah 180º.  Ini sungguh sangat merugikan. Kebalikan dari “merdeka dari” adalah “merdeka untuk”.  Ini merupakan sikap yang penuh tanggung jawab.
Mereka tidak mudah tergoda dengan  iming-iming kemewahan duniawi, seperti apa yang dikatakan Kahlil Gibran (1883 – 1931)  dalam bukunya yang berjudul,  The Beloved, “Kucari kekasihku di desa di antara pepohonan dan di tepi danau, tetapi tidak kutemukan dia. Kebendaan telah menyesatkannya dan membawanya pergi ke kota, kepada masyarakat dan korupsi dan kesengsaraan”.  Cinta akan kebendaan membuat seseorang  “lupa daratan” yang berakibat fatal.
Kemerdekaan sejati membuat seseorang, teristimewa abdi negara menjadi pribadi yang autonom. Ia bertindak atas dasar, “kemerdekaan untuk” sehingga ia berusaha untuk membaktikan diri mereka untuk kepentingan “liyan” – yang lain. Di sini muncul prinsip yang dikatakan Nabi Muhammad, “sebaik-baiknya orang, adalah mereka yang bermanfaat.”  Sekali lagi, Kita bersyukur memiliki para putra bangsa yang mengabdi negara ini secara professional, committed dan berintegritas yang tinggi.

Senin, 17 Agustus  2015   Markus Marlon

Rabu, 09 September 2015

TERDESAK
(Kontemplasi  Peradaban)

“Carthago delenda” –
Carthago harus dimusnahkan.

Beberapa hari yang lalu, ada seseorang bercerita, “Tadi malam, saya dikejar anjing herder. Lantas saya memanjat tembok yang tinggi sekali. Paginya, saya melihat tembok itu dan astaga, ternyata tembok itu tingginya  ± 2 meter.” Dia heran sendiri, kenapa mampu memanjat tembok setinggi itu dan yang pasti jika tidak karena tidak terdesak atau terpojok tentu tidak mampu memanjatnya. Inilah yang  memotivasi munculnya buku yang berjudul, “The Power of Kepepet”  tulisan Jaya Setiabudi.  Kepepet artinya terpojok, terdesak sehingga mau tidak mau harus bertindak dengan cepat.
Untuk para wartawan, mungkin kenal dengan masa tenggat atau  deadline. Seringkali ketika waktu longgar, otak malah buntu, tetapi jika seorang wartawan terpojok, kepepet atau  terdesak , maka seolah-olah otak terbuka dan ide pun mengalir. Inilah yang oleh Stephen Covey (1932 – 2012) dalam bukunya yang berjudul, “The Seven Habits of Highly Effective  People”  tentang kuadran penting dan mendesak (important and urgent).  Kalau  kepepet (terdesak dan terpojok), maka kita bisa melakukan secara maksimal, seperti yang dikisahkan oleh Aesop (620 – 564 seb.M) pendongeng Yunani Kuno, “The Hare and Hound”. Anjing mengejar kelinci untuk santapan siang, namun tidak bisa menangkapnya karena kelinci bisa meloloskan diri dan masuk ke liang. Lalu, temannya berkata, “Hai sahabat, mengapa engkau kalah dengan kelinci tadi siang?” Jawab anjing, “Oh kelinci itu berlari demi nyawanya,  sedangkan saya mengejarnya untuk makan siang.”
Kemendesakan  (urgency) tentu sangat berkaitan dengan mati dan hidup. Dan ini mengingatkan saya tentang kisah Hannibal (247 – 187 seb.M ). Hannibal berpidato, “Kalian menghadapi musuh yang jauh lebih kuat. Kalian berada bermil-mil dari rumah, di wilayah musah dan tidak mungkin ke mana-mana lagi – dalam pengertian tertentu, kalian sama dengan tahanan. Pilihannya hanyalah kebebasan atau perbudakan, kemenangan atau maut.” Hannibal, seorang genius perang,  berpikir bahwa orang yang terdesak dan dalam situasi yang paling lemah akan menjadi ganas ketika kekalahan berarti maut. Namun, mereka juga memunyai kesempatan untuk bergabung dengan pasukan Kartago untuk meluluhlantakkan  bangsa Romawi yang mereka benci.
Para pebisnis atau karyawan kantor tentu memiliki target-target. Kalau ingin supaya hasilnya maksimal, baiklah jika kita menerapkan teori: Jaya Setiabudi, Aesop,  Stephan Covey, maupun Hannibal,  “The Power of Kepepet” –  Kekuatan keterdesakan.
Kamis, 27 Agustus 2015   Markus Marlon

Sabtu, 05 September 2015

Rajin

RAJIN
(Kotemplasi  Peradaban)

“Palma non
sine pulvere” – tidak ada
kemenangan tanpa jerih payah (Horatius)

Mungkin kita pernah mendengar peribahasa, “Rajin pangkal pandai, hemat pangkal kaya.” Peribahasa ini sudah terbukti dari masa ke masa. Ketika masih sekolah maupun kuliah, barangkali seseorang  memiliki  IQ yang tinggi, namun orang itu malas. Pada gilirannya,  ia tidak berhasil, sebaliknya orang yang waktu sekolah -barangkali-  nilainya pas-pasan, tetapi berhasil, karena kerajinannya. “Perficit qui persequitur” – yang berhasil adalah dia yang terus bertahan.
Pengalaman hidup yang rajin itu bisa mengacu kepada kisah yang berjudul, “The Ant and the Grasshoper”  yang ditulis oleh Aesop, pendongeng Yunani Kuno. Belalang sibuk  “memainkan biola” sedangkan semut sibuk angkut-angkut makanan ke liang.  Dan pada saat musim dingin tiba, belalang itu kelaparan. Kemalasan memang membawa malapetaka di kemudian hari.  Di sini semut pun (boleh)  berkata, “Omnis  superat diligentia” – Kerajinan mengalahkan segalanya.
Banyak orang yang mengerjakan sesuatu namun tidak semangat, loyo-loyo. Dan pada akhirnya, hasilnya tidak maksimal.  Untuk itu perlu kita menyimak apa yang dikatakan Alan Fine seorang psikolog. Ia  mengingatkan kita  bahwa manusia normal mempunyai 3 unsur  F yang sangat penting untuk terus berkembang. 3 F itu adalah  Faith, keyakinan, focus dan fire, api semangat. Sewajarnyalah kalau kita senantiasa  “bermain otak” dalam setiap usaha untuk mencapai tujuan. Kita tidak boleh lupa akan kekuatan ketiga  F itu yang menciptakan dan memproduksi energi kita.  Pencapaian tujuan itu tentu membutuhkan kerajinan yang luar biasa.  Bahkan Cicero (106 – 43 seb.M ) berkata, “Spartam quam nactus es orna” – Jadikanlah Sparta sebagai hiasanmu ketika mendapatkan tugas. Bekerjalah sekuat tenaga dan berkorbanlah sepenuh hati seperti yang dibuat oleh orang-orang Sparta.
“Rajin” adalah kata-kata positif yang sudah layak dan sepantasnyalah menjadi pegangan hidup kita. Di mana pun berkarya, rajinlah!!!

Rabu, 12 Agustus 2015   Markus Marlon

Memberi

MEMBERI
(Kontemplasi  Peradaban)

Sunan Drajat (± lahir 1470)  memberikan ajaran yang sangat bagus untuk kita simak:
Menehana teken wong kang wuto
Menehana mangan wong kang luwe
Menehana busono marang wong kang wudo
Menehana ngeyup marang wong kang kodanan

(Terjemahan: berilah ilmu agar orang menjadi pandai/sejahterakan orang miskin/ajarilah kesusilaan kepada orang yang tidak punya rasa malu/berilah perlindungan kepada orang-orang yang menderita).
Inti dari ajaran yang hingga kini masih “hidup” di Pondok Pesantren Sunan Drajat ini adalah memberi. Mother  Teresa (1910 – 1997)  bahkan pernah berkata,  “Tidak hanya yang menerima yang gembira, namun yang memberi juga merasa gembira.”  Dan dalam pemberian diri ia membutuhkan cinta yang tulus,  “Love until you are hurt” – mencintailah sampai engkau merasa sakit. Hal yang sama seperti yang disabdakan oleh Nabi Muhammad, “Sebaik-baiknya orang adalah orang yang bermanfaat bagi sesama.”  Orang yang bermanfaat adalah orang yang banyak memberi.
Mungkin kita pernah berniat memberikan uang misalnya kepada orang miskin. Dalam hati, kita berpikir, “Orang ini akan saya beri uang Rp. 50.000.”  Kemudian ketika tiba waktunya memberi, kita  hanya memberi uang Rp. 20.000,-  Lantas, untuk beberapa saat, kita menyesal dan merasa bersalah.  Kemudian saya membayangkan orang-orang miskin yang membutuhkan bantuan.  “Bis dat qui cito dat” – Memberi (bantuan) dengan cepat artinya memberi (bantuan) dua kali.
Bulla (surat resmi) yang berjudul, “Misericordia Vultus” – wajah kerahiman/ belas kasih – yang dikeluarkan oleh Paus Fransiskus (11 April 2015), hendak menegaskan bahwa “kerahiman merupakan dasar utama kehidupan Gereja (Bdk. Tulisan  J. Mangkey MSC dalam “Warta Keluarga Chevalier” Th. XIII. No.1 Juli 2015).  Di sini pula, kita diajak untuk menjadi orang-orang yang  “bermurah hati” dan mudah tergerak oleh belas kasihan kepada orang lain. Ini pula yang dibuat  oleh Yesus sejak masa kecilnya yakni bersikap murah hati. Kita baca kutipan dari Kahlil Gibran dengan judul, “Jesus the Son of Man” yang dikatakan Anna,  Ibunda Maria:
Seringkali Ia mengambil makanan kami dan memberikannya kepada orang-orang yang lewat. Dan Ia suka memberikan makanan yang kuberikan kepada-Nya kepada anak-anak lain, sebelum ia mencicipinya.
Ia suka memanjat pepohonan di kebunku untuk memetik buahnya, tetapi tidak pernah untuk dimakan sendiri.
Dan Ia suka lomba lari dengan anak-anak lainnya dan terkadang, karena lari-Nya lebih cepat, Ia suka menunggu agar mereka menang.

Kamis, 30 Juli 2015   Markus Marlon