Jumat, 17 Juli 2015

Pinjaman

PINJAMAN
(Kontemplasi  Peradaban)
 
 “Mihi res, non me rebus,
subjungere conor” – aku berusaha keras
 untuk mengendalikan materi dan bukan sebaliknya,
materi yang menguasai diriku (Horatius).
 
       Beberapa tahun yang lalu (2011), kami mengadakan “Reuni SMP” di kota Solo. Kebetulan di antara kami ada yang sedang dipercaya menduduki jabatan penting di kota tersebut. Ketika kami mengabari bahwa akan mampir ke rumahnya dan kalau bisa dijemput di Stasiun Balapan, ia pun menjawab dengan  enteng, “Naik taxi aja murah koq!” Sesampai di rumahnya,  dalam hati saya berkata, “Wuih!  Rumahnya mewah, mobilnya ada beberapa, tetapi mengapa ia pelit membagi berkat dengan teman-teman lamanya.”  Dalam hal ini Persius (34 – 62), penyair Satir dari Roma  telah menulis, “O quantum est in rebus inane” – oh betapa fananya manusia  yang terikat pada urusan-urusan duniawi.
Ia lupa bahwa dalam menjalani hidup ini, kita hanya dipinjami oleh Sang Pemberi. Kebetulan untuk sekarang ini, ia dipinjami  “jabatan”  atau “harta kekayaan” yang melimpah. Namun mungkin  esok atau lusa semua itu akan diambil oleh Sang Pemberi itu.
Sekali lagi, dalam hidup ini, kita antre menunggu giliran. Mungkin saat ini si Fulan sedang mengampu  jabatan, lantas orang menunggu giliran untuk dipinjami jabatan berikutnya yang sekarang diampu oleh si Fulan. Dalam Proverbia Latina, ada ungkapan menarik, “Hodie mihi cras tibi”  – hari ini aku, besok kamu. Ungkapan  tersebut untuk menyadarkan orang, agar selalu berjaga-jaga terhadap kematian yang datang tanpa terduga. Kita dipinjami nafas kehidupan oleh Sang Pemberi. Semuanya  gilir-gumanti  (silih-berganti) laiknya hukum alam,  “Ada waktu untuk lahir, ada waktu untuk meninggal, ada waktu untuk menanam, ada waktu untuk mencabut yang ditanam”  (Ams 3: 2).
Semua yang kita pakai saat ini adalah “pinjaman” belaka, yang suatu saat nanti akan diambil, seperti yang dikatakan oleh Ayub, “Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil, terpujilah nama Tuhan” (Ayb 1: 21). Kemudian pengalaman “pinjaman” itu diperdalam oleh Warren Wiersbe (lahir 16 Mei 1929) yang menulis, “Kita bukanlah sebuah bendungan, tetapi saluran berkat untuk membagikan kepada orang lain apa yang Tuhan telah berikan kepada kita.  Jelaslah bahwa hidup kita di dunia ini untuk berbagi berkat dengan orang lain.
Sebagai “saluran berkat” baik jika kita merenungkan apa yang diungkapkan oleh Kahlil Gibran (1883 – 1931) dalam bukunya yang berjudul,  The Voice of Master,  “Pohon hatiku berat dengan buah, marilah kalian yang lapar dan petiklah itu. Makanlah dan dipuaskanlah. Marilah dan terimalah dari kelimpahan hatiku dan ringnkanlah bebanku. Jiwaku letih di bawah beban emas dan perak. Marilah, kalian yang mencari harta tersembunyi, penuhilah dompet kalian dan legakanlah aku dari bebanku.”  Memang rasanya berat jika kita kurang berbagi kepada orang lain. Padahal pada kodratnya kita ini selayaknya harus berbagi dengan orang lain, seperti apa yang dikatakan Albert Einstein (1879 – 1955),  “Nilai seorang manusia terletak pada apa yang ia berikan, bukan apa yang ia terima”.
Hal ini mungkin sama dengan apa yang dialami Alexander the Great (356 – 323 seb.M), ketika hendak menyeberang dan mengalami kejayaan, para pasukan membawa berkarung-karung jarahan dan ini menjadi beban. Maka ketika dikejar musuh, mereka terseok-seok dan jika terus begitu tentu musuh akan mengejar dan menangap serta membantai mereka. Maka, Alexander berseru, “Buang karung-karung jarahan itu, supaya jalan kita menjadi ringan.” Setelah  mereka membuang barang jarahan, para pasukan pun berlari bagaikan memiliki sayap.
“Sic transit gloria mundi” –  Demikianlah kemuliaan duniawi itu akan lenyap.  Ungkapan tersebut memberikan peringatan kepada kita bahwa apa yang kita “miliki”  seperti: jabatan, harta kekayaan, kewenangan itu akan lenyap.  Maka, selagi dewi Fortuna berpihak pada kita, ingat juga sesama kita yang mungkin tidak seberuntung kita, bantulah, tolonglah dan bagikan  “pinjaman” kita kepada mereka.  Siapa tahu besok atau lusa semuanya itu akan lenyap.

Kamis, 16  Juli 2015  
Markus Marlon

Sabtu, 11 Juli 2015

MENTANG-MENTANG
(Kontemplasi  Peradaban)
 
Asperius nihil est humili,
 cum surgit ini altum – tidak
 ada yang lebih beringas daripada
 ketika seorang yang berasal dari kalangan
rendah menduduki jabatan tinggi (Claudianus).
 
       Ketika saya berdarmawisata  di taman Prasejarah  Leang-Leang – Maros – Sulawesi Selatan (Selasa, 2 Juni 2015),  tidak sengaja mata saya tertuju pada sebuah warung kecil – mungkin milik orang Jawa – yang di pintunya bertuliskan demikian,
“Lamun siro banter ojo nglancangi” – sekalipun kamu bisa berlari kencang, tidak usah mendahului. “Lamun siro pinter  ojo ngguroni” – sekalipun kamu pintar jangan menggurui.  
 
          Kata mutiara berbahasa Jawa tersebut di atas,  hendak mengatakan bahwa dalam berelasi dengan sesama, manusia tidak boleh sewenang-wenang  dan mentang-mentang, meskipun memiliki kewenangan.  Diharapkan  ada toleransi maupun apresiasi terhadap orang lain, pun kepada mereka yang “derajatnya” di bawahnya.
          Mungkin kita pernah menjumpai atau mengalami sendiri bahwa ada orang yang memiliki  “kuasa” tiba-tiba lupa diri. Ia lupa bahwa jabatan diterima itu ada batasnya. Pada suatu saat nanti ia akan menjadi “bukan siapa-siapa,” nothing.
Mengenai hal ini saya punya pengalaman yang mungkin baik untuk di-share-kan.  Pernah saya jalan-jalan di sebuah wisma orang tua-tua para biarawan. Saya makan siang bersama dalam suasana kekeluargaan. Tetapi di pojokan ruangan, saya melihat seseorang yang memiliki raut wajah tegas dan kuat namun tubuhnya lunglai dan tak berdaya duduk di kursi roda. Lantas saya bertanya kepada temanku itu, “Hai sobat, siapa dia itu  koq  teman-temanmu yang masih muda-muda  tidak peduli terhadapnya?” Dengan tenang dia berkata, “Oh!!  orang itu beberapa tahun lalu pernah menjadi pemimpin kami. Tetapi sebagai pemimpin, tidak ada toleransi apalagi apresiasi terhadap anggotanya. Mungkin dia mengira  bahwa mandat  yang diberikan itu untuk selamanya.”  Tambahnya lagi, “mentang-mentang menjadi pemimpin, ia sewenang-sewenang dan sekarang  tuh liat,  tidak ada yang memedulikan!”
Saya terpekur dengan apa yang dikatakan sobat-ku tadi  dan dalam hati saya mbatin, “Rupanya pengalaman  ditindas oleh mereka yang menyalahgunakan wewenangnya itu akhirnya berimbas pada sakit hati.” Erasmus (1466 – 1536) menulis,  “laedere facile, mederi difficile” – menyakiti hati itu mudah, tetapi menyembuhkannya susah.
Siang itu saya hendak pulang dan pamitan kepada mantan pemimpin di kursi roda dan saya sempat mengulik buku yang dibacanya. Ia membaca buku yang berjudul, “Biografi Nelson Mandela” (1918 – 2013). Di bawah foto Mandela itu bertuliskan, “Memaafkan itu tidak mengubah masa lampau, tetapi mengubah masa depan”.  Dalam hati  saya berkata, “Semoga para biarawan muda itu mampu memaafkan mantan pemimpin yang  mentang-mentang”.  
Terus saya keluar  melewati kebun biara yang indah. Tidak sengaja saya menginjak pot bunga yang sedang digarap oleh tukang kebun. Tiba-tiba, tukang kebun  itu berkata, “Mentang-mentang  pakai sepatu bagus,  injak tanaman sembarangan!”  Saya diam saja, pura-pura tidak dengar.
 
Kamis, 9 Juli 2015    Markus Marlon

Rabu, 08 Juli 2015

Hidup, ya bekerja.

HIDUP, YA BEKERJA
(Kontemplasi Peradaban)
 
“Agere volentem
semper meditari decet” – yang punya
 keinginan untuk melakukan haruslah ia
 selalu merenungkannya (Decimus Magnus Ausonius).
 
       Dalam suatu kesempatan saya dikejutkan oleh seseorang yang berkata demikian, “berani mati itu mah biasa, tetapi yang luar biasa  adalah berani hidup.” Memang, hidup itu sulit, meskipun ada yang mengatakan bahwa  life is beautiful atau hidup itu mudah. Seneca (4 seb.M – 65) mengatakan, “Vivere  militare” – hidup itu adalah perjuangan.  Dan bekerja itu sendiri adalah suatu perjuangan.  Erich Fromm (1900 – 1980) berkata bahwa manusia adalah makhluk yang bekerja. Sebelum itu ada ungkapan “homo faber” – manusia makhluk yang bekerja. Ungkapan ini hendak menunjukkan bahwa manusia baru merasa bermakna jika mengaktualisasi diri.
Selagi manusia hidup, ia ingin hidupnya bermakna. Nabi Muhammad  SAW berkata, “Sebaik-baiknya manusia adalah mereka yang bermanfaat bagi orang lain.” Itulah sebabnya, manusia ingin senantiasa eksis, meskipun mengalami banyak tantangan. Hal ini seperti apa yang dialami oleh pendiri Kompas (P.K. Ojong dan Jakob Oetama). Waktu akan di-bredel pada rezim Suharto (1921 –  2006) tahun 1978, Jacob Oetama mau menandatangani perjanjian yang diminta oleh penguasa. Jacob berpandangan bahwa  “mayat hanya bisa dikenang, tetapi tidak mungkin diajak berjuang” padahal perjuangan masih panjang dan membutuhkan sarana; antara lain media massa (Kompas, 28 Juni 2015). Barangkali hal ini seperti yang diucapkan Horatius  (65 seb.M – 8 M), “Extinctus amabitur idem” – begitu dia meninggal, dia akan disayang.
Banyak orang yang beranggapan bahwa dengan bekerja orang mencapai kemuliaan, “Gloria  sine labore nulla” – tanpa ada kerja tidak ada kemuliaan. Ungkapan  ini memang benar adanya. Bekerja, pada akhirnya memberi kesenangan dan gairah dalam hidup. Horatius  dalam suatu kesempatan berkata, “Vitae summa brevis spem nos vetat incohare longam” – bahwa hidup ini pendek, tidaklah dilarang merencanakan sebuah kehidupan yang panjang.  Lantas kita pun berkata, “Bukankah banyak orang yang sudah lanjut usia, tetap ingin bekerja?”  Karena, “Labor est etiam ipse voluptas” – kerja itu sendiri juga merupakan sebuah kenikmatan, seperti yang dikatakan Manilius, penyair Romawi yang hidup pada zaman Kaisar Agustus (63 seb.M – 14 M).
Akhirul kalam, hidup kita di dunia ini bukan tanpa tujuan. Orang Jawa memiliki ungkapan yang menarik, “Sangkan paraning dumadi” yang berarti kita datang ke dunia dan akan kembali kepada sang pencipta.  Kahlil Gibran (1883 – 1931) dalam  bukunya yang berjudul, “Jesus the Son of Man” menulis,  “Saat-Ku belum tiba. Banyak hal yang masih harus kukatakan kepadamu dan banyak perbuatan yang masih harus  Kulakukan sebelum Kuserahkan nyawa-Ku demi dunia."

Rabu, 8 Juli 2015   Markus Marlon  
 

Senin, 06 Juli 2015

On going formation

ON GOING FORMATION
(Kontemplasi Peradaban)
 
Quique aliis cavit,
 non cavet ipse sibi – siapa saja
 yang suka mengurusi orang lain
 berarti dia tidak mampu mengurus dirinya sendiri (Ovidius).
 
       Dalam obrolan  yang tidak resmi seseorang berkata, “Saya sudah selesai ujian sarjana dan inilah puncak karierku. Ijazah sudah di tangan dan sekarang waktu saya untuk bekerja. Saya tidak perlu lagi belajar.”
          Mendengarkan perkataan orang itu, seolah-olah kita lupa bahwa manusia itu pada dasarnya adalah “makhluk pembelajar”. Dalam dirinya ada keinginan untuk  membentuk dan dibentuk (formation) dan ini merupakan suatu proses yang terus-menerus atau berkesinambungan (on going). Bahkan, Nabi Muhammad SAW (570 – 632)  pernah menyampaikan  piwulang bahwa belajar memang seharusnya sejak dalam buaian sampai ke liang lahat,  from cradle  to the grave. Sang Nabi dalam  hadits-nya juga bersabda, “Tuntutlah ilmu walaupun sampai ke negeri China.”
 
          Namun, sebelum kata-kata sang Nabi itu muncul, mungkin kita pernah mendengar Proverbia Latina yang dicetuskan oleh Seneca (4 seb.M – 65),  “Non scholae sed vitae discimus” yang  kalau diterjemahkan secara bebas berarti:  belajar di sekolah itu bukan untuk mengejar ijazah, tetapi agar orang dapat hidup dengan baik dan benar.  Itulah yang sering kita artikan bahwa belajar ini dilaksanakan seumur hidup, “lifelong  education”.
 
Dalam dunia pewayangan, tokoh yang suka mengejar ilmu terdapat dalam diri Arjuna.  Arjuna, dalam bahasa sansekerta berarti putih bersih atau bening. Ia juga sebagai simbol pribadi yang suka belajar. Arjuna memiliki istri sakethi  kurang siji yang artinya satu juta kurang satu (999.999 istri).  Para istri Arjuna adalah anak-anak pendeta atau guru. Ini melambangkan Arjuna “menikahi” ilmu pengetahuan.  Simbol  “putih” dalam diri tokoh  Arjuna  ini, saya tafsirkan sebagai candidatus (Bhs. Latin yang berarti putih). Ia belum menjadi pegawai tetapi masih magang, maka ia harus bekerja sebaik mungkin. Dalam arti ia “menyebelum”.  Setiap orang seharusnya merasa diri belum sempurna dan perlu untuk dibina dan membina diri terus menerus (on going formation).
 
Ketika belajar, Arjuna tidak hanya berteori, tetapi langsung praktek (pelatihan dan ketrampilan).  Itulah sebabnya orang Jawa menyebutnya sebagai “Ngèlmu iku kêlakóné kanthi laku, sênajan akèh ngèlmuné lamún ora ditangkaraké lan ora digunakaké, ngèlmu iku tanpå gunå” artinya: Ilmu itu diperoleh dengan usaha yang giat. Walaupun  banyak ilmu, tetapi jika tidak disebarluaskan dan tidak dimanfaatkan, ilmu tersebut tidak akan berguna apa-apa (Bdk. Pujangga Mangkunegara IV dalam bukunya yang berjudul, “Wedhatama”).
 
 
 
Senin, 6 Juli 2015  Markus Marlon

Kamis, 02 Juli 2015

Adil

ADIL
(Catatan Sebuah Perjalanan)
 
“Mea mihi conscientia
 pluris est quam omnium
sermo” – Hati nuraniku bernilai
 lebih banyak daripada semua kotbah (Cicero)
 
       Beberapa tahun yang lalu, ketika saya di-benum  di Jawa Tengah, ada seorang janda miskin yang datang kepada saya dan menceriterakan bahwa anaknya akan menerima  pemberkatan nikah di Gereja. Katanya, “Heran, anak saya akan menikah, tetapi sulitnya ngadubilah mencari hari yang tepat, karena pastor paroki sibuk terus. Padahal setahu saya,  minggu lalu umat se-lingkungan denganku waktu nikah di gereja ada lima pastor dan resepsinya malah ada puluhan pastor!”
          Lalu saya bilang, “Ibu mungkin keluarga yang punya gawe itu tokoh gereja.”  Tetapi dengan tenang ibu pun menjawab, “Iya sich dia itu donator dan para pastor yang datang dari luar kota  itu dibelikan tiket pesawat  PP, serta apa itu namanya semacam amplop yang  têbêl?” Saya berkata lagi, “Namanya  stipendium”.
          Memang, sering terdengar keluhan-keluhan dari wong cilik  yang kurang didengar oleh para pembesar. Mereka bagaikan kaum  Nisadha yang dalam Mahabaratha menjadi tumbal (Bdk. Cerita pewayangan dengan judul, “Bale Sigala-gala”).  Itulah sebabnya – kadangkala – dalam karya pastoral pun mereka kurang diperhatikan.  Di situlah, keadilan sering dipertanyakan.    
          Marilah kita renungkan  fable tentang makna rasa keadilan yang terdapat pada relief candi Mendut yang mengisahkan tentang burung Bharanda yang punya satu badan, tetapi dua kepala.  Riwayat  fable ini konon dipetik dari kitab Jataka atau Pancatantra. Kisahnya, kepala  yang menengadah ke atas karena posisinya selalu menikmati buah yang segar, ranum dan tentu banyak gizi. Sementara itu, kepala yang menjuntai ke bawah, hanya kebagian buah busuk, berulat dan tidak jarang mengandung bakteri. Permintaan kepala yang menjulai ke bawah untuk sekali-sekali menikmati buah segar itu  selalu ditolak. Alasannya buah segar itu akan masuk ke perut yang sama.  Akhirnya kepala yang menjuntai ke bawah itu frustasi dan marah, lalu dengan sadar dan sengaja makan racun. Akhirnya matilah burung Bharanda (Bdk. “Analisa Politik” tulisan J. Kristiadi, Kompas 30 Juni 2015).
          Kisah di atas mengajarkan tentang keadilan.  Jika orang sedang berada “di atas” ingat pula yang di bawah, karena manusia tidak selamanya di atas terus. Dalam bahasa Jawa ada ungkapan, “Cakra  manggilingan” – hidup manusia itu bagaikan roda berputar. Manusia perlu untuk merenung, kontemplasi, refleksi dan mempertajam batin agar hati lebih peka terhadap lingkungan sekitar. Inilah yang terungkap dalam pepatah Jawa, “padha gulangen ing kalbu” – berpikir untuk bersikap adil terhadap sesama.  Wong cilik atau umat yang miskin perlu untuk kita perhatikan.  Ibaratnya, bagi  wong cilik, makan di  CFC atau  Pizza Hut adalah pengalaman yang hanya dalam mimpi saja.  Dalam hal ini, mereka seperti burung Bharanda yang kepalanya selalu menjuntai ke bawah.
           Mohammad Syuropati dalam bukunya yang berjudul “Kumpulan Mutiara Kearifan Jawa” menulis makna tentang  “Esêm bupati”  artinya senyum seorang bupati. Kelas selevel dengan bupati, cara mengkritiknya cukup dengan èsêm atau  senyuman. Oleh karena itu, seorang bupati harus tanggap dengan èsêman  atau senyuman  rakyatnya.   

Kamis, 2 Juli 2015  Markus Marlon