Selasa, 30 Juni 2015

TAKUT
(Catatan Sebuah Perjalanan)
 
Optanda mors
 est sine metu mortis
 mori – Kematian yang didambakan
adalah mati tanpa takut pada kematian itu sendiri (Seneca)
 
          Kemarin (Senin, 29 Juni 2015) dalam perjalanan menuju airport  Sultan Hasanuddin – Makassar,  ada seorang ibu yang bercerita bagaimana dirinya merasa takut menghadapi sebuah masalah yang pelik. Namun dalam berjalannya waktu ia akhirnya berani mengatakan,  “Ketika saya melangkah menghadapi apa yang saya takutkan, ternyata rasa takut itu hilang dengan sendirinya.”  Saya menjadi ingat judul buku yang berjudul, “Stories of The Great Leader” yang mengutip kata-kata presiden Amerika, Franklin Delano Roosevelt (1882 – 1945), “Satu-satunya hal yang harus kita takutkan adalah rasa takut itu sendiri.”  Ibu tadi sekarang menjadi tenang dan tidak takut lagi.
 
          Memang benar, jika takut melangkah, maka kadang muncul ragu-ragu, sehingga tidak maju-maju dan tidak pernah bisa mengambil keputusan. Inilah yang dikatakan oleh Julius Caesar (100 – 44 seb.M), “ "Penakut mati berkali-kali, sedangkan pahlawan hanya mati satu kali dalam hidupnya."  
          Mari kita renungkan sejenak  kisah Caesar bagaimana mengatasi rasa takutnya. Pada abad 4 seb. M, sekelompok senator Romawi, yang bersekutu dengan Pompey (106 – 48 seb.M),  mengkuatirkan kekuasaan Julius Caesar (100 - 44 seb.M) yang “semakin besar” (Bdk. Drama  tragedy tulisan Shakespeare dengan judul, “Julius Caesar”).  Ketika Caesar mendengar  rumor tersebut, sang Kaisar (asal-usul dari kata Kaisar itu dari Caesar, “mungkin”) sedang berada di Gaul Selatan (sekarang Prancis) dengan hanya berpasukan yang jumlahnya  lima ribu orang. Tantangan tersebut bagaikan "uji nyali" bagi dirinya. Dengan kata-katanya yang penuh motivasi, Julius Caesar berkata, "Mari kita melintasi sungai Rubicon" untuk meraih masa depan kita. Memimpin pasukan ke wilayah Italia berarti perang dengan Roma. Sekarang tidak lagi jalan kembali. Berjuang atau mati. Caesar terpaksa mengonsentrasikan kekuatannya serta tidak menyia-nyiakan satu orang pun, bertindak dengan cepat dan bersikap sekreatif mungkin. Ia menyerbu Roma. Dengan mengambil inisitif, ia menjadikan para senator  ketakutan, memaksa Pompey melarikan diri.

    Istilah "melintasi sungai Rubicon" amat tepat untuk mengatasi rasa takut dan kekerdilan hati dalam diri kita. Setiap hari tentu kita melewati masa-masa yang  menakutkan. Tetapi  yok mari coba “melangkah dan menghadapi apa yang kita takutkan, ternyata tidak seperti yang kita bayangkan.” Memang, ketakutan merampas kebahagiaan dan kedamaian hati. Dale Carnegie (1888 – 1955) dalam bukunya yang berjudul,  “How to Stop Worrying and Start Living” mengatakan bahwa ketakutan itu seperti bayangan badan kita pada jam 15.00 sore.  Kita membelakangi matahari dan lihatlah, betapa besar bayangan kita. Demikian pula rasa takut yang kita pikirkan itu besar sekali, padahal ketika kita menghadapi ternyata kecil saja.
 
Selasa, 30 Juni 2015 
Markus Marlon
 

Sent from my Sony Xperia™ smartphone

Minggu, 28 Juni 2015

KORUPSI
(Kontemplasi Peradaban)
 
“Manungsa: menus-menus
 kakean dosa” – manusia kelihatannya
 bersih tetapi banyak dosa (Mutiara Kearifan Jawa).
 
Ada sebuah kisah tentang seorang budak yang diangkat menjadi bendaharawan kerajaan. Tentu saja pengangkatan ini membuat iri hati para punggawa istana.
Setiap menjelang malam, bendaharawan itu masuk ruang bawah tanah tempat menyimpan harta karun. Kelakuan ini yang dicurigai oleh para menteri, sehingga menteri terdekat melapor kepada sang raja, “Yang mulia, setiap menjelang malam, bendaharawan itu senantiasa masuk ke ruang harta karun. Baik kalau sang raja mengikutinya!”
Sang  raja pun heran dan mulai menguntit bendaharawan itu. Sang raja mengulik dari lubang kunci pintu dan terkejutlah ia terhadap apa yang dibuat orang kepercayaannya.  Bendaharawan itu mulai duduk dan mengganti baju mewahnya dengan pakaian budak yang disimpannya dekat brangkas, “Tuhan, aku adalah budak dan sekarang diangkat raja menjadi orang kepercayaannya. Setiap menjelang istirahat aku datang kepada-Mu sebagai budak memohon supaya aku tidak gegabah dalam melangkah serta bertindak dengan jujur!” Sang raja pun akhirnya berkata dalam hati, “Engkaulah pilihanku dan aku bersyukur memiliki orang kepercayaan yang tahu siapa dirinya.”
Godaan harta memang sungguh nyata. Mungkin ketika seseorang masih muda, jiwanya masih idealis, ia memiliki cita-cita yang luhur. Tetapi setelah memegang jabatan birokrasi dan mengendalikan proyek, idealismenya itu pun mulai luntur. Radix omnium malorum est cupiditas – akar dari segala kejahatan ialah keserakahan ( 1 Tim 6: 10). Kalau dalam peribahasa Inggris sehari-hari kita mengenalnya dengan ungkapan, “Money is the root of all evil”  – Uang adalah akar segala kejahatan. Sebenarnya bukan uang itu sendiri yang jahat, melainkan kecintaan yang berlebihan pada uang dan nafsu untuk mendapatkannya yang dapat mendorong manusia melakukan tindak kejahatan.
Memang benar bahwa kebutuhan manusia itu tidak ada batasnya. Gaji sebesar apa pun masih kurang dan kurang. Dari sana lah mereka mudah untuk disuap. Erasmus (1466 – 1635) memandang orang yang mudah disuap dengan istilah, “Bos in lingua” – ada sapi dalam mulutnya.  Ungkapan ini berasal dari bahasa Yunani. Pada zaman dulu, pada setiap uang logam selalu ada gambar sapi.
Penyuapan dan korupsi sungguh marak di Indonesia, bahkan sudah dinamakan sebagai patologi sosial (penyakit sosial). Yang jelek lagi ada ungkapan bahwa korupsi itu sudah membudaya dan sangat sulit untuk diberantas. Kebobrokan dari mental para penguasa itu akhirnya yang menanggung rakyat. Ungkapan Latin yang dicetuskan oleh Horatius (65 – 8 seb.M), “Quidquid delirant reges plectuntur Achivi”  – Apa saja perbuatan gila dari para penguasa, maka rakyat Yunani-lah yang tertimpa hukumannya,  artinya rakyatlah yang akan selalu menanggung akibat buruk dari kegilaan penguasa.
Ketika kita mendengar berita tragis tentang penangkapan para koruptor, di sana diberitakan, “Negara mengalami kerugian uang sekian miliar rupiah atau sekian triliun rupiah…” Tentu saja rakyat menjadi geram katas perbuatan para penguasa tersebut. Itulah sebabnya, pembangunan infrastruktur atau dana-dana yang seharusnya diberikan kepada rakyat di-tilep oleh para koruptor. Para koruptor itu berfoya-foya di atas penderitaan orang miskin.  Namun seorang sastrawan yang bernama Juvenalis (60 – 140)  berkata, “Nemo malus felix – tidak ada orang jahat yang bahagia. Kita bisa membayangkan bagaimana sang koruptor dan keluarganya ketika menyaksikan pemberitaan tentang dirinya yang mengenakan rompi orange dengan tulisan, “Tahanan KPK”. Tentu saja dirinya dan keluarganya menjadi sedih dan malu.
Korupsi sudah menjadi patologi sosial yang sudah kronis, istilahnya sulit untuk diberantas. Tugas KPK amat sangat berat, bahkan ada indikasi untuk “melemahkan power  KPK”  misalnya dengan menghilangkan “penyadapan” yang merupakan jantung KPK. Pemberantas korupsi diperlukan “orang-orang yang kuat”, tahan godaan bahkan berani mati.  Ovidius (43 seb.M – 17 M) mengatakan bahwa orang-orang yang memerangi kejahatan seyogianya memiliki jiwa yang berani, “Mens interrita leti” – jiwa yang tidak gentar akan kematian.
Saat ini peran media sangat bagus untuk menjadi kontrol sosial. Tertangkapnya para koruptor dan  yang diberitakan di media massa maupun media elektronik bertutujuan untuk membuat para koruptor jera (efek jera). Para koruptor ini memiliki mental “selalu kurang” yang oleh Horatius (65 – 8 seb.M) dipandang dengan ungkapan, “Multa petentibus desunt multa” – mereka yang banyak menuntut adalah mereka yang kekurangan banyak. Mungkin baik, jika para koruptor itu bersikap seperti kisah budak yang menjadi bendaharawan tadi, “Nihil habendi nihil deest” – yang tidak memiliki apa-apa, tidak akan kekurangan sesuatu.

Sabtu, 27 Juni 2015   Markus Marlon
+ Sudah dipublikasikan di Sinar Harapan – Sabtu, 27 Juni 2015

Rabu, 17 Juni 2015

Badai

BADAI
(Sebuah Catatan Perjalanan)
 
God doesn’t allow
trials in our lives to defeat us,
 but to develop us – Tuhan
 tidak membiarkan ujian dalam hidup
 mengalahkan kita, tetapi untuk
 mengembangkan kita (Charles Stanley).
 
Ketika saya nongkrong di  “Kampoeng Popsa” yang letaknya di depan benteng   Fort  Rotterdam – Makassar, terdengar orang menyanyikan lagu yang pernah dinyanyikan  Chrisye:
 Kini semua bukan milikku,
 musim itu telah berlalu
 matahari segera berganti
 Badai pasti berlalu….
 
Lantas pikiran saya tertuju pada novel tulisan Marga, T dengan judul, “Badai Pasti Berlalu”.  Membaca novel tersebut dijamin air mata yang membacanya akan  berlinang. Memang, setiap orang memiliki  “badai”. Ada yang kencang seperti tornado atau  puting beliung namun juga ada yang  bagaikan angin semilir saja.  Namun jika kita membaca tulisan  Rick Waren (Lahir 28 Januari 1954) dalam bukunya yang berjudul,  ”Purpose Driven Life”,  Every storm is school, each trial is a teacher, every experience is education, every difficulty is for our development” – Setiap badai adalah pelajaran, setiap ujian adalah guru, setiap pengalaman adalah didikan dan setiap kesukaran adalah untuk mengembangkan kita”, maka kita akan mensyukuri “badai tersebut”.
Bahkan  -tidak tanggung-tanggung- ada orang yang mengatakan bahwa “badai” dalam hidup malah menjadi titik-tolak akan hidup yang makin kuat. Kisah James Cook (1728 – 1779) yang legendaris, misalnya.  Cook menulis dalam pelayarannya yang mengerikan karena kapalnya menghantam batu karang dan hampir tenggelam. Peristiwa itu dinamakan  Cape Tribulation (Tanjung Pencobaan) yang malah membuat Cook makin berani mengarungi samodra.
 Memang setiap orang memiliki badainya masing-masing. Bila kita terlanjur kecewa dan frustasi atas kegagalan yang kita alami, maka yang ada hanyalah keluhan dan gerutuan. Dan ini malah akan mengerdilkan diri kita. Padahal dengan badai itu – seperti yang tadi kita baca di atas – malah akan membuat kita kuat. Mari kita simak Film yang berjudul, “Nada untuk Asa” yang bercerita tentang dua wanita positif  HIV untuk tetap hidup di tengah-tengah keluarga dan masyarakat yang tidak menerima penyakit itu. Hidup mereka terasa sangat berat. Dalam episode terakhir, anaknya Asa berkata kepada ibunya, Nada, “Ma, mengapa badai yang keras ini diberikan Tuhan kepada kita?” Ibunya berkata, “Karena kita kuat, nak!”

Rabu, 10  Juni 2015   Markus Marlon

Sent from my Sony Xperia™ smartphone

Jumat, 05 Juni 2015

Mencari Teman

MEMILIH TEMAN
(Sebuah Catatan Perjalanan)
 
"Secreto amicos admone, lauda palam" – Tegurlah sahabat-sahabatmu secara diam-diam, namun pujilah mereka secara terbuka (Publius Syrus).
 
       Tanggal merah, 2 Juni 2015 saya gunakan untuk makan capcay  di Jln. Gunung Lompobattang – Makassar.  Ketika masakan dihidangkan, saya complain  dan menggerutu, karena ada tambahan lauk-pauk yang tercampur dalam sayuran tersebut yang  tidak saya sukai. Lantas, teman saya itu pun berkata, "Mudah saja kalau  you tidak suka. Singkirkan saja udang-udang  kecil itu dari piringmu. Habis perkara!"
          Benar! Pada setiap kesempatan kita harus memilih. Dari memilih hal-hal  yang sederhana hingga memilih sesuatu yang rumit,  seperti apa yang dikatakan Hamlet, dalam drama tulisan Shakespeare (1564 - 1616) to be or not to be.
          Yang paling jelas-jelas adalah memilih teman. Sebagai maklhuk sosial (homo socius), kita membutuhkan teman, namun untuk mendapatkan teman itu, kadang tidak mudah. Orang-orang China mengatakan, "Seribu teman masih kurang namun satu musuh kebanyakan!"  Meskipun mencari teman itu sulit, kita tetap tidak boleh memilih sembarang teman, tetapi harus "diseleksi".  
Orang-orang Jawa memiliki ungkapan yang sering kita dengar, "Wong kang ora ngerti marang trapsila klebu wong kang ora perlu dicedhaki" – Orang yang tidak mengerti tata susila, tergolong orang yang tidak perlu didekati. Atau ungkapan lain, "Sing becik cedhakana, kang ora becik singkirono"  – orang baik dekatilah dan orang yang tidak baik hindarilah. Mungkin kita pernah mendengar ungkapan, "Birds of a feather flock together" – Burung-burung berkelompok menurut jenisnya. Orang cenderung berkelompok dengan mereka yang memiliki selera dan kepentingan sama.
          Dalam pewayangan, kita kenal adanya seorang teman  sejati yakni: punakawan.  Punakawan dalam kisah pewayangan merupakan sosok rakyat jelata yang setia mengabdi dan mendampingi seorang kesatria yang menjadi tuannya. Teman kesatria yang disebut Punakawan  (Semar, Gareng, Petruk dan Bagong) itu dalam melayani tidak ada kepentingan apa pun (Bdk. Kompas – Jumat 5 Juni 2015). Karena tidak ada kepentingan, maka dalam menasihati tuannya  "tanpa tedheng aling-aling" – bicara terus terang, tidak ada yang ditutup-tutupi. Kawan seperti itu memang tidak nyaman, lain dengan para punggawa penjilat. Mereka suka bicara yang manis-manis di depan tuannya, sebagai teman, mereka tidak tulus.
 
Jumat, 5 Juni 2015  Markus Marlon

Sent from my BlackBerry®

Kamis, 04 Juni 2015

Bon Kamu Aku Hapus

BON KAMU AKU HAPUS
(Kisah Nyata)

" Gratis Mbok?? ", heran bertanya si Barjo

"Ya , kenapa ? Makan aja apa yang kamu suka"
"wah ..terimakasih mbok. Terimakasih…"
SI Mbok tersenyun riang ketika memperhatikan Barjo , langganannya yang biasa berhutang diwarungnya. Sekarang menyantap makanan dengan lahapnya. Mungkin kali ini pria itu dapat menikmati makanannya dengan tanpa beban. Keringat meleleh dikeningnya.
"Jo "
"ya Mbok. Ada apa…apa ini hanya guyonan saja Mbok" Barjo melongo kearah si Mbok dengan bingung dan mulut yang masih terisi nasi. 
Tapi si mbok tetap tersenyum.

"Ini Catatan Bon kamu ya?" Tanya si Mbok dengan tersebyum

"ya Mbok. Aku endak ada duit sekarang."

"ya aku tahu. Kamu memang selalu endak ada uang akhir akhir ini. Ya sudah bon kamu aku hapus." jawab simbok dengan senyum.

"Hapus?" teriak Barjo dengan bengong. "wah, lelucon apa lagi ini Mbok. Jangan bikin aku jantungan Mbok. Gratis saja aku sudah bingung…lah sekarang bon ku hapus lagi. "

"ya ..kamu endak perlu jantungan. Terima aja. Aku senang kok" Jawab simbok.

Hari itu ada hampir 40 orang yang datang makan di warung Mbok Mijah. Mereka semua adalah supir bajay, pemulung, pedagang asongan, pengamen jalanan dan tukang minta minta yang biasa nongkrong disudut jalan. Semua menikmati makanan dengan gratis. Bahkan sebagian dari mereka yang punya catatan hutang dinyatakan hapus oleh Simbok. Keceriaan jelas sekali terpancar di wajah si Mbok. Pemandangan tersebut di atas aku saksikan sendiri sambil asik menikmati kopi hangat. Mereka yang datang seakan tidak memperdulikan ku. Tapi tidak ada satupun ekspresi wajah dari mereka yang luput dari perhatianku. 

Hari itu memang aku sengaja datang ke warung si Mbok. Si Mbok hampir tidak percaya ketika aku datang pagi pagi. Sebelum pelanggannya datang.

'Maksud mas ?" Tanya siMbok dengan sedikit terkejut.

"ya Mbok. Aku ingin tahu berapa jumlah penjualan Si mbok bila seluruh makanannya habis terjual." Tanyaku tanpa memperdulikan keterkejutannya.

"Rp400 ribu rupiah Den tapi tidak semua simbok terima karena sebagian dihutangin"

"Ok. Berapa jumlah catatan hutang dari semua pelanggan siMbok " tanyaku lagi.

"Ada Rp. 700 ribu " jawabnya lagi tapi masih bingung.

"Ok. Nah ini saya kasih uang Rp. 1.500.000. " kataku sambil memberikan uang itu kepadanya.

"Ah.Untuk apa ini Mas…" Sekarang benar benar bingung dia.

"Aku hanya ingin memberikan uang ini kepada SiMbok. Karena dalam keadaan sulit siMbok masih bisa berbuat baik sama orang. SImbok bisa ngutangin orang yang butuh makan walau simbok sendiri tidak tahu kapan orang itu akan membayar."

Sambil memperhatikan wajahnya yang berseri dalam kebingungan. Kupegang tangannya dan menyerahkan uang itu. "Nah, apa yang akan siMbok lakukan dengan uang ini" sambung ku.

"SiMbok hanya ingin memberi kesempatan semua langganan makan gratis hari ini. Menghapus semua hutang mereka." Jawabnya

"Mengapa." Sekarang aku yang bingung.

"Simbok orang miskin. Simbok pengen bersedekah tapi endak pernah bisa. Wong hidup juga sulit begini." Katanya.

Ketika senja mulai berangkat malam. Aku melangkah menjauhi sudut jalan itu. Aku termenung. 

Selama ini kita begitu hebatnya menggunakan retorikan bahwa kita peduli dengan simiskin. Kita marah kepada ketidak adilan. 

Tapi kita tidak berbuat banyak. Tapi sebetulnya kehadiran Allah tetap ada di lingkungan si miskin.

Dengan kesehajaan di antara mereka dan cara mereka, mereka berbagi untuk saling peduli. Itu. 

Negeri ini kuat karena rahmat Allah yang meniupkan pesan cinta kehati siapapun untuk saling berbagi. Masalahnya ada yang membaca pesan itu dan ada yang tidak membacanya.

Si Mbok adalah contoh pesan cinta Allah dibacanya dengan baik, walau sedikit yang dia punya itulah yang dia bagi... dan dia bahagia karena itu.

✅ Memang cinta selalu menyehatkan dan menentramkan walau harus memberi sesuatu yang pada waktu bersamaan sangat membutuhkannya.

✔️✔️ sebuah Kisah nyata dari seorang dermawan di penghujung Tahun 2008.
Sent from my BlackBerry®

Selasa, 02 Juni 2015

Kantong Bolong

KANTHONG BOLONG
(Sebuah Catatan Perjalanan)
 
"Mel invenisti: comede quod sufficit tibi.
Ne fore satiates evomas illud" – Kalau engkau mendapat madu, makanlah secukupnya, jangan sampai engkau terlalu kenyang dengan itu, lalu memuntahkannya (Ams 25: 16).
 
       Ketika mengadakan perjalanan di Pantai Galesong – Takalar – Sulawesi Selatan (Sabtu, 30 Mei 2015), ada kisah menarik tentang makna memberi. Saat saya menyewa pakaian renang, dia sendiri malah mengatakan, "Saudara adalah orang yang datang menyewa pertama kali. Jadi kami beri gratis!"  Kemudian saya berkata, "Terima kasih, bapak menggunakan ajaran kanthong bolong!"  Bapak itu pun berkata, "Ya, berenang di siang bolong tidak enak karena panas, lebih baik pagi-pagi selagi matahari masih bersembunyi." Dalam hati saya berkata, "Oh dia bukan orang Jawa, jadi tidak paham makna kanthong bolong!"
 
R.M. Panji Sosrokartono (1877 – 1952) – seorang polyglot –  memberikan ajaran adiluhung dalam kata mutiara Jawa, "Nulung pepadha ora nganggo mikir wayah, wadhuk, kanthong. Yen ana isi lumuntur marang sesami" – membantu sesama tidak perlu memakai pikiran waktu, perut, saku. Jika (saku) berisi mengalir kepada sesama. Ajaran ini mengajarkan kita supaya dalam memberi sesuatu kepada sesama jangan ditunda-tunda, kalau boleh pada kesempatan pertama.  "He gives twice who gives quickly" – dia yang memberi bantuan dengan cepat sama dengan memberi dua kali lipat.
Hidup itu pada akhirnya adalah suatu pemberian. Orang yang enthengan (Bhs. Jawa: cepat tanggap atau mudah menolong sesama) akan merasa sehat dan bahagia. Winston Churchill (1874 – 1965)  pernah menulis, "Kita bertahan hidup dengan mencari nafkah, namun kita mencari makna kehidupan dengan memberi."  Marcus Valerius Martialis (38 – 102) pun dalam Proverbia Latina menulis, "Quas dederis,semper habebis opes" – hanya yang engkau berikan itulah yang selalu memiliki kekuatan. Berbuat baik itu memberi kebahagiaan.
 
Orang yang memiliki sikap hidup "kanthong bolong" itu merasa bahwa hidupnya sebagai saluran berkat. Bahkan Warren Wiersbe (lahir 16 Mei 1929) pembicara publik Amerika mengatakan bahwa manusia bukanlah sebuah bendungan. Orang yang serakah akan berusaha sekuat tenaga menahan agar berkatnya tidak kemana-mana. Ia menyumbatnya dan tidak membiarkan bolong (terbuka).

Senin, 1 Juni 2015  Markus Marlon


Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT