Minggu, 31 Mei 2015

Tenggang Rasa

TENGGANG RASA
(Kontemplasi Peradaban)
 
          Beras plastik dijual, ijazah palsu diributkan, uang palsu setiap saat mengelabuhi kita dan penggunaan formalin. Anak-anak kita di sekolah makan bahan-bahan palsu yang mereka beli dari penjual makanan di sekitar sekolah, begal motor yang pernah marak serta bandar narkoba yang tidak jera-jera. Dari sini kita bisa menamai bahwa tahun ini adalah sebagai  Annus horribilis – tahun yang mengerikan.
          Dengan mata kepala sendiri, kita bisa menyaksikan bagaimana orang-orang berbuat sesuatu tanpa terusik hati nuraninya.  Pelaku kejahatan itu tidak berpikir jauh ke depan bagaimana efek yang dialami oleh konsumen. Bahan baku plastik dalam pembuatan beras merupakan bahan kimia yang tak layak dimakan. Efeknya menimbulkan gangguan pencernaan. Gangguan pencernaan yang terjadi pun jangka pendek maupun jangka panjang. Gangguan jangka pendek yang bisa terjadi di antaranya: diare, mual, kembung dan muntah. Efek jangka panjang adalah kanker (Fajar, Selasa 26 Mei 2015, "Mencermati Beredarnya Beras berbahan Plastik").  
Wolak-waliking zaman. Iki tandhane yen wong bakal nemoni wolak-waliking jaman– itu pertanda orang akan mengalami zaman berbolak-balik. Bolak-balik, upside down yang kaya menjadi rakus, padahal  sudah kaya. Yang miskin semakin malas, padahal sudah melarat. Pengusaha menjadi politisi, sebaliknya para politisi malah berdagang. Wakil rakyat  dan pejabat minta dilayani. Rakyat pemberi mandat terpaksa melayani. Para ulama mengejar takhta. Rohaniwan lebih suka main sinetron dan menjadi penyanyi. Dan para penyanyi dan pemain sinetron malah berdakwah (Bdk. Jangka Jayabaya hlm. 33).
Saat ini kehidupan sangat berat. Barang-barang yang ditawarkan menggiurkan calon konsumen. Kalau zaman dulu yang memiliki gadged hanyalah orang-orang tertentu, sekarang ini hampir semua orang memilikinya, bahkan menjadi kebutuhan primer. Dulu orang yang memiliki kendaraan bermotor itu sangat terbatas, sekarang ini kendaraan bermotor dan mobil pribadi berjibun. Itulah sebabnya, orang-orang dituntut untuk "memiliki lebih". Sudah memiliki gaji cukup, masih korupsi, sudah punya usaha maju merasa masih kurang sehingga mempraktekkan usaha supaya cepat kaya (mental instant). Itulah sebabnya, orang menghalalkan cara agar apa yang diimpikan itu terwujud. Praktek semacam ini sebenarnya sudah dibuat oleh Niccolo Machiavelli (1469 – 1527),  "The end justifies the means," –  tujuan menghalalkan cara.
Issudan gossip lebih cepat sampainya, "Bad news travels fast" – orang cenderung senang menyebarkan berita buruk. Dalam strategi perang dikatakan bahwa para perwira lebih takut gossip daripada moncong bedil. Gossip itu bagaikan fitnah yang membunuh karakter seseorang. Dalam pewayangan misalnya kisah Durna meninggal karena diberitakan Aswatama meninggal. Seorang bapak tentu akan menjadi sedih jika anaknya dibunuh. Kabar bohon itulah yang menjadikan Durna kalang kabut.  Pada akhirnya sang guru Pandawa itu pun tewas dibunuh.
Demikian pula apa yang menjadi  hot news akhir-akhir ini. Ditulis dalam Tribun Timur, 24 Mei 2015 bahwa beras plastik merupakan issu untuk reshuffle Menteri Pertanian. Lantas, beberapa hari ini pula diberitakan di media elektronik bahwa Pemerintah menjamin tidak ada beras plastik yang dikatakan langsung oleh Kapolri, Badrodin Haiti. Kemudian dalam minggu ini pula masih ada pembahasan beras plastik dengan judul debat, "Kontroversi beras plastik".  Ini semua hendak menunjukkan bahwa issu beras plastik masih menjadi berita hangat di Indonesia (Dari Sabang sampai Merauke).
Benar tidaknya berita tersebut di atas, hati kita pun menjadi miris, "Mengapa orang begitu tega berbuat demikian kepada orang lain?"  Pengedar narkoba, pemberian formalin untuk panganan dan akhir-akhir ini beras plastik hendak menunjukkan betapa sudah lunturnya perasaan orang terhadap keselamatan orang lain. Barangkali para pelaku kejahatan itu berkata, "Toh bukan keluargaku atau saudaraku yang mengkonsumsi makanan itu!"  Tepo slira dan  tenggang rasa serta rasa belas kasih sudah mulai lenyap.
Hikmat yang dapat kita petik dari peristiwa "beras plastik" ini adalah bahwa  manusia makin egois. Ia hanya mementingkan dirinya sendiri tanpa memedulikan penderitaan sesama. Kekisruhan politik di negeri ini sangat berpengaruh bagi ekonomi masyarakat. Masyarakat Indonesia menjadi manusia pemberang, mudah marah serta tidak sabaran.

Sabtu, 30 Mei 2015    Markus Marlon
 
 

Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

Jumat, 29 Mei 2015

Ramah

RAMAH
(Sebuah Catatan Perjalanan)
 
"Hospes eram et collegistis me" – waktu aku
 menjadi orang asing, engkau telah memberi tumpangan.
      
Ketika saya masuk sebuah warung untuk memberi sesuatu, para penjaga toko itu tidak ramah. Saya serta-merta meninggalkan toko itu dan pindah ke sebelah. Jujur saja bahwa pada waktu itu saya hanya berharap ingin di-wong-ke, artinya dihargai yang  tentunya dengan keramahtamahan. "A man without a smiling face must not open  a shop"  – Mereka yang tidak bisa tersenyum janganlah membuka toko. Ungkapan ini berasal dari falsafah China. Pelayan toko yang ramah akan memikat pembeli dan membuat dagangan  mereka laris. Bagi penjual  "customer is king"  – pembeli adalah raja, sehingga  harus dilayani dengan ramah.

          Ya! Ramah itu menyembuhkan. Coba kalau kita sakit dan dibawa ke rumah sakit, namun perawat yang menangani kita itu wajahnya mbesengut dan njaprut, artinya mukanya tidak ramah, tentu kita akan menjadi semakin sakit. Namun, jika para perawat di sana  banyak senyum dan ramah, maka sakit pun akan berkurang. Benar sekali bahwa dalam bahasa Inggris untuk Rumah Sakit adalah The Hospital.

Dunia kuno mencintai dan menghormati keramahtamahan. Bangsa Yahudi memunyai ungkapan, "Ada enam hal yang buahnya dapat dinikmati oleh manusia dalam dunia ini dan yang akan menaikkan kehormatannya dalam dunia yang akan datang." Daftarnya mulai dengan "keramahtamahan terhadap orang asing dan perkunjungan kepada mereka yang sakit." Bangsa Yunani menyebut Zeus dengan salah satu gelar kesenangannya yaitu Zeus Xenios – Zeus dewa orang asing. Dengan demikian, para pengembara dan orang asing berada di bawah perlindungan raja dan para dewa. Menurut James Moffatt (1870 – 1944), keramahtamahan itu adalah tugas utama dalam agama zaman kuno.

          Orang Jawa sejak usia balita sudah diajari untuk grapyak dan semanak, artinya ramah. Di pedesaan zaman waktu kecilku, di depan samping pintu rumah selalu ditempatkan sebuah penampung air yang disebut dengan kendhi. Kendhi atau tempayan kecil itu diperuntukkan bagi pejalan kaki yang lewat depan rumah. Itulah "pelajaran pertama"  keramahtamahan di pedesaan (Gunung Kidul – Yogyakarta) pada waktu itu.  

Kamis, 28 Mei 2015  Markus Marlon


Website :
http://pds-artikel.blogspot.com

Rabu, 27 Mei 2015

Menghibur

MENGHIBUR
(Catatan  Perjalanan)
 
"Humanas actiones non ridere, non lugere, neque destari sed intelligere" – peri kehidupan manusia itu jangan ditertawakan, jangan diratapi dan jangan dikutuk, tetapi hendaknya dimengerti (Spinoza)
 
          Manusia adalah makhluk peziarah, pengembara (homo viator). Dan dalam peziarahannya, setiap peristiwa memiliki makna. Demikian pula yang saya alami. Pada waktu itu saya melawat dan melayat seorang ibu yang sedang berduka. Suaminya mengalami kecelakaan dan tewas di tempat. Ketika saya duduk bersama pelayat yang lain, ada segerombolan ibu-ibu – sepertinya teman arisan – menghibur ibu itu. Dari kejauhan saya mendengar salah seorang dari mereka, "Hai temanku, engkau harus sabar, berdoa, pasrah. Peristiwa ini adalah kehendak Tuhan, engkau jangan sedih lagi. Suamimu sudah bahagia di surga! Tuhan akan membuat semuanya indah pada waktunya!"  Itukah penghiburan yang baik?
          Harold S. Kushner dalam bukunya yang berjudul,  Derita, Kutuk atau Rahmat  menulis, "Ada suatu kebiasaan yang elok dalam ibadat duka orang Yahudi yang disebut  se'udat havra'ah   yakni makan sebagai lambang pemenuhan. Sepulang dari makam, keluarga yang sedang berduka tidak dibenarkan mengambil makan sendiri (atau melayani orang lain). Orang-orang lain harus menyuapinya, melambangkan betapa masyarakat berhimpun di sekeliling mereka untuk memberikan dukungan dan mencoba mengisi kekosongan dalam dunia mereka" (hlm. 143).   
          Suatu kali, ada seorang pendeta  yang mengunjungi jemaatnya yang sakit di Rumah Sakit. Ketika masuk di sal, pendeta ini hanya diam di samping umatnya selama 30 menit. Ia tidak bicara apa-apa, kemudian berpamitan  untuk melanjutkan tugasnya yang berikut.  Ketika orang yang sakit itu sembuh, ia mengucap terima kasih kepada pendeta, katanya, "Kehadiran pendeta selama saya sakit sungguh-sungguh luar biasa. Saya merasa bahwa keberadaan pendeta pada waktu itu sangat menguatkanku. Terima kasih karena sekarang saya sudah sembuh!"  Penghiburan bagi orang yang sakit dan menderita adalah menjadi pendengar yang setia.
          Henri Nouwen (1932 – 1996)  dalam bukunya yang berjudul,   Yang Terluka Yang Menyembuhkan menulis, "…. Kalau seorang wanita menderita karena kehilangan anaknya, pelayan Kristen tidak dipanggil untuk menghiburnya dengan mengatakan bahwa ia masih mempunyai dua anak lain yang tampan dan sehat di rumah. Ia ditantang untuk membantunya menyadari bahwa kematian anaknya menyatakan kebenaran bahwa ia sendiri juga dapat mati: kebenaran manusiawai yang juga berlaku bagi orang lain" (hlm. 88).
          Menghibur orang yang susah bukan berteori, namun terlebih mampu memahami apa yang dirasakannya (belarasa,  compassion  atau sehati seperasaan). Tidak ada hal yang membahagiakan bagi orang dimengerti dan dipahami orang lain ketika mengalami susah-derita atau berduka.

Rabu, 27 Mei 2015  Markus Marlon
 
Website :
http://pds-artikel.blogspot.com

Senin, 25 Mei 2015

Peka

PEKA
(Sebuah Catatan Perjalanan)  

Tahun 80-an,  saya sering menggunakan jasa omnibus vehiculum (kendaraan umum)  – yang kemudian orang menyebutnya sebagai  bus – dari Jogya ke Magelang, tepatnya di Mertoyudan. Di dalam perjalanan, kami duduk di kursi masing-masing. Di tengah perjalanan, kadang ada penumpang baru yang naik. Tidak terelakkan bahwa penumpang yang baru itu adalah seorang ibu yang sudah hamil tua.  Dengan kepekaan yang tinggi dan gentleman, seorang pemuda tentu akan berdiri dan mempersilakan ibu itu untuk menempati tempat duduknya.  
 Sikap pemuda tadi sungguh terpuji. Sikap peka bisa dilatih sejak anak usia dini. Kahlil Gibran (1883 - 1931)  dalam bukunya yang berjudul,  "Suara Sang Guru"  menulis bahwa  seorang anak yang dididik dengan  penuh kasih, akan menjadi pribadi yang  yang mengasihi. Sejak usia dini, anak dilatih untuk keluar dari diri membantu orang lain.  Dari sini pula,  kita mengenal sebuah syair, "Sympathy for the suffering of others¸often including a desire to help" – rasa simpati terhadap penderitaan sesamanya yang dinyatakan dengan keinginan untuk menolong. Bagi Ä–mmanuel Lévinas (1906 – 1995), pengalaman  dasar manusia adalah perjumpaan dengan orang lain. Oleh karena itu, seseorang bertanggung jawab total atas keselamatan sesamanya. Di sinilah muncul istilah effect of care (kepekaan dan kepedulian).
Kepekaan zaman sekarang sungguh-sungguh diuji. Apa yang diramalkan oleh Jayabaya dalam "zamam edan" kini terwujud (Bdk.  Buku dengan judul "Jangka Jayabaya"  tulisan Anan Krishna). Kesopanan mulai pudar, tatakrama hampir lenyap dan unggah-ungguh tinggal kenangan. Ia menulis, "Jaran doyan mangan sambel" – kuda  suka makan sambal. Seekor kuda bila diberi makan sambal akan mengamuk. Ia akan lepas kendali karena kepedasan. Manusia zaman sekarang kini menjadi pemberang, mudah terpancing isu dan  tidak bisa bersikap sabar dalam berkendaraan.  

Selasa, 26 Mei 2015  Markus Marlon

Website :
http://pds-artikel.blogspot.com

Senin, 18 Mei 2015

Kuda Hitam

KUDA  HITAM
(Kontemplasi  Peradaban)
 
       Sambil minum kopi hitam,  saya bermain catur dengan seseorang di Tanjung Bira – Bulukumba – Sulawesi  Utara (Minggu, 18 Mei 2015). Buah-buah catur yang saya mainkan kebetulan berwarna putih. Pada akhir permainan, seorang penonton mengomentari permainanku, "Wah bahaya tuh, kuda warna putih itu bisa menjadi kuda hitam!" Dalam hati saya berkata, "Masa buah-buah catur bisa berubah warna!"
          Dalam permainan catur, di antara semua perwira yang berdiri di belakang para prajurit, kuda adalah yang paling berbahaya. Meski langkahnya terbatas, namun ia menjadi sangat mengancam karena punya kemampuan melompati posisi lawan dan kawan sekaligus. Hal yang sama, tidak bisa dilakukan oleh perwira manapun termasuk perdana menteri yang memegang kendali tertinggi. Keistimewaan itu membuat kuda menjadi senjata yang sangat mematikan terutama dalam kondisi terakhir dan terjepit. Ia menjadi ancaman yang sulit diperhitungkan.
          Lalu, "Bagaimana dengan kuda hitam?"  Kuda hitam atau dark horse memiliki sejarah singkat. Kata dark  atau hitam  mengesankan sifat yang misterius dan serba tidak terduga. Sedangkan horse mengingatkan kita pada pacuan kuda. Dark horse adalah competitor yang sepak terjangnya serba gelap dan misterius, namun orang ini menyimpan bakat dan potensi yang luar biasa sehingga berkemampuan untuk menang secara tak terduga.
          Dalam dunia politik, kuda hitam adalah sebutan bagi seorang calon yang tidak dikenal sebelumnya dan tidak memiliki prestasi yang menonjol, namun tiba-tiba namanya mencuat, melejit dan meroket sebagai salah seorang calon dan di luar dugaan,  ia mampu memenangi suatu pemilihan. Seorang calon yang sebelumnya sama sekali tidak diperhitungkan, tiba-tiba menyodok di akhir perhitungan suara atau tiba-tiba punya hasil survey yang bagus.
          Lalu kita bertanya,  "Apa yang membuat posisinya di mata pemilih melejit?"  Seorang calon pintar memanfaatkan opini publik yang menganggapnya bersih, lugu dan dianggap "tertindas" serta  terpinggirkan. Tatkala blusukan,  ia bisa meramu gaya kepemimpinan yang menimbulkan kesan "kasihan" dan bersih, tentu ia bakal menjadi kuda hitam bagi calon lainnya. Kuda hitam memang misterius, "Bagaimana dengan politikus?"
 
Selasa, 19 Mei 2015   Markus Marlon
         
      
Website :
http://pds-artikel.blogspot.com

Rabu, 13 Mei 2015

Berubah

BERUBAH
(Kontemplasi Peradaban)
 
       "Naya genggong, sabdo palon" –
 Wajah yang teguh, sabda yang menjadi kunci.
 Pralambang kesetiaan kepada kata-kata
 dan keyakinan serta konsisten
 dengan yang diucapkan.
      
Suatu kali ada seseorang yang berkata kepada saya, "Duh saya senang sekali, ada orang yang akan memberiku hadiah yang sangat besar." Lantas saya berkata kepadanya, "Saudara jangan senang dulu, sifat manusia itu cepat berubah. Hari ini mungkin dia baik kepadamu tetapi besok siapa yang tahu!" Memang,  tiada yang abadi di dunia ini kecuali perubahan itu sendiri.
Dari sini pula, orang menjadi tidak suka dengan sifat hidup manusia yang suka berubah, modo sic  modo sic – sebentar begini, sebentar begitu. Orang Jawa mengatakannya dengan ungkapan, "Esok dhêlé, soré témpé" – pagi bicaranya kedelai namun sore ternyata tempe. Kata-katanya tidak bisa dipegang. Kalau Ovidius (43 seb.M – 18 M), penyair Romawi Kuno lebih ekstrim berkata, "Modo vir, modo femina"  – kali ini seperti laki-laki, kali lain seperti perempuan. Pepatah ini hanya akan mengatakan bahwa manusia itu –pada dasarnya – mudah dan  cepat berubah.
Dalam dunia politik kita tahu persis bagaimana para politisi berdebat. Hari ini mereka saling mengata-ngatai, namun esok harinya ternyata mereka minum kopi bersama-sama di café. Bahkan dalam dunianya terkenal dengan adagium yang pernah ditulis oleh Lord Palmerstone (1784 – 1865) negarawan Inggris, "Tidak ada musuh abadi, demikian juga tidak ada kawan abadi yang ada hanyalah kepentingan abadi."  Namun, berabad-abad lalu sudah  ada dictum yang sangat tersohor, "Hostis aut amicus non est in aeternum; commoda sua sunt in aeternum" – lawan atau kawan itu tidak ada yang abadi; yang abadi hanyalah kepentingan. Yang namanya kepentingan memang bisa menyatukan. Orang atau lembaga yang memiliki kepentingan sama, misalnya kuasa atau harta, tentu saja akan menjadi kawan. Namun yang tadinya kawan akan menjadi lawan tatkala kepentingannya berbeda.
Dunia politik memang tidak bisa diprediksi. Mungkin hari ini, seorang tokoh partai mengatakan begini tetapi besoknya dengan mudah mengatakan begitu.  Otto van Bismark (1815 – 1898)  dalam suatu kesempatan mengatakan, "Politik bukanlah ilmu pasti" – politics is no an exact science dan pada kesempatan lain ia juga berkata, "Politik adalah seni dari kemungkinan" – politics is the art of the possible.  
Orang yang tidak konsisten tidak disukai. Kebudayaan Jawa mengenal ungkapan, "Sabda pandhita ratu tan kena wola-wali" dan "Berbudi bawalaksana" artinya ucapan raja tidak boleh diulang dan seorang raja harus teguh memang janji. Kalau dalam Kitab Suci agama Kristen dikatakan, "Jika ya, hendaklah katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakah: tidak..." (Mat 5: 37).  Dalam bahasa sekarang dikatakan sebagai wilayah  "abu-abu" atau "grey area." Hitam tidak putih pun tidak. Plin-plan kependekan dari  plintat-plintut.

Kamis, 14 Mei 2015  Markus Marlon

Website :
http://pds-artikel.blogspot.com

Senin, 11 Mei 2015

Pengharapan

PENGHARAPAN
(Kontemplasi Peradaban)
 
"Aegroto dum anima est, spes est"  –
Meskipun sakit, tetapi selama masih ada jiwa, harapan tetap masih ada.
 
Sembari membaca drama komedi, "The Tempest" tulisan Shakespeare (1564 – 1616) pikiran saya melayang-layang pada suatu pertanyaan tentang makna pengharapan. Drama The Tempest ini mengisahkan tentang tenggelamnya sebuah kapal. Dari sana saya bertanya dalam hati,  "Mengapa seorang pelaut yang kapalnya karam bisa perpegang erat pada sepotong papan selama beberapa hari di samodra?" Dan jawabannya, "Karena ia berpengharapan".  

Pengharapan adalah pra-syarat yang membuat kita hidup. Tanpa makan, pelaut yang kapalnya karam bisa tahan hidup beberapa hari. Namun tanpa harapan ia hanya akan tahan beberapa menit saja. Begitu ia putus harapan, ia mulai mengendurkan pelukannya pada papan pengapung, melepaskan papan itu lalu tenggelam.

Biarpun orang -barangkali- hidupnya terseok-seok dan menderita, namun harapan itu yang membuat seseorang kuat, seperti apa yang ditulis oleh Yesaya, "Buluh yang patah terkulai tidak akan diputuskannya dan sumbu yang pudar nyalanya tidak akan dipadamkannya.." (Yes 42: 3). Dan contoh yang tepat untuk menggambarkan makna pengharapan itu ada dalam diri Anne Frank (1929 – 1945), seorang gadis Yahudi yang baru berusia 14 tahun.

Pada waktu perang dunia kedua, ia bersembunyi selama 4 tahun di loteng rumahnya supaya jangan ditangkap dan dibunuh tentara Jerman. Namun akhirnya toh ditangkap dan dibunuh. Selama bersembunyi, ia tidak pernah putus asa. Ia tetap memunyai harapan bahwa sekali waktu kebaikan akan menang, "Sed vince in bono malum" – Tetapi kalahkan  kejahatan dengan kebaikan (Rm. 12: 21). Ia menulis dalam buku hariannya, The Diary of Anne Frank, "Saya melihat bumi dihanguskan dan  saya mendengar bagaimana bunyi pesawat-pesawat yang membawa bencana. Dari sana saya menyadari bahwa semuanya itu akan berakhir dan perdamaian pun akan diraih  kembali."

Pengharapan akan selalu ada meskipun kadangkala nampak samar-samar. Pencobaan datang bertubi-tubi,  meskipun demikian, hidup sepertinya terpelihara. Seolah-olah ada  invisible hand yang menopangnya ketika mengalami kejatuhan dan kekelaman. Pengalaman ini seperti apa yang ditulis oleh Phil Pringle (Lahir 21 Mei 1952), seorang pendeta dan penulis  dari Australia, "The best thing about hope is that we can get up again, if we fall 100 times but get 101"  – Hal yang terbaik mengenai harapan adalah kita bisa bangkit kembali, jika kita jatuh 100 kali bangkit 101 kali.

Senin, 11 Mei 2015   Markus Marlon


Website :
http://pds-artikel.blogspot.com

Kamis, 07 Mei 2015

Dendam

DENDAM
(Kontemplasi Peradaban)
 
"Immortale  odium 
 et  numquam 
 sanabile vulnus"  -
 kebencian yang abadi
 dan luka yang tidak pernah
 dapat disembuhkan. 
Dendam, memang sungguh mengerikan. Tidak ada suatu sikap yang lebih mengerikan daripada dendam. Buku yang berjudul "The death of Adolf Hitler" memberikan pelukisan yang jelas  tentang apa yang dirasakan oleh Hitler. Hitler (1889-1945)  pada masa mudanya pernah hidup sangat melarat. Ia bekerja serabutan. Dengan terus-terang, dia mengatakan bahwa dirinya amat menderita. Penderitaan itu membangkitkan dendam dalam dirinya. Rasa marah karena derita yang dialaminya, akhirnya tertuju pada orang-orang kaya keturunan Yahudi, yang dianggapnya sebagai penyebab kemelaratannya.
Pada awal karier politiknya, Hitler adalah seorang pemuja Benito Mussolini (1883 – 1945). Dalam Mein Kampf, (sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Penerbit Narasi) Hitler menyebut Benito Mussolini sebagai seorang manusia agung (a great man) berkelas dunia. Tetapi Hitler juga memiliki pengalaman baru yang dianggapnya sebagai penghinaan. Ketika ia menulis surat kepada Mussolini untuk memohon potretnya yang bertanda tangan pribadi, diktator  Italia itu memandang hina permintaan itu dan menjawab melalui Kedutaan Besar Italia, "Il Duce  tidak merasa pantas mengabulkan permintaan Anda."  Merasa dipermalukan, maka Hitler tidak pernah akan melupakan peristiwa tersebut. Ia menjadi  pribadi pendendam.
Kata  "dendam" itu berasal dari bahasa Jawa, "rêndhêm"  yang artinya ditutupi air. Maka kalau orang mencuci pakaian sebelumnya harus direndam dulu. Kini dendam berarti kemarahan yang ditutupi. Kemudian kita pernah mendengar kata "menaruh dendam" yang dalam bahasa Inggris ditulis,  to be bitter  misalnya, "She was still bitter toward her ex-husband" – ia masih mendendam terhadap mantan suaminya. Kata  bitter melukiskan rasa pahit dan pedih. Bitter berasal dari bahasa Inggris kuno biter dan bahasa Norse kuno bitr yang artinya tajam menusuk. Kata ini melukiskan rasa sakit dan penderitaan, seperti halnya orang yang menyimpan dendam akan terus merasakan  kesakitan dan penderitaan batin. Untuk itulah kita bisa merasakan betapa sakitnya itu orang-orang yang dendam, iri hati, dan curiga.      
          Dendam merupakan pengalaman batin yang universal dan abadi. Tidak heranlah jika ada  banyak sekali tema dendam dalam film-film. Film yang berjudul, "Revenge" dan  "Vendetta" misalnya, memberikan pelajaran yang berharga tentang makna dendam.  Dengan saling mendendam, akhirnya dua-duanya tewas dalam perkelahian.
Dalam film persilatan  atau Kung Fu,  ketika hendak beradu jurus-jurus,  seseorang menyediakan dua galian kubur.  Satu untuk lawan dan satunya untuk dirinya sendiri. Hal ini hendak menunjukkan bahwa dendamnya dibawa sampai mati.  Lebih jauh lagi kita menyaksikan adegan dendam dalam diri Sun-Tzu.  Sun Tzu, panglima perang dalam film "Sun Tzu" melukiskan  bahwa strategi perang yang termasyur  itu akhirnya membuat dirinya mundur dari panglima dari negeri Wu. Dia pun akhirnya  menyadari bahwa dalam perang tersebut yang ditemukan adalah dendam. Orang yang menang perang sine qua non  harus berjaga-jaga  perlawanan dari orang yang dikalahkan. Dan yang kalah mencari waktu yang tepat untuk membalas dendam supaya amarahnya bisa terbalaskan.  Saling membalas dendam yang tidak berujung itu, kita sebut sebagai lingkaran setan  (vicious circle).
          Yesus Kristus memberikan ajaran baru tentang dendam yang – barangkali – tidak ada dalam kamus orang-orang Yahudi, "Berikanlah pipi kirimu,  jika ditampar pipi kananmu" (Bdk. Mat 5: 38 – 42) yang pada waktu itu dalam hukum Yahudi terkenal, "Mata ganti mata, gigi ganti gigi…" (Kel 21: 31 - 42) lex talionis (hukum pembalasan setimpal).  Memang, memberi maaf itu  bukan perkara gampang. Mohandas Karamchand Gandhi atau yang  dikenal sebagai Mahatma Gandhi (1869 – 1948) berkata,  "Mereka yang berjiwa lemah tak akan mampu memberi seuntai maaf tulus. Pemaaf sejati hanya melekat bagi mereka yang berjiwa tangguh."  
          Dalam minggu-minggu ini di media elektronik dan media cetak banyak diberitakan tentang – katanya – pribadi atau lembaga yang saling balas dendam. Kisruh dalam partai-partai, keributan dalam KPK vs Kapolri serta saling menuding  dalam tubuh DPR-Gubernur menunjukkan bahwa – kemungkinan – ada balas dendam di dalamnya. Hanya Tuhanlah yang tahu.

Kamis, 7 Mei 2015  Markus Marlon
 
 
Website :
http://pds-artikel.blogspot.com