Kamis, 26 Maret 2015

Debu

DEBU
(Kontemplasi Peradaban)
                                                                 
"Hanya debulah aku" sebuah lagu yang ditulis oleh Cosmas Margono (1980)  adalah sebuah lagu yang sering dinyanyikan umat Kristen Katolik pada masa Prapaskah. "Debu" juga sering digunakan oleh para rakyat jelata ataupun para punggawa kerajaan yang menyebut diri mereka  sebagai duli, "Duli paduka raja"  berarti: debu sepatu raja – kata-kata untuk meluhurkan perintah raja.

Demikianlah, manusia hanya setitik debu. Tetapi jika kita membayangkan para astronot yang berkecimpung di  ruang luar angkasa, kita bisa menyaksikan apa sebenarnya planet Bumi ini.  Pesawat voyager 1 yang diluncurkan pada 1977 kini berada pada lingkar luar dari sistem tata surya kita yang berjarak lebih dari 16 miliar KM jauhnya. Pada Februari 1990, ketika voyager 1 hampir  berjarak 6 miliar KM jauhnya,  para ilmuwan mengambil beberapa foto planet Bumi yang memerlihatkan planet kita seperti titik biru yang hampir tak terlihat di tengah kekosongan ruang angkasa yang sangat luas.

Dalam alam semesta kita yang sangat luas planet Bumi hanyalah satu titik kecil. Planet yang tampak hanya seperti sebongkah kerikil yang tidak berarti di antara lautan benda-benda angkasa. Barangkali  lagu  yang berjudul, "How great Thou art" ciptaan Carl Gustav Boberg (1859 – 1940) ini sesuai  dengan foto yang dibuat Voyager 1.  Dan setitik debu ini sekarang menjadi "rumah" bagi tujuh miliar umat manusia. 

Mengontemplasikan "rumah" umat manusia yang bagaikan setitik debu, baik jika sejenak kita membaca kutipan Mazmur, "Cum video caelos tuos, opus digitorum tuorum, lunam et stellas quae tu gundasti: Quid est homo, quod memo res eius? Aut filius hominis, quod curas de eo?"  - Jika aku melihat langit-Mu, buatan jari-Mu, bulan dan bintang-bintang yang Kautempatkan: Apakah manusia sehingga Engkau mengingatnya? Apakah manusia, sehingga Engkau mengindahkannya? (Mzm 8: 4 – 5). Memang kita hanya mampu berdecak kagum. Tidak ada ungkapan lain.

Buku  "Biografi Joseph Haydn" (1732 – 1809) salah satunya adalah mengisahkan tentang perasaannya sebagai debu. Ketika Salah satu karya musik klasiknya yang terkenal,  "Die Schöpfung" – "Penciptaan" didengungkan, semua pendengar memberikan standing ovation. Lantas, tatkala syair yang berbunyi ""es werde licht" – maka jadilah terang, semua orang di ruangan gedung kesenian itu berdiri dan memberikan aplaus yang panjang sambil menghormati sang  maestro. Haydn berusaha sekuat tenaga untuk berdiri dari kursi rodanya, menggeleng-gelengkan kepalanya dan berkata, "Jangan kepada saya, tetapi kepada Dia yang di atas!"  
         
Orang sehebat Haydn menyadari bahwa dirinya adalah sangat kecil di hadapan Sang Pencipta. Kehebatan, kegeniusan, kedahsyatan dan kekuatan manusia hanyalah setitip debu saja di hadapan sang Pencita. Dari sini pula,  kita boleh bermazmur,  "Masa hidup kami tujuh puluh tahun dan jika kuat delapan puluh tahun dan kebanggannya adalah kesukaran dan penderitaan; sebab berlalunya buru-buru dan kami melayang lenyap" (Mzm 90: 10).

Rabu, 25 Maret 2015  Markus Marlon

Website :
http://pds-artikel.blogspot.com

Jumat, 20 Maret 2015

Sumpah

SUMPAH
(Kontemplasi Peradaban)

          Setiap kali kita menghadiri suatu sumpah (jabatan baru, kaul-kaul kebiaraan, pernikahan) maka terbersit dalam pikiran kita, apakah orang ini mampu menepati sumpahnya. Semua orang menyadari bahwa yang namanya sumpah itu "tidak main-main."

          Waktu  emeritus Paus Benediktus XVI (Lahir: 16 April 1927) membacakan pidato pengunduran dirinya sebagai Paus – dikabarkan – bahwa ada petir menyambar di Gereja St. Petrus – Vatikan. Kejadian ini dimuat bahkan menjadi cover story  pada bulletin Catholic Life. Untuk orang Jawa, jika mendengar orang mengucapkan sumpah, mereka akan berkidung, "Bumi gonjang-ganjing langit kelap-kelap katon lir kincanging alis…"

          Janji, sumpah, kaul,  commitment, niat tulus adalah ungkapan yang – barangkali – dianggap sakral. Apalagi, jika sumpah itu dilakukan dan disaksikan oleh banyak orang (votum publicum) maka, dia akan terikat dengan sumpahnya itu. Kita menjadi ingat akan kata-kata yang disampaikan Zhu Rong Li, Perdana Mentri China dalam suatu kesempatan, "Sediakan sepuluh peti mati bagi saya kelak, Jika ternyata saya di akhir jabatan melakukan korupsi." Kata-kata ini bagaikan wewaler bagi dirinya sendiri. Ini pula yang diucapkan oleh orang-orang yang sekarang mendekam di penjara, "Gantung saya di tugu monas jika terbukti korupsi satu sen saja!" atau "potong tangan saya, jika terbukti korupsi!" Di sini kita perlu meneladan  Sang Nabi dalam hadis-nya yang ditulis oleh HR. Bukhari, "Apabila Fatimah, mencuri  maka aku pun akan memotong tangannya." (Fatimah adalah putri Muhammad).

          Sumpah itu sakral, demikian pula, orang yang disumpahi kadang kala berpikir panjang pula,"Jangan-jangan sumpahnya terjadi pada diriku!" Dan kadangkala kita merasa bahwa kata-kata itu bertuah. Resi Gotama dalam lakon wayang  yang berjudul,  "Telaga Modirdo Cupu Manik" menyumpahi istrinya Dewi Windradi menjadi batu dan ketiga anaknya menjadi kera (Sugriwa-Subali-Dewi Anjani). Kisah "Malin Kundang, Si Anak Durhaka" merupakan  sebuah legenda dari Sumatra yang amat termasyur. Akhir dari cerita tersebut sangat tragis, ibunya berkata, "Oh Tuhan, kalau benar ia anakku, aku sumpahi dia menjadi sebuah batu!" Tidak berapa lama kemudian angin bergemuruh kencang dan badai dahsyat datang menghancurkan kapal Malin Kundang. Setelah itu tubuh Malin Kudang perlahan-lahan menjadi kaku dan lama-kelamaan akhirnya berubah menjadi batu karang.

          Ingat "Sumpah Palapa?" Tentu saja lamunan kita langsung ke Majapahit. Agus Soerono dalam bukunya yang berjudul "Jayaning Majapahit"  mengilustrasikan makna sumpah palapa. Pada awalnya Gajah Mada mengucapkan sumpah sukla brahmacari – sumpah untuk tidak menikah atau menyentuh wanita, sebelum mewujudkan dan menyatukan kepulauan Nusantara di bawah panji-panji kebesaraan Kerajaan Majapahit. Namun, sumpah itu – katanya – berbau  religious, maka digantilah  Sumpah Amukti Palapa, yang sebenarnya maknanya sama yakni tidak akan menikmati segala sesuatu kesenangan hidup, termasuk makanan, kekayaan, kemewahan termasuk wanita.

          Sumpah yang agung dan mulia juga diucapkan oleh Dewabrata yang berhak menjadi raja, namun ia menolak demi cintanya kepada ayahnya, Raja Sentanu dalam Mahabharata.   Dewabrata bersumpah di hadapan sang ayahanda dan calon ibunya, "Aku berjanji tidak akan kawin. Dengan demikian, aku takkan pernah punya anak. Seluruh hidupku akan kupersembahkan untuk berbakti pada rakyat dan kerajaan dan untuk kesucian." Ketika Dewabrata mengucapkan sumpah sucinya, bergemuruhlah kembang-kembang suci menaburi kepalanya, sementara di angkasa bergema suara merdu, "Bhisma…bhisma…bhisma" Kata bhisma menyatakan bahwa seseorang telah mengucapkan sumpah yang berat dan suci dan berjanji akan benar-benar melaksanakannya.

Jumat, 20 Maret 2015   Markus Marlon

Website :
http://pds-artikel.blogspot.com

Selasa, 10 Maret 2015

Membaca

MEMBACA
(Kontemplasi Peradaban)

          Pernahkah Anda menonton film Inggris atau Amerika dan melihat ada rak buku yang terletak di ruang tamu atau ruang keluarga? Saya sering melihatnya. Dan pernahkan Anda menonton sinetron Indonesia – yang umumnya bercerita tentang keluarga-keluarga super kaya – dan melihat ada rak buku di ruang tamu atau ruang keluarga? Saya belum pernah melihatnya!

Kegiatan Membaca Mulai Memudar 

          Sudah menjadi pemandangan umum bahwa di Ruang Tunggu seperti di Stasiun, Bandara maupun Rumah Sakit tersedia pesawat Televisi. Bahkan di rumah-rumah, pesawat Televisi bagaikan sahabat yang setia "menemani"  seorang ibu atau pembantu rumah tangga dalam memasak atau menyeterika dan mencuci pakaian. Anak-anak kecil pun sejak bayi sudah diperkenalkan dengan pesawat Televisi sebagai "teman" –nya. Dengan adanya pesawat Televisi atau yang disebut juga kotak ajaib maupun box idiot, sebenarnya seorang bayi "kurang berkenalan" dengan buku.      

          Kegiatan membaca seharusnya dipupuk sejak dini, karena di kemudian hari, ternyata kebiasaan  membaca yang pernah dibuat tersebut itu memiliki kekuatan yang  dahsyat. Tetapi kita harus mengakui bahwa anak yang sekarang ini adalah anak zamannya. Mereka tidak bisa kita jadikan anak maupun remaja tahun 70-an, yang pada waktu tehnologi tidak semaju seperti sekarang ini. Pada zaman ini, buku memiliki "saingan" yang sangat berat. Pada zaman dulu, kegiatan membaca sungguh mendapatkan tempat yang sangat istimewa. Bahkan Thomas à Kempis (1379 – 1471), penulis buku terkenal  "De imitatione Christi" (Mengikuti jejak Kristus),  pernah berucap, "In omnibus requiem quaesivi et nusquam inveni, nisi in angelo cum libello" yang artinya aku telah mencari ketenangan di mana-mana dan tidak di suatu tempat pun aku menemukannya kecuali di sebuah sudut kecil dengan (membaca) sebuah buku.  

Kedahsyatan Kegiatan Membaca

          Pengaruh  buku   sungguh luar biasa. Banyak orang yang setelah "menjadi orang" berkata bahwa dirinya menjadi seperti sekarang  ini  karena buku. Sebagai contoh, Pater  Franz Magnis-Suseno SJ berkata demikian, "Kisah-kisah seperti The Last of the Mohicans karangan Cooper, Winnetou-nya Karl May  membuat daya imaginasiku berkembang." Atau kita lihat buku terkenal yang berjudul "Don Quixote"  karangan Miguel de Cervantes.  Cervantes, penulis Spanyol  (1547-1616) adalah seorang petualang buku. Pelbagai buku telah dilalapnya habis.  Ia menguasai  bacaan-bacaan Latin Klasik. Ia mendalami bacaan-bacaan sejarah bangsa-bangsa. Don Quixote adalah buku terkenal yang mengisahkan tentang seorang yang bernama Don Quixote de la Mancha yang tergila-gila dengan membaca. Lewat buku yang dibacanya, ia berpetualangan dengan ide-idenya sendiri, sehingga dia menemukan kebahagiaan dalam hidupnya. Pantas bila dunia menyebut Don Quixote sebagai the ambassador of readings.

 Kalau kita mundur   lagi ke zaman Yunani  kuno,  kita akan berjumpa dengan Alexander Agung (356-323 s.M dari Macedonia. Oleh gurunya yakni Aristoteles (384-322 s.M), Alexander Agung diberi bacaan wajib yang berjudul "The Illiad" karangan Homerus (lahir abad ke-8 s.M). Dengan membaca karya sastra tersebut, pikiran Alexander Agung menjulang tinggi – bahkan mungkin "liar"  –  dan mengidolai sang pahlawan yakni Achilles dan akhirnya ia mampu menguasai dunia pada usia mudanya.  Konon, buku "The Illiad" dijadikan bantal bagi  Alexander Agung, tatkala dirinya  tidur.  Dalam film Troy, tokoh Achilles ini memang sungguh luar biasa. Dan bukankah tokoh-tokoh para kudus juga mengalami pertobatan ketika membaca buku? St. Ignatius dari Loyola (1491-1556) misalnya, ketika dia sakit karena luka parah dan tidak bisa berbuat apa-apa, "terpaksa" membaca buku Kisah Santo-Santa dan akhirnya bertobat dan menulis buku yang sangat kesohor,  "Latihan Rohani."  St. Agustinus (354-430) mengakui bahwa dirinya seorang pendosa berat. Pada suatu hari ia mendengar suara. Suara itu datang dengan nada berulang-ulang, "Tole, lege, tole, lege" (Ambil dan bacalah,  ambil dan bacalah). Sambil membendung air matanya,  ia segera membuka Kitab Suci. Di sana ia membaca teks yang memperingatkan, agar ia tidak hidup dalam ketidakbenaran. Karena pengaruh buku yang ia baca, ia menjadi orang kudus dan gagasan-gagasan teologisnya hingga sekarang masih dipelajari oleh banyak orang.

Menumbuhkan Daya Refleksif 
          Perasaan yang didapat lewat membaca berbeda dengan menonton Televisi atau film. Keunikan membaca adalah orang diajak untuk membayangkan hal-hal yang diceriterakan di dalam buku. Berbeda dengan  menonton yang secara visual sudah bisa ditangkap oleh mata. Oleh sebab itu, seringkali menonton sebuah film yang diangkat dari buku mengecewakan karena apa yang dibayangkan berbeda dengan yang divisualisasikan. Ketika saya membaca buku "Gone with the Wind"  peran Scharlet Ohara begitu dahsyat. Sebagai tokoh utama ia membuat orang yang membacanya menjadi gemas. Tetapi, setelah melihat filmnya,  bayangan kelincahan dan kecantikannya menjadi pudar.  Tokoh  yang bernama Yuri dalam "Dokter Zhivago" karangan Boris Pasternak sungguh memilukan bagi yang membaca. Tetapi setelah menonton  filmnya,   rasa kasihan terhadap tokoh itu mulai menghilang. Membaca novel "Memoirs of Geisha" karya Arthur Golden, hati saya menjadi miris karena Sayuri sebagai tokoh utama diperlakukan semena-mena dan tidak adil. Tetapi setelah menyaksikan filmnya   yang berdurasi 90 menit itu,  rasa miris itu pun lenyap. 

          Setiap buku atau majalah  yang kita baca itu pada akhirnya mengajak kita untuk mengkonfrontasikan dengan kehidupan kita. Misalnya,  buku tulisan Hans-Peter Grosshans yang berjudul  "Luther" dapat memberikan pencerahan kepada kita.  Buah pena dan gagasan-gagasannya tentang  "Reformasi" menyadarkan Gereja Katolik untuk lebih bercermin diri karena sudah menyimpang jauh dari ajaran Kitab Suci. Bacaan Rohani tulisan Wilfrid McGreal berjudul  "Yohanes Salib" yang adalah seorang penyair dan tokoh mistik menginginkan agar orang yang tengah mencari kesatuan dengan Tuhan mendapatkan bimbingan atau pembimbing rohani yang baik dalam perjalanan mereka. Dari sana pula, kita kita merenungkan kembali, apakah sebagai pribadi yang ingin maju dan berkembang dalam pengetahuan, masih senantiasa "rindu" membaca buku?  Petrarca (1304 – 1374)   –   seorang penyair dan humanis Italy   –   berkata, "Libris satiari nequeo" yang berarti aku tidak pernah dipuaskan oleh buku. Setelah buku yang satu dilalap habis, ada kerinduan lagi melahap buku berikutnya.  Kata-kata, "Lebih baik menjadi kutu buku daripada mati kutu," mendapatkan penerapannya.

Penutup: Mari Mencintai Buku
Sahabat yang paling tidak pernah mengecewakan adalah buku. Buku bisa kita bawa ke manapun pergi dan dia senantiasa setia menjadi "teman dialog."  Kebiasaan membaca buku tentu akan mengembangkan diri sendiri karena dengan membaca dapat membuka cakrawala atau wawasan. Bukankah buku adalah "Jendela dunia"?

Selasa, 10 Maret 2015   Markus Marlon
 
Website :
http://pds-artikel.blogspot.com