Selasa, 24 Februari 2015

Warisan

WARISAN
(Kontemplasi Peradaban)
 
"Daripada gentar terhadap
angin badai dan hujan yang terjadi,
mereka belajar untuk berlayar
dengan mengarungi badai"
(Bangsa Axum kuno)
 
          Ada seorang pengusaha muda yang sukses dalam meneruskan perusahaan keluarganya. Lantas, pengusaha muda itu saya tanya demikian, "Mengapa usaha saudara makin meningkat ?" Jawabannya begitu mengejutkan, "Karena setiap saat saya selalu komunikasi dengan  papa saya, meskipun  papa sekarang sudah duduk di kursi roda!"
          Pengusaha muda ini menyadari bahwa papa-nya telah mewarisi  etos kerja,  passion dan semangatnya dalam mengelola perusahaan tersebut. Maka, ia senantiasa menjaganya dengan komunikasi dengan sang pemberi warisan tersebut. Sang ayah telah memberi warisan ang nilainya tak terhingga. Ini seperti yang sering kita dengar, "kalau warisanmu akan bertahan beberapa bulan tanamlah uang, kalau warisanmu boleh bertahan beberapa tahun tanamlah pohon dan jika warisanmu bisa bertahan seumur hidup tanamlah inspirasi: semangat, etos kerja dan passion."
          Kesadaran akan  "sangkan paraning dumadi" – asal dan tujuan manusia, menumbuhkan dalam dirin kita suatu tekad untuk tidak menyia-nyiakan hidup ini. Ketika Ratu Victoria (1840 - 1901)  masih kecil ia dipanggil  Putri Victoria.   Ia tidak menyadari bahwa di kemudian hari ia akan mewarisi takhta kerajaan Inggris. Itulah sebabnya, ia tidak mau belajar sungguh-sungguh dan ini membuat para guru frustasi. Namun, pada akhirnya para guru memutuskan untuk memberitahu bahwa suatu hari nanti, ia akan menjadi Ratu Inggris. Setelah mendengar hal itu, Victoria kemudian dengan tenang berkata, "Kalau begitu, saya akan menjadi anak yang baik!"
          Memang benar, menyia-nyiakan hidup berarti tidak menghargai "warisan". Dalam buku yang berjudul, "Papillon" sang tokoh utama diadili. Hakim mendakwanya bahwa ia melakukan kejahatan yang paling mengerikan. Saat Papillon menanyakan kejahatan apa yang dilakukannya, sang hakim memberitahu bahwa kejahatan itu adalah "tragedi menyia-nyiakan hidup."
          Ada lagi orang yang menyia-nyiakan hidup karena rasa bersalah yang berkepanjangan. Pasalnya, ia tidak sabar menanti datangnya warisan "mahkota" yang akan ia terima. Karena ketidaksabarannya itu, maka warisan itu pun direbutnya dengan darah. "Lady Macbeth" itulah judul drama tragedi karya William Shakespeare (1564 – 1616). Setelah mendengar suaminya akan menjadi raja, maka ia meyakinkan suaminya untuk membunuh raja yang pada saat itu sedang berkuasa. Ketika pembunuhan berdarah itu benar-benar telah dilakukan, Macbeth pun dikejar-kejar rasa bersalah. Namun, sang istri malah mengomeli ketakutan calon raja, yang notabene  suaminya sendiri dan membantu untuk menutupi kejahatan itu. Sampai pada akhirnya Macbeth dilantik menjadi raja. Namun, ketetapan hati Lady Macbeth akhirnya berubah menjadi penyesalan. Ia pun menjadi tidak stabil secara mental dan tidak pernah berhenti mencuci tangannya, "Apakah tangan ini akan kotor selamanya?" Akhir rasa bersalah itu membuat Lady Macbeth bunuh diri. Ia menyia-nyiakan warisan dan hidupnya.
          Sejak manusia "menangis untuk yang pertama kali" sebenarnya sudah diberi warisan menjadi pemenang. Ingat kata-kata Zig Ziglar (1926 – 2012), "You were born to win, but to  be a winner you must plan to win, prepare to win and expect to win" – Anda dilahirkan untuk menang, tetapi menjadi pemenang harus merencanakan untuk menang, menyiapkan untuk menang dan berharap untuk menang.

Rabu, 25 Februari 2015 
Markus Marlon         
         

Website :
http://pds-artikel.blogspot.com

Senin, 09 Februari 2015

Paripurna

PARIPURNA
(Kontemplasi Peradaban)
 
       Saya pernah tinggal beberapa hari di sebuah biara yang khusus untuk para biarawan tua. Saya mendapatkan kehormatan boleh makan dan rekreasi bersama-sama para mantan. Ada mantan provinsial, ada mantan ketua yayasan dan ada mantan kepala sekolah dan tentunya ada beberapa orang yang dulu sebagai pastor paroki.
          Selama makan, masing-masing orang tua itu berbicara masa lalunya. Yang sering terdengar adalah kata-kata, "Dulu, ketika saya menjabat sebagai…." Dan dari situ, munculah kisah-kisah triumvalistis yang heroik. Lantas ketika kami rekreasi bersama pada malam hari, ada mantan ketua yayasan yang marah-marah kepada mantan guru. Sengaja guru itu diundang untuk dimarahi. Mantan ketua yayasan itu lupa bahwa sekarang dia sudah "tidak punya pengaruh apa-apa lagi."
          Saya melihat sebagian kecil  soca para biarawan tua itu terdapat guratan-guratan kesedihan, kecemasan, kepiluan dalam wajahnya. Teringat dalam benakku akan drama tragedi tulisan Shakespeare (1564 – 1616) dengan judul, "King Lear". Secara tersirat, Shakespeare menuliskan bahwa orang-orang yang mengalami  post power syndrome bagaikan menelan pil pahit di mulutnya dan tidak kuasa untuk membuangnya.
          Menjadi tua itu suatu keharusan, namun menjadi dewasa itu pilihan. Seorang ketua atau pemimpin atau karyawan yang merasa bahwa diri mereka akan pensiun, tentu sudah menyiapkan segala-galanya dan dalam hati berkata, "Suatu saat nanti saya akan menjadi nothing." Namun "nothing"  yang berkualitas dengan cara "lengser keprabon madeg pandhito" – mengundurkan diri secara suka rela dari kedudukan atau selesai bertugas dan "mundur diri" dari dunia keramaian untuk "bertapa" di pertapaan. Ia bekerja secara sempurna dan saved by the bell ring.
          Ada sebuah tradisi dalam dunia penerbangan yang patut kita renungkan. Ketika sebuah pesawat landing, ada tepuk tangan meriah yang muncul dari antara sekelompok keryawan perusahaan maskapai. Saya merasa bahwa peristiwa ini agak tidak biasa. Saya mencari tahu informasi dari seorang pramugari bahwa pilot yang memegang navigasi dalam  flight kali ini,  baru saja menyelesaikan penerbangan yang terakhir dalam kariernya. Ia akan pensiun besok dan rekan-rekannya mengucapkan salam kebahagiaan untuknya.
          Baik jika sejenak kita menengok sejenak pada mitologi kuno tentang  "nyanyian seekor angsa".  Swan song atau nyanyian angsa adalah sebuah idiom bahasa Inggris yang menggambarkan suatu karya terakhir yang dipersembahkan seseorang ke hadapan publik. Istilah ini biasanya digunakan dalam dunia politik, olah raga maupun seni.  Ia sudah menyadari bahwa penampilannya ini adalah yang terakhir kalinya sebelum ia pensiun dan menarik diri (madeg pandhito), sehingga ia terdorong untuk menampilkan karyanya yang terbaik dan sempurna. Dalam mitologi ini, seekor angsa akan menyanyi dengan sangat indah tatkala sekarat menjelang ajal dan nyanyian inilah yang pertama dan terakhir kali dalam hidupnya.
          Memang sudah selayaknya bahwa setiap jabatan dan posisi mau tidak mau harus dilepaskan pada waktunya. Untuk  "melepaskan"  jabatan dan posisi itu kadang tidak gampang, maka dibutuhkan persiapan (Masa Persiapan Pensiun). Dan ketika waktunya tiba ia boleh mengatakan, "Paripurna" – telah usai dan telah penuh.

Senin, 9 Februari 2015   Markus Marlon


Website :
http://pds-artikel.blogspot.com