Minggu, 31 Agustus 2014

Pujian

PUJIAN
(Kontemplasi Peradaban)
                  Beberapa minggu yang lalu, saya ikut upacara wisuda lulusan D3. Di sebelah saya duduk seorang bapak yang dengan bangganya berkata sendiri, "Duh  anakku, aku bangga denganmu, sebab engkau lulus dengan nilai   kemlaut"  Sementara menyaksikan upacara wisuda yang bertele-tele, saya berpikir dalam hati, "Apa itu  kemlaut?" Tetapi akhirnya setelah saya pikir-pikir  sendiri, ternyata bapak itu sebenarnya berbicara dalam bahasa Latin, "cum laude" yang berarti dengan pujian.
          Pujian dalam bidang akademik memang sangat penting. Bahkan Stevie Wonder (Lahir, 13 Mei 1950) menjadi tersohor karena pujian dari gurunya yang bernama Beneduci. Kisah ini ditulis oleh Dale Carnegie (1888 – 1955) dalam bukunya yang berjudul "How  to  Win  Friends And  Influence People." Pada waktu itu, sang guru memuji Wonder yang berhasil menemukan seekor tikus dengan menggunakan pendengarannya. Wonder menganggap tindakan gurunya untuk menghargai dirinya itu sebagai titik balik di dalam hidupnya.  Maka benarlah apa yang dikatakan John Dewey (1859 – 1952), filsuf Amerika, "Dorongan terdalam dari sifat dasar manusia adalah dorongan untuk menjadi orang penting."
          Mungkin kita pernah mendengar ungkapan, "Hati-hati dengan hadiah dari orang Yunani" maka saya pun boleh berkata, "Hati-hati dengan pujian!"
          Winston Churchill (1874 – 1965), mantan Perdana Mentri Inggris, pernah ditanya, "Tidakkah Anda merasa tersanjung, setiap Anda berpidato,  orang-orang  datang berbondong-bondong sampai tidak kebagian tempat. Mereka sangat memuji dan menyanjung Anda!"  Sang Perdana Mentri itu pun berkata "Tiap kali ingin berbangga, saya ingat satu hal ini. Seandainya saya kelak dihukum gantung, maka jumlah orang yang hadir pasti melonjak dua kali lipat."  Dari perkataan Churchill tersebut di atas, kita bisa membayangkan bagaimana orang-orang yang akan  nyalon sebagai anggota  caleg atau kepala daerah bahkan presiden yang dikelilingi oleh  timses (Team Sukses). Barangkali para timses itu memberikan banyak pujian kepada "jago"nya dan dielus-elus. Jika, sang "jago" menang, maka  timses dan sang calon akan berpesta pora, tetapi jika sang "jago" menjadi pecundang, maka  – kata orang, konon  – sudah disediakan "kamar" di Rumah Sakit Jiwa. Tentu saja, timses tidak  stress bahkan mendapatkan dana, biar pun "jago"nya kalah. Ini yang tidak adil!!
          Sebenarnya, bahaya pujian itu sudah diprediksi oleh Aesop (620 – 560 seb. M) pendongeng binatang (fable story) Yunani kuno. Dalam kisahnya yang berjudul, "Rubah dan Gagak" ia memberikan pesan moral,  supaya kita hati-hati terhadap pujian.
          Gagak – seperti yang kita tahu – adalah binatang yang paling jelek suaranya. Suatu hari ia mendapatkan sepotong keju dan terbang ke pucuk pohon yang tinggi. Seekor rubah melihat burung gagak yang tengah menikmati keju tersebut dan berkata, "Kurasa aku tahu cara untuk mendapatkan keju itu."
          Rubah berdiri di bawah pohon dan berteriak ke arah burung gagak, "Hari yang indah, gagak sahabatku. Kamu tampak sehat hari ini. Sayap-sayapmu berkilauan, bulu-bulumu halus sehalus bulu elang dan cakar-cakarmu tampak setajam silet. Aku belum pernah mendengar suaramu bernyanyi, tapi aku yakin suaramu sangat merdu."
          Burung gagak memercayai dan menyukai setiap kata yang diucapkan rubah. Ia memutuskan untuk membuktikan kepada rubah bahwa kata-katanya memang benar. Tetapi begitu ia membuka paruhnya untuk bernyanyi, keju yang tengah di makannya terjatuh.

Senin, 01 September 2014   Markus Marlon


Website :
http://pds-artikel.blogspot.com

Selasa, 26 Agustus 2014

Nyaman

NYAMAN
(Kontemplasi  Peradaban)
       Beberapa minggu yang lalu, (Senin, 04 Agustus 2014) saya membaca Majalah KUSUMA (Media Komunikasi Iman Umat Keuskupan Manado, Tahun VII Agustus 2014).  Di sana ada tulisan menarik dari P. Albertus Sujoko MSC yaitu ole-ole Retret MSC di Panti Samadi – Tomohon yang dibimbing oleh P. Yance Mangkey MSC.
          Dalam sharing-nya, Pastor senior yakni P. Albert Smith MSC menggarisbawahi makna kata, "duc in altum" – pergi atau bertolak ke tempat yang lebih dalam. Dikatakan bahwa pergi ke tengah laut berarti harus berani meninggalkan daratan yang enak,  mapan dan nyaman untuk menuju ke laut yang dalam yang penuh bahaya dan  risiko serta  ketidakpastian (hlm. 13).
          Memang, kenyamanan hidup boleh dikatakan sebagai "musuh" dari sebuah kemajuan. Tommy Siawira dalam bukunya yang berjudul,  "Blueprint Kesuksesan"   menulis bahwa kenyamanan diartikan sebagai comfort zone.  Dan kenyamanan bisa melemahkan urat saraf dan kita  tidak mau dan mampu lagi bergerak serta  melangkah untuk "maju" dan berkembang. Rasa nyaman itu bisa terjadi karena orang   dininabobokan oleh hiburan yang pada gilirannya  membuat orang lupa daratan. Buku berjudul "Mitologi Yunani" tulisan Sukartini Silitonga memberikan pencerahan tentang makna kenyamanan dalam diri Ulysses. Tulisnya, "Ketika Ulysses dan para awak kapalnya tiba di sebuah pulau bernama Circe, mereka tiba di negeri yang penuh bunga teratai. Orang yang memakan bunga itu lupa akan rumahnya dan orang-orang yang dicintai serta berharap untuk tinggal selamanya di negeri  senja hari  itu."
 
          Contoh klasik mengenai kenyamanan ini ialah apa yang dialami oleh  Hannibal Barca (247 – 183 seb.M) dan tentaranya (Sudah difilmkan dengan amat memukau dengan judul, "Hannibal The Conqueror"). Hannibal dari Kartago adalah satu-satunya jendral yang pernah mengejar bala tentara Romawi. Tetapi musim salju datang dan gerakan mereka harus ditunda. Selama musim salju itu, Hannibal mengistirahatkan pasukannya di Kapua, sebuah kota mewah yang telah direbutnya. Sebaliknya tentara Romawi tidak pernah melakukan istirahat pada musim salju seperti itu. Kemewahan begitu melemahkan moral pasukan Kartago sehingga waktu musim semi datang dan gerakan militer dimulai lagi mereka tidak dapat bertahan melawan tentara Romawi (Baca  "Pemahaman Alkitab Setiap Hari – Surat Ibrani"  tulisan William Barclay hlm. 170).
 
          Confucius (551 – 478 seb.M) pernah memberi nasihat, "Orang yang unggul,  berpikir tentang kebajikan sedangkan orang yang lemah berpikir tentang kenyamanan hidup." Menurut Joel Osteen penulis buku laris, "Your Best Life Now"  menulis, "Tanpa perlawanan udara, seekor elang tidak dapat naik membubung tinggi, tanpa penentangan gravitasi, kita tidak dapat berjalan" (hlm. 238). Lantas, menurut Eknath Easwaran dalam bukunya yang berjudul, "Climbing The Mountain", "Tetapi ketika tiba saatnya bagi anak-anak burung penguin itu bertumbuh-kembang, sang induk serta merta meninggalkan mereka" (hlm. 2).  Tentu kita bisa membayangkan betapa iba rasa hati kita melihat pemandangan anak-anak penguin itu mencari jalan untuk – sekali lagi – mencari makan. Tetapi itulah hidup! "That's life!"
  
Selasa, 26 Agustus 2014   Markus Marlon

Website :
http://pds-artikel.blogspot.com

Senin, 18 Agustus 2014

Diinjak-injak

MENGINJAK-INJAK
(Mencari Makna Sebuah Peristiwa)
 
          Ketika saya melihat TIFF (Tomohon International Flower Festival) di Tomohon – Sulawesi Utara  (Jumat, 8 Agustus 2014), saya dikejutkan oleh kata-kata seorang pemuda, "Lihat  tuh!  pejabat yang berdiri di sana itu saya junjung tinggi, tetapi pribadinya ada di bawah telapak kaki saya, bahkan saya injak-injak."
          Kata-kata tersebut mengandung suatu "pelecehan" tetapi memang begitulah yang pemuda  alami dan rasakan. Barangkali orang  – yang dikata-katai itu – memiliki jabatan yang tinggi, tetapi sikapnya atau kelakuannya yang tidak terpuji, sehingga pantas untuk diinjak-injak. Menginjak-injak memiliki makna "merendahkan, meremehkan dan menghina" seperti asal-usul katanya yang dari bahasa Sansekerta, inyak.
          Telapak kaki  dalam beberapa cerita, legenda atau dongeng,  memiliki makna yang beraneka ragam. Adagium  mengatakan, "Surga terletak di telapak kaki ibu."  Orang India kalau menghormati seseorang  memegang kakinya dan dalam "Kisah Mahabharata" versi Wayang Purwa Yogyakarta – bukan India – bisa kita dengar  sesumbar (berjanji sambil berkoar-koar dan biasanya ingkar janji) dari Dursasana yang mengatakan, "Kakang mbok  Banowati, kalau Astina kalah dalam perang baratayuda jayabinangun  akan saya sembah dlamakan kakang mbok!"  artinya: telapak kaki Banowati. Ini berarti Dursasana rela dan mau dianggap hina dan diinjak-injak oleh iparnya sendiri. Kita menjadi ingat akan abdi dalem atau rakyat jelata yang jika berhadapan dengan sang Raja akan berkata, "Duli Tuanku!" Duli adalah setitip debu yang menempel di kaki sang Raja.
          Orang yang kalah perang kalau tidak menjadi tawanan, budak juga pantas untuk diinjak-injak. Bukti ini dapat kita baca dalam buku yang berjudul, "Kristus" tulisan Fulton Sheen(1895 – 1979). Ia menulis demikian, "Pada piring-piring marmer kuno dari orang Asyria dan Babilonia, pada ukiran-ukiran tembok orang Mesir, pada batu-batu nisan orang Persia dan pada tugu-tugu Romawi, orang dapat melihat lukisan arak-arakan kemenangan  raja-raja dan orang tercengang akan kemahamuliaan raja-raja ini yang menunggang  kuda atau kereta kemenangan berjalan di depan pawai kemenangan. Bahkan terkadang berjalan di atas tubuh musuh-muduh mereka ang berbaring di tanah" (hlm. 273).  Kasihan sekali orang yang kalah perang, "sudah malu, dipermalukan dan diinjak-injak, lagi!"  Post verba verbera – sesudah dikata-katai (kemudian) digebuki atau dipukuli. "Sudah jatuh, tertimpa tangga lagi!"
          Jika di atas tadi bercerita tentang musuh yang kalah perang, injak-menginjak juga terjadi bagi mereka yang telah murtad. Ini terjadi dalam diri orang yang beragama Yahudi. Kalau ada seorang Yahudi yang murtad, tetapi kemudian kembali bertobat, maka sebelum ia bisa diterima kembali ke dalam pesekutuan, ia harus melakukan hal berikut ini. Dengan penyesalan yang mendalam, ia harus tidur melintang di pintu masuk sinagoga dan mempersilakan setiap orang yang akan masuk sinagoga untuki menginjakkan kakiknya pada tubuhnya. Di tempat-tempat tertentu, Gereja purba mengambil alih kebiasaan sinagoga itu. Orang Kristen yang terkena "hukuman"  sebelum bisa diterima kembali harus tidur melintang di pintu Gereja dan setiap orang yang akan masuk Gereja dipersilakan untuk menginjkkan kakiknya pada tubuh orang tersebut. Orang yang bertobat tersebut mengatakan, "Injaklah aku, karena aku adalah garam yang telah kehilangan rasa asisnnya" (buku "Pemahaman Akitab setiap hari – Injil Matius"  hlm. 203 – 204).
          Memang, pribadi atau sesuatu bisa saja diinjak-injak jika tidak berharga lagi, seperti yang dikatakan Yesus, "Vos estis sal terrae. Quod si sal evanuerit, in quo salietur? ad nihilum valet ultra, nisi ut mittatur, foras et conculcetur ab hominibus" – Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dad diinjak orang  (Mat 5: 13).  Perkataan ini sulit dipahami, sebab garam sebenarnya tidak akan pernah kehilangan rasa asin.
          Untuk memahai hal tersebut di atas, mungkin baik kalau kita mendengar cerita yang berikut. Di tanah Kanaan kuno, rumah tangga selalu memunyai dapur yang terletak di luar rumah. Tungku itu dibuat dari batu dengan alas tanah liat seperti batu bata. Untuk memperoleh dan mempertahankan panas, maka di bawah alas batu bata tersebut biasanya diletakkan garam yang cukup tebal. Setelah beberapa waktu garam tersebut akan hilang. Kalau garam tersebut telah hilang, maka batu bata tersebut harus dibongkar dan tanah dan bersama garamnya harus ke jalan dan diinjak-injak oleh orang yang lewat di situ. Dalam hati saya hanya bisa berkata, "Kacian dech!"
Kamis, 14 Agustus 2014    Markus Marlon

Website :
http://pds-artikel.blogspot.com

Minggu, 10 Agustus 2014

Mendidik dengan teladan

Mendidik dengan Contoh dan Teladan
 
Kepada seorang anak tidak sekedar diberikan materi. Ternyata banyak hal yang mesti ditampilkan dalam kehidupan sehari-hari. Contoh dan teladan yang baik merupakan cara mendidik yang tepat.
Supermodel asal Illinois, Amerika Serikat, Cindy Crawford (47), memilih tidak tampil dengan pose seksi untuk sebuah majalah. Pada saat banyak model yang telah mempunyai anak tetap tampil seksi, Crawford tidak melakukannya.
"Saya tidak mau tampil di muka majalah, karena sudah mempunyai anak laki-laki berusia 14 tahun dan tak ingin dia merasa tak nyaman," kata Crawford.
Ungkapan itu disampaikan Crawford saat menghadiri Art Miami yang menampilkan karya fotografer Marco Glaviano. Pada acara itu, sebuah foto hitam putih Crawford karya Glaviano yang dicetak di atas kanvas ditampilkan dengan taburan berlian. Ia ditawari untuk tampil tanpa busana di sebuah majalah dewasa.
Pasangan Crawford dan Rande Gerber telah menikah selama 15 tahun dan dikaruniai dua anak, Presley (14) dan Kaia (11). "Mungkin saya bisa tampil tanpa busana, tetapi konotasi Playboy yang terlalu "keras" untuk anak-anak membuat saya berpikir. Saya tidak mau anak-anak merasa malu akibat pose ibunya," tutur Crawford.
Perhatian pada anak-anak memang sering diperlihatkan Crawford. Salah satunya dengan membawa Kaia ke acara One Direction's 1D Day saat Crawford mengajarkan Harry Styles dan Liam Payne berjalan di atas catwalk.
Crawford berkata, "Banyak yang bertanya mengapa saya mengajak Kaia. Sepertinya Harry Styles menarik dan Kaia pasti suka bertemu dengan mereka."
Sahabat, dunia kita semakin maju. Media massa selalu menawarkan hal-hal yang sensasional. Namun yang mesti diingat adalah ada generasi muda yang mesti dilindungi dari bahaya tawaran-tawaran yang membuat manusia berkembang secara tidak baik. Karena itu, menjadi pekerjaan semua orangtua untuk memberikan yang terbaik bagi anak-anaknya.
Pengalaman Cindy Crawford memberi kita inspirasi untuk senantiasa memberikan pendidikan yang baik bagi anak-anak kita. Orangtua mesti tahu dan mau mendidik anak-anaknya untuk berkembang ke arah yang lebih baik dan benar.
Sayang, banyak orangtua kurang peduli terhadap pendidikan anak-anak mereka. Mereka mengira bahwa anak-anak cukup mendapatkan pendidikan di sekolah saja. Padahal pendidikan itu mesti dilanjutkan di rumah dan dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan budipekerti dan sopan santun mesti diberikan oleh orangtua bagi anak-anak.
Banyak peristiwa kenakalan remaja terjadi, karena kurangnya pendidikan yang didapatkan oleh kaum remaja kita. Orangtua yang sibuk dengan pekerjaan sering menjadi alasan untuk menelantarkan pendidikan bagi anak-anak. Akibatnya fatal. Banyak anak remaja yang mesti hidup tanpa arah.
Sebagai orang beriman, tentu kita ingin memberikan yang terbaik bagi anak-anak kita. Mengapa? Karena anak-anak kita adalah masa depan bangsa dan Negara. Mereka melanjutkan dan mengembangkan kehidupan orangtua mereka.
Karena itu, mereka mesti memiliki hidup yang berkualitas. Hidup seperti ini mesti ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Nah, orangtua punya tanggungjawab bagi anak-anak untuk memiliki kualitas hidup yang lebih baik. Mari kita bantu anak-anak kita untuk bertumbuh menjadi lebih berkualitas. Dengan demikian, hidup mereka menjadi lebih baik dan benar. Tuhan memberkati. **
 
Frans de Sales SCJ
Tabloid KOMUNIO/Majalah FIAT

Website :
http://pds-artikel.blogspot.com

Jumat, 08 Agustus 2014

Rumah

RUMAH
(Mencari Makna sebuah Peristiwa)
 
          Bulan Juli 2014, saya sempat beberapa hari berada di Woloan – Tomohon Barat – Sulawesi Utara. Di sana saya melihat Rumah Woloan yang sudah termasyur di mana-mana, bahkan ke manca negara.  Sejak pagi-pagi, para tukang bangunan sudah mulai bekerja. Melewati Kalurahan Woloan Satu, saya hanya mengiyakan  dan berkata dalam hati, "Memang rumah-rumah itu sungguh indah."  Rumah Woloan.
          Rumah, memang tempat yang selalu dikenang. Dan "halaman"  rumah  yang dulu pernah menjadi tempat bermain masa kanak-kanak,  amat sangat dirindukan. Kita menjadi ingat akan lagu, "Desaku yang kucintai pujaan hatiku…" dan jika kita menyenandungkan lagu tersebut  - apalagi – di tanah rantau,  kadang membuat bulu kuduk berdiri.
          Mangunwijaya (1929 – 1999)  dalam bukunya yang berjudul, "Burung-burung Manyar" mengingatkan kita bahwa burung manyar berusaha membuat  "rumah" yang indah supaya burung betina berkenan "singgah" di rumahnya.  Dan seandainya, calon pasangannya tidak mau masuk ke dalam "rumah"-nya, maka segera dibongkarlah "rumah" tersebut untuk membangun "rumah" yang baru lagi. Thérèse dari Lisieux (1873 – 1897) pernah sakit dan ternyata setelah diselidiki, ia rindu akan rumah masa kecilnya yakni di Buissonnets. Henry Nouwen (1932 – 1996) menuliskan bagaimana para misionaris yang telah menghabiskan waktu pada masa mudanya di tanah misi, pada  usia tuanya – di negeri asalnya –  merindukan  "rumah" masa lalunya (Bdk. Pelayanan Yang Kreatif, hlm. 103).  Belum lama ini pula – Idul Fitri – orang berbondong-bondong mudikke kampung halaman demi melihat  "rumah" dan tentu untuk bersilaturahmi dengan sahabat dan kerabat dekat.  Ini yang dikisahkan oleh Umar Kayam (1932 – 2002)  dalam  "Burung-burung Rantau"  bahwa pada akhirnya manusia meskipun merantau tetap ingin kembali ke rumahnya sendiri-sendiri. Bahkan dikatakan pula bahwa seorang penulis memiliki "rumah"nya sendiri. Isaac Bashevis Singer (1902 – 1991) menulis, "Every writer has an address."
          Rumah dalam bahasa Latin diartikan sebagai  Domus. Maka di seminari-seminari ada tempat yang namanya  Domus Patrum yang berarti Rumah para pastor, pater atau rama. Kita juga pernah mendengar kata  Domus Dominiyang artinya Bait Allah. 
          Kalau kita mencermati kata  domus (=rumah),  pikiran kita tertuju kepada Dominus yang berarti Tuhan, "Dominus dedit, Dominus abstulit; sit nomen Domini benedictum – Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil; terpujilah nama Tuhan (Ayb 1: 21). Dominus juga bisa diartikan sebagai Tuan, "Quo Vadis Domine?" – Where are you going, Lord – Hendak pergi ke manakah  Tuan?"  Novel dengan judul, "Quo Vadis" karya Henryk Sienkiewicz ini hendak memerlihatkan kisah Petrus yang menyapa seseorang yang tidak dikenal – di Jalan Appia (Via Appia)  dengan sebutan Tuan. Dan ternyata Dia itu adalah Yesus yang hendak ke Roma untuk disalibkan yang kedua kalianya.
          Tentu saja seorang dominus (Tuan) adalah mereka yang memiliki rumah sebagai tempat orang-orang berlindung. Ia memberikan tempat berteduh. Namun sebenarnya jika kita runut ke belakang,  seorang tukang kayu memukul kayu untuk membuat rumah akan terdengar ketukan, "tom, dom, tom, dom," dan dari sana, kata bertukang mendapatkan asalnya dari tiruan banyi tersebut. Dominus, si tukang kayu itu merencanakan, menyusun batu-batu bangunan dan memergunakan papan untuk atap, "Nisi Dominus aedificaverit domum, in vanum laboraverunt qui aedificant eam" – Jikalau bukan Tuhan yang membangun rumah, sia-sialah pengawal berjaga-jaga. Bahkan kita bisa berseru kepada Tuhan, "Engkau adalah Rumah kami!"
          Sementara menulis "Rumah"  di kejauhan terdengar samar-samar nyanyian dari God Bless dengan judul, "Rumah Kita"
Hanya bilik bambu tempat tinggal kita
Tanpa hiasan, tanpa lukisan
Beratap jerami, beralaskan tanah
Namun semua ini punya kita
Memang semua ini milik kita, sendiri
Hanya alang alang pagar rumah kita
Tanya anyelir, tanpa melati
Hanya bunga bakung tumbuh di halaman
Namun semua itu punya kita
Memang semua itu milik kita
Haruskah kita beranjak ke kota
Yang penuh dengan tanya
Lebih baik di sini, rumah kita sendiri
Segala nikmat dan anugerah yang kuasa
Semuanya ada di sini
Rumah kita
Lebih baik di sini, rumah kita sendiri
Segala nikmat dan anugerah yang kuasa
Semuanya ada di sini
Rumah kita
Lebih baik di sini, rumah kita sendiri
Segala nikmat dan anugerah yang kuasa
Semuanya ada di sini
Rumah kita
Rumah kita
Ada di sini
 
 
Jumat, 08 Agustus 2014  Markus Marlon
 
Website :
http://pds-artikel.blogspot.com

Minggu, 03 Agustus 2014

Derita

DERITA
(Mencari Makna sebuah Peristiwa)
 
       Ketika mengadakan perjalanan menuju  danau Tondano, saya terkesima dengan  view  yang indah di sepanjang jalan. Di sepanjang jalan kulihat pohon-pohon dan kadang-kadang sawah terhampar bagaikan permandani  (Minggu, 03 Agustus 2014).   Setelah sampai tujuan,  saya hanya berdecak kagum dengan indahnya danau tersebut dan dalam hati saya berpikir, memang pantas dikatakan bahwa Danau ini menjadi  tujuan wisata yang terkenal di Provinsi Sulawesi Utara.
          Sementara   asyik-asyiknya menikmati pemandangan yang indah itu, suasana hati saya berubah, ketika mendengar lagu yang dilantumkan oleh Eddy Silitonga, "Hidupku yang sengsara, penuh dengan penderitaan. Oh Tuhan tolong tunjukkan jalan kehidupan jauhkan cobaan…"  Buku tulisan Arifin Surya Nugroho  dengan judul,  "Biografi Hartini-Sukarno" menulis, "Bapak pernah mengatakan kepada saya, ketika dipenjara oleh Belanda, ia merasa kuat dan tabah. Namun ketika merasa dikhianati oleh bangsanya sendiri dan kemudian ditahan di Wisma Yaso, bapak merasa amat sangat menderita." (hlm. 231).
Derita berasal dari bahasa Sansekerta "dhra" yang berarti  menahan atau menanggung sesuatu yang tidak menyenangkan. Penderitaan semakin berat apabila dialami secara batiniah. Dalam  buku yang berjudul, "Ramayana"  tulisan Nyoman Pendit, misalnya di sana kita bisa melihat   penderitaan   Sinta  di Taman Asoka dalam cengkeraman Rahwana.  Pikiran, jiwa dan hatinya  terus-menerus memikirkan kekasihnya,  Rama. Ibarat seorang gadis yang sedang jatuh cinta, "thinking of you."  Tentu saja Sinta menderita yang amat sangat.
Di sekitar kita banyak orang yang menderita. Dan seolah-olah – jika bisa berkata  – mereka ingin diringkankan penderitaannya. Motto R.S. PGI Cikini – Jakarta, "Sedare dolorem opus divinum est" – meringankan penderitaan adalah pekerjaan ilahi, tentunya tepat untuk melukiskan orang-orang yang berhati mulia. Raoul Follereau (1903 – 1977) – penulis Prancis mencoba melukiskan bagaimana seseorang meringankan penderitaan orang lain. Tulisnya, "Ada istri seorang kusta tinggal di sebuah perkampungan. Dia tidak kusta. Setiap pagi, suami-istri itu bertemu, dari jauh saja. Mereka saling bertatap muka dan tersenyum beberapa detik."  Si kusta itu berkata, "Ketika saya melihat istri saya setiap hari hanya dari dialah saya tahu bahwa saya masih hidup dan hanya untuk dialah saya masih mau hidup."
Penderitaan juga sering dialami oleh mereka yang memohon kepada Dewa Zeus. Permohonannya terkabul, namun kemudian menyesal karena ada "kekilafan" dan akhirnya mengakibatkan penderitaan. Aurora adalah dewi fajar. Ia jatuh cinta kepada Tithonus, manusia yang hidup di jagad ini. Aurora, bermohon agar kekasihnya memiliki hidup kekal seperti dirinya. Mereka berdua hidup bahagia sementara waktu, namun  Aurora lupa minta bagi kekasihnya  "awet muda." Dan pada gilirannya, Tithonus menjadi orang yang paling menderita, ia "awet tua" dan tidak pernah bisa mati. Aurora cantik jelita, sedangkan pada akhirnya kekasihnya tua-opong-peyot.   
Ternyata, derita itu ada pelbagai macam dan beraneka ragam. Hanya bagaimana cara kita meresponnya. Itu saja!
 
Senin, 04 Agustus 2014   Markus Marlon


Website :
http://pds-artikel.blogspot.com