Kamis, 27 Februari 2014

Tangan

TANGAN
(Kontemplasi  Peradaban)
 
       Dalam setiap peristiwa, tanda tangan memiliki fungsi yang amat vital. Orang yang akan operasi berat, tentu dari pihak Rumah Sakit membutuhkan tanda tangan dari pihak keluarga. Orang yang mengadakan kontrak kerja atau MoU  (Memorandum of Understanding)  hanya akan sahih jika ada tanda tangan.  Semua membutuhkan tanda tangan – kecuali – bagi orang yang  buta huruf, namun tetap menggunakan sidik jari atau cap jempol.
          Tangan memiliki kuasa. Ada tangan yang diurapi dan ada tangan besi untuk memerintah. Lihat saja bagaimana Kaisar-Kaisar Romawi, penguasa otoriter yang kejam itu hanya dengan menggerakkan tangannya bisa menyelamatkan atau membunuh  gladiator  yang menjadi pecundang,  "Verso pollice" – dengan ibu jari ke arah bawah  -  Inilah tanda bahwa  gladiator  yang kalah harus dibunuh. Di dalam tangan seolah-olah terungkap sikap dan keputusan yang berdaulat.
          Dalam hidup harian, kita melihat bagaimana dengan tangan kita bisa berbuat baik dan berbuat jahat. Kata-kata seperti: emansipasi, manipulasi dan  masturbasi  adalah kegiatan yang menggunakan tangan. Orang yang aktif dalam suatu kegiatan dan melibatkan diri disebut sebagai emansipasi (Bhs Latin: e = ke luar + manus = tangan  + capere = mengambil) . Tidak asing di telinga kita yaitu  kata manipulasi yang berasal dari  manipulare (Bhs. Latin:  manus = tangan + plere = mengisi), artinya penyelewengan  / penyalahgunaan / penggelapan.  Lantas, kata masturbasi yang berasal dari   masturbari (Bhs. Latin: manus = tangan + stupere = kotor) memiliki makna tindakan pemuasan nafsu secara mandiri dengan tangannya tentunya.  Dan  dalam bahasa pergaulan,  kita sering mendengar kata: panjang tangan, berpangku tangan, dan lain sebagainya.
          Keaslian dan originalitas serta autentisitas sebuah karya terjadi karena tangan-tangan trampil yang melakukan  (pekerjaan tangan). Kalau kita ke toko batik atau ukiran-ukiran halus buatan tangan, kita bisa terheran-heran,  karena harganya mahal. Mahalnya  mahakarya itu bisa dimengerti karena dibuat oleh tangan, authentic-hand atau  handicraft.  Tidak heranlah jika lukisan Vincent van Gogh (1853 – 1890), Rembrandt (1606 – 1669) atau Affandy yang asli sangat mahal (puluhan bahkan ratusan kali lipat)  dibandingkan dengan lukisan  reproduksi atau tiruan (reproduction of painting).  
          Akhirnya, semua kebaikan dari orang lain seperti gagasan, pemberian materi, keindahan alam haruslah kita terima dengan tangan terbuka. Orang yang menerima tentunya dengan tangan bukan dengan kaki. Kata  terima  itu sendiri berasal dari bahasa Jawa Kuno, "terlima"  yang berarti tertangan, tanggap. (Lima = tangan).

Kamis, 27 Februari 2014   Markus Marlon
 
Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com

Senin, 24 Februari 2014

Marah

MARAH
( M     o     t      i     v     a     s     i )
 
 
          Pada suatu ketika,  saya membaca sebuah tulisan di dinding sebuah Ruang Tamu dari seorang   General Manager, "Semua yang dimulai dengan rasa marah akan berakhir dengan rasa malu."  Tulisan itu adalah ucapan dari  Benjamin Franklin (1706 – 1790).
          Hampir semua kemarahan terjadi di luar rencana dan di luar kendali kita. Lalu kita bertanya, "Kalau kita memang tidak pernah menjadwalkan  kemarahan, untuk apa kita marah?"  Kemarahan menyebabkan hilangnya damai sejahtera. Kemarahan mengakibatkan  kreativitas terhenti. Kemarahan menciptakan persahabatan menjadi hancur  dan kemarahan mengganggu kesehatan.
          Marah dan  gusar serta  temperament   meledak-ledak yang ditujukan kepada satu orang atau beberapa orang akan berbahaya. Rasa marah tersebut  membahayakan diri kita sendiri,  melebih bahaya yang ditimbulkan pada orang-orang yang jadi sasaran kemarahan kita. Frank Minirth   dalam bukunya yang berjudul  "Mengejar Kebahagiaan" berpendapat bahwa kemarahan bisa menyebabkan penyakit kronis. Tulisnya, Pada kenyataannya,  faktor tunggal yang paling sering menyebabkan serangan jantung pada orang dewasa Amerika bukannya kolesterol yang tinggi, merokok atau sejarah jantung keluarga. Sebaliknya faktor tersebut adalah sikap kronis terhadap interaksi yang penuh permusuhan (marah) dengan orang lain" (hlm. 48).
          Marah  yang dalam bahasa Inggris anger  itu diturunkan dari bahasa Latin angere  yang berarti: mencekik atau membuat seseorang tidak dapat bernafas. Memang, orang yang sedang marah itu nafasnya pendek-pendek dan mukanya menjadi merah (Bdk. Tokoh wayang Baladewa yang memiliki  soca merah karena suka marah).  Vergilius (70 seb. M  – 19 seb. M) dalam bukunya yang berjudul  "Aeneas"   menulis, "Furor arma ministrat" – kemarahan itu (selalu) mengarah untuk memakai senjata. Terjemahan bebasnya: kemarahan cenderung membuat orang ingin berkelahi.
          Kemarahan bisa kita kendalikan. Nabi Muhammad (570 – 632) pernah bersabda, "Pahlawan bukanlah orang yang berani menetakkan pedangnya ke pundak lawan, tetapi pahlawan yang sebenarnya ialah orang yang sanggup menguasai dirinya ketika ia marah."  Di sinilah kita perlu mengelola emosi kita dan jangan ijinkan rasa marah menjadi tuan dalam diri serta  jangan tunduk pada emosi-emosi negatif. Strategi mengatasi kemarahan yang paling efektif adalah menundanya dengan pergi meninggalkan penyebab kemarahan tersebut.  
 
Kamis, 20 Februari 2014   Markus Marlon
 

Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com

Kamis, 20 Februari 2014

Mendengarkan

MENDENGARKAN
( M    o    t    i    v    a    s    i)
 
Zaman  sekarang ini, banyak orang ke mana-mana membawa hand phone atau smart phone.  Bahkan tidak jarang, ketika sedang mengadakan dialog penting pun, lawan bicara dengan asyiknya  membalas  sms  ataubbm. Tentu saja teman dialog itu pun tersinggung, katanya, "Orang itu mendengar tetapi tidak mendengarkan."
Memang mendengarkan itu tidak mudah. Bisa jadi, kita menatap lawan bicara dan mendengar semua kata-katanya, mengangguk-angguk seolah mengerti, tetapi sebetulnya tidak menyerap dan mengolah informasi yang diterima. Mungkin orang itu sibuk dengan pikirannya sendiri atau ada orang yang bersiap-siap untuk membantah. Menjadi pendengar berarti seseorang diajak untuk rela menunggu yang lain berbicara.  Pernah suatu kali saya menemani makan seorang artis termasyur.  Ketika menemani makan, saya hanya mendengan dan berkata, "Oh iya!" atau "Wow luar biasa!" Selesai perjamuan, ia pun berjabat tangan dengan dan berkata, "Sungguh, saudara adalah ahli komunikasi dan pendengar yang luar biasa." Memang orang-orang  zaman sekarang rindu untuk didengarkan.  Ketika menyaksikan acara  talkshow, kita jarang menyaksikan orang yang menunggu yang lain selesai bicara tanpa sibuk mempersiapkan apa yang akan dikatakan.
Kita hidup dalam dunia yang serba sibuk dan penuh dengan ingar bingar. Orang yang sibuk sangat dihargai sebaliknya, orang-orang yang "berdiam diri" tidak mendapatkan tempat sebab waktu sangat berharga, "Time is money."  Bahkan waktu untuk hening merupakan saat yang mewah. Orang takut kepada keheningan serta kesunyian. Orang Eropa menyebutnya sebagai  "horror vacui" yang berarti ketakutan pada yang hening. Karena "ketakutan" itulah, maka dibutuhkan orang-orang yang suka menjadi pendengar yang baik. Lihat saja bagaimana pemandangan orang-orang yang sedang duduk-duduk di ruang tunggu Bandara atau di Rumah Sakit, semua memegang  hand phone atau smart phone untuk berkomunikasi dengan  orang lain.
Orang yang mendengarkan berarti dirinya siap untuk melaksanakan, seperti yang diucapkan Bunda Maria, "Fiat voluntas tua!" – Jadilah padaku menurut perkataanmu itu (Luk 1: 38). Kata  obedience – ketaatan merupakan gabungan dari kata  ab + audire (bahasa Latin) yang berarti mendengarkan pada. Setiap hari kita berelasi dengan orang lain. Dalam komunikasi tersebut, kita saling mendengarkan. Orang yang didengarkan pun sangat senang dan merasa diteguhkan. Memang, mendengarkan dengan tulus tidak semudah yang kita bayangkan. Orang Belanda punya suatu ungkapan yang pedas yakni, "oost-indisch doof" harafiahnya berarti: tuli gaya Hindia-Timur. Maksudnya menunjuk pada seseorang (biasanya jongos)  yang sungguh-sungguh sadar bahwa dirinya dipanggil, tetapi karena segan akan ditambahi tugas-tugas lain, maka ia pura-pura tidak mendengar" (YB Mangunwijaya  dalam bukunya yang berjudul  Ragawidya).
Rasa segan dan enggan untuk mendengarkan  juga sering dialami oleh orang tua yang hidupnya tergantung orang lain (anak-anaknya). Suatu kali seorang ibu duduk di depan rumah. Ibu itu bertanya kepada anaknya, "Itu suara apa?" Sang anak itu menjawab dengan ketus, "Suara burung gereja,   mami!"  Pertanyaan yang sama diucapkan oleh ibunya hingga tiga kali. Tentu saja anaknya marah.
Tiba-tiba ibu yang sudah tua itu pun berkata, "Nak, ketika kamu masih kecil, kau bertanya 10 kali tentang hal yang sama dan aku menjawabnya 10 kali dengan penuh kebahagiaan. Aku mendengarkan pertanyaanmu!"
 
Minggu, 16 Februari  2014    Markus Marlon

N.B: Sudah dipublikasikan

Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com

Senin, 17 Februari 2014

Hijau

HIJAU
(Kontemplasi  Peradaban)
 
          Ketika mata saya rasa penat atau lelah, sahabat saya berkata, "Jika mata lelah keluarlah sejenak dari kantormu  selama 10 menit dan pandanglah hamparan hutan yang hijau. Saya jamin, kedua matamu akan segar kembali." Dan memang benar, mata menjadi  fresh kembali. Kita semua tentu berharap memiliki bumi yang  ijo royo-royo. Tetapi sayang bahwa keserakahan manusia (pembalakan liar, penggundulan gunung tanpa memiliki HPH) sehingga bumi yang  ijo royo-royo itu kini menjadi kering kerontang.
          Bumi yang kita diami ini akan menjadi serasa taman firdaus jika kita merawat dan memeliharanya. Hutan sejak zaman dulu kala telah memberikan makna yang mendalam dalam kisah-kisah  Mahabaratha  dan  Ramayana. Sang dalang ber-suluk demikian,  "Alas gung liwang-liwung" yang artinya: hutan yang besar sekali dengan pepohonan yang amat besar. Para pangeran dalam dunia pewayangan akan menjadi bijaksana, ketika harus tinggal di hutan belantara (misalnya Rama, Shinta dan Laksmana tinggal di hutan Dandaka untuk  "menempa diri"). Maka tidak mengherankan jika Emil Salim (mantan menteri Lingkungan Hidup)  mengeluarkan statement, "Hutan memunyai kemampuan mengatur tata air, mencegah erosi dan banjir serta memelihara kesuburan tanah."  
          Di seluruh nusantara ini, setiap daerah menghargai nilai-nilai kehidupan bersama dengan lingkungan. Orang diajak untuk menghormati tanaman-tanaman yang memberi kehidupan. Dongeng Kyai Jegod yang ditulis oleh Bakdi Soemanto dalam bukunya yang berjudul, "Cerita Rakyat dari Yogyakarta" mengisahkan supaya orang berhati-hati dalam menebang pohon. Di sini kita dapat belajar dari masyarakat setempat atau kearifan lokal. Di Jawa Barat kita kenal Legenda Nyi Pohaci Sanghyang Sri. Ketika wafat, dari pusara Nyi Pohaci tumbuh beragam tanaman padi. Dari bagian kepalanya keluar jenis pohon kelapa. Dari hidung, bibir dan telinga muncul rempah-rempah dan sayur-mayur. Dari lengan dan tangan tumbuh pohon jati, cendana dan pohon-pohon berguna lainnya. Dari kedua pahanya tumbuh pohon-pohon bambu. Dari organ kelamin muncul pohon aren. Dari kaki tumbuh tanaman umbi-umbian. Dari pembuluh darahnya muncul saluran-saluran air. Kemudian dari bulu-bulu di tubuh Nyi Pohaci berjenis-jenis tanaman rumput (Bdk. Teologi Padi, sebuah tulisan Mutiara Andalas dalam  "Majalah Rohan" i no. 08 Agustus 2013).
          Dari dongeng dan legenda di atas, kita bisa belajar betapa ecology sangat bermurah hati kepada manusia. Ibu pertiwi menyediakan "segalanya" bagi putra-putrinya yaitu manusia yang mendiaminya. Lingkungan hidup yang menjadi tumpuan hidup kita harus kita "sayangi" dan kita tidak boleh semena-mena merusaknya. Bahkan mungkin kita bisa kaget, tatkala mendengar kata Rabu (Wednesday). Oleh orang Aglo-Saxon, hari Rabu diperuntukkan untuk menyembah Dewa Hutan. Wednesday = Woden's day = Hari penyembahan dewa  Woden atau  Wooden yang adalah Dewa Kayu atau dewa tumbuh-tumbuhan. Dewasa ini, setelah manusia banyak menderita – mungkin karena tindakan leluhur – muncullah slogan-slogan seperti, "back to nature" atau "go green" atau "3 R (Reduce, Reuse, Recycle). 
          Bencana dan musibah datang silih berganti. Banjir, angin taufan, gempa vulkanik dan tektonik, cuaca  ekstrim  serta  global warming  sedang dan sementara mengancam bumi kita.  Kita belum terlambat untuk membuat bumi ini semakin hijau. Hal yang perlu senantiasa diingatkan ialah bersikap ramah terhadap lingkungan. (Bdk. Kisah-kisah dari  St. Fransiskus Asisi dalam menyikapi alam semesta).  Energi ramah lingkungan atau energi hijau, green energy  adalah sebuah istilah yang menjelaskan apa yang dianggap sebagai sumber energi atau tenaga yang ramah terhadap lingkungan. Khususnya yang merujuk ke sumber-sumber energi yang dapat diperbaharui dan tidak mencemari lingkungan.

Selasa, 11 Februari 2014    Markus Marlon
n.b. Sudah dipublikasikan.

Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com

Minggu, 16 Februari 2014

Memahami

MEMAHAMI
( M   o    t   i    v    a    s    i )
 
          Suatu kali saya pernah menyaksikan kecelakaan kecil dalam perjalanan. Ibu muda itu menangis tersedu-sedu karena sedan merah yang dikendarai itu mengalami lecet-lecet di bagian pintu – padahal mobil ini hadiah ulang tahunnya.
          Sang suami datang dan membuka  dashboard   berisi STNK dan sepotong surat kecil yang bertuliskan, "Istriku, mobil ini sebagai hadiah pada hari  special-mu. Namun mobil ini tidak ada harganya sama sekali dibandingkan dengan dirimu."  Setelah membaca  memo  itu, sang istri merasa gembira dan lepas sudah kesedihannya. Ia merasa dipahami oleh suaminya.
          Merasa dimengerti dan dipahami adalah pengalaman yang sungguh sangat indah.  Buku yang berjudul  "Burung Berkicau"   tulisan Antony de Melo (1931 – 1987) mengajak kita untuk bermenung setelah membaca tulisan yang berjudul, "Jangan Berubah."   Dalam kisah tersebut, ada seseorang yang kelakuannya  kalabur.  Orang ini selalu diingatkan oleh banyak orang supaya berubah. Semakin ditegur supaya berubah, maka dirinya semakin frustasi. 
          Pada suatu hari, datanglah teman dekatnya yang berkata, "Jangan berubah, tetaplah seperti ini saja! Berubah atau tidak berubah, engkau tetap sahabatku." Kata-kata itu berbunyi merdu di telinganya dan secara berangsur-angsur, ia malah bisa berubah. Orang menjadi baik dan berubah karena dipahami. Karena ada orang yang mau mengerti dan memahami dengan tulus.
          Untuk memahami seseorang diperlukan kesabaran dalam mendengarkan orang lain. Setelah orang yang kita dampingi itu  "percaya sepenuhnya" kita menjadi lebih kenal secara mendalam.  Dari apa yang kita rasakan dan alami, pada akhirnya kita bisa membuat diagnosis yang benar. Kalau kita mengambil kata diagnosis dalam arti harfiah, kata ini memiliki arti  "mengenal semakin mendalam," (gnosis  =  pengetahuan dan  dia  = lewat, masuk).  Seseorang yang memahami secara mendalam, tentunya akan lebih paham mengapa orang lain  berbuat ini dan itu.  Ia tidak akan mencela, menuduh dan menghakimi secara gegabah.
          Untuk itu, marilah kita berdoa bersama  St. Fransiskus Asisi (1181/1182 – 1226) yang berkata, "Ya Tuhan, semoga aku lebih ingin memahami daripada dipahami." 

Minggu, 09 Februari 2014     Markus Marlon


Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com

Rabu, 12 Februari 2014

Longsor

LONGSOR
(Kontemplasi  Peradaban)
 
          Minggu (02 Februari 2014), saya berjalan-jalan ke desa Kembes dan Rumengkor  (Kec. Tombulu – Minahasa – Sulawesi Utara). Dalam perjalanan itu, saya melihat beberapa tanah longsor.  Longsor memang datangnya selalu dari atas dan yang di bawahlah yang jadi korban. Dikabarkan bahwa bencana alam: longsor ini memakan korban nyawa.
          Kalau longsor untuk tanah, maka  lèngsèr  untuk seorang petinggi yang mau turun ke bawah.  Kata  lèngsèr  ini mulai dikenal sejak tahun 1998 melalui istilah,  "Lèngsèr keprabon, madeg pandhito"  yang berarti turun tahta menjadi bagawan atau orang suci. Istilah ini diungkapkan oleh Presiden Suharto (1921 – 2008) yang merasa bahwa dirinya menjadi  Begawan atau menjadi tempat minta nasihat atau menjai negarawan seperti Mahatma Gandhi misalnya (1869 – 1948). Dalam  Mahabaratha,  istilah  lèngsèr  keprabon  sudah diucapkan oleh Sentanu yang melihat putranya (Bisma) sudah dewasa maka ia meninggalkan kehidupan yang biasa atau menjadi resi serta tidak akan mengurusi perkara-perkara kerajaan – duniawi.  Lèngsèr  juga memiliki makna senja hari. Senja berasal dari Sansekerta,  "Samdhya"  yang berarti saat pertemuan siang dan malam. Kisah  Senjakalaning  Majapahit memang menceriterakan sebuah ke-lèngsèr-an dari kerajaan Majapahit.
          Kalau  lèngsèr  untuk tahta maka  lungsur  untuk pakaian bekas. Kalau seseorang yang – mungkin – lebih tinggi dan kaya akan memberikan pakaiannya yang masih layak pakai kepada orang yang di bawah atau lebih rendah derajatnya dinamakan  lungsur.  Orang yang menerima   lungsuran  itu tidak merasa sakit karena kejatuhan tetapi barangkali malah mendapatkan rejeki  nomplok.
Dalam tradisi kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, ada juga istilah  – maaf – lungsuran  istri dari sang Raja misalnya.  Selain  garwa padmi  (permaisuri), sang raja juga memiliki beberapa  garwa ampil  yang dalam tradisi kraton Ngayogyakarto Hadiningrat adalah sebutan dari para wanita yang dijadikan "istri" sementara . Nah, seandainya Raja ingin menghadiahkan  garwa ampil  itu kepada  adipati, maka  "lungsuran"  itu sebagai  triman  (bahasa Jawa artinya: pemberian atau anugerah).  Atau lebih jelasnya kita bisa mengunjungi Museum seni dan Budaya yang lokasinya di Kaliurang – Yogyakarta. Museum ini namanya Ullen Sentalu  yang mengisahkan sejarah kraton Yogyakarta dan Surakarta dan sebagian besar tentang kehidupan garwa ampil.
Dalam budaya  Jawa juga, kita bisa sejenak melihat kehidupan para petani sawah. Dalam bukunya yang berjudul,  "Kepribadian Indonesia Modern – Suatu penelitian antropologi Budaya,"  Dr. Boelaars meneliti tentang mentalitas manusia: peramu, petani ladang, petani sawah dan  pesisir.  Petani sawah hidupnya bergantung dari air yang di atas. Yang memiliki sawah di bawah hanya menerima  lungsuran  air dari atas. Hidup matinya petani sawah terbawah tergantung  kemurahan hati dari petani sawah yang di atas. Bayangkan jika pemilik sawah yang di atas (di sini disimbolkan sebagai  "Raja") menutup  aliran air, maka matilah rejeki yang di bawah. Di sini ia berharap sekali mendapatkan  lungsuran.
Kalau lungsuran itu untuk pakaian – maaf – istri dan air, maka  lingsér  menunjuk suasana malam yang tenang bahkan mencekam bagaikan hidup di dalam bawah bumi  (sapta pratala). Kata Lingsér  senantiasa digabungkan dengan  wêngi  yang berarti malam.  Lagu  Lingsér Wêngi  (larut malam) itu  sangat terkenal. Syairnya demikian:
Lingsir wengi sliramu tumeking sirno.
 Ojo tangi nggonmu guling
Awas jo ngetoro.
 Aku lagi bang wingo wingo.
 Jin setan kang tak utusi
 Dadyo sebarang.
 Wojo lelayu sebet.  
 
Terjemahannya:  Larut  malam, dirimu akan lenyap.  Jangan bangun dari tempat tidurmu.  Awas jangan menampakkan diri.  Aku sedang dalam kemarahan besar.  Jin dan setan yang kuperintah. Menjadi perantara untuk mencabut nyawamu.
Lagu itu ditulis oleh  Sunan  Kali Jaga (diperkirakan lahir pada 1450). Ia menggunakan budaya Jawa untuk  syiar agama Islam. Syair yang  syiar itu supaya di waktu malam,  lingsér wêngi  kita tetap waspada dengan godaan.
 
Senin, 03 Februari 2014   Markus  Marlon
  
Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com

Selasa, 11 Februari 2014

Musibah

MUSIBAH
(Kontemplasi Peradaban)
                 
          Pernah suatu kali saya melawat orang yang sedang sakit di Rumah Sakit Fatmawati – Jakarta. Ia seorang businessman yang super sibuk (busy). Tidak ada waktu untuk tafakur maupun  mawas diri dan merasakan indahnya cinta dari keluarga. Dari pagi – sebelum anak-anak bangun – hingga malam – setelah anak-anak tidur – businessman itu disibukkan dengan pelbagai kegiatan perusahaannya.  Katanya kepadaku, "Duh, sudah enam hari ini saya tergolek di tempat tidur (bed-rest). Biasanya saya sibuk ke sana kemari. Tetapi selama ini saya baru merasakan  betapa lucunya anak-anak saya. Ia setiap hari di sekeliling saya: mengambilkan minum, pijat kaki dan bercerita tentang pengalaman-pengalaman mereka di sekolah. Musibah yang saya alami ini membawa berkah yang melimpah ruah!"
          Tanpa kita sadari,  tidak jarang kita menyaksikan orang-orang yang menolak dan tidak ikhlas dengan musibah. Bahkan musibah dianggapnya sebagai hukuman ataupun kutukan. Harold S. Kushner dalam  Derita Kutuk atau Rahmat, menuliskan bahwa pada awal mula ia terpukul, menyalahkan Tuhan ketika mendengar berita bahwa anaknya menderita penyakit  progeria, proses ketuaan yang cepat.  Ia melihat musibah sebagai musibah belaka.  Atau dalam tradisi Jawa, jika  seorang perawan yang sudah masanya nikah tetapi belum dipinang lelaki, ini bagaikan aib atau  musibah bagi keluarga. Setiap merayakan weton (hari lahir seseorang dengan pasarannya: Legi, Pahing, Pon, Wage dan Kliwon), maka sang ibu masuk kamar dan menangisi "hari yang indah itu". Ibu menangis karena semakin hari semakin dekat dengan musibah,  sebab anaknya akan menjadi perawan tua, superadulta, yang berarti kelewat umur (Bdk. "Ayub mengutuki hari kelahirannya" – Ayb. 3: 1).
          Untuk menggapai musibah ini, kita perlu berguru kepada pemain film yang berjudul "Lawrence of Arabia."  Ia menganjurkan temannya untuk hidup di gurun bersama dengan bangsa Arab. Mereka percaya bahwa semua kata yang ditulis oleh Nabi Muhammad SAW dalam Al-Qur'an adalah wahyu dari Allah. Jadi ketika Al-Qur'an mengatakan, "Tuhan telah menciptakan kamu dan semua tindakanmu," mereka menerimanya secara harfiah. Itulah sebabnya  mereka menerima dan menjalani hidup dengan tenang dan tidak pernah tergesa-gesa atau terjebak balam kemarahan yang tidak perlu ketika terjadi sesuatu yang salah. Dia bercerita bahwa kehidupan di padang gurun sangat mengerikan. Angin begitu panas sehingga ia merasa seolah-olah rambutnya akan dicopot dari kepala. Tenggorokannya kering. Matanya terbakar dan giginya penuh dengan pasir. Ia merasa seakan berdiri di hadapan oven yang terdapat di sebuah pabrik gelas. Ia hampir merasa gila. Tetapi orang-orang Arab itu tidak mengeluh. Mereka hanya mengangkat bahu mereka dan berkata, "Mektoub!" yang artinya, "Tadir, hal ini sudah tertulis!" (Bdk. Dale Carnegie (1888 – 1955) dalam  Mengatasi Rasa Cepas dan Depresi, hlm. 357).  Saya menjadi ingat akan seorang  teolog dan professor di Union Thelogical Seminary – Amerika   yang bernama Karl Paul Reinhold Niebuhr (1892 – 1974). Dia menulis doa yang cukup terkenal, "Tuhan berilah aku kedamaian agar aku bisa menerima hal-hal yang tidak dapat kuubah. Keberanina untuk mengubah hal yang bisa kuubah dan kebijaksanaan untuk mengetahui perbedaannya."
          Dalam memaknai musibah, kita juga dapat berguru kepada "orang-orang besar". Napoleon Bonaparte (1769 – 1821) memiliki segalanya yang biasa dicari oleh setiap orang: kejayaan, kekuasaan dan kekayaan. Tetapi ironisnya,  di pulau St. Helena – karena dibuang dan diasingkan –  ia berkata, "Saya tidak pernah mengalami lebih dari enam hari bahagia dalam hidup saya."  Sementara Helen Keller (1880 – 1968)  – buta, tuli, bisu – mengatakan, "Saya telah menemukan bahwa hidup itu begitu indah!" Testimoni-testimoni mereka sebenarnya hendak memberikan penlajaran bagi  kita bahwa apa pun terpuruknya hidup kita karena musibah, pasti ada jalan keluarnya. "Setiap pangkal ada ujungnya!" kata seorang bijak. Atau bahasa religiusnya, "Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya" (Pkh 3: 11).  
          Musibah seyogianya menjadi "sahabat." Ajahn Bram dalam Horeee ! Guru Cacing Datang, bercerita, "Jika kita menginjak kotoran anjing, jangan buru-buru bersihkan sepatu Anda! Bawalah pulang kotoran itu dan bersihkanlah di rumah Anda  di bawah pohon mangga. Setahun kemudian, mangga Anda akan lebih manis, lebih ranum dan lezat dari sebelumnya. Ternyata, kotoran anjing yang paling bau dan paling kotor sekalipun bisa menjadi pupuk bagi mangga" (hlm. 162). Musibah seperti: nama jelek, difitnah dan dikhianati memang menyakitkan dan melumpuhkan diri kita. Tidak perlu kita "mengutuki" musibah yang kita alami. Kita juga bisa belajar dari pengalaman Ignatius dari Loyola (1491 – 1556)  yang berbaring sakit di benteng Pamplona  karena terluka. Untuk mengisi "waktu luangnya" ia minta bacaan roman. Namun yang didapatkan adalah buku Vita Christi (kehidupan Kristus) dan Flos Sactorum (Bunga rampai para Kudus). Awalnya ia tidak berkenan, tetapi akhirnya "menikmati" bacaan tersebut yang akhirnya membuat dirinya berbalik 180 ̊  menjadi pahlawan Kristus (Bdk. Sejarah Ordo Serikat Yesus tulisan A.M. Mangunhardjana SJ, hlm.14). Musibah membawa berkah!
          Tidak ada yang kebetulan di dunia ini. Musibah, bencana, tragedi, kecelakaan dan  penderitaan bisa menjadi "pelajaran berharga" jika kita menerimanya dengan ikhlas hati.  Dibutuhkan kesabaran dan tawakal. "Habis akal baru tawakal", sesudah berikhtiar, baru berserah kepada Tuhan.

Kamis, 30 Januari 2014   Markus Marlon  


Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com

Senin, 10 Februari 2014

Ibu Pertiwi

IBU  PERTIWI  MERINTIH
(Bidikan Suatu Peristiwa dalam Perjalanan)
 
          Ketika hendak menuju ke Bandara  International  "Sam Ratulangi," saya melintasi  ring-road.  Dalam perjalanan tersebut,  saya memandang bukit-bukit  yang tanahnya mulai digerus dan diangkut oleh truk-truk entah ke mana. Bukit-bukit yang dulunya hijau permai itu,  kini  sudah ada beberapa yang menjadi dataran dan siap untuk dibangun gedung bertingkat yang indah dan megah.
          Sementara melamun, tiba-tiba saya ingat sebuah lagu yang sering terdengar waktu saya kecil,  "Ibu Pertiwi":
          Kulihat ibu pertiwi
          Sedang bersusah hati
          Air  matamu berlinang
          Mas intanmu terkenang
                   Hutan, gunung, sawah lautan
                   Simpanan kekayaan
                   Kini, ibu sedang susah
                   Merintih dan berdoa
 
          Saya membayangkan sosok seorang ibu yang sedih membayangkan putra-putrinya bersikap tidak berterima kasih kepadanya.  
          Pengorbanan seorang ibu – seperti yang sering kita dengar, "Kasih Ibu sepanjang Jalan"  itu – dapat kita lihat dalam pengorbanan dalam diri: burung  pelican (pelecanus). Burung pelican itu, jika melihat anak-anaknya kelaparan, ia akan terbang mencari makanan sampai mendapatkannya. Jika pada hari itu ia tidak  menemukannya, ia akan mencucukkan paruhnya pada temboloknya dan diberikannya kepada anak-anaknya untuk "sarapan."  Tidak heranlah jika dalam legenda, burung itu memiliki tembolok yang bercak-bercak merah karena mengeluarkan darah. Burung ini juga sebagai lambang pengorbanan sejak abad pertengahan, "Pelikan yang kudus, Yesus Tuhanku "  (Bdk. The Pelican in Christian art is symbol of charity and symbol of The Holy Eucharist).
          Kata  "pertiwi" itu berasal dari bahasa Sansekerta, pÅ—thivi  artinya: berani tampil ke depan. Karena hati yang ingin berkorban, seorang ibu  rela mengorbankan nyawanya untuk lahirnya manusia baru. Saya pernah mendengar seorang ibu yang rela mati demi bayi yang di kandungannya. Waktu itu, sang dokter berkata, "Kalau ibu meninggal sang bayi akan selamat dan hidup. Sebaliknya jika ibu memilih hidup, maka bayi itu akan meninggal. Mana yang ibu pilih?" Memang ini seperti makan buah  simalakama. Namun dengan tenang ibu pun berkata, "Dokter, biarkanlah  saya yang mati, sebab saya sudah 32 tahun menghirup udara segar, sedangkan anak saya ini belum merasakan nikmatnya udara segar!"
Luar biasa. Betapa besar pengorbanan sang ibu. Tetapi saat ini ibu pertiwi  sedang merintih sedih kesakitan.  Lima tahun lalu,  ketika saya mengadakan perjalanan di  P.T. Freeport – Indonesia  di Timika, saya menggunakan mobil seukuran  avanza. Tepat pada  bumper dipasang  bendera berkibar-kibar  warna merah. Saya bertanya kepada  driver, mengapa harus menggunakan bendera. Driver  pun menjawab, "Kalau tidak pakai bendera, mobil kita ini bagaikan semut, sebab mobil-mobil proyek yang mengeruk  "tanah" itu tinggi dan luasnya sebesar rumah yang tentunya  bisa menginjak mobil kita."  Saya kemudian membayangkan, mobil-mobil proyek yang rodanya berdiameter  2 meter lebih itu menuruni  "perut ibu pertiwi."
Tatkala bencana-musibah bertubi-tubi datang, kita terpekur merenungi hidup ini. Lautan mengamuk, gempa tektonik dan gempa vulkanik  merobohkan rumah-rumah penduduk, bukit-bukit yang tadinya hijau namun sekarang sudah gundul  emoh  menampung air sehingga terjadi banjir bandang. Ibu pertiwi sedang menangis  sesenggukan. 
Meratapi hidup dalam musibah ini, apakah "memang Tuhan sudah mulai bosan melihat tingkah  kita," seperti yang dinyanyikan Ebit G.Ade.  Keserakahan manusia dan bertindak semena-mena terhadap ibu pertiwi ternyata harus dibayar mahal. Korban berjatuhan di mana-mana.  Mahatma Gandhi (1869 – 1948) pernah berkata, "Bumi ini cukup untuk seluruh penduduk dunia, tetapi tidak cukup bagi beberapa segelintir orang yang serakah."  Sebelum itu, Horatius (65 – 8 seb.M), berkata,  "Semper avarus eget" – orang yang serakah selalu menuntut. Keruk gunung sana belum cukup, masih  "menuntut" yang lain. Keruk pasir di sungai sana belum cukup  "menuntut" keruk pasir di bawah jembatan, akhirnya  ambrol  dan  jebol.
Dalam perjalanan ini, saya merenungkan ibu pertiwi yang susah hati. Ibu pertiwi memang  sungguh kuat dan sabar serta  hebat. Maka tidak salah bila kita menyematkan nama ibu dengan sebutan:  alma mater, ibu kota, rumah induk dan masih banyak gelar yang tersemat padanya (Bdk. Gelar-gelar dalam diri Bunda Maria, "Maria Mediatrix, Maria Dolorosa, Maria Stella Maris  dan masih banyak lagi). Tiba-tiba tanpa sadar dari kejauhan saya mendengar lagu yang dilantunkan oleh  Ritta Rubby Harland:
          …Batu-batu cadas merintih kesakitan
          Ditikam belatimu yang bermata ayal
          Hanya untuk mengumumkan pada khalayak
          Bahwa di sana ada kibar benderamu
                   Oh alam, kurban keangkuhan
                   Maafkan mereka yang tak mengerti
                   Arti kehidupan.
 
Senin, 27 Januari  2014   Markus Marlon
 
N.B. Tulisan seri "Bidikan Suatu Peristiwa dalam     Perjalanan" akan diterbitkan.
 
Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com

Minggu, 09 Februari 2014

Jembatan

JEMBATAN
(Bidikan Suatu Peristiwa dalam Perjalanan )
 
          Beberapa hari ini, saya melihat situasi Manado sekitarnya dan hati terasa  miris. Situasinya memang seperti yang dilaporkan dalam  Komentar, Tribun Manado, Manado Post  bahkan  Kompas.  Ketika saya melihat jembatan Dendengan Dalam (Dendal) yang rusak, maka teman saya pun berkata, "Ada lagi jembatan yang rusak yaitu di Maesa Perkamil, 2 jembatan kecil di Tuminting Mahawu dan satu lagi di Boullevard."
          Jembatan – mau tidak mau – menjadi sarana yang sangat vital. Jika tidak ada jembatan,  maka sebuah  daerah bisa terisolir. Maka tidak mengherankan jika dalam setiap perang – bahkan menurut teori strageti Perang Sun-Tzu (544 – 496 seb.M) – jembatan harus dirusak kalau mau mengisolir musuh.  Tetapi kita sedih sebab banjir di Manado ini merusak jembatan-jembatan bahkan tanah longsor sehingga perjalanan yang hendak beraktivitas  pun terganggu.
          Kalau saya menyaksikan betapa ganasnya  "air bah" itu, saya ingat akan lagu yang dinyanyikan oleh Simon dan Garfunkel yang berjudul, "A bridge over troubled water."  Di sana ditulis, "And friends just can't be found. Like a bridge over troubled water. I will lay me down." Kadang hidup kita itu seperti di atas pusaran air yang deras. Serba takut dan kuatir. Dan memang beberapa hari ini  di Manado dan sekitarnya gerimis, hujan bahkan lebat dan ini membuat banyak orang takut, cemas dan kuatir. Ini mengingatkan saya akan jembatan-jembatan yang telah rusak, "Semoga tetap kuat menahan arusnya aliran sungai."  
          Terkadang, seseorang jika mengalami masalah lebih suka "menyendiri dan mengutuki nasibnya." Ia mengurung diri dan membangun tembok atau benteng. Ia merasa bahwa dirinyalah orang yang paling sial dan menderita di dunia ini. Tetapi setelah, ia  "membuat jembatan dan membangun relasi"  atau berjumpa dengan orang lain yang hidupnya lebih susah, ia merasa bahagia dan bersyukur atas hidupnya (Bdk. Wejangan  Paus Fransiskus di Casa Santa Marta, Jumat 24 Januari 2014, "Hendaklah orang-orang Kristiani membangun jembatan dialog seperti Daud, dan  bukan tembok kebencian seperti Saul").  Kita juga ingat bagaimana orang-orang Jerman yang dipisahkan dengan Tembok Berlin ingin  "membuat jembatan" dengan cara merobohkannya. Tembok itu pun runtuh pada 9 November 1989.
          Jembatan dalam bahasa Latin diartikan sebagai pons-pontis.  Kemudian kita mengenal istilah  Pontifex Maximus (imam agung). Pons = jembatan + facere = membuat. Dalam perkembangannya,  Pontifex  berarti menjadi "Pembuat jembatan" yang menghubungkan hal duniawi dan hal surgawi.  Dalam Gereja Katolik, mereka yang menjembatani persoalan "dunia" dan "surga" adalah Paus, Karinal, Uskup dan Imam.
          Kita pun  – atas salah satu – cara bisa menjadi jembatan bagi sesama kita. Terngiang-ngiang dalam pendengaranku  sebuah lagu  "Jembatan Merah" yang 10 tahun lalu saya menyaksikannya  di kota Pahlawan – Surabaya, "Jembatan Merah sungguh gagah berpagar gedung indah."
 
Sabtu, 25 Januari 2014   Markus Marlon
 
 
Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com

Jumat, 07 Februari 2014

Terang

TERANG
(Kontemplasi  Peradaban)
 
          Kisah Florence Nightingale  (1820 – 1910)  pelopor perawat modern yang dikenal sebagai  "The Lady With The Lamp" – Bidadari Berlampu, memberikan inspirasi kepada tentang menjadi  "Terang Dunia" atau  Lux Mundi. Atas jasanya yang tidak tanpa kenal lelah dan takut mengumpulkan korban perang Krimea yaitu  semenanjung  Krimea di Rusia (1853 – 1856).
          "Terang" yang dibawa oleh Nightingale tersebut memancarkan  cahaya dan kegemerlapan dilihat oleh para korban, sehingga korban banyak yang tertolong.  Seandainya lampu yang dibawa "bidadari" itu disembunyikan  dan diletakkan di bawah gantang, tentu "terang"  itu pun tidak berarti,  worthless (Bdk. Mat 5: 15).
          Atas salah satu cara, hidup kita ini ibarat  lilin yang "menerangi" ruangan. Kemudian kita berkata, "Apakah benar hidup kita ini menjadi "terang"  bagi sesama?"  Misalnya seseorang menjadi sebuah pemimpin sebuah kantor. Ketika sang pemimpin  itu sakit atau tugas ke luar kota, apakah para karyawan merasa gembira? Atau bahkan mereka berkata, "Kapan ya  bos kita ini sakit?"  Pemimpin ini kehadirannya di kantor tidak dikehendaki oleh para karyawan, karena kalau dia ada, yang terjadi adalah: marah, kritik sana-sini dan  kata-katanya menyakitkan hati dan perasaan. Ia bagaikan lilin yang nyalanya terlalu besar sehingga membuat suasana ruang kerja menjadi gerah dan panas.
          Kemudian, ada seorang karyawan kehadirannya tidak berarti,  meaningless. Di ruang kerja orang ini ada maupun tidak ada, dirinya tidak berpengaruh apa-apa.  Ia datang ke kantor kemudian baca koran, lantas tidak lama kemudian ia menjemput anaknya pulang sekolah dan kembali lagi di kantor. Dalam arti ini, hidupnya bagaikan lilin yang sudah pudar nyalanya atau berkedip-kedip atau bahkan sudah mati.  Ada juga yang hidupnya laksana nyala lilin yang menerangi  sekeliling ruangan. Kehadirannya di tengah-tengah tempat kerja-masyarakat-lingkungan,  sungguh-sungguh membawa berkat. Inilah yang oleh Ki Hajar Dewantara (1889 – 1959) diungkapkan  dengan  pameo, "Ing ngarso sung tulodho, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani" – Sewaktu di depan publik kita harus bisa memberi teladan. Ketika di tengah kita harus bekerja keras (membangun kinerja yang baik). Tatkala di belakang, kita memberi semangat  dan motivasi serta support.
          Menarik bahwa penginjil Matius menulis, "Kalian adalah terang dunia" (Mat 5: 14)  kepada para pendengar.  Matius tidak menulis, "Kalian seharusnya sebagai  terang dunia" atau "Kalian diharapkan menjadi terang dunia." Identitas sebagai  "Terang Dunia" ini dalam diri kita menjadi berkat sekaligus tugas (Gabe – Aufgabe).  Namun kadang kala, tidak jarang kita melihat orang-orang yang merasa "terang"-nya mulai redup dan tidak terang-benderang, maka yang terjadi adalah mengeluh dan mengeluh. Dia mulai membandingkan dengan "terang" yang dimiliki oleh orang lain, Maka kutukan-kutukan terhadap kegelapan pun mulai dilontarkan. Ia lupa bahwa ada pepatah yang mengatakan, "It's better to light a candle than curse the darkness" – lebih baik menyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan.
          H. Witdarmana  penulis buku  Proverbia Latina mengomentari tentang "Terang Dunia" ini. Tulisnya, "Humeis este to phos tou kosmou" (Bhs. Yunani: Kalian adalah terang dunia (Mat 5: 14). Dalam Bahasa Yunani,  cosmos (bukan gé = tanah) berarti suatu system yang teratur, seperti dunia dan ciptaannya. Singkat kata ungkapan  "kalian adalah terang dunia" bisa diterjemahkan  sebagai kalian adalah terang (yang kreatif) untuk system (bangsa dan masyarakatmu). Ini artinya sebagai yang sudah dipanggil untuk menjadi "terang" kita tidak boleh menyembunyikan kekuatan kita untuk berbicara benar di tengah-tengah masyarakat.
          Akhirnya sebagai  "Terang Dunia,"  memang sudah layak dan sepantasnya kita memberikan "terang" itu kepada sesama kita. Jauh sebelum itu Siddharta Budda Gautama (563 – 483 seb. M) sudah memberikan filosofinya, "Ribuan lilin dapat dinyalakan dari satu lilin dan nyalanya tidak akan pernah berkurang walaupun dibagi-bagikan.  Jika kita men-share-kan pengalaman kebahagiaan kepada orang lain, maka kebahagiaan itu pun semakin berlipat ganda.
 
Jumat, 07 Januari 2014   Markus  Marlon
 
Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com

Selasa, 04 Februari 2014

Mandela

MANDELA
(Komentar dan Ulasan atas Sebuah Tulisan)
 
          WKC (Warta Keluarga Chevalier) edisi, Pater J. Mangkey MSC  menulis artikel dengan judul:  "Nelson Mandela: Kuasa Pegampunan dan Rekonsiliasi"  (Tahun XII no. I Januari 2014).   Melalui tulisan tersebut, saya  sangat terkesan dengan apa yang dibuat oleh Nelson Mandela (1918 – 2013).
          Membaca artikel tersebut, kita bisa merasakan apa yang dirasakan oleh Mandela dan kita boleh berkata, "Patientia vincit omnia" – kesabaran mengalahkan segalanya.  Dan ketika kita melihat sepak terjang Mandela, kita boleh berkata lagi, "Patria cara, carior libertas" – Aku cinta tanah air, tetapi aku lebih mencintai kemerdekaan.
          Dalam buku otobiografi yang berjudul, "A long walk  to freedom" Mandela memiliki satu tekad yakni suatu kebebasan bagi yang terbelenggu. Perjalanan yang panjang dan berliku atau meminjam syair  The Beatles, "The long and winding road"   dijalaninya dengan ikhlas dan penuh cinta. Amor mundum fecit – cinta itu menciptakan dunia. Mandela tidak menyerah dengan situasi dan kondisi yang membelenggu (dipenjara selama 27 tahun). Katanya, "karena cinta, yang sakit menjadi sembuh dan oleh karena cinta penjara menjadi telaga."  Tulis P. J. Mangkey MSC, "Penjara tidak mampu mematikan perjuangan untuk kemerdekaan dan keseteraan bangsanya. Penjara juga tidak membentuk dia menjadi manusia pendendam, tetapi menjadikan dia seorang dewasa  yang mengedepankan cinta kasih, persatuan, perdamaian, pengampunan dan rekonsiliasi." Ia juga tidak mau "terpenjara" dengan masa lalunya. Ia berpendapat kalau tetap membenci lawan-lawan politiknya, dia akan tetap tertawan dengan tahanan dalam dendam kesumatnya sekalipun sudah bebas dari penjara.
Tentang rasa dendam ini, akhirnya dia berkata, "I let it go" (Ignas Kleden dalam  Mandela dan Religiositas). Pater J.  Mangkey MSC  menulis pengalaman Mandela ini, "There is no future without forgiveness" – tidak ada masa depan tanpa pengampunan.  "Mandela telah  menjadi sumber energi yang mengubah kebencian menjadi cinta, permusuhan  menjadi persahabatan, balas dendam menjadi pengampunan" (Kompas, Sabtu 7 Desember 2013, hlm. 1).
          Dalam arti ini, Mandela "tidak mau menoleh  ke belakang." Orang yang menoleh ke masa lalu, hidupnya akan seperti istri Lot menjadi tiang garam  (Kej 19: 26)  tergerus oleh masalah dan sakit-penyakit. Sebagai pemimpin (leader), Mandela haruslah bersikap visioner, seperti apa yang dikatakan oleh Titus Maccius Plautus (254 – 184 seb. M), "Sapiens ipse fingit fortunam suam" – orang bijaksana ialah orang yang melihat jauh ke depan. Atau seperti yang dikatakan Joe Batter, "The first duty as  a leader (to lead themselves or others) is to make hope always lies" – Tugas pertama seorang pemimpin ( untuk memimpin dirinya seorag diri) adalah membuat harapan selalu terbentang. Dalam keterpurukannya di dalam penjara, Mandela tetap tegar dan ketegarannya ini yang menyebabkan ia bisa menularkan  sense of autonomy-nya bahkan ke Presiden Obama dari dalam penjara (Bdk. Kompas 14 Desember 2013). Dari dalam penjara itu Mandela, si pemberi harapan bangsanya pun – barangkali – berkata, "Apapun yang tidak membunuh kita  malah menguatkan kita," seperti yang ditulis oleh Nietzsche (1844 – 1900). Sekali lagi saya mengutip P. J. Mangkey MSC, "Mencontoh Mandela memang sulit, namun bukannya mustahil!!"
 
Kamis, 23 Januari 2014  Markus Marlon

Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com

Minggu, 02 Februari 2014

Musibah

MUSIBAH
(Kontemplasi Peradaban)
                 
          Pernah suatu kali saya melawat orang yang sedang sakit di Rumah Sakit Fatmawati – Jakarta. Ia seorang businessman yang super sibuk (busy). Tidak ada waktu untuk tafakur maupun  mawas diri dan merasakan indahnya cinta dari keluarga. Dari pagi – sebelum anak-anak bangun – hingga malam – setelah anak-anak tidur – businessman itu disibukkan dengan pelbagai kegiatan perusahaannya.  Katanya kepadaku, "Duh, sudah enam hari ini saya tergolek di tempat tidur (bed-rest). Biasanya saya sibuk ke sana kemari. Tetapi selama ini saya baru merasakan  betapa lucunya anak-anak saya. Ia setiap hari di sekeliling saya: mengambilkan minum, pijat kaki dan bercerita tentang pengalaman-pengalaman mereka di sekolah. Musibah yang saya alami ini membawa berkah yang melimpah ruah!"
          Tanpa kita sadari,  tidak jarang kita menyaksikan orang-orang yang menolak dan tidak ikhlas dengan musibah. Bahkan musibah dianggapnya sebagai hukuman ataupun kutukan. Harold S. Kushner dalam  Derita Kutuk atau Rahmat, menuliskan bahwa pada awal mula ia terpukul, menyalahkan Tuhan ketika mendengar berita bahwa anaknya menderita penyakit  progeria, proses ketuaan yang cepat.  Ia melihat musibah sebagai musibah belaka.  Atau dalam tradisi Jawa, jika  seorang perawan yang sudah masanya nikah tetapi belum dipinang lelaki, ini bagaikan aib atau  musibah bagi keluarga. Setiap merayakan weton (hari lahir seseorang dengan pasarannya: Legi, Pahing, Pon, Wage dan Kliwon), maka sang ibu masuk kamar dan menangisi "hari yang indah itu". Ibu menangis karena semakin hari semakin dekat dengan musibah,  sebab anaknya akan menjadi perawan tua, superadulta, yang berarti kelewat umur (Bdk. "Ayub mengutuki hari kelahirannya" – Ayb. 3: 1).
          Untuk menggapai musibah ini, kita perlu berguru kepada pemain film yang berjudul "Lawrence of Arabia."  Ia menganjurkan temannya untuk hidup di gurun bersama dengan bangsa Arab. Mereka percaya bahwa semua kata yang ditulis oleh Nabi Muhammad SAW dalam Al-Qur'an adalah wahyu dari Allah. Jadi ketika Al-Qur'an mengatakan, "Tuhan telah menciptakan kamu dan semua tindakanmu," mereka menerimanya secara harfiah. Itulah sebabnya  mereka menerima dan menjalani hidup dengan tenang dan tidak pernah tergesa-gesa atau terjebak balam kemarahan yang tidak perlu ketika terjadi sesuatu yang salah. Dia bercerita bahwa kehidupan di padang gurun sangat mengerikan. Angin begitu panas sehingga ia merasa seolah-olah rambutnya akan dicopot dari kepala. Tenggorokannya kering. Matanya terbakar dan giginya penuh dengan pasir. Ia merasa seakan berdiri di hadapan oven yang terdapat di sebuah pabrik gelas. Ia hampir merasa gila. Tetapi orang-orang Arab itu tidak mengeluh. Mereka hanya mengangkat bahu mereka dan berkata, "Mektoub!" yang artinya, "Tadir, hal ini sudah tertulis!" (Bdk. Dale Carnegie (1888 – 1955) dalam  Mengatasi Rasa Cepas dan Depresi, hlm. 357).  Saya menjadi ingat akan seorang  teolog dan professor di Union Thelogical Seminary – Amerika   yang bernama Karl Paul Reinhold Niebuhr (1892 – 1974). Dia menulis doa yang cukup terkenal, "Tuhan berilah aku kedamaian agar aku bisa menerima hal-hal yang tidak dapat kuubah. Keberanina untuk mengubah hal yang bisa kuubah dan kebijaksanaan untuk mengetahui perbedaannya."
          Dalam memaknai musibah, kita juga dapat berguru kepada "orang-orang besar". Napoleon Bonaparte (1769 – 1821) memiliki segalanya yang biasa dicari oleh setiap orang: kejayaan, kekuasaan dan kekayaan. Tetapi ironisnya,  di pulau St. Helena – karena dibuang dan diasingkan –  ia berkata, "Saya tidak pernah mengalami lebih dari enam hari bahagia dalam hidup saya."  Sementara Helen Keller (1880 – 1968)  – buta, tuli, bisu – mengatakan, "Saya telah menemukan bahwa hidup itu begitu indah!" Testimoni-testimoni mereka sebenarnya hendak memberikan penlajaran bagi  kita bahwa apa pun terpuruknya hidup kita karena musibah, pasti ada jalan keluarnya. "Setiap pangkal ada ujungnya!" kata seorang bijak. Atau bahasa religiusnya, "Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya" (Pkh 3: 11).  
          Musibah seyogianya menjadi "sahabat." Ajahn Bram dalam Horeee ! Guru Cacing Datang, bercerita, "Jika kita menginjak kotoran anjing, jangan buru-buru bersihkan sepatu Anda! Bawalah pulang kotoran itu dan bersihkanlah di rumah Anda  di bawah pohon mangga. Setahun kemudian, mangga Anda akan lebih manis, lebih ranum dan lezat dari sebelumnya. Ternyata, kotoran anjing yang paling bau dan paling kotor sekalipun bisa menjadi pupuk bagi mangga" (hlm. 162). Musibah seperti: nama jelek, difitnah dan dikhianati memang menyakitkan dan melumpuhkan diri kita. Tidak perlu kita "mengutuki" musibah yang kita alami. Kita juga bisa belajar dari pengalaman Ignatius dari Loyola (1491 – 1556)  yang berbaring sakit di benteng Pamplona  karena terluka. Untuk mengisi "waktu luangnya" ia minta bacaan roman. Namun yang didapatkan adalah buku Vita Christi (kehidupan Kristus) dan Flos Sactorum (Bunga rampai para Kudus). Awalnya ia tidak berkenan, tetapi akhirnya "menikmati" bacaan tersebut yang akhirnya membuat dirinya berbalik 180 ̊  menjadi pahlawan Kristus (Bdk. Sejarah Ordo Serikat Yesus tulisan A.M. Mangunhardjana SJ, hlm.14). Musibah membawa berkah!
          Tidak ada yang kebetulan di dunia ini. Musibah, bencana, tragedi, kecelakaan dan  penderitaan bisa menjadi "pelajaran berharga" jika kita menerimanya dengan ikhlas hati.  Dibutuhkan kesabaran dan tawakal. "Habis akal baru tawakal", sesudah berikhtiar, baru berserah kepada Tuhan.

Kamis, 30 Januari 2014   Markus Marlon  

Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com