Selasa, 21 Januari 2014

Hari Jadi

HARI JADI
(Kontemplasi  Peradaban)
 
          Beberapa bulan yang lalu saya sering membaca ucapan "Hari Ulang Tahun" atau "Dies Natalis" atau "Mauludan" namun sekarang yang sering saya dengar adalah "Selamat Hari Jadi." Hari Jadi ini adalah terjemahan dari  birthday.  Memang bayi yang lahir itu jadi – menjadi – manusia. Dan lagu yang kita nyanyikan biasanya "Happy birthday to you…Happy birthday to you!"  Lagu tersebut (Happy birthday to you)  pertama kali didengungkan pada tahun 1893 itu,  ternyata judul aslinya  "Good morning to all." Setelah 30 tahun, lagu tersebut mulai berkembang menjadi "Good morning to you" dan tahun 1935 dipatenkan oleh Jessica Hill dengan judul  "Happy Birthday" –  "Salamat hari jadi, salamat hari jadi…"  
          Kita tidak perlu gelisah bagi  yang jarang atau bahkan  tidak pernah merayakan Hari Jadi. Bahkan ibu saya  –  tepatnya: simbokku  – di Gunungkidul kalau ada orang yang tepuk tangan gembira dengan lagu-lagu "Happy birthday to you"  akan berkata, "Kowe ki dho nyanyi opo  to?" – kamu ini nyanyi lagu  apa sih?  Pada abad awal, hidup kerohanian pengikut ajaran Yesus lebih diarahkan kepada kebangkitan Yesus Krisus. Perayaan Hari Jadi saat itu dianggap sebagai suatu kebiasaan kafir, sebagaimana Firaun dan Herodes yang merayakan Hari Jadi. Orang Kristen merayakan hari kematian sebagai  Hari Jadi.
          Peristiwa kelahiran perlu disyukuri dan diberi makna, "Untuk apa aku dilahirkan di dunia ini." Jangan seperti Ayub yang mengutuki hari jadinya (Bdk. Ayb 3:1). Namun, ada juga seorang ibu yang sedih merayakan hari jadi dari putrinya. Setiap kali  ketambahan  umur, ibu itu menangis – sesenggukan –  di kamar, sebab putrinya pada usia yang tidak muda lagi belum juga menemukan jodoh.
          Sebuah buku yang berjudul  "Life Begins at Forty" bahkan menjadi semboyan hidup merupakan kepustakaan yang pantas untuk dibaca.  Tetapi saya juga pernah mendengar syair yang dinyanyikan oleh  The Beatles dengan judul, "Life begins forty four!"  Mungkin karena secara biologis dan psikologis, usia 40 tahun dianggap sebagai tolok ukur kedewasaan. Bahkan pada zaman dulu, ukuran biologis (misalnya: seperti jenggot) sangat berpengaruh.  Maka tidak mengherankan jika Brian Cavanaugh pernah bercerita demikian. Raja Spanyol mengirim seorang pemuda yang bijaksana untuk mengunjungi raja di negeri tetangga. Sesampai di istana yang menerima pemuda tersebut itu pun mencela, "Apakah kerajaan Spanyol telah kehabisan orang, sehingga memutuskan untuk mengirim seseorang yang belum tumbuh jenggotnya?" (Bdk.  Barbarosa  sampai Barbershop).
          Namun kita tidak boleh menutup mata bahwa Isaac Newton (1642 – 1727) memerkenalkan hukum gravitasi ketika berusia 24 tahun. Victor Hugo (1802 – 1885) menulis kisah  tragedy  pertamanya ketika berusia 15 tahun, Johannes Calvin (1509 – 1564) bergabung dengan gerakan Reformasi ketika berusia 21 tahun dan menulis karyanya yang terkenal "Institutio Christianae Religionis" ketika berusia 27 tahun.  Bagi orang Yahudi umur 50 tahun merupakan umur yang matang. Lalu orang-orang Yahudi berkata kepada Yesus, "Umurmu belum ada lima puluh tahun dan Engkau sudah melihat Abraham?" (Yoh 8: 57).
          Berapa pun umur manusia, perlu kita mensyukurinya.  Umur manusia itu memang di tangan Tuhan. Ada orang yang mati muda dan – katanya – belum banyak mengabdikan dirinya kepada sesama. Soe Hok Gie (1942 – 1969)  pernah menulis, "Nasib terbaik  adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda."  Barangkali tafsiran dari Gie adalah supaya kita memaknai hidup setiap waktu secara penuh  (fully human – fully alive).  Maka tepatlah kata-kata Salomo yang tidak meminta umur panjang atau kekayaan tetapi kebijaksanaan" (1 Raj 3: 11).  
          Akhirnya,  dalam kesempatan ini saya mengucapkan selamat merayakan Hari Jadi (happy birthday), Dirgahayu (Bhs. Skt:  dirghaayus.  Dirgham = Panjang dan  Ayus = Umur),  Ad multos annos,  selengkapnya: Vivat ad multos annos, ad summam senectutem – Semoga ia hidup panjang umur mencapai usia tertua. Pakatuan  wo pakalawiren – Semoga lanjut usia dan tetap lestari. Pakatuan   berasal dari kata dasar  tu'a  artinya: tua atau lanjut usia dan Pakalawiren berasal dari  lawir yang maknanya lestari atau abadi. Semoga Panjang umur dan sehat selalu!!

Rabu, 22 Januari 2014   Markus Marlon

Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com

Kamis, 16 Januari 2014

Menghargai Orang Lain

MENGHARGAI  ORANG LAIN
( M   o   t   I   v   a   s   I )
 
Seorang pemikir kenamaan Amerika,  William Lyon Phelps (1865 – 1943) pernah menulis kata-kata mutiara, "This is the final test of a gentleman. His respect for those who can be no value to him" – Inilah ujian akhir dari seorang pria sejati. Bagaimana dia menghargai orang-orang yang tidak terlalu penting baginya.
Kebanyakan orang suka bergaul atau bekerjasama dengan orang-orang yang setaraf dengannya. Itulah sebabnya, jika bertemu dengan orang yang lebih rendah, orang-orang  biasa meremehkan. Kadang orang semena-mena terhadap  pembantu,  office boy, pesuruh yang bertugas melayani kita. Mereka mengerjakan ini dan itu dan belum selesai ini sudah kita suruh utuk kerja itu (Bdk.  Luk 17: 10 "Kami adalah hamba-hamba yang tidak berguna; kami hanya melakukan apa yang harus kami lakukan").
Kita diajak untuk menjadi pribadi-pribadi yang memiliki sifat seperti  gentleman  di atas. Biarpun mereka adalah orang-orang yang tugasnya hanya sebagai pembantu, namun kita menaikkan derajatnya sebagai sahabat. Devitot  pernah mengatakan, "Never underestimate the meaning of friendship, cause in life we will not to able to walk alone without a friend."  – Jangan meremehkan arti persahabatan, karena dalam hidup ini kita tidak akan dapat berjalan sendiri tanpa seorang sahabat.
Menghargai orang lain atau memberi  respect merupakan keutamaan dalam hidup. Kata  respect itu berasal dari bahasa Latin  respicere yang berarti: mengarahkan pandangan atau memerhatikan. Orang lain atau "yang lain" itu berubah  menjadi  liyan. Kata ini berasal dari bahasa Jawa "liya"  yang berarti: berbeda atau lain. Perbedaan itulah yang memerkaya satu sama yang lain. Orang lain bukanlah sebagai "saingan" atau "musuh" bahkan "neraka" seperti yang dikemukan oleh Jean Paul Sartre (1905 – 1980). Dengan adanya orang lain, maka kebebasan seseorang terganggu. Pandangan filsuf  Prancis ini bertolak belakang dengan pandangan yang saling menghargai orang lain.  Atau lebih sadis lagi pepatah Latin yang berbunyi, "homo homini lupus"  yang berarti manusia adalah serigala terhadap sesamanya.  Dalam arti ini orang boleh bermusuhan, orang diijinkan untuk saling menjatuhkan bahkan orang hidup dalam kedengkian dan iri hati sehingga terjadi baku bunuh.
Sebagai makhluk sosial, kita tidak bisa hidup sendiri bagaikan pulau, "No man is an island."  Untuk itulah, Driyarkara (1913 – 1967) mencetuskan pepatah Latin yang berbunyi, "homo homini socius" yang berarti manusia menjadi sahabat bagi sesamanya. Sesama adalah pribadi-pribadi yang pantas untuk kita hormati dan hargai. Mereka datang sebagai sahabat bukan untuk diperas maupun dimanfaatkan. Maka tidak mengherankan jika Mother Teresa dari Calcutta  (1910 – 1997) berkata, "Jangan biarkan orang datang menemuiku jika saat dia pergi tidak menjadi lebih baik dan bahagia."
Jumat, 17 Januari 2013  Markus Marlon

Tulisan-tulisan Motivasi ini  sudah dibukukan yang terbit  2  bulan sekali. Sekarang sudah terbit edisi ke-4. Setiap Edisi ada 10 – 12  tulisan dan terbit 40 halaman.
Yang ingin mendapatkan buku-buku tersebut bisa hub:
E-mail: zahir.5561@gmail.com
Atau no HP: 0852.83.9955.61 atau 08964.8941.026


__._
Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com