Selasa, 31 Desember 2013

Waktu

WAKTU

(Refleksi Akhir Tahun)

          Untuk merenungkan makna akhir tahun ini, saya tercenung dengan dewa Kronos. Dewa ini sungguh jahat sebab menelan anak-anaknya (termasuk Zeus). Dewa Kronos takut kalau tahtanya direbut anak-anaknya. Namun ternyata anak-anak yang ditelan itu tidak mati dalam perut Kronos. Akhirnya pada suatu waktu Zeus (King of kings) itu membalas dan matilah Dewa Kronos.

Kronos adalah waktu. Maka di sana muncul kronik atau kronologi. Namun kita bisa membedakan menjadi waktu kronos dan waktu kharios yang artinya tahun rahmat. Waktu kharios itu muncul sewaktu Yesus berkotbah di bait suci di hadapan jemaat, "Tahun rahmat sudah datang."

Ketika saya ingin tahu hasil gula darah (karena sebagai diabetisi), saya akan ke Prodia. Tetapi ada tempat lain yang mengajak kita supaya segera memeriksakan darah yaitu namanya "Cito" dan jika kita buka Kamus Kedokteran dan ternyata cito itu  berarti "segera", "dalam waktu singkat". Cito adalah  laboratorium klinik  untuk pemeriksaan darah. Di sana juga ada dokter praktek dan Apotek. Lengkap sudah. Orang yang sedang sakit supaya selamat harus ditangani  dengan segera dan dalam waktu singkat, cito.

          Waktu memiliki dimensi yang berbeda bagi pelari 100 meter yang sedang bertanding dan mereka yang sedang pacaran. Bagi para pebisnis, waktu dianggap sebagai uang, "Time is money". Maka, para pebisnis itu selalu sibuk, "busy" dan dan penuh kesibukan, "bussiness"  sebab berkejar-kejaran dengan waktu.  Maka tidak heranlah jika ada pepatah Latin yang berbunyi, "Tempus fugit"  yang berarti waktu berlari. Kadang orang lupa untuk refreshing atau kumpul dengan keluarga dan mereka hanya sibuk dengan bisnisnya. Orang-orang juga lupa dengan apa yang telah ditulis oleh Pengkotbah, "Untuk segala hal dan segala pekerjaan ada waktunya" (Pkh. 3: 17).

          Dalam menyikapi waktu, sering muncul angan-angan seseorang, "Nanti kalau aku sudah.....". Misalnya, nanti kalau aku sudah menikah, aku akan rajin bekerja. Kalau aku sudah lulus S2, aku akan giat belajar. Nanti kalau aku sudah memiliki rumah mewah, aku akan rajin bersih-bersih rumah bla-bla-bla.  Apa artinya sudah menikah? Apa artinya S2 dan apa artinya memiliki rumah mewah? Kita lupa bahwa "tempus fugit." Karena itu, Plautus  (251 – 183 seb.M) yang dikenal sebagai penyair termasyur pada zamannya – dramanya yang paling terkenal: Amphitryon tentang kelahiran Hercules  –memiliki moto yang sangat memikat, "Age si quid agis"  –  "Jika melakukan sesuatu, lakukan segera."  Pepatah Inggris juga mempunyai pepatah yang indah  "Don't put off  till tomorrow what you can do today"  – "Jangan tunda sampai besok apa yang bisa Anda dapat kerjakan hari ini".

Kita memiliki budaya suka menunda  dan untuk pembenaran diri kita  berkata,  "Esok khan masih ada. Untuk apa tergesa-gesa, santai saja-lah!"  Orang Romawi dalam setiap pekerjaannya selalu berkata, "hic et nunc" – kini dan di sini. Sebuah tindakan yang terjadi dalam ruang dan waktu. Orang yang sudah terbiasa menghargai waktu akan mengerjakan dengan segera dengan apa yang sudah diprogramkan. Benar kata Eckhart Tolle, "Authentic human power is found by surrending to the now" – kekuatan autentik manusia bisa ditemukan ketika manusia ikhlas total pada masa kini. Mental "hic et nunc" di sini untuk meretas budaya instant – orang ingin segera cepat selesai atau ingin cepat ahli tanpa adanya belajar yang membutuhkan waktu.  Kualitas dari karya seseorang diukur dari keseriusan "menikmati" waktu demi waktu secara terus-menerus. Mengontemplasikan makna waktu tersebut, kita bisa merujuk pada Pepatah Latin,"Gutta cavat lapidem, non vi sed saepe cadendo"  –  Tetesan air melubangi batu bukan karena kekuatannya, tetapi karena menetes terus-menerus.

          "Tempus fugit!" Dan sebagai manusia kita tidak boleh ketinggalan waktu tersebut, ibaratnya hidup kita selalu di-update atau upgrade. Ovidius (43 – 17 seb.M) berkata, "Tempora mutantur, et nos mutamur in illis" – waktu berubah dan kita pun berubah karenanya. Ovidius mengajak kita untuk menyadari pentingnya melakukan perubahan pola pikir, mindset ataupun bertindak sesuai dengan tuntutan zaman. Suatu keharusan agar kita tidak ketinggalan zaman harus berani berubah. Orang bijak berkata, "Tidak ada yang abadi dalam hidup ini kecuali perubahan itu sendiri."   Kita tidak dapat menyangkal bahwa kasih,  perasaan, pekerjaan dan hidup itu sendiri selalu berubah.

"Tempus fugit!" Kehidupan manusia berlalu dengan cepatnya:
        Banyak sekali yang telah dilalui. 
        Ada yang lancar.
        Ada yang  penuh rintangan.
        Ada yang  penuh kegembiraan.
        Ada pula yang  penuh kegetiran.

        Semua pasti mengalaminya. Itulah kehidupan manusia. 

Semua ada waktunya. Umur produktif manusia pun ada batasnya. Ada waktunya kita berani melepaskan, "letting go" dan memberikan tongkat estafet kepada generasi muda. Untuk segala sesuatu ada waktunya. Alexander Agung (354 - 323 seb. M) ketika meninggal dunia pada usia muda, berpesan jika mangkat, supaya tangannya dibiarkan terbuka. Ini menunjukkan bahwa ketika orang wafat tidak membawa apa-apa (tangan kosong). Dalam sebuah renungan, Rm. Gregorius Hertanto Dwi Wibowo,MSC, berkotbah tentang, "Nunc dimittis". Simeon berani mengucapkan kata-kata, " Sekarang, Tuhan, biarkanlah hamba-Mu ini pergi dalam damai sejahtera, sesuai dengan firman-Mu" (Luk 2 : 29). Kitab Pengkhotbah menulis, "Ada waktu untuk lahir dan ada waktu untuk meninggal, ada waktu untuk menanam, ada waktu untuk mencabut yang ditanam" (Pkh 3:2).

        Saat kita berumur 20 tahun merasa sungguh enak kalau kita tampan atau cantik.
         Saat kita 30 tahun merasa sungguh enak andaikan kita kembali muda lagi.
        Saat kita 40 tahun merasa sungguh enak andai kita punya banyak uang. 
        Saat kita 50 tahun merasa ada kesehatan sungguh enak sekali. 
        Saat kita 60 tahun merasa untuk dapat hidup saja sudah sangat bagus. 
        Saat kita 70/80 tahun  merasa kenapa hidup ini serasa sangat singkat sekali. "Tempus fugit!!"

Selasa, 31 Desember 2013 - Markus Marlon
Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com

Rabu, 18 Desember 2013

Jiwa Manusia

JIWA  MANUSIA
( M   o   t   i   v   a   s   i )
 
          Ketika naik bus dari Jogja ke Semarang, ada seorang ibu hamil berdiri di lorong bus yang kami tumpangi. Menyaksikan  "pemandangan"  itu, tiba-tiba ada seorang pemuda yang memberikan tempat duduknya bagi sang ibu tersebut.  Meskipun pemuda itu tidak kenal  siapa ibu itu, namun ada rasa belas kasihan bagi orang lain. Ini yang dulu pernah dikatakan Cicero (106 – 43 seb. M),  "Animus hominis  semper  appetite  agere  aliquid" – Jiwa manusia selalu ingin melakukan sesuatu.
          Pada dasarnya, setiap manusia ingin hidupnya berguna bagi orang lain. Pepatah Kuno menulis, "Sebaik-baik manusia adalah mereka yang bermanfaat bagi orang lain." Maka tidak mengherankan kalau ada orang yang bunuh diri, karena merasa dirinya tidak ada manfaatnya bagi orang lain. Kemudian kita bertanya dalam hati, "Bagaimana perasaan seorang karyawan perusahaan yang kehadirannya tidak  dianggep oleh pihak pimpinan ataupun rekan kerjanya?" Tentu saja pengalaman ini bagaikan mimpi buruk di siang  bolong.
          Di sekitar kita banyak orang yang hidupnya diliputi tekanan maupun beban. Ketika pagi hari mulai bekerja di kantor, ada seorang karyawan yang murung-murung, di depan kantor ada tukang parkir yang sedih memikirkan  nasib anaknya yang hendak kuliah, orang yang termasuk badan pimpinan sedang dilanda duka karena anaknya terlibat narkoba. Mereka adalah orang-orang yang perlu kita sapa. Inilah yang menurut Emmanuel Levinas (1906 – 1995 ) disebut sebagai  epifani wajah (penampakan wajah). Levinas mengatakan bahwa wajah,  face  memberi perintah kepada setiap orang untuk bertanggungjawab atas yang lain,  the other.  Wajah duka, wajah tertekan, wajah sedih dan wajah berbeban berat  dapat kita lihat dari raut muka. Charles Stanley ( Lahir di Pittsylvania, Virginia, 25 September 1932) seorang  televangelist pernah berkata,  "Love always asks,'what is best for the other person?" – Kasih selalu bertanya apa yang terbaik untuk orang lain.
          Di sini kita perlu untuk berpaling kepada Yesus yang bersabda,  "What do you want me to do for you?" – Apa yang kamu inginkan  Kuperbuat bagimu?  Luar biasa, Yesus tahu secara pasti apa yang menjadi kebutuhan kita. Setiap orang memiliki kebutuhan (dibantu, ditemani, didengar, diakui dan masih banyak lagi). Dan bantuan kita – meskipun kecil – amat berguna bagi yang membutuhkannya.
          Pernah suatu kali ada seorang gadis yang bunuh diri. Dari surat yang ia tinggalkan ia menulis, "Saya sungguh-sungguh merasa sendirian. Aku hanya ingin didengarkan apa yang kurasakan, tetapi selalu saja  mama bilang sibuk dan sibuk."  Memang, penyesalan selalu datang terlambat.  Tetapi melalui  "pelajaran singkat ini" kita bisa berbuat sesuatu bagi orang-orang yang dekat dengan diri kita. Sekali lagi kita bermenung, "Kasih selalu bertanya apa yang terbaik untuk orang lain."
 
Rabu, 18  Desember  2013   Rm Markus Marlon MSC
Tulisan-tulisan Motivasi ini  sudah dibukukan yang terbit  2  bulan sekali. Sekarang sudah terbit edisi ke-4. Setiap Edisi ada 10 – 12  tulisan dan terbit 40 halaman.
Yang ingin mendapatkan buku-buku tersebut bisa hub:
E-mail: zahir.5561@gmail.com
Atau no HP: 0852.83.9955.61 atau 08964.8941.026

Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com

Minggu, 15 Desember 2013

Damai

DAMAI
(Kontemplasi  Peradaban)
 
          Mungkin kita pernah melihat atau menyaksikan sendiri bagaimana burung merpati terbang sambil membawa ranting  zaitun.  Ia bebas bergerak tanpa sekat pembatas geografis, suku, agama, budaya, status sosial dan bangsa. Dengan bebas ia membawa ranting zaitun sebagai simbol bahwa perdamaian itu universal (Bdk. Buku dengan judul  Ex  Latina  Claritas  tulisan Pius Pandor, hlm. 209).  Kita mungkin juga masih ingat Paus Yohanes Paulus II (1920 – 2005)  melepaskan 6 ekor burung  merpati di Asisi  pada tahun 1986. Kegiatan yang berlangsung  di Asisi bukan suatu  kebetulan, tetapi untuk menghormati  Fransiskus Asisi (1181/1182 – 1226)  sebagai pencinta damai (Bdk. The Canticle of The Creatures  atau  Canticle of The Sun  dengan syairnya, "Jadikanlah aku pembawa damai….").  Memang damai itu menjadi dambaan umat manusia, dan setiap orang bahkan bangsa senantiasa ingin mengusahakan perdamaian.
          Kata "damai" berasal dari bahasa Kawi, bÄ›dhama yang berarti: senjata, beliung atau kapak.  Kemudian muncul kata  bedhamen yang berarti: gencatan senjata, usia perang atau tenang kembali. Kini damai berarti tenang dan tidak ada perang. Mungkin kita ingat akan pepatah Latin yang berbunyi,  "Si vis pacem, para belum" – kalau ingin damai, siapkanlah peperangan. Ungkapan ini disanggah  Yohanes Paulus II, katanya, "Si vis pacem, para caritatem" – Jika mengingingkan perdamaian siapkanlah cinta kasih. Membaca kata damai, seolah-olah dalam hidup ini hanya menghendaki perang dan damai. Padahal sebenarnya, makna damai itu ada pelbagai macam. Ada orang merasa damai karena hidupnya "tidak bermasalah."  Orang ini juga merasa damai karena relasi dengan sesamanya  "aman-aman" saja.
          Jelaslah sudah bahwa makna damai itu tidak saja untuk melukiskan sebuah situasi yang tanpa perang, melainkan memiliki makna yang lebih luas. Agustinus (354 – 430) dalam  De Civitate Dei  XIX, 12 menegaskan bahwa perdamaian adalah apa yang dirindukan oleh setiap orang bahkan oleh setiap makhluk. Menurutnya ada tiga dimensi perdamaian yakni: dimensi personal yaitu berdamai dengan diri sendiri. Dimensi sosial yaitu berdamai dengan sesama baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat.  Dimensi teologal yaitu berdamai dengan Allah.  Pius Pandor dalam bukunya yang berjudul  Ex Latina Claritas  menulis, "Tatanan perdamaian berawal dari adanya keselarasan antara bagian-bagian dalam diri manusia, kemudian bergerak menuju komunitas dunia  (civitas terrena) hingga memuncak pada komunitas surgawi atau komuntas Allah  (civitas Dei). Dalam komunitas surgawi itu manusia menikmati Allah dan satu sama lain dalam Allah (societas fruendi Deo et invicem in Deo).
          Hidup kita di dunia  ini berharap sekali untuk damai seperti yang dikatakan Agustinus. Rasa damai itu menjadi impian banyak orang.  Dalam Kitab Suci (baik Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru),  pax, syalom dan  damai seolah-olah menjadi primadona. Sastrawan Romawi Kuno, Ovidius (43 seb.M – 17/18 M)  dengan tegas menulis,  "Candida pax homines trux decet ira feras" – Yang  pantas bagi manusia adalah perdamaian, sementara yang pantas untuk binatang buas adalah kegarangan yang buas. Maka tidak heranlah jika Sang Raja Damai senantiasa dinanti-natikan, "Datanglah ya Raja Damai" (Bdk. Yes 9: 5). Semoga Kedamaian hati senantiasa menyertai kita. Amin.
 
Sabtu, 14 Desember 2013  Markus Marlon
(Sudah dipublikasikan di Majalah Warta Keluarga Chevalier)

Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com