Rabu, 28 Agustus 2013

Guru

Guru
(Sebuah Tanggapan untuk Ferry cum suis)
 
          Stef Tokan – setelah membaca tulisan Ferry Doringin – mengajak kita untuk berdiskusi dan dari sana muncul bapak Felix, Jimmy, Bapak Oce. Saya akan mencoba untuk tambah-tambah sedikit.
          Melihat sosok guru, terlintas dalam benak saya seorang bapak-ibu guru yang sederhana serta  naik sepeda unta,  seperti lagu yang berjudul, "Umar Bakri." Namun pada zaman itu, guru sungguh-sungguh  menjadi pribadi yang bisa  digugu dan ditiru  yang artinya: dipercaya dan diteladani. Seperti  dalang yang memiliki makna medar piwulang, artinya:  orang yang membuka rahasia ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, guru, dalang, kiai  adalah orang-orang yang pantas dicintai dan disegani. Jika ada orang memunyai masalah, mereka itu yang menjadi  jujugan (tempat bertanya). Guru memiliki posisi yang dihormati dan disegani.
"Tempora mutantur et nos mutamur in illis" – waktu itu berubah dan kita pun ikut berubah di dalam kurun waktu itu. Demikian pula ada perubahan posisi guru pada zaman ini. Untuk memosisikan seorang guru seperti yang dicita-citakan oleh Ki Hajar  Dewantara (1889 – 1959), seorang pelopor pendidikan yang mendirikan sekolah Taman siswa pada tahun 1922  yang memiliki  semboyan "Tut wuri handayani", atau aslinya: ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Arti dari semboyan ini adalah: tut wuri handayani (dari belakang seorang guru harus bisa memberikan dorongan dan arahan), ing madya mangun karsa (di tengah atau di antara murid, guru harus menciptakan prakarsa dan ide), dan ing ngarsa sung tuladha (di depan, seorang pendidik harus memberi teladan atau contoh tindakan yang baik). 
Kayaknya  sulit  deh memiliki guru seperti itu. Sering dalam media massa atau media elektronik, kita melihat atau membaca kehidupan  guru-guru yang – maaf – hidupnya ekonominya  pas-pasan,  cenderung ngos-ngosan, bahkan ada yang punya  sambilan menjadi tukang ojek. Untuk itulah, menjadi guru bukan menjadi pilihan favorit. Bahkan orang tua saya yang guru malah memberi nasihat, "Tole  anakku, jangan mau menjadi guru."  Anak-anak SD, jika ditanya tentang cita-citanya tentu yang muncul adalah, "Saya ingin jadi dokter, pilot, insinyur…" Menjadi guru seolah-olah tidak ada dalam pikiran mereka.
Bapak Oce secara jelas menulis bahwa menjadi guru bukan menjadi kebanggaan dengan mengatakan, "cuma guru!"  apalagi para guru – yang oleh Bapak Felix –  diberi "hadiah" himne guru yang pada akhirnya disebut sebagai "pahlawan tanpa tanda jasa."  Menjadi guru seolah-olah mengabdi atau menjadi abdi, pelayan yang tentu beda dengan insinyur, pilot maupun dokter dan direktur Bank.
Namun di lain pihak kita harus menyadari bahwa guru juga menjadi kebanggaan bangsa. Guru bangsa yaitu  alm. Nurcolis atau  Cak  Nur begitu bangga dengan menjadi guru.  Zaman kita ini banyak guru-guru yang pantas diteladani. Orang-orang seperti Jansen Sinamo - guru ethos Indonesia, Pri GS -  budayawan yang menggoda Indonesia, Andre Wongso - motivator no. 1 Indonesia sangat bangga  menyebut diri mereka  guru. Mereka adalah guru-guru yang berkualitas yang oleh  Jimmy Pontoan disebut sebagai guru yang berintegritas dan oleh Bapak Felix disebut sebagai sincere.   Sine  artinya tanpa dan cere artinya lilin. Zaman dulu kalau orang membeli patung itu tidak mau yang ada lilinnya atau plitur. Lilin sebagai penutup kayu yang berlobang atau rusak. Sincere diartikan sebagai tulus atau  lurus hati (Bdk. St. Josef si lurus hati).  Guru yang berintegritas dan sincere itu seperti yang dicita-citakan oleh Ferry Doringing: berkualitas dan tidak mau menerima suap (Baca juga Tulisan  L. Wilarjo yang berjudul, "Mutu Dosen."  Dalam Kompas 24 Agustus 2013).
Mengontemplasikan tentang  makna guru, saya menjadi ingat akan pencarian Telemachus putra mahkota dari Penelope  dan Odysseus Raja Itacha. Homerus (± abad VIII seb.M) mengatakan bahwa pada saat mencari ayahnya, Telemachus  dibimbing oleh "burung" yang adalah Sang Dewa. Oleh Homerus itu disebut  mentor  dan bukan  teacher.   Dari sini, saya berpendapat bahwa zaman sekarang ini para murid atau mahasiswa  "sudah tahu banyak hal"  dengan adanya kemajuan tehnologi. Maka tidak mengherankan jika Bapak Felix lebih senang disebut sebagai guru yang baik daripada guru yang pintar. Guru-guru zaman sekarang mungkin baik kalau berkaca kepada "Pencarian jati diri dalam diri Telemachus."  Mereka membutuhkan  mentor, pembimbing, teman seperjalanan (companion) dan  saya lebih senang menyebut  guru sebagai  soul-friend  dari para muridnya.

Kamis, 29 Agustus 2013   Markus Marlon



Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com

Selasa, 27 Agustus 2013

MENUNDA  ITU BAIK
(Kontemplasi Peradaban)
 
Belum lama ini (01 Agustus 2013), saya jalan-jalan di Senayan Plaza. Sementara mengadakan  window shoping, saya membaca sebuah  tulisan  indah di kaca, "Don't put off  the work until tomorrow " – Jangan menunda pekerjaan  sampai besok.
         
Tetapi tiba-tiba ada seorang karyawan   cleaning service yang berkata, "Tapi ada  lho  menunda yang baik."  Karena penasaran dengan pernyataan itu, maka saya bertanya dan jawabannya adalah:  "Menunda untuk marah!!"
         
Kata, "menunda", "tunda"  dan "ditunda"  atau "tertunda" adalah kata-kata yang –kalau bisa – dihindari. Seorang GM (General Manager) paling anti melihat karyawannya menunda pekerjaan. Seorang pecandu bola,  tentu alergi melihat siaran tunda pertandingan  bola kaki  Liga Eropa  dan para calon penumpang tidak suka mendengar  kata  delay dalam pengumuman-pengumuman di bandara.

Pengalaman tersebut di atas hendak melukiskan bahwa  seolah-olah  menunda itu merupakan sesuatu yang tidak baik.  Padahal kalau kita jujur, kata-kata pembersih lantai  (cleaning service) itu memunyai dasar yang kuat.  Ternyata Seneca, nama lengkapnya: Lucius Annaeus Seneca (4 seb. M – 65), penyair Romawi Kuno,  pernah menulis,  "Obat paling mujarab bagi kemarahan adalah menundanya."  Nabi Muhammad SAW (570/571 – 632) senantiasa mengajak para sahabatnya untuk sabar dan tidak mudah marah. Siddarta Budda Gautama (563 – 483 seb.M) mengendalikan pikiran-pikirannya yang tidak teratur dengan melakukan meditasi.  Di Taman Getsemani, dalam peristiwa penangkapan, Yesus  menyuruh Petrus untuk menyarungkan pedangnya (Yoh 18 – 19: "Kisah sengsara Yesus Kristus").  Dengan sabar dan berdiam diri serta menunda, maka emosi-emosi yang tidak teratur itu bisa normal kembali.
          Orang yang sedang marah, dikuasai oleh emosi. Nafas berdetak bertambah cepat dan kalau berbicara suaranya bisa tinggi. Jika ia berkata-kata, akan meledak-ledak serta tidak terkontrol.   Kalau seseorang  dalam situasi yang demikian, baiklah ia bernafas dalam-dalam, minum air dingin dan duduk tenang barang sejenak. Baiklah ia  menunda untuk berbicara. Inilah tindakan yang bijaksana.  
         
Ada seorang karyawan yang yang dimarahi  boss-nya. Membalas marah apalagi  memaki-maki  boss-nya  face to face, jelaslah tidak mungkin. Maka,  way out-nya adalah karyawan itu menulis semua  uneg-uneg-nya  dan dituangkan dalam surat dan dimasukkan dalam amplop serta siap sedia dikirim.  Ia merasa lega dan ini merupakan  salah satu bentuk  catarsis. Tetapi karena waktu sudah menjelang malam, maka surat itu pun tertunda pengirimannya dan dimasukkan ke dalam laci meja kerja.
         
Esok paginya, karyawan itu membuka amplop itu dan membaca surat tulisannya sendiri. Betapa malu dirinya terhadap apa yang ditulis: maki-makian kampungan  dan seolah-olah bukan tulisan seseorang yang pernah mengecap bangku sekolah.  Setelah membaca surat itu, disobek-sobeknyalah surat itu  dan berkata dalam hati, "Syukurlah surat ini tertunda untuk dikirim. Kalau tidak, tentu akan terjadi kejadian yang tidak diinginkan. Dunia kiamat!"
         
Ada lagi, sepasang suami-istri muda yang sudah bertahun-tahun menunggu buah hatinya namun belum juga kunjung tiba.  Mereka berdua menghadap Bapak Pendeta  dan minta pendapat, apakah Allah tidak mendengarkan doa-doanya. Jawaban Bapak Pendeta itu sungguh memukau. Katanya, "Saat-saat ini, kalian berdua belum siap untuk menerima 'tamu'  dari Allah. Nanti, setelah semuanya siap, pasti doa itu pun akan dikabulkan."
         
Tiga tahun kemudian, ibu muda itu pun mengandung. Kemudian sepasang suami-istri itu pun datang kembali ke Bapak Pendeta untuk mengucap terima kasih. Dengan penuh kewibawaan rohani, ia  berkata, "Allah sengaja menunda mengabulkan doa-doamu. Setelah rumah tangga kalian  save, kalian sudah saling melayani dan menghargai sebagai suami-istri, baru Allah memberikan yang terbaik."
          Kemudian, suami-istri muda itu pun berkata, "Kalau begitu menunda  itu baik  ya pak!!"

Senin, 26 Agustus 2013   Markus Marlon
         
Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com

Senin, 19 Agustus 2013

KEMERDEKAAN  BERSEKOLAH

Membaca dan merenungkan tulisan Dr. Ferry Doringin (19 Agustus 2013) yang berjudul, "Kemerdekaan Bersekolah"  memrovokasi saya untuk memberikan sebuah tanggapan. Judul tersebut di atas oleh Mgr. J. Sunarko SJ diubah – atau lebih tepatnya – disempurnakan dengan judul, "Sekolah Kita Menindas Atau Memerdekakan Anak?"
         
Pertama-tama, Ferry memunculkan tokoh pendidikan sekaligus Mentri Pendidikan pertama yaitu Ki Hajar Dewantara (Yogyakarta, 2 Mei 1889 – 28 April 1959) yang mengatakan bahwa pendidikan merupakan sarana untuk merdeka, bebas dari penjajahan.
         
Pendidikan – menurut saya –  lebih luas dari pada pengajaran. Untuk itu pada saat itu, Ki Hajar Dewantara me-wanti-wanti  supaya Mentri Pendidikan itu diganti dengan Menteri Pengajaran. Alasannya, sekolah hanya dilaksanakan dari pagi sampai siang dan selanjutnya anak-anak pulang ke rumah "diajar" yang lebih tepatnya dididik dalam keluarga sendiri.
         
Pendidikan,  diterjemahkan dari  Educare  (yang sekarang menjadi Majalah Pendidikan KWI).  Arti educare itu sendiri adalah  ex – ducere  (ex = keluar dan ducere = membawa).  Jadi  educare berarti membawa keluar dari dirinya sendiri. Memerdekan dari keterkungkungan diri atau merdeka dari belenggu. Dari situlah, pendidikan seharusnya dibuat secara utuh, integrity  atauholistic.  Dan di situlah yang ideal adalah pendidikan berpola asrama seperti di  Seminari-seminari atau pondok pesantren-pondok pesantren. Namun ada juga orang tua yang lebih suka dengan pendidikan  a la  homeschooling. 
         
Mengenai yang satu ini – homeschooling – saya menjadi ingat seorang anak bernama Thomas Alva Edison (Ohio, 11 Februari 1847 – New Jersey 18 Oktober 1931) yang memiliki kisah menarik dalam dunia pendidikan.  Ketika Thomas kecil sekolah di Sekolah Dasar, oleh gurunya ia dipandang sebagai anak yang bodoh, maka dikembalikan kepada orang tuanya.  Dan dengan penuh ketekunan, ibunya  "mengajar" dan "mendidik"  Thomas itu. Ternyata dia memiliki daya kreativitas yang luar biasa – bahkan yang tidak dimiliki oleh kawan-kawan sebayanya. Coba bayangkan, seandainya pada waktu itu para guru  "mengajar" Thmas dan disamakan dengan teman-temannya, tentu ia akan menjadi anak yang terkungkung atau terbelenggu,  bahkan menurut bahasa Mgr. J. Sunarko  sebagai "ketertindasan pendidikan."
         
Sekolah itu dari kata  schola yang artinya waku senggang. Maka benar apa yang dikatakan Paulo Freire (Brazil, 19 September 1921 – 2 Mei 1997) bahwa pendidikan bisa membelenggu para siswa. Guru menjadi subyek dan sumber pengetahuan dan murid sebagai penerima pengetahuan. Ferry menulis, "Inilah penindasan dalam dunia pendidikan.  Pendidikan yang benar: guru dan murid sama-sama menjadi subyek, berkomunikasi timbal-balik dan melahirkan pengetahuan," Barangkali inilah yang disebut  CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif) atau menurut Mangunwidjaja (Ambarawa 6 Mei 1929 – Jakarta, 10 Februari 1999) dalam sekolah di Mangunan – Jogjakarta, " para siswa diajari untuk bertanya."  Anak-anak yang bertanya berarti mereka tahu konteks dan belajar berpikir sendiri (Bdk. "Sapere aude"  yang berarti: Beranilah untuk – mencari tahu – berpikir sendiri. Semboyan ini ditulis oleh Horatius, Sastrawn Romawi Kuno yang lahir di Venosa, 65 – 8 seb.M).
         
Para siswa yang bersekolah atau mencari ilmu itu sudah selayaknya dididik atau dibina untuk menjadi manusia yang mandiri dan bebas. Ada seorang siswa yang sejak kecil ingin menjadi montir.  Oleh orangtuanya, si anak  dipaksa harus sekolah untuk  menjadi dokter. Benar, anak itu sekolah dan hingga mendapatkan gelar dokter. Tetapi selama sekolah, angan-angan anak itu adalah menjadi montir. Maka, ketika lulus,  ia pun berkata  kepada orangtuanya, "Ma-Pa. Ambillah kertas tanda lulus sebagai  dokter yang  mama-papa  inginkan. Si Anak yang dewasa itu pun berkata,  "Tahukan  ma-pa, bahwa selama  study  batin saya tertekan dan saya terbelenggu. Sekarang saya akan belajar sendiri dan akan menjadi montir.  Di sanalah saya menemukan kemerdekaan dan kebahagiaan."

Pepatah Latin, non scholae sed vitae discimus, ini kalau diterjemahkan secara bebas berarti:  belajar di sekolah itu bukan untuk mengejar ijazah, tetapi agar orang dapat hidup dengan baik dan benar. Pepatah di atas diucapkan Seneca ( 4 seb. M – 65 ) dalam suratnya kepada  Lucius (Epistolae 106, 11).  Ia lahir di Spanyol dan menjelang dewasa, ia  mutasi ke Roma. Ia disegani karena memiliki ilmu pengetahuan yang luas tentang dunia politik, kritis dalam menilai situasi yang terjadi dan mampu merumuskan gagasan-gagasannya secara sistimatis. (Bdk. Pius Pandor dalam Ex Latina Claritas, Dari Bahasa Latin Muncul Kejernihan).

Paul Engrand pada tahun 1970 sebenarnya telah mengemukakan konsep pendidikan sepanjang hayat,  lifelong education.  Namun, sebenarnya sekitar 1.500 tahun  yang lalu, junjungan kita, Nabi Muhammad SAW (570 – 632)  pernah menyampaikan  piwulang bahwa belajar memang seharusnya sejak dalam buaian sampai ke liang lahat,  from cradle  to the grave. Kata bijak dari Cina juga menyatakan, "Jika engkau ingin berinvestasi sepanjang hayat tanamlah manusia (didiklah manusia)".  Sang Nabi dalam  hadits-nya juga bersabda, "Tuntutlah ilmu walaupun sampai ke negeri China."
 
Senin, 19 Agustus 2013  Markus  Marlon
 
Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com

Jumat, 16 Agustus 2013

MERDEKA
(Kontemplasi  Peradaban)
 
Waktu di Pineleng – Sulawesi Utara (16 Agustus 2012), saya pernah mendengarkan anak-anak yang menyanyikan sebuah lagu menjelang upacara bendera tujuhbelasan. Anak-anak itu  bernyanyi, "Enam belas  Agustus tahun empat lima."  Sambil diliputi ketertegunan saya pun berkata, "Hei-hei  anak-anak, syair lagu  itu salah."
Dengan lantang anak-anak pun meneruskan bernyanyi, "Besoknya hari kemerdekaan kita!"

Sambil geleng-gelang kepala, saya pun berkata, "Merdeka betul anak-anak itu. Bebas mengubah syair!"
Kata  merdeka   berasal dari bahasa sansekerta, Maharddhika  itu memiliki arti: berdiri sendiri (bebas dari perbudakan dan  penjajahan). Namun, kata merdeka juga bermakna: lepas atau terhindar dari tuduhan dan tuntutan.

Setiap orang tentu menginginkan merdeka dalam hidupnya  yang tentunya bebas dari pelbagai tekanan dari luar. Dari keinginan tersebut, tidak heranlah kalau setiap negara berharap memproklamirkan diri sebagai negara yang merdeka (independence) yang bebas dari kolonialisme.  Dan untuk menebus kemerdekaan tersebut, para pahlawan harus membayar  dengan mahal, yakni dengan gugurnya di medan perang.

Revolusi Prancis (1789) meletus, karena rakyat ingin merdeka dari kungkungan  "raja yang lalim." Keinginan untuk memperjuangkan kemerdekaan  (liberté), persaudaraan (fraternité) dan persamaan hak  (egalité) itulah yang mendorong rakyat membobol penjara Bastille sebagai symbol keangkuhan kerajaan.

Jika kita meneropong ke belakang, kisah-kisah peradaban dunia menegaskan bahwa manusia itu "sejak dahulu hingga detik ini  terbelenggu."  Edit Hamilton dalam bukunya yang berjudul  Mitologi Yunani  misalnya,  mengisahkan tentang Dewa Atlas yang seumur hidupnya memanggul globe (dunia). Atau kisah Sisyphus yang dihukum oleh  Zeus. Di  Hades, Sisyphus dihukum untuk mendorong sebuah batu besar ke puncak bukit dan ketika batu itu dijatuhkan lagi ke bawah, ia harus kembali mendorongnya dan begitu seterusnya. Dalam jiwa mereka (Atlas dan Sisyphus) yang ada hanyalah suatu kemerdekaan, namun tidak pernah diraihnya.

Novel yang berjudul  Scarlet's Letter menggambarkan seorang wanita yang kedapatan berzinah. Dan oleh masyarakat ia harus mengenakan sebuah baju dengan huruf  "A" yang adalah  adultery – perzinahan. Stigma itu begitu membelenggu seumur hidupnya, seolah-olah yang berbuat salah akan tetap berbuat salah. Atau Scarlett Ohara,  seorang tokoh dalam  novel yang berjudul  Gone With The Wind  tulisan Margareth Mitchell, yang setelah menjadi janda harus mengenakan pakaian hitam setiap hari entah sampai kapan. Sungguh belenggu yang memilukan hati.

Mengontemplasikan makna merdeka, saya menjadi ingat kisah-kisah tentang perbudakan maupun orang-orang Yahudi di kamp-kamp konsentrasi.  Bagi mereka kemerdekaan itu menakutkan.  Lalu kita bertanya, "Kenapa?"

Konon, orang-orang kulit hitam Amerika yang diberi kebebasan dari perbudakan sesudah berakhirnya Perang Saudara. Namun ternyata mereka  sulit beradaptasi dengan kehidupan barunya,  karena sudah terbiasa bergantung pada tuan-tuan mereka. 

Orang-orang Yahudi yang lolos dari  holocaust  seusai Perang Dunia II agak berbeda situasinya. Meski secara fisik sudah merdeka, namun trauma yang disebabkan pengalaman di kamp konsentrasi tidak pernah hilang dalam ingatan. Ternyata , kemerdekaan itu tidak kalah menakutkan daripada hidup di kamp konsentrasi, sebab keluarga dan kehidupan mereka  telah hancur akibat perang dan mereka tidak tahu harus ke mana.

Manusia, dalam hidupnya tidak pernah lepas dengan relasinya dengan orang lain. Bagi Paul Sartre (1905 – 1980), kehadiran orang lain itu sebagai  belenggu. Kita hanya bisa berelasi dengan orang lain dengan menjadikan mereka objek, sembari dilanda kecemasan bahwa diri kita pun oleh orang lain juga direduksi menjadi objek (Bdk.  Mingguan Hidup 18-8-2013).  Orang pernah berkata, "Bagaimana perasaan seorang bawahan dihadapan atasan?" atau "Bagaimana seorang isteri harus minta ijin suaminya ikut arisan di luar  kota?"  Bagi mereka yang mendambakan kemerdekaan, orang lain itu bagaikan "pemegang aturan  yang membelenggu."

"Mereka   yang terbelenggu"  memandang sesama atau  liyan  sebagai orang-orang yang bisa menyakiti secara fisik maupun psikis. Setiap kali berhadapan dengan  liyan, kemerdekaan mereka terbatasi.  Tetapi  Eleonore Rosevelt (1884 – 1962),  berpendapat bahwa setiap orang memiliki kemerdekaan sendiri-sendiri. Ia berkata, "Mereka tidak bisa menyakitiku tanpa seizinku!"

Jumat, 16 Agustus 2013  Markus Marlon
 

Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com

Minggu, 11 Agustus 2013

Berani Memulai

BERANI  MEMULAI
(Kotemplasi  Peradaban)
         
Ada seorang yang memiliki ide untuk mendirikan usaha penerjemahan di belakang kampus Atma Jaya – Jakarta.  Semua yang direncanakan sudah  okey. Tetapi sudah tiga  bulan ini, usaha  –  yang telah lama diimpikan itu  – belum juga terwujud.

Setelah saya konfirmasi kepada orang yang pertama kali  memiliki ide itu, dia berkata bahwa dirinya belum berani mulai.

Memang tidak mudah memulai sesuatu. Sebagai contoh saja, seorang mahasiswa yang hendak membuat skripsi. Kata pertama untuk memulai sepertinya sulit keluar dari otak. Namun setelah menulis  – mungkin pada  halaman 5 atau 10 – kalimat demi kalimat  mengalir tidak terbendung.

Mungkin kita pernah mendengar istilah Columbus's egg – telur  Columbus. Alkisah ketika Christopher Columbus (1451 – 1506) menemukan benua Amerika, ada banyak orang yang iri hati atas keberhasilannya itu. Menghadapi keirihatian mereka, Columbus pun menantang mereka untuk menentukan siapa yang lebih baik. Katanya, "Barangsiapa bisa membuat telur rebus berdiri tegak di atas meja, maka  saya rela  menyerahkan seluruh gelar dan kekayaan kepada sang pemenang."

Satu  per satu orang-orang yang itu itu mencobanya, namun tidak ada yang berhasil karena bentuk telur yang hampir  bundar itu. Mereka pun menyerah.
         
Kini giliran Columbus. Ia mengambil telur itu, meletakkannya di atas meja sambil tetap memeganginya. Kemudian dengan tangannya yang lain, ia menekan bagian atas telur itu sehingga bagian bawahnya retak dan menjadi pipih, sehingga telur itu dapat berdiri tegak di atas meja.
         
"Ah  kalau begitu kami juga bisa melakukannya,"  ucap mereka dengan sinis. Sambil tersenyum,  Columbus  pun berkata, "Lalu mengapa kalian tidak memulainya?"
         
Memulai suatu usaha baru,  seringkali juga banyak tantangan. Apa yang menjadi  "impian"  tercampur-baur dengan hal-hal yang tidak mendukung, sehingga membuat kita kehilangan arah (disorientation).

Pengalaman  H.C. Andersen (1805 – 1875) telah mengajarkan kepada  kita. Sewaktu memulai  "pencarian jati dirinya," Andersen ingin menjadi orang terkenal. Maka, ia mulai mencoba bermain teater, menyanyi, bahkan menari. Di tengah-tengah pergumulan hidup, ia mulai menulis dongeng-dongeng  (yang  menjadi passion  sebenarnya). Melalui tulisannya itu, Andersen mulai dikenal luas. Kini, kita boleh bersyukur sebab bisa menikmati dongeng-dongengnya seperti: The Tinderbox, The Princess and the Pea, Thumbelina, The Little  Mermaid  dan The Emperor's New Clothes.
         
Untuk mencapai kesuksesan, seseorang tidak boleh  ber-leha-leha  atau santai, melainkan perlu usaha yang yang keras bahkan sampai  "berdarah-darah."  Pepatah Latin yang berbunyi,  "per ardua ad astra –  bersusah payah untuk sampai ke bintang, rupanya tepat untuk melukiskan makna  "memulai" sesuatu.  Dan untuk itu,  diperlukan usaha serta optimisme yang tinggi.  "No gain, without pain"  – Tidak ada keberhasilan yang dapat diperoleh tanpa usaha dan kerja keras.  Pencapaian-pencapaian seseorang tidak dilakukan semudah  membalikkan  telapak tangan, melainkan penuh ketekunan dan bertahan dalam kesukaran.  Seperti kata miliuner terkenal dari Amerika Donald Trump (Lahir: Queens – New York City, 14 Juni 1946), "Without passion you don't have energy, without energy you have nothing."

Senin 5 Agustus 2013  Markus Marlon
 
 

Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com

Jumat, 09 Agustus 2013

Kekuatan Dalam Diri

KEKUATAN  DALAM  DIRI
(Kontemplasi  Peradaban)
         
Belum lama ini, saya kedatangan  tamu yakni seorang ibu yang merasa hidupnya berbeban berat. Dia mengatakan bahwa dirinya setiap hari itu  deg-degan.
         
Katanya, "Bagaimana tidak  deg-degan, kalau setiap hari tetangga sebelah belanja  selalu di  mall. Dan secara  periodic,  keluarga tersebut  belanja peralatan rumah tangga yang mahal-mahal. Tentu saja ini membuat konsentrasi saya buyar dan hidup tidak tenang."
         
Melihat  "kelebihan"  orang lain, tanpa mensyukuri kemurahan Tuhan yang sudah dialami dalam diri sendiri, tentu akan membuatnya "sakit."  Ini yang kita sebut juga sebagai iri hati. Orang yang iri hati itu ibarat berkumur dengan dengan racun. Ia tidak langsung mati keracunan, melainkan pelan-pelan racun itu ada yang masuk dalam tubuhnya dan menjadi penyakit.  Nicky Gumbel (Lahir tahun 1955 di London),  seorang pendeta Anglikan  pernah menulis, "Don't  focus on the things you don't have. Focus on the things you do have and the reasons to be grateful" –  Jangan berfokus  akan hal-hal yang tidak Anda miliki. Fokus akan hal-hal yang Anda miliki dan alasan-alasan untuk bersyukur.
         
Sebagai makhluk sosial, –  seperti apa yang ditulis oleh John Donne (1572 – 1631),  No man is an island –   kita setiap hari bersinggungan dengan orang lain atau  liyan.  Beberapa ratus tahun yang lalu, ungkapan tersebut sudah ditulis oleh Pengkhotbah,  "Dan aku melihat bahwa segala jerih payah dan segala kecakapan dalam pekerjaan adalah iri hati seorang terhadap yang lain. Inipun kesia-siaan dan usaha menjaring angin" (Pkh  4: 4). Iri hati terhadap milik orang lain menjadi penyebab seseorang tidak bisa fokus kepada miliknya, padahal apa pun yang kita miliki adalah pemberian Tuhan.
         
Orang-orang yang berjiwa besar mampu berdamai bahkan mengajak kerja sama dengan orang-orang yang  "berseberangan."  Mungkin orang yang berseberangan dengan kita  itu bahkan  pernah menjadi sasaran iri hati. Raden Adjeng Kartini (1879 – 1904),  misalnya pernah terbersit dalam hatinya merasa iri terhadap orang-orang  Eropa yang bebas berpendapat.  Kartini berusaha bersahabat dengan mereka dengan mulai berkorespondensi.  Ia mulai membaca buku, koran dan majalah-majalah  Eropa yang membuatnya tertarik dengan kemajuan berpikir perempuan Eropa.  Daripada iri hati, Kartini berupaya sekuat tenaga mengerahkan energinya untuk  berprestasi.
         
Orang-orang yang berjiwa besar – sekali lagi – tidak ada waktu untuk memikirkan kejelekan atau iri hati terhadap orang lain, sebaliknya mereka berupaya berbuat sesuatu bagi sesama. Florence Nightingale (1820 – 1910) – pelopor bidang keperawatan – yang juga dijuluki sebagai  the lady  with the lamp  merupakan sebutan untuk wanita yang tanpa kenal takut mengumpulkan para korban perang  krimea di Rusia.  Seandainya dirinya  "sibuk" mengurusi rasa iri hati terhadap orang lain dan berusaha untuk melebihi orang lain, tentu namanya tidak seindah sekarang.  

Adalah sia-sia belaka, jika kita ingin mengubah orang lain. Leo Tolstoy (1828 – 1910) mengatakan bahwa semua orang berpikiran untuk mengubah dunia. Tetapi tidak seorang pun berpikir untuk mengubah dirinya sendiri.

Kunci dari itu semua adalah mengucap syukur atas apa yang sudah dimiliki.  Orang yang sudah mengenal diri sendiri (kelebihan dan kekurangan) akan lebih mudah untuk menjalankan misinya.  "Nosce te ipsum" – kenalilah dirimu sendiri  –  sebuah semboyan yang merupakan terjemahan Latin dari kalimat Yunani "gnothi seauton" ini mengajak umat manusia untuk melihat kekuatan dalam diri.

Jumat, 02 Agustus 2013   Markus Marlon

Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com

Selasa, 06 Agustus 2013

Menunggu

MENUNGGU
(Kontemplasi Peradaban)
         
Ada seorang nona yang melamar pekerjaan pada sebuah perusahaan. Setelah psikotes dan  interview berakhir, dia dimohon untuk menunggu. Penguji berkata, "Saudari harap menunggu panggilan kami. Tetapi jika ternyata, saudara dipanggil dan  tidak memenuhi panggilan kami, maka kursi saudara akan diisi oleh orang lain."

Apa yang dialami pelamar kerja itu tentunya menimbulkan gejolak jiwa yang penuh dilemma. Jika ia hanya menunggu di rumah saja, maka akan muncul kebosanan, namun jika keluar kota, ia kuatir "kursi"-nya akan diduduki palamar lainnya.

Menunggu adalah pengalaman yang tidak menyenangkan. Lihat saja bagaimana gelisahnya di sebuah bandara yang mendengar bahwa pesawat yang akan ditumpangi mengalami gangguan teknis dan harus  delay. Semua calon penumpang langsung bermuram durja. 

Menunggu juga dialami oleh Penelope istri Ulysses. Paulo Coelho dalam  The Zahir  menulis, "Kau tahu apa yang dilakukan Penelope sejak Ulysses pergi? Menenun! Dia menenun jubah untuk ayah mertuanya, Laertes, sebagai cara untuk menolak orang-orang yang ingin melamarnya. Hanya setelah dia selesai menenun jubah itulah,  dia baru akan menikah. Selama menunggu Ulysses kembali, dia menguraikan tenunnya setiap malam dan memulainya lagi esok harinya" (hlm. 420).  Penelope tidak bermuram durja dalam menunggu, karena setiap hari berdatangan para pelamar yang menunggu keputusanya. Pada waktu itu orang mengagungkan sikap hospitalitas jika menerima tamu, meskipun tamu-tamunya menjengkelkan.

"Man plans but the Lord determines!  atau "Homo proponit, sed Deus disponit"  – Manusia  berencana, Tuhan menentukan. Demikian pula apa yang dialami oleh Ignatius Loyola (1491 – 1556). August Darleth dalam  Pahlawan dari Loyola  menceriterakan pergumulan yang dialami Ignatius. Pada waktu itu, Ignatius akan ziarah ke Tanah Suci dan perlu izin dari Bapa Suci, yakni Paus Adrianus VI (1459 – 1523). Tetapi kepergiannya ke Vatikan terhalang oleh suatu wabah – penyakit yang dahsyat. "Ia tidak mengeluh karena penundaan ini. Dalam hatinya ia yakin bahwa Tuhanlah yang menghendaki ia tinggal di Manresa" (hlm. 36).  Selama di Manresa, ia merenung, berkontemplasi dan terbitlah buku  Latihan Rohani  yang luar biasa. Ia mengisi "waktu menunggu" dengan kegiatan-kegiatan yang positif.  Energinya tidak untuk mengeluh, menggerutu maupun menyesali diri namun digunakan untuk berkarya.

Florence Littaruer (1928 – sekarang)  dalam Personality Plus, menulis bahwa orang yang memiliki visi itu serius dengan tujuan, mengabdi ketertiban dan keteraturan serta sangat menghargai kecerdasan (hlm. 44). Membaca buku Pahlawan dari Loyola, spontan kita bisa membayangkan bagaimana Ignatius tidak pernah akan menyia-nyiakan waktu yang ada. Ia menunggu secara proaktif.

Tanpa kita sadari, hidup kita adalah sebuah saat menunggu. Bagi para mahasiswa, saat yang ditunggu-tunggu adalah waktu menunggu diwisuda. Para tawanan menunggu dibebaskan, para magang kerja, mereka menunggu diangkat sebagai pegawai atau dipromosikan. Pada akhirnya, mau tidak mau manusia menunggu saat kematian.

Horatius ( 65 – 8 seb. M) nama lengkapnya: Quintus Horatius Flaccus, menulis,  "Mors ultima linea rerum est" – kematian adalah garis batas terakhir dari segalanya.  Rentang waktu untuk menunggu itulah yang harus digunakan sebaik mungkin.  Seneca (4 – 65) nama lengkapnya: Lucius Annaeus Seneca , mengatakan bahwa seluruh refleksinya sebagai suatu permenungan mengenai kematian (meditatio mortis). "Media vita in morte sumus"  – di tengah kehidupan ini, kita sedang berada dalam kematian. Orang Jawa melihatnya sebagai mati sajroning urip – mati selagi manusia masih hidup. Orang menjadi lebih hati-hati dalam nglakoni hidup ini. Ia akan menghargai waktunya untuk membuat hidupnya berkualitas dalam relasinya dengan Tuhan, sesama, lingkungan dan dirinya sendiri.

Rabu, 31 Juli 2013  Markus Marlon


Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com

Senin, 05 Agustus 2013

ZONA  NYAMAN
(Kontemplasi  Peradaban)
 
Ada seorang karyawan yang tidak segera mau pindah ke  tempat tugas yang baru setelah mendapatkan SK penempatan.   Ia sudah merasa nyaman bekerja di tempat yang selama ini  hidup dan berkarya.

Orang ini berkata, "Saya sudah  amat menyatu  dengan lingkunganku: tempat kerja, rekan dan situasinya.  Jika saya ditempatkan di tempat yang baru, berarti saya harus mulai dari nol lagi  dong!" Tambahnya lagi, "Capek dech!"

Tempat kerja yang nyaman memang menjadi dambaan setiap insan. Ibarat tahta yang empuk dan "basah"  sehingga orang akan betah tinggal di sana. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Petrus ketika  di atas  gunung, "Adalah baik bagi kami berada  di sini" (Luk 9: 33). Di atas gunung itu, Petrus, Yohanes dan Yakobus merasa nyaman. Tempat yang sunyi, angin yang  semilir, apalagi "didampingi" oleh nabi-nabi yang hebat seperti:  Musa, Elia, dan Yesus sendiri. Tetapi dalam suasana yang nyaman tersebut, Yesus mengajak para murid untuk "turun gunung" ke Yerusalem.  Di Yerusalem sana menjadi pusat kegiatan manusia: pasar yang hiruk pikuk, para ahli Kitab yang menjadi pemegang aturan-aturan adat dan hukum dan masih banyak lagi.  Di tempat inilah banyak  "kursi panas" bagaikan kursi pengadilan, tempat duduknya pesakitan.

Kisah  "wiracerita"   tentang pribadi-pribadi yang berani meninggalkan  comfort zone  (zona nyaman) patut kita teladani. Sang Buddha (563 – 483 seb. M) dalam film yang berjudul  The Life of Buddha  mengisahkan tentang seorang pangeran yang berani meninggalkan istana yang penuh ingar-bingar menuju ke tempat yang sunyi mencari kesejatian diri. 

Kisah lain lagi, yakni  seorang pangeran  – bisa kita lihat ceritanya dalam film yang berjudul   The Prince and pauper  –   yang sangat terhormat rela  "menukar" kedudukannya dengan teman sebayanya, untuk sementara waktu  dan tinggal di daerah berbau busuk dan  pesing  di London.

Di zaman ini,  ada  kisah kelompok peduli anak-anak jalanan di bilangan Jakarta yang sangat  care  dengan mereka yang tersingkir  (Kick Andy  dalam  acara di Metro TV, 26 Juli 2013).  Mereka rela berpanas-panasan bahkan  kehujanan untuk mengajari belajar – mungkin –  di kolong-kolong jembatan atau di rumah-rumah yang kumuh.   

Apa yang dilakukan oleh mereka yang berjiwa besar yang berani  "meninggalkan zona nyaman" itu  sebenarnya bisa dibaca dalam Kitab Suci.

Sayap rajawali tidak tiba-tiba menjadi kuat. Ada ceritanya. Sejak kecil burung ini memang terlatih untuk terbang tinggi. Sang induk selalu menempatkan sarangnya di tempat tinggi (Yer 49: 16). Lalu jika sudah tiba saatnya, ia akan membongkar sarang itu, sehingga anak-anaknya  "terjun bebas" di udara. Dipaksa untuk belajar terbang di tengah empasan angin kencang. Sementara sang induk melayang-layang di atas sembari menjaga.

"Membongkar sarang"  adalah keputusan yang pelik dan rawan.  Dengan terbongkarnya sarang,  berarti  anak rajawali itu "dipaksa" untuk terbang. Tentu saja ia belum tahu harus  terbang dan bertengger di pohon atau tebing mana nantinya (Bdk. Abraham yang harus meninggalkan  comfort zone menuju tanah terjanji).

Kadangkala, kita entah suka atau tidak suka harus berani  "membongkar sarang." Kadangkala pula, kita menjadi ragu-ragu, kuatir dan cemas menghadapi zona yang belum kita kenal dan mungkin tidak bersahabat. Tetapi dalam situasi yang penuh keraguan itu, ingatlah kata-kata  John Maxwell (Lahir tahun 1947 –   ),  "If we grow, we will always go out of our comfort zone" – Kalau kita bertumbuh, kita akan selalu keluar dari zona nyaman kita.

Senin, 29 Juli 2013   Markus Marlon

Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com

Kamis, 01 Agustus 2013

Potensi

POTENSI
(Kontemplasi Peradaban)
         
          Belum lama ini (pertengahan bulan Juli 2013),  saya agak sedikit terkejut ketika mendengar seorang ibu guru  yang marah kepada anak didiknya yang mendapat nilai raport  jeblok.  Katanya, "Nak, kamu ini orang bodoh,  sudahlah jangan macam-macam. Meskipun kamu berjuang sekuat tenaga, akan tetap seperti ini, menjadi anak bodoh. Kata-kata itu berbunyi merdu di telingaku. Ibu guru itu sudah memberi cap atau stempel bahwa murid  itu bodoh dan selamanya akan bodoh (Bdk. Syair yang ditulis oleh Ebiet G. Ade, "Apa yang dianggap salah tetap salah.") Ibu guru itu  lupa bahwa dalam proses, setiap manusia memiliki potensi   from nothing  to something.

Setiap orang di dalam dirinya ada potensi yang sudah mewujud maupun yang masih tersembunyi. Yang tersembunyi itu kadang kala disebut "sebagai hal-hal potensial" misalnya sebuah gunung yang  berpotensi untuk meletus. Oleh karena itu, disebut sebagai bahaya latent.  Sebuah ancaman tersembunyi dan kuat yang suatu saat bisa meledak sewaktu-waktu dan tidak terduga (Bdk. Bahaya  latent  PKI atau ancaman teroris).

Makna ke-potensial-an ini,  seperti  buaya di pinggiran pantai  Kimaan – Merauke – Papua  yang berdiam diri bagaikan kayu tergeletak di tepian laut. Jika seseorang tidak sengaja atau sengaja menyentuh buaya tersebut, maka sang buaya akan bangun dan menerkamnya. Dan jika kita menilik ke dunia pewayangan,  kita mengenal tokoh yang bernama Kumbakarna. Dia adalah adik Prabu Rahwana. Selama di istana kerajaan,  kerjanya hanya tidur. Dia tidur selama 6 bulan. Satu tahun hanya bangun 2 hari. Makan sebanyak 2 gunung, kemudian tidur kembali selama 6 bulan begitu seterusnya. Namun meskipun tidur, ia berpotensi untuk menjadi panglima perang yang dapat diandalkan. Dalam kisah  "Kumbakarna Gugur," 

Kumbakarna telah membuktikan kebenaran itu.  Tatkala Rahwana memerintahkan untuk berperang dan menumpas tapis pasukan Rama yang diwakili oleh Hanoman sebagai duta, seolah-olah ia maju berperang sambil menyuarakan kata-kata, "Wrong and right is my country."  Kumbakarna berperang demi Kerajaan Alengka dan bukan membela Rahwana yang culas.

Potensi Kumbakarna bagaikan gunung es yang tersembunyi yang belum diaktualisasikan. Dalam penelitian dikatakan bahwa otak manusia hanya digunakan 3 % saja dan sisanya yang 97 % belum digunakan. Membaca penelitian tersebut, kita menjadi heran kepada diri sendiri, kadang kita memang kurang menggunakan potensi dalam diri kita sendiri – mungkin –  karena ada rasa malas, tidak percaya diri dan ragu-ragu.

Mengontemplasikan tentang makna potensi, saya teringat akan seorang tokoh bernama Napoleon Bonarparte (1769 – 1821).  Napoleon tiap kali hendak berangkat perang, ia memberi semangat kepada para serdadunya dengan cara yang unik. Mereka harus menyimpan sebatang tongkat marsekal dalam ranselnya. Itu semacam tanda bahwa dengan berjuang keras, suatu hari mereka bisa menjadi perwira tinggi di pucuk itu (Bdk. Goenawan Muhamad dalam  Catatan Pinggir 2  dengan judul  Zoot).

Setiap orang memiliki potensi yang kadang tidak terduga. Dalam  reuni  teman angkatan misalnya, kadang kita menjumpai seseorang yang waktu sekolah di tingkat menengah, sepertinya tidak ada apa-apanya (nothing).  Tetapi dalam berjalannya waktu, ternyata teman yang  "tidak kita  anggep  itu"  kini telah  menjadi direktur, bahkan pemilik saham beberapa perusahaan.

Jumat, 26 Juli 2013  Markus Marlon
 

Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com