Minggu, 28 April 2013

TERUSKAN!!
(Motivasi Pelayanan)
 
          Saya belum pernah mendengar seorang ibu yang bilang, "Sudah nak  tidak usah latihan berjalan lagi, berhenti saja, nanti jatuh lagi!" sewaktu melihat anaknya  sedang belajar berjalan.  Sebaliknya, seorang ibu atau pengasuh tentu akan berteriak penuh semangat, "Ayo nak  teruskan, teruskan, teruskan!! Jalan terus pasti bisa!" 

          "Teruskan" adalah kata-kata penegasan sekaligus memberi motivasi bagi yang mendengarkannya. Dalam Kitab Suci pun, ada suara-suara yang tegas-singkat-inspiratif. Mungkin tidak pernah terpikirkan bahwa malaikat tidak  pernah mengatakan apa pun selain, "Bangun dan bergegaslah!" Seorang malaikat datang kepada Petrus dalam penjara dan berkata, "Pergilah, berdirilah ……" (Kis 5: 20).  Seorang malaikat menampakkan kepada Yusuf dalam suatu mimpi, ketika Herodes membantai bayi-bayi dan berkata, "Bangunlah……." (Mat 2: 13). Tentu saja orang yang mendengar kata-kata tegas-singkat-inspiratif  ini menjadi termotivasi karena ada "jaminan" bahwa akan selamat. Kata-kata magis itu seolah-olah mewakili orang yang hendak membantu dalam kesulitannya.

          Sebenarnya dalam  pelbagai peristiwa-kejadian, banyak orang yang mendukung, meskipun tidak harus berkata, "Teruskan!" Ketika acara  X-Factor  di RCTI – setiap Jumat malam –  digelar, ada yuri yang berdiri sambil bertepuk tangan dan tersenyum kepada calon bintang,  itulah bukti bahwa dirinya berkata, "Kau hebat, teruslah bernyanyi!"  Tentu saja si calon bintang begitu  termotivasi dan merasa didukung.  Demikian pula jika ada antusiasme para kader   yang melakukan  standing ovation  ketika mendengarkan pidato dari seorang pemimpin partai. Gemuruh suara para kader  itu sebenarnya berkata, "Teruskan dan lanjutkan berjuang untuk rakyat!"  

          Setiap orang dalam dirinya sangat butuh kata-kata motivasi yang tulus dari orang lain, teristimewa orang-orang yang terdekat.  Janganlah kita menjadi orang yang "patah semangat"  karena dipatahkan oleh kata-kata negatif  orang lain.  Kita perlu berguru kepada Michelangelo (1475  –  1564) yang memberikan motivasi kepada muridnya, Antonio. Dalam sebuah kisa,  setelah Michelangelo wafat, seseorang menemukan di studio-nya selembar kertas di mana ia menulis sebuah  catatan kepada murid magangnya, "Menggambarlah Antonio, menggambarlah dan jangan buang-buang waktu!"  (19 April 2013) Markus Marlon


Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com

Jumat, 26 April 2013

PEMBINAAN
(Kisah kasih dalam  Wiracerita Ramayana – Mahabaratha)
 
          Akhirnya Resi Wasista dan Dewi Arundati bersepakat dalam mengatur pembinaan bagi keempat putra Raja yaitu: Rama, Laksmana, Bharatha dan Satruguna (Nyoman Pendit dalam  Ramayana, hlm. 17).

          Kesepakatan dalam pembinaan atau  formatio  amat berpengaruh besar bagi subyek bina. Pembina yang jumlahnya terbatas itu barangkali memiliki kebijakan-kebijakan sebagai pedoman hidup bersama (seminarium, pondok  pesantren,   padhepokan  atau  vihara).  Pernah suatu kali ada seorang frater  novis  yang berkata demikian, "Duh, para pembina saya ini tidak baku sapa, kalau salah satu pembina makan di refter, pembina yang lain tidak mau hadir." Dia berkata lagi, "Belum lagi kebijakan-kebijakan yang diberikan  magister  tidak sama dengan  socius!  Kami,  para  novis  menjadi bingung."  Kalau demikian yang terjadi, maka yang menjadi korban adalah subyek bina itu sendiri (Bdk. Metro TV dalam  Just  Alvin  tgl. 7 April 2013: Perbedaan pendapat yang mengerucut  dalam keluarga yang menjadi korban adalah anak-anak).  

          Para anak didik atau seminaris atau santri atau  brahmacary  adalah mereka yang sedang berguru.  Maka dalam  seminarium, pondok pesantren, padhepokan  maupun  vihara, anak didik  digodhok  di  kawah condrodimuko.  Guru di sini tidak saya artikan sebagai  teacher, melainkan educator atau  formator.  Dalam tempat persemaian (seminarium) itu mereka dilatih menjadi manusia yang memiliki sikap hidup 3 S  (Sanctitas, kesucian  Scientia, pengetahuan  dan  Sanitas, kesehatan). Para pamong  membentuk (mengolah, menggodhok, mem-format) di tempat  penggemblengan  "kawah condrodimuka"  yang tentunya panas.  Para pendidik  –  (sekali lagi ) yang  bukan teacher,  melainkaneducator  atau  formator  itu –  mendidik (bhs Latin,  educare  yang berarti ex = keluar, ducere = menuntun) para seminaris (orang-orang yang disemai) itu  bertumbuh-berbunga-berbuah.  Para seminaris akhirnya mampu keluar dari diri sendiri untuk menjadi pribadi yang mandiri. Ini yang dikatakan oleh Seneca (4 – 65) nama lengkapnya Lucius Annaeus  Seneca, "vivere militare" – hidup itu adalah berjuang.

          Demikian pula yang terjadi dalam pondok pesantren. Mereka hidup dalam kebersamaan sederhana yang berfilosofi: asah  (saling mengasah otak dan ketrampilan) asih (saling mengasihi)  asuh (saling mendidik).  Sejak masuk sebagai santri  (para murid yang sungguh-sungguh mendalami ajaran Islam) mereka hidup penuh disiplin. Sebelum terbitnya matahari, subuh  sampai petang hari, isya  bahkan  tahajud  para santri menaati regula yang telah digariskan.  Yang paling mencolok adalah  kesederhaan hidup sang  kiai  dan para santri. Apa yang dimakan oleh santri juga dimakan oleh kiai  (Bdk. Ahmad Fuadi  dalam  Negeri 5  Menara  yang sudah dilayarlebarkan).  Para santri mengabdikan  diri sebagai murid (bhs.  Latin, discipulus artinya murid) yang taat. Memang benar bahwa kemuridan  tidak mungkin lepas dari kedisiplinan.  Saya menjadi ingat akan praktek  disciplinary  yang dilakukan oleh biara-biara abad  XVIII di Eropa, misalnya biara yang pernah didiami oleh  Teresa Avila (1515 – 1582) di Avila – Spanyol. Menjelang malam para biarawati masuk kamar masing-masing menyesah diri dengan suara  "plak-plak-plak"  sambil mendesah kesakitan. Piranti untuk menyiksa diri itu namanya  disciplinary.  Hidup yang disiplin memang harus sakit. Para murid pun ketika dibentuk menjadi pribadi yang utuh, harus mengalami penderitaan. Thomas à Kempis (1380 – 1471) dalam  Imitatio Christi  memberi istilah  mati raga,  mortificatio.  Peribahasa Indonesia menulis, "Berarkit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian."  Disiplin memang pahit, tetapi buahnya manis.

          Para putra Raja sebelum memangku tahta mulia, harus hidup sebagai  brahmacari. Ia hidup dalam pertapaan. Sang  Resi  mulai memberikan  lectio brevis, wejangannya, "Kalian datang kemari untuk menimba ilmu, ngangsu kawruh.  Sebelum mulai menerima pelajaran tentang berbagai ilmu, kalian harus memelajari cara-cara menjaga raga agar tetap sehat. Jika kalian jatuh sakit, raga menjadi lemah dan akan sulit bagi kalian untuk belajar memahami  dharma  kehidupan."  Dalam pembinaan, mareka diajak untuk berani "meninggalkan dunia ramai"  dan bertarak (pengendalian diri terhadap hawa nafsu) yakni nawa sanga yang berarti menutupi sembilan lubang tubuh (dua lubang mata, dua lubang  telinga, dua  lubang hidung, satu lubang mulut, satu lubang kemaluan dan satu lubang  anus).  Sebagai  pangeran maupun putra mahkota, mereka tetap berpedoman pada  ungkapan  orator fit, poeta nascitur  –  ahli pidato diciptakan, ahli puisi dilahirkan.   

          Dari kisah  Ramayana  tulisan Nyoman Pendit maupun  Anak Bajang Menggiring Angin  karya Sindhunata, kita bisa memahami kualitas dan kekompakan  dari para pembina, yakni para resi di  vihara  ataupun  padhepokan.  Putra-putra raja diajar (learning), dilatih (coaching) dididik (education) dan  dibentuk (formation) menjadi satria-satria utama.  Dari sana kita bisa memahami kebijaksanaan Rama, ketulusan Laksmana dan kejujuran Bharatha serta keberanian Satruguna.

          Para pengajar, pelatih, pendidik dan pembentuk adalah mereka yang diberi kepercayaan membentuk pribadi-pribadi  menjadi  mandiri. Namun mereka tidak berjalan sendiri, karena Pembentuk utama adalah Tuhan sendiri,  "Kamilah tanah liat dan Engkaulah yang membentuk kami dan kami sekalian adalah buatan tangan-Mu  (Yes 64: 8). Meminjam puisi Kahlil Gibran (1883 – 1931) dalam  Sang Nabi, "Mereka adalah anak-anak  yang memiliki mimpinya sendiri-sendiri."

          Namun sebagai subyek bina dalam masa-masa pembelajaran mereka perlu hati-hati dalam  "membawa diri."  Dalam perjalanan menuntut ilmu,  mereka membawa "harta." Seperti yang ditulis oleh Paulus, "Tetapi harta ini kami punyai dalam bejana tanah liat, supaya nyata bahwa kekuatan yang melimpah-limpah itu berasal dari Allah bukan dari diri kami" (2 Kor 4: 7) –   17 April 2013 –  Markus Marlon

__._,_.___
Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com

Kamis, 25 April 2013

TERNGIANG-NGIANG
(Kontemplasi  Peradaban)
 
          Beberapa tahun yang lalu, pernah ada lagu yang liriknya kira-kira sebagai berikut, "Mau makan ingat kamu, mau mandi ingat kamu…."  Syair tersebut hendak mengatakan bahwa ia terbayang-bayang dengan jantung hatinya. Orang Jawa mengatakan, "impèn" yang berarti menjadi impian. Anak remaja bersenandung, "Siang jadi impian, malam jadi kenangan. Cintaku oh  semakin mendalam!" Orang yang sedang jatuh cinta – kata pepatah Latin, "omnis amans amen" – setiap orang yang sedang jatuh cinta selalu kehilangan akal. Itulah sebabnya, orang menjadi terngiang-ngiang dengan orang yang sedang dijatuhcintai itu. Sekali lagi, "Mau makan ingat kamu, mau mandi ingat kamu…."
 
Para pembunuh  orang yang dikasihi juga merasa dirinya terngiang-ngiang dengan apa yang dilakukan. Namun, perasaan mereka tidak seperti orang yang sedang jatuh cinta, melainkan ada rasa takut dan dikejar-kejar. Fulton Sheen (1895 – 1979)  dalam Kristus  menulis, "Nero diganggu oleh arwah ibunya yang dibunuhnya sendiri. Juga kaisar Kaligula mengalami malam-malam yang gelisah sebab selalu saja terbayang-bayang para korbannya" (hlm. 131).  Suetonius (69 – 122), lengkapnya: Gaius Suetonius Tranquillus –  sejarawan, menulis tentang "para pembunuh"  katanya, "Semalam-malaman sang Kaisar duduk tegak di ranjangnya atau kalau tidak, ia  jalan-jalan di lorong-lorong istananya menantikan hari siang". Orang menjadi gelisah dengan apa yang dibuatnya sendiri dan ingin segera siang.  

Hal yang sama juga dialami oleh Herodes  Henri Daniel-Rops dalam  Hikajat Sutji menulis, "Setelah menyuruh membunuh istrinya yang paling dicintai, Mariamne, gambar dari Mariamne ternyata tidak dapat meninggalkan pikiran Herodes. Dipanggilnya namanya di seluruh istana yang menjadi kosong karena tiadanya Mariamne. Semua orang diperintahkannya berbicara seolah-olah Marianme masih hidup" (hlm. 430).

Apa yang dialami oleh Herodes,  Nero (37 – 68)  – lengkapnya Nero Claudius Caesar Augustus Germanicus   dan Caligula (12 – 41) – nama lengkapnya: Gaius Julius Caesar Augustus Germanicus,  merupakan contoh bahwa dalam diri seseorang pasti ada rasa bersalah atau guilty jika melakukan yang melawan hati nurani.  Dari sana pula, dalam psikologi muncul pelbagai penyimpangan (deviasi) kejiwaan yang bisa mengarah kepada kegilaan. Schizroprenia dan paranoid adalah gejala penyimpangan yang akrab dengan telinga kita. Patric Sűskind dalam Paranoid – The Story of a Madman, melukiskan bagaimana seorang pria yang mengalami ketakutan dalam hidupnya karena pengalaman yang menyakitkan.  Kedua orang tuanya dibawa ke kamp konsentrasi Nazi dan tidak pernah kembali. Istrinya kabur dengan lelaki lain. Dalam Kitab Suci, kita tentu pernah mendengar kisah Saul (    ).  Abba Eban dalam Sejarah Ringkas Umat Israel  melukiskan watak majemuk dari Saul. Ia tidak berhasil berelasi dengan Samuel yang sudah lanjut usia  dan amat curiga dengan Daud yang masih muda. Rasa curiganya berdekatan dengan sakit jiwa dan menyebabkan dirinya merasa "dikejar-kejar terus-menerus" (hlm. 32).  Ia memikirkan  Daud selama 24 jam, sedangkan Daud tidak memikirkan Saul sedetikpun (Bdk. Metro TV dalam Kick Andy,  6 Februari 2013).  Pikiran-pikiran jahat itulah yang membuatnya menjadi terngiang-ngiang.

Saya pernah nonton film yang berjudul Scream. Film ini  memperlihatkan bagaimana manusia senantiasa ketakutan akan pengalaman traumatic yang membuatnya terngiang-ngiang tak tertahankan. Dari kisah scream ini, saya menjadi teringat akan kisah istri Pontius Pilatus yang mengalami ketakutan yang dibawa dalam mimpi.  Buku yang berjudul Pontius Pilatus  maupun Dream of Pilate's Wife  hendak melukiskan pula peranan atau keterlibatan sang istri, Klaudia dalam pengadilan Yesus Kristus. Penulis Jerman modern Gertrud von Lefort (1876 – 1971) nama lengkapnya: Baroness Gertrud Auguste Lina Elsbeth Mathilde Petrea von Le Fort,  telah menafsirkan yang dirasakan Klaudia.  Pada hari Jumat Suci pagi itu, ketika Klaudia terjaga dari tidurnya, terdengar olehnya suara seolah-solah di dalam katakombe yang mengatakan, "Yang menderita sengsara dalam pemerintahan Ponsius Pilatus." Kemudian didengarnya seakan-akan itu menggema di dalam kuil-kuil Romawi yang telah berubah menjadi gereja-gereja (Bdk. Fulton Sheen dalam Kristus,  hlm. 378).  Penulis buku Pontius Pilatus yang bernama Paul Maier akhirnya meceriterakan bahwa "Klaudia" (dalam buku ini namanya Procula, bukan Klaudia)  menjadi Kristen (Bdk. Kisah-kisah kekristenan awal di Roma yang ditulis dalam novel yang berjudul: The Robe maupun Quo Vadis).

          Hari Minggu (10 Februari 2013, Tahun Baru Imlek: Gong Xi Fat Cay), saya mengunjungi orang yang sedang sakit di ambang kematian. Dari pihak keluarga mengatakan bahwa sudah lama sekali dia menderita sakit dan katanya dia ingin segera dipanggil Tuhan. Menurut ponakan-ponakannya, sewaktu masih muda ibu ini pecinta Maria, bahkan menjadi ketua  Legio Mariae (Pengikut Louise-Marie de Monfort sejati). Tetapi karena mengikuti suami, ia berpindah keyakinan. Salah seorang ponakannya berkata, "Setiap hari tante saya ini gelisah dan dari bibirnya menyenandungkan  rapalan Ave Maria gratia plena, tapi suaranya lirih. Kayaknya tante terngiang-ngiang waktu masih muda berdoa kepada Bundanya, saya tidak tahulah!" Ponakan yang lain berkata, "Apalagi jika lonceng berdentang sebagai tanda doa Angelus, dia menjadi gelisah!" Kemudian dengan lirih saya berkata, "Ya, tantemu itu terngiang-ngiang"  (100413) Markus-Marlon

         
Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com

Selasa, 23 April 2013

PERJALANAN
(Kontemplasi Peradaban)
 
Ketika saya ikut rombongan ziarah di Gua Kerep – Ambarawa (Jawa Tengah)  ada seorang peziarah berkata, "Hidup itu seperti seorang di perjalanan yang beristirahat di penginapan. Ia berhenti sebentar untuk pergi lagi, tubuhnya beristirahat, tetapi dengan budi sudah di tempat yang lain."  

Setelah saya mengontemplasikan dengan mengacu pada hidupku sendiri, memang benar adanya. Perjalanan hidup sungguh amat cepat, tempus fugit. Sering orang berkata, "tau-tau udah  dewasa, tau-tau udah menikah, tau-tau udah tua!"  Karena singkatnya waktu itu, maka orang Jawa memiliki ungkapan, "Urip iku mung mampir ngombe" – Hidup itu bagaikan  singgah untuk minum. Dalam perjalanan hidup pun – karena begitu singkatnya – Paulus berkata, "Aku melupakan apa yang telah di belakangku dan mengarahkan diri kepada apa yang ada di hadapanku;  aku berlari kepada tujuan untuk memperoleh hadiah, yaitu panggilan surgawi dari Allah dalam Kristus Yesus" (Flp 3: 13 – 14). Maka amat menyedihkan jika dalam hidup yang singkat ini orang-orang mengalami kekecewaan bertubi-tubi, keluh kesah terus menerus  dan merasa menderita tak berkesudahan. Harusnya  enjoy aja!

 Memang  perjalanan hidup  itu akhirnya tertuju kepada Yang Ilahi yang menurut bahasa kerahiban sebagai  itinera eius –Perjalanan Tuhan  –  atau dalam   Mahabaratha  bisa dilihat dalam wiracerita   Dewa Ruci.

 Para penakluk benua, seperti: Vasco da Gama (1460/1469 – 1524) Ferdinand Magellan (1480 – 1521) dan Christopher  Colombus (1451 – 1506)  dalam arti tertentu mengatakan bahwa bukan hidupnya yang penting, tetapi perjalanannya. (Bdk. The  Zahir  tulisan Paulo Coelho, hlm. 85). Petualangan  mereka penuh dengan tantangan  yang mendebarkan, bagaikan "Sinbad yang menaklukkan tujuh samodra." Manusia,  atas salah satu cara dalam petualangan hidupnya tidak pernah mulus. Kadang ada orang yang baik dan membantu kita (Simon dari Kirene dan Veronica), namun tidak jarang ada orang-orang yang mengolok-olok diri kita. Dalam perjalanan itu pula, kadang kita jatuh karena beban (Yesus jatuh sampai tiga kali). Namun dalam "kejatuhan"  itu, ada orang yang menangisi dan peduli (Yesus berjumpa dengan ibu-Nya dan Para wanita Yerusalem menangisi-Nya). Itulah yang disebut oleh orang-orang Kristen  Katolik sebagai Jalan Salib atau  Via Dolorosa.

Dalam dongeng-dongeng, legenda-legenda, wiracerita-wiracerita maupun mitologi-mitologi, kebanyakan mengisahkan tentang  "perjalanan hidup manusia dari kelahiran sampai kematian." Perjalanan Odysseus  kembali ke Itaka merupakan perjalanan yang menggambarkan tujuan hidup manusia. Kisah karya Homerus (± 850 seb. M) yang berjudul  The Odessey  ini sangat mencekam dan  mengharukan sekaligus meneguhkan. Odysseus  dikenal sebagai "pahlawan" yang cerdik. Dalam perjalanan pulang setelah Perang Troya selama sepuluh tahun, ia amat rindu terhadap anaknya, Telemacus dan istrinya, Penelope.  Selama dalam perjalanan, ia berjumpa dengan raksasa bermata satu yakni  Cyclops. Kemudian ketika berlayar mengarungi samodra, ia  digoda oleh Sīrēnĕ, burung yang bermuka wanita muda, yang dengan nyanyian merdunya bisa memikat para pelayar dan akhirnya karam. Menyitir kerinduan  Odysseus terhadap keluarga dan kampung halamannya, orang-orang Telugu di India memunyai nyanyian yang menarik, sebuah nyanyian yang menggambarkan kenyataan manusia yang mendalam.

"Dari semua desa di negeriku
desaku sendiri yang paling kusayang.
Dari semua jalan di desaku
jalanku sendiri yang paling kusayang.
Dari semua rumah di jalanku
rumah sendiri paling kusayang."
 
Perjalanan kembali ke asal mula kehidupan, sangkan paraning dumadi –  asal dan  tujuan hidup manusia – memang menjadi kerinduan umat manusia. Agustinus dari Hippo (354 – 430) pun berkata, "Jiwaku gelisah sebelum kembali kepada Tuhan."  Hidup memang suatu perjalanan!! (23 April 2013) Markus Marlon


Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com

Sabtu, 20 April 2013

KETIKA SRI PERGI

Lelaki tua itu duduk termenung di bangku baris ketiga, di sebuah aula, gedung tua di Kotabaru, Jogjakarta. Kalender di dinding menunjuk tahun 1969. Matanya menatap upacara yang tengah berlangsung, tapi angannya melayang ke suatu hari, belasan tahun yang lalu.
-----------------------
Siang itu, putri yang bersekolah di SMP Susteran Purworejo mengajukan permintaan yang membuatnya marah dan kecewa. Sri Umiyati, putri yang dikasihinya menyatakan keinginan menjadi seorang Katolik. Meledak kemarahan dan kekecewaannya.
Di kota Purworejo ini, Broto Suyitno tidak hanya dikenal sebagai pegawai kantor penerangan, namun juga seorang pejuang kemerdekaan yang sangat gigih. Berulang kali anak istrinya harus ikut ke persembunyian, menghindari penangkapan oleh tentara Belanda.
Sekarang, setelah merdeka, ternyata putrinya justru ingin menjadi seorang Katolik, memeluk agamanya penjajah! Meskipun Pak Broto bukan seorang yang khusuk dalam beragama, dia tetap tak mau anak gadisnya menjadi segolongan dengan kaum penjajah.
Rupanya gadis Sri mewarisi kegigihan semangat juang ayahnya. Dia mogok makan, protes terhadap sikap ayahnya. Akhirnya dengan berat hati Pak Broto mengijinkan, meski hatinya tetap tak ikhlas, berat untuk melepas sang putri menjadi pemeluk agama penjajah.
Namun rupanya ini bukan kejutan yang terakhir. Beberapa tahun kemudian, Sri malah mohon ijin hendak menjadi suster. Ini sungguh tak masuk akal!!!
Dari namanya saja, SRI UMIYATI, Pak Broto memiliki harapan kelak putrinya ini akan menjadi seorang umi, seorang ibu yang sri, yang cantik. Seorang ibu yang kelak akan memberikan cucu-cucu bagi pak Broto. Sekarang tiba-tiba punya keinginan aeng-aeng, ingin menjadi suster yang hidup wadat sampai mati?? Jelas Pak Broto menolak. Bujukan bahkan tangisan Sri tak meluluhkan hati Pak Broto.
Rupanya, sekali lagi, Sri memperlihatkan bahwa dia adalah putri seorang pejuang yang tak mudah menyerah. Sri pergi. Tanpa pamit. Tanpa ijin orangtuanya, dia pergi ke ke sebuah biara. Merintis hidup panggilan sebagai seorang suster.
Sedangkan Pak Broto? Dia juga teguh dengan pendiriannya. Tetap tak ada restu, tak ada ijin, pun juga tak sudi Pak Broto meminta-minta agar putrinya kembali pulang. Rupanya dia sudah terlanjur patah arang dengan sikap putrinya.
Tapi jalan Tuhan memang sering tak terduga. Karir Pak Broto semakin menanjak, hingga kemudian ditugaskan di Temanggung, meninggalkan Sri yang telah hidup bersama suster-suster di Kutoarjo. Di Temanggung, Pak Broto mendapat rumah dinas yang bertetangga dengan susteran, gereja dan sekolah Katolik. Para suster dan romo sering bertandang ke rumah Pak Broto, mula-mula ngobrol tentang hidup sehari-hari, namun kemudian menyinggung pula nila-nilai dalam ajaran Katolik.
Selang beberapa tahun, Pak Broto dimutasi ke Semarang. Lagi-lagi rumah dinasnya bertetangga dengan gereja, malah kali ini dengan katedral. Kembali terjalin hubungan dengan para Romo, bahkan dengan Uskup Semarang, Mgr. Soegija Pranata.
Tahun 1962, ketika Sri mengucapkan kaul pertama sebagai seorang suster, Pak Broto tetap tak bersedia hadir. Hatinya masih terluka. Namun Roh Kudus sungguh bekerja. Tahun 1969, Sri mengucapkan kaul kekal. Kali ini Pak Broto sudah mulai bisa menerima pilihan putrinya. Dia bersedia hadir dalam upacara itu, di Kotabaru, Jogjakarta.
Ada segurat penyesalan karena telah memutus komunikasi dengan putrinya, sepuluh tahun tak bertegur sapa. Namun ada pula rasa bangga melihat keteguhan tekad putrinya berjuang demi keyakinan dan cita-citanya.
---------------
Kilatan lampu blitz membuyarkan lamunan Pak Broto. Tampak orang-orang berbaris, mengucapkan selamat kepada para suster yang baru saja mengucapkan kaul kekal.
Dengan mata berkaca-kaca Pak Broto memeluk putrinya tersayang, Maria Magdalena Sri Umiyati yang sekarang dipanggil Suster Lidwina, ADM.
===============
Catatan Redaksi :
Beberapa waktu kemudian Pak Broto menyatakan keinginannya menerima sakramen baptis. Hingga akhir hayatnya beliau menjadi salah satu katekis di Paroki Kutoarjo. Seperti mengulang jaman perjuangan, beliau gigih berkeliling ke stasi-stasi, mengabarkan kabar gembira, sebuah langkah yang telah lebih dulu dipilih putrinya, Sr. Lidwina, ADM.
Terkabul pula doa Sri di Sendangsono belasan tahun yang lalu, dia ingin menjadi Maria Magdalena yang mengabarkan penebusan Tuhan bagi keluarganya

(Dimuat di Bulletin Gempar Paroki St. Mikael Gombong, Edisi Minggu Panggilan)

Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com

Rabu, 03 April 2013

SAIS
(Kontemplasi Peradaban)
         

Belum lama berselang, saya jalan-jalan di Kotaraja – Jayapura.  Ketika masuk di ruang tamu, saya terkesima dengan sebuah lukisan Yesus memegang kemudi sebuah perahu kecil  di tengah ombak dan gelombang lautan.  Dalam lukisan itu tertera sebuah tulisan, "Yesus Jurumudi keluargaku!"

Sementara merenungi lukisan tersebut, tuan rumah berkata, "Saudara lukisan ini saya pesan sesuai buku yang berjudul  The purpose – driven life, tulisan Rick Waren.   Orang yang dikemudikan  oleh Kristus tentu memiliki kualitas hidup  yang baik."  Keluarga ini mengandalkan hidup seluruhnya kepada Yesus sebagai: jurumudi, sopir, kendali, kusir atau sais.  Tetapi kemudian saya berpikir,  "Memang paling sulit adalah menjadi sais untuk diri sendiri!"

Mengontemplasikan  makna  sais, maka pikiran saya melesat jauh pada wiracerita pra-mahabharata. Ki Ageng Kapalaye dalam Kamus Pintar Wayang menerangkan bahwa Kresna yang adalah titisan Dewa, menawarkan pilihan kepada saudara sepupunya (Doryudana dan Arjuna)  dalam perang yang mahadahsyat di Kurusetra.  Doryudana – merasa sudah di atas angin – mendapatkan pasukan Dwaraka, sedangkan Arjuna  – merasa bersyukur  – karena mendapatkan Kresna seorang diri sebagai  "pendamping" selama berperang (hlm. 222).  Melalui nasihat-nasihat dan strategi-strateginya, sebenarnya Kresna menjadi sais yang mengendalikan Pandawa. Dalam Bhagawadgita,  Kresna memberi semangat para Pandawa untuk menghancurkan kebatilan yang mengejawantah dalam diri Kurawa. Dalan dalam Karna Tanding, Arjuna mendapatkan kemenangan gemilang,  karena ia mendapatkan seorang sais, yakni Kresna.

Barangkali di dunia ini dibutuhkan sais yang mampu mengendalikan nafsu. Mahatma Gandhi (1869 – 1948) menyebut orang yang mampu mengendalikan nafsunya disebut sebagai seorang  brahmachary.  Komaruddin Hidayat dalam Memaknai Jejak-Jejak Kehidupan,  melukiskan bahwa pengendalian diri itu amat penting. Tulisanya, "….ketika seseorang tidak mampu mengendalikan jiwanya sehingga dirinya lebih didominasi oleh dorongan nafsu untuk mengejar kesenangan semata (for the sake of pleasure) maka sesungguhnya hidupnya tejebak pada level hewani (animality), gagal menjadikan nilai dan kualitas insani (humanity) sebagai pemimpin (leader) dalam kehidupannya" (hlm. 132). Henri Nouwen (1932 - 1996) dalam  Pelayanan Yang Kreatif,  menceriterakan tentang seorang Vietnam yang menunggang kuda yang lari kencang sekali. Kemudian ditanya oleh orang lain, "Hai kawan, mau pergi ke mana?" Penunggang kuda itu menoleh dan berteriak  sambil menjawab, "Jangan bertanya kepada saya, tanyalah kepada  kuda saya!"  (hlm. 25).  Orang ini tidak bisa menjadi sais, tetapi dikendalakan oleh kuda yang ditumpangi.

  Hidup pada  zaman sekarang ini begitu kompleks. Tawaran dunia begitu menggiurkan.  Di era konsumtif ini, manusia "dipaksa"  untuk memiliki  barang-barang yang bukan menjadi kebutuhannya dan dengan kartu kredit, mereka "dipaksa" untuk berhutang. Kebutuhan hidup yang tak terbatas itu amat sulit untuk dikendalikan. Di era digital ini, setiap orang "dipaksa" untuk berkomunikasi melalui  FB, BBM, Twitter, e-mail dan sms. Seolah-olah apa yang kita miliki itu  harus dikomunikasikan kepada dunia, supaya mereka menjadi  tahu. Di sinilah kita membutuhkan seorang sais yang berani mengatakan, "Cukup!"

Plautus ( 254 – 184 seb.M) – nama lengkapnya: Titus Maccius Plautus,  pernah menulis, "Egomet sum mihi imperator" – akulah yang menjadi pemimpin bagi diriku sendiri.  Orang yang memegang kendali dalam hidup ini amat tergantung  bagaimana mengendalikan lidahnya. Sudarsono S.Th dalam  Oasis: Perenungan Hidup Kristen  menulis sebuah puisi.  Orang-orang Yunani berkata, "Lidah yang tak bertulang, yang kecil dan lemah dapat menghancurkan dan membunuh."  Orang-orang Persia berkata, "Lidah panjang berarti umur pendek".  Kadang-kadang berbunyi demikian, "Jangan biarkan lidahmu memotong kepalamu"  (hlm. 116).  Orang Jawa memiliki pepatah, "Ajining diri soko lathi" yang berarti: orang dihargai karena lidahnya. Orang yang bisa menjaga tutur kata dengan berbicara benar. Maka bila tidak dapat bertutur dengan baik dan tidak memberi manfaat lebih baik diam (dadi  wong kang anteng jatmika iku luwih mulya).  Ia bisa mengendalikan lidahnya (030413) Markus Marlon


Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com