Sabtu, 30 Maret 2013

PUISI PASKAH
Karya: Ulil Absar Abdala

Begitu indahnya suatu pendalaman tanpa kemunafikan....
Ia yang rebah, di pangkuan perawan suci, bangkit setelah tiga hari, melawan
mati.
Ia yang lemah, menghidupkan harapan yang nyaris punah.

Ia yang maha lemah, jasadnya menanggungkan derita kita.

Ia yang maha lemah, deritanya menaklukkan raja-raja dunia.
Ia yang jatuh cinta pada pagi, setelah dirajam nyeri.
Ia yang tengadah ke langit suci, terbalut kain merah
kirmizi: Cintailah aku!

Mereka bertengkar tentang siapa yang mati di palang kayu.
Aku tak tertarik pada debat ahli teologi.
Darah yang mengucur itu lebih menyentuhku.
Saat aku jumawa dengan imanku, tubuh nyeri yang tergeletak di kayu itu, terus
mengingatkanku:
Bahkan Ia pun menderita, bersama yang nista.

Muhammadku, Yesusmu, Krisnamu, Buddhamu, Konfuciusmu – mereka semua guru-guruku, yang mengajarku tentang keluasan dunia, dan cinta.

Penyakitmu, wahai kaum beriman:
Kalian mudah puas diri, pongah, jumawa, bagai burung merak.
Kalian gemar menghakimi!
Tubuh yang mengucur darah di kayu itu, bukan burung merak.

Ia mengajar kita, tentang cinta, untuk mereka yang disesatkan dan dinista.
Penderitaan kadang mengajarmu tentang iman yang rendah hati.
Huruf-huruf dalam kitab suci, kerap membuatmu merasa paling suci.
Ya, Jesusmu adalah juga Jesusku.

Ia telah menebusku dari iman yang jumawa dan tinggi hati.
Ia membuatku cinta pada yang dinista!

Semoga Semua Hidup Berbahagia dalam kasih Tuhan.

Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com

Rabu, 27 Maret 2013

Batas

BATAS
(Kontemplasi Peradaban)
 
          Suatu kali saya  membaca album   necrologium  di ruang perpustakaan Biara MSC – Jl. Raya Mandala – Merauke. Dalam buku tersebut tertera daftar nama para senior yang saya kenal, karena mereka juga adalah orang-orang yang juga menginspirasi hidupku. Kemudian saya mencari namaku dalam album tersebut, tetapi usaha itu pun sia-sia.

          Karena tidak sabar, saya bertanya kepada seniorku  yang sedang sibuk di kamar kerjanya.  Ia  pun berkata, "Sobat,  ini adalah album kematian – necros – tentu saja, namamu tidak ada, karena  you  belum mati!" saya baru  ngêh. Dalam hati saya berkata, "Pada suatu waktu, nama saya pun akan tertulis dalam album necrologium. Entah kapan!" Tiap orang ada batasnya.  Terminus  vitae,  tonggak akhir kehidupan.  

          "Batas" sungguh memiliki makna yang mendalam. Saya masih ingat tanggal 9-9-99 ada isu kiamat. Menjelang tanggal tersebut  wartel-wartel  (warung tilpon – waktu itu HP belum  popular),  dipenuhi dengan anak-anak muda yang  "mengaku dosanya" kepada orang tuanya. Kebanyakan mereka adalah pelajar yang menimba ilmu di luar kota. Sempat terdengar kata-kata, "Ma,  minta maaf  yah,  selama ini saya tidak mau dengar  mama. Ma, saya takut mati jauh dari keluarga!"  Dengan adanya waktu yang terbatas, muncullah kualitas kata-kata yang indah untuk  orang-orang yang dicintai.  Bahkan waktu orang hendak mati, dirinya ingin dikelilingi oleh orang-orang tercinta.

          Jonathan  Swift (1667 – 1745) dalam  Gulliver's  Travels  melukiskan tentang negeri orang-orang Luggnaggi. Di negeri tersebut ada orang yang "ditakdirkan bebas dari bencana universal dari kodrat manusiawi,"  yakni kematian. Namun ketika akhirnya berjumpa dengan mereka, Gulliver sadar bahwa sesungguhnya mereka inilah makhluk-makhluk yang paling malang dan patut dikasihani. Mereka menjadi tua renta dan dungu. Di usia senja tubuh mereka mengidap berbagai penyakit dan  mereka menumpuk rasa dendam dan keluh kesah serta  mereka merasa sangat bosan menghadapi perjuangan hidup.  Kita pun menjadi sadar bahwa batas usia menjadikan waktu yang singkat ini menjadi bermakna.

          Dalam hidup ini memang kita berlomba dengan diri sendiri untuk  mencapai garis  finish  atau garis batas seperti yang ditulis oleh Paulus, "Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir  dan aku telah memelihara iman" (2 Tim. 4: 7). Menanggapi  tentang batas kehidupan, Horatius (65 – 8 seb.M) nama  lengkapnya: Quintus Horatius Flaccus  menulis sebuah dictum  bunyinya, "Mors ultima linea rerum est" – kematian adalah garis batas terakhir dari segalanya. Kematian yang adalah batas hidup ini mendidik manusia untuk bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri dan terhadap sesamanya serta Tuhan. Berkaitan dengan ini, Seneca (4 – 65 M) nama lengkapnya: Lucius Annaeus Seneca menulis, "Quam bene vivas, non quam diu refert" – yang penting bukan lamanya engkau hidup, tetapi bagaimana engkau hidup dengan baik.  Memang batas kehidupan sungguh misteri. Tidak seorang pun yang tahu sampai kapan ia sampai pada batas hidupnya. Dalam sebuah kisah, Sang Buddha (563 – 483 seb. M) bertanya kepada seorang gadis penenun tentang batas hidupnya, "Saya tahu, tetapi saya tidak tahu."  Budda tersenyum dan mengetahui kebijaksanaannya.  Seseorang bertanya kepada gadis tersebut, "Apa yang kamu maksud dengan kamu tahu, tetapi kamu tidak tahu?" Gadis itu pun menjawab bahwa dia tahu bahwa dia akan mati, tetapi tidak tahu kapan dia akan mati (Bdk. Ajahn Brahm dalam  Hidup Senang Mati Tenang , hlm. 169).

          Tanggal 2 November  beberapa tahun yang lalu saya berdoa di Kerkop (kuburan Eropa) Purworejo – Jawa Tengah. Di Pintu gerbang makam tersebut ada tulisan, "Homo, memento vivere, memento mori" – Hai manusia, ingatlah akan kehidupan dan ingatlah akan kematianmu.  Kemudian saya duduk termangu di depan nisan yang bertuliskan, "Requiescat In Pace" – Rest  In Peace – Beristirahatlah dalam Damai. RIP.       Lantas, pikiran saya  mengawang ke negeri antah berantah  yang memiliki orang-orang hebat  yang meninggal dunia,  namun masih meninggalkan  karya-karya yang belum terselesaikan, unfinished works.  Di atas nisan Johann Sebastian  Bach (1685 – 1750) masih ada symphoni yang belum selesai. Di atas makam Vincent Willem van Gogh (1853 – 1890), terdapat lukisan-lukisan yang belum purna. Di atas kuburan WS Rendra  (1935 – 2009) nama lengkapnya: Willibordus Surendra Broto Rendra, masih terdapat puisi yang  "bergentayangan."

          Kita menjadi ingat akan sabda Yesus, "Consummatum est" – sudah selesai (Yoh 19: 30).  Dalam berkarya selama tiga tahun,  Yesus telah memberikan suatu pelajaran berharga supaya kita menghargai waktu yang terbatas itu dengan sebaik mungkin. Dan nanti di batas hidup – terminus vitae – kita boleh berucap, "Consummatum est" – sudah selesai (280313) Markus Marlon

 
Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com

Sabtu, 23 Maret 2013

CEREWET
(Kontemplasi Peradaban)
 
          Pencerita a la sufi  Antony de Mello (1931 – 1987)  dalam Burung Berkicau  menulis  kisah yang menarik untuk disimak. Ada dua rahib: tua dan muda mengadakan perjalanan ke sebuah desa di seberang sungai. Ketika hendak menyeberang  sungai, ada seorang gadis cantik muda belia akan menyeberang  sungai itu. Tetapi karena airnya agak dalam, ia menunggu orang yang rela membantu menyeberangkan sungai tersebut (Bdk. Kisah St. Kristoforus dalam Hagiografi  atau Begawan  Durna yang menyebarangkan Dewi Krepi  dalam Mahabaratha).

          Karena belas kasihan, rahib tua itu membantu sang gadis muda belia itu dengan mengendongnya. Setelah sampai di seberang kali, gadis cantik muda belia itu pun mengucapkan terima kasih dan  say good bye.  Namun  dalam perjalanan,  selama berjam-jam  rahib muda itu cerewet mengritisi apa yang telah dilakukan rahib tua itu. Katanya, "Engkau telah melanggar kaul kemurnian, matamu telah dikuasai oleh nafsu, bla..bla..bla!"   Rahib tua itu mendengarkan dengan tenang, tetapi setelah rahib muda itu  selesai  ngoceh, ia pun berkata, "Saudaraku, aku sudah meninggalkan gadis cantik muda belia itu lima jam yang lalu, kenapa engkau masih  'membawanya'  dalam hatimu dan terungkap dalam kecerewetanmu?" 

        Cerewet, ngoceh, ceriwis, ngomel, bawel adalah kata-kata yang tidak asing di telinga kita. Dalam situasi yang tidak mengenakkan hati,  orang akan menggerutu dan mengeluh, sehingga lawan bicaranya akan berkata, "cerewet ah, bosen!" Orang akan mengeluarkan isi hatinya dan kadang-kadang yang mendengarnya merasa jenuh. Seneca (4 – 65) nama lengkapnya Lucius Annaeus Seneca  berkata, "Imago animi sermo est" – bahasa (kata-kata yang keluar) itu cermin hati.  Din Man dalam  200 Kisah Terindah Sepanjang Masa Dari China  melukiskan makna "kecerewetan" dari para binatang. Tulisnya, "Kamu lihat katak  yang hidup di pinggir sungai atau lalat yang suka dengan barang-barang berbau tak sedap. Mereka selalu bersuara tiada hentinya, tidak peduli siang atau malam, supaya diketahui keberadaannya. Tetapi, walau mereka bersuara sampai tenggorokannya kering dan lelah, tidak seorang pun yang memerhatikan yang sebenarnya mereka ributkan. Tetapi lihatlah ayam jago yang berkokok. Orang-orang yang mendengarnya satu per satu memulai hari barunya dengan semangat" (hlm. 43 – 44).

          "Air beriak tanda tak dalam" atau "tong kosong berbunyi nyaring" adalah pepatah-pepatah  yang sering kita dengar. Pepatah ini tentunya berlaku bagi orang-orang tukang bicara, tetapi tidak melakukan apa yang dikatakan atau  tidak konsekuen. Lihat saja betapa  sebel-nya jika dalam meeting kita jumpai orang-orang yang cerewet  tetapi ketika hari-H nya tiba  untuk bekerja dia tidak muncul.  Orang-orang Romawi kuno memiliki ungkapan, "Ecce  iterum  Crispinus!"  –  Lihat itu Krispinus banyak tampil  dan usul.  Ternyata sejak jaman dulu kala, orang-orang yang banyak bicara itu  tidak disukai jika tidak ada tindakan nyata, NATO, not action talk only.

          Orang-orang Yunani memandang di luar bangsanya sebagai barbaria (Tanah bangsa yang masih biadab bagi orang Yunani). Orang-orang Yunani  tidak paham apa yang dikatakan dan yang dia dengar hanyalah, "bar..bar..bar!" Ada kerancuan  (berbarism) dalam menggunakan bahasa. Tidak usah heran, jika  bangsa Yunani merasa diri paling beradab, mungkin karena memiliki bahasa yang indah dan mereka bangga memiliki  Homerus, pesajak epik Yunani Kuno (± tahun 850 seb. M ) dengan  Illiad dan Odeyssey-nya yang amat luar biasa. Dari Yunani pula, bertebaran istilah-istilah bagi ilmu pengetahuan: kedokteran, "hipocratic's oat" dari orang yang bernama Hipocrates (460 – 370 seb. M). Dalam  Sejarah ada  "kronical" dari dewa Kronos (Mitologi Yunani). Dalam Psikologi ada istilah  "insomnia" dari  somnus. Dalam Sastra ada kisah  "Oedipus complex" dari Raja Oedipus  yang menikahi ibunya, Yocaste  (Bdk. Oedipus Rex, sebuah drama yang sudah diterjemahkan oleh WS Rendra : 1935 – 2009) – dan masih banyak lagi

          Bangsa-bangsa perenung – yang tentunya beradab – memiliki budaya tulisan yang tinggi. Yunani kuno, Romawi kuno dan India menghasilkan adi karya, masterpiece yang hingga saat ini bisa dinikmati oleh penduduk planet bumi. "Bagaimana jadinya jika setiap kata-kata lisan tidak ditulis maupun didokumentasikan?"  Jika demikian,  semuanya akan beterbangan entah ke mana. Padahal menurut Sudjatmoko (1922 – 1989) lengkapnya: Sudjatmoko Mangoendiningrat, ide itu memiliki kaki, maka harus ditarik ke bumi dan jangan mengawang di awan-angkasa.  Benar apa kata pepatah Latin, "Verba volant, scripta manent" – Yang diucapkan dengan kata akan lenyap, yang dituliskan akan tetap berlaku.  Adi karya, masterpiece  tidak akan dihasilkan oleh orang-orang yang memiliki budaya lisan tinggi. Pramudya Ananta Toer (1925 – 2006) pernah mengkritik bangsa Indonesia, "Sejak dulu, orang-orang Indonesia tidak memiliki tradisi mendokumentasikan. Sejak zaman raja-raja. Sejarah kita pun jadi sejarah para raja.  Saya tidak heran  kalau orang asing yang banyak menulis tentang Indonesia" (Bdk. 1000 Wajah Pram dalam Kata dan Sketsa, diterbitkan oleh Lentera Dipantara, hlm. 86).

          Asbun, asal bunyi adalah istilah yang pernah saya terima ketika ikut kursus organ jarak jauh  dari PML (Pusat Musik Liturgi) Jl. Abubakar Ali – Jogjakarta . Kita mudah asbun, komentar, mengritisi dengan hal-hal yang kita hadapi. Dan setelah komentar berakhir, kita tidak mencatat resume,  tidak menulis notulen dan menyimpan dokumen. Semua terbang entah  ke mana. Kita lupa dengan pepatah Inggris, "Silent is golden" – diam adalah emas. Sikap diam yang  kita  memiliki itu  bermakna  mendalam, bagaikan Siddarta Buddha Gautama (563 – 483 seb. M)  yang sedang bermeditasi di atas teratai, lotus di bawah pohon bodhi.  Diam yang indah, noble silent.  Hemat kata dan tidak cerewet! (210313) Markus Marlon

 


Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com

Kamis, 14 Maret 2013

TUA
(Kontemplasi Peradaban)
 
          Ketika saya mengatur buku-buku baru di  perpustakaan  Biara MSC – Merauke, tanpa sengaja saya temukan sebuah puisi yang sangat indah.

          She's sitting in a rocking chair.
          She's peeking out the window, looking at the children playing, remembering her own.
          Grown daughters and sons are way too busy now
          Too busy to send cards, flowers or just pick up the phone.
 
          Puisi yang ini dikutip dari "Mother" karya Tyrene Gibert ini,  menggambarkan seorang  tua, sendirian, kesepian dan membayangkan masa mudanya serta  mendambakan perhatian anak-anaknya yang terlalu sibuk untuk mengirim kartu, bunga atau sekadar menelpon. Sebuah pelukisan yang suram mengenai masa tua.

          Padahal sebenarnya, masa tua sudah layak dan sepantasnya menjadi masa yang amat indah. Kita ingat Paus Yohanes XXIII (1881 – 1963) orang tua yang memberikan kehidupan baru kepada gereja universal. Kita ingat juga akan  Mother  Teresa dari Calcutta (1910 – 1997)  yang sudah lanjut usia, yang memberikan harapan kepada orang-orang sakit dan mereka yang berada di ambang maut. Kita dapat memandang  lukisan Rembrandt (1606 – 1669) nama lengkapnya: Rembrandt Harmenszoon van Rijn  dan menemukan kedalaman yang tidak kita lihat sebelumnya. Kita mengagumi karya-karya terakhir Michelangelo  (1475 – 1564) nama lengkapnya: Michelangelo di Lodovico Buonarroti Simoni  dan sadar bahwa itulah karya-karyanya yang paling indah.  Meskipun sudah tua renta, namun kehidupan mereka menjadi inspirasi bagi generasi penerus.

Para  orang tua  bagaikan menanam pohon dan anak cucunya merawat pohon-pohon itu  hingga berbuah. Benar kata pepatah Latin,  "Arbores non nobis, sed filiis plantamus"  –  Pohon-pohon kita tanam bukan untuk kita, melainkan untuk anak-anak kita. Para orang tua  berpikir jauh ke depan, sebab anak cucu yang akan ditinggalkan kelak punya hak untuk menikmati manfaat lingkungan hidup.  "Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka, anak-anak yang lemah, yang mereka kuatir terhadap kesejahteraan mereka" (An – Nisa: 9).  Kehidupan orang tua kita memiliki prinsip "tua-tua keladi, makin tua makin menjadi" – seperti kata peribahasa –  bukan dalam arti negatif melainkan bermakna  positif.  Di masa tua pun mampu memberikan  sumbang-sih  berharga bagi anak cucunya.

Namun di pihak lain, tidak bisa disangkal bahwa banyak orang tua yang hidupnya tidak  produktif  lagi. Mereka ikut saja dan kadang "bergiliran" untuk "menumpang" di rumah anak-anaknya. Biasanya orang tua "dibebani" menjadi pembantu untuk sementara waktu  mengurus cucu-cucu. Kali lalu, mungkin orang tua pernah berkuasa namun kini orang tua  harus taat kepada perintah anak-anaknya. "Ketika engkau masih muda, engkau mengikat pinggangmu sendiri dan engkau berjalan ke mana saja kaukehendaki, tatapi jika engkau sudah menjadi tua, engkau akan mengulurkan tanganmu dan orang lain akan mengikat engkau dan membawa ke tempat yang tidak kaukehendaki" (Yoh 21: 18). Sang Nabi Muhammad bersabda, "Orangtua yang sudah lanjut usia itu merupakan titipan Tuhan di muka bumi. Barangsiapa yang mencintai dan merawat mereka, maka Allah akan melipatgandakan upahan dan melimpahkan berkat pada keluarga itu."  Komaruddin Hidayat dalam  Memaknai  Jejak-Jejak Kehidupan  menambahkan, "Oleh karena itu, sangatlah terpuji dan sangat logis kalau orangtua menjadi rebutan bagi anak-anaknya untuk merawat dan melayani mereka, bukannya dititipkan di rumah jompo" (hlm. 204).

Kadang pula, usia tua dianggap sebagai masa-masa penuh rahmat untuk semakin mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Ia sadar akan tujuan hidupnya, "sangkan paraning dumadi" – asal mula kehidupan dan akan menuju kepada Sang  Pemberi Hidup Sejati."  Oleh karena itu dalam kelakar orang berkata, bahwa orang tua itu  "sudah bau tanah" yang berarti mendekati alam kubur. Maka, doa yang paling mengena bagi orang tua, "Ajarlah kami menghitung hari-hari kami sedemikian, hingga kami beroleh hati yang bijaksana" (Mzm 90: 12).   Masa tua bagaikan saat teduh yang tidak perlu memikirkan hal-hal yang berat, namun  saat untuk bermenung supaya menjadi bijaksana, seperti yang dikatakan Confucius  (551 – 479 seb.M), seorang guru dan filsuf China. Ajarannya mengarah  pada moral pribadi dan pemerintah, relasi sosial, keadilan. Prinsipnya yang terkenal, "Jangan lakukan pada orang lain apa yang tidak diingingkan terjadi pada dirimu."  Mengenai orang tua dia berkata,  "Usia 70, orang baru bijaksana."  Orang tua yang digambarkan memegang tongkat dengan jenggot panjang dan rambut memutih sebagai orang bijaksana yang menjadi inspirasi bagi generasi muda.

Dalam Al-Qur'an surat Lukman, perintah bersyukur pada orang tua bahkan diletakkan sebaris dengan perintah bersyukur pada Allah. Ini menunjukkan betapa Allah meminta pada semua hamba-Nya agar pandai berterima kasih serta mencintai orang tua, khususnya ibu yang telah mengandung, melahirkan dan mengasuh dengan susah payah namun cinta dan kasihnya tidak pernah padam (130313) Markus Marlon

 
Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com