Jumat, 20 Juli 2012

Motivasi Kerja

MOTIVASI KERJA
(Sebuah Percikan Permenungan)

Pada suatu hari, sahabat dekat saya merasa terpukul karena lamaran
pekerjaannya tidak diterima dalam suatu perusahaan. Waktu interview,
ternyata dirinya tidak mampu menjawab motivasi apa yang membuat dirinya
ingin menjadi karyawan dalam suatu perusahaan tersebut. Di sisi lain,
ternyata motivasi juga bisa untuk menelurusi tindakan kejatahatan. Dalam
peristiwa kriminal, pertama-tama yang harus dicari adalah motif penjahat
melakukan tindakan tersebut. Setelah diketahui baru akan mudah mengusut
rentetan peristiwa-peristiwa selanjutnya.

Kata motivasi berasal dari bahasa Latin, movere yang berarti menggerakkan.
Dari sana, kita mengenal istilah mobile dan auto-motive. Ketika menulis
puisi, cerpen atau artikel, Budi Dharma senantiasa menekankan motivasi.
Tekad yang bulat merupakan modal utama dalam segala tindakannya. Ia mengakui
bahwa motivasi dan keseriusannya dalam mencipta dan berkarya membuat dirinya
kini dijuluki sebagai sastrawan. Impian itu menjadi nyata bukan tanpa
cucuran keringan dan air mata.

Saya pernah membaca tulisan pada kaos oblong yang dipakai oleh seorang
pemuda dengan rambut awut-awutan, "I'm alergic to work". Kerja nyatanya
membuat banyak orang menjadi alergi. Dalam bahasa Prancis, kerja adalah
travail yang diderivasikan dari bahasa Latin, trapalium. Dan trapalium itu
sendiri ternyata adalah alat yang terdiri atas tiga lapisan dan dipakai
untuk menyiksa seseorang. Jadi kerja adalah siksaan itu sendiri.

Merenungkan kata-kata di atas, saya ingat kembali ensiklik (surat edaran)
yang diumumkan di rumah peristirahatan kepausan Castel Gandolfo, di luar
kota Roma. Inti dari ensiklik tersebut bahwa bekerja itu mulia. Tulisanya,
"Pekerjaan itu adalah luhur dan mulia, tidak hina dan tidak rendah." Karena
bekerja, manusia justru dibedakan dengan makhluk lain. Dengan bekerja,
manusia mampu menundukkan dunia, membangun dan mengembangkan bumi menjadi
tempat hidup yang membahagiakan. Oleh karena itu laborem exercens (nama
surat edaran tersebut) ditujukan kepada "manusia yang bekerja" yang
menyatakan keluhuran sifatnya dan memancarkan kebesaran derajatnya.

Penciptaan sebuah adikarya (masterpiece) tidak mungkin terjadi tanpa adanya
motivasi. Motivasi itu bagaikan invisible hand - meminjam ungkapan dari
Adam Smith (1723 - 1790) - yang mendorongnya terus-menerus untuk suatu
nilai. Grêgêt-nya yang kuat akhirnya teraktualisasi dalam tindakan nyata.
Motivasi itu tidak mengendor, meskipun banyak tantangan dari luar.
"Hercules" kata penutur Mitologi Yunani, " tidak akan berhenti bekerja
sebelum menyelesaiakan tugas-tugasnya yang terkenal itu yakni: famous
twelve labour." Hercules menyadari bahwa tugas yang diberikan oleh Raja
Eurystheus itu merupakan kehendak para dewa. Motivasi itu yang harus kita
murnikan setiap kali bekerja (16 Juli 2012).

Markus Marlon msc
Skolastkat MSC
"Biara Hati Kudus"
Jl. Raya Pineleng KM. 9
PINELENG - MANADO
95361

Selasa, 17 Juli 2012

MEMBONGKAR KEEGOISAN

MEMBONGKAR KEEGOISAN*
(Sebuah Tulisan untuk Penyadaran Diri)

Ada seorang permaisuri yang memiliki puri megah-mewah. Puri tersebut
dibangun di tengah-tengah kota. Sang permaisuri begitu mencintai puri
tersebut, sehingga dibuat tidak memiliki jendela. Ia tidak kalau rela
perabot istana itu diketahui dan dilihat oleh orang lain. Di pusat purinya,
yakni tempat tidurnya, dikelilingi dengan kaca-kaca mewah untuk bersolek
setiap hari. Karena kegemarannya bersolek di depan kaca, maka sang raja
marah.

Dibongkarnya kaca-kaca mewah itu dan dibuatlah lubang. Dengan adanya lubang
tersebut, sang permaisuri baru menyadari bahwa di seberang istana banyak
orang menderita, di seberang istananya banyak orang yang perlu dibantu dan
dikunjungi. Sejak saat itulah, sang permaisuri menyuruh membuat
jendela-jendela di purinya, sehingga keluarga kerajaan suka untuk
mengunjungi orang-orang di sekitarnya.

Jendela memiliki multi-fungsi. Melalui jendela tersebut, orang bisa melihat
pohon-pohon dan keadaan di luar rumah tanpa terganggu kesehatannya (masuk
angin), karena mungkin ada kacanya. Pemeo yang berbunyi, "Buku adalah
jendela dunia" adalah tepat jika diterapkan dalam kehidupan kita. Jendela
hati adalah bagaimana kita berelasi dengan orang lain, bagaimana suami dan
istri serta anak-anak ada saling keterbukaan, sehingga jarang terjadi salah
paham.

"Tembok pribadi" merupakan penyekat antara dirinya dengan orang lain. Jika
tembok seseorang semakin tebal, maka orang itu akan menjadi pribadi yang
tidak tersentuh. Orang semacam ini akan hidup nyaman dan aman tinggal di
menara gading. Tembok inilah yang akhirnya bisa menjadi penyekat.
Sekat-sekat seperti ini yang membuat orang bisa jatuh dalam kesenjangan
sosial yang besar. Kisah Lazarus (Luk. 16: 20 – 25) hendak menunjukkan
kepada kita bahwa jika kita selama hidup tidak pernah solider dengan kaum
miskin – tentunya – akan membuat kesenjangan sosial yang lebar.

Agnes Monica – artis yang sedang naik daun – pernah bercerita bahwa
orang-orang yang mengkritik itu seperti orang-orang yang "melempar" batu
batu kepada dirinya. Batu-batu itu baginya malah dia jadikan tembok,
sehingga kariernya semakin kuat, maju dan berkembang. Monica menambahkan
lagi, setelah membuat tembok ia masih akan membuat jembatan dari material
dari lemparan orang-orang yang mengkritiknya dan berusaha bersahabat dengan
mereka. Ia berkata, "Tidak ada monument yang dibangun untuk menghormati
para pengritik." Itulah sebabnya, Monica terus berkarya dan menghasilkan
karya-karya yang luar biasa.
Orang yang berani membongkar keegoisan diri adalah mereka yang mudah
memberi. Theresa dari Kalkuta (1910 – 1997) adalah pribadi yang suka
memberi. Sewaktu kecil, ia "belajar memberi" dari ibunya yang bernama
Dranafile yang dalam bahasa Albania berarti bunga mawar. Dwiyani Christy
dalam Mother Theresa – Melayani Yang Termiskin Dari Yang Miskin, melukiskan
bahwa keluarga Bojaxhiu kerap mengundang orang-orang yang miskin, terlantar
dan kekurangan. Pengalaman-pengalaman inilah yang menjadi dasar yang kuat
bagi Theresa kecil untuk berkarya di kemudian hari.

Orang India meyakini bahwa dunia ini adalah sebagai jembatan menuju Nirvana
(nir = tiada, vana = sengsara dan penderitaan). Di tepi sungai Gangga,
banyak orang hidup dalam rumah yang sederhana, karena tahu bahwa nanti akan
berjalan menuju Sorga. Kita pun di sini dan kini memiliki "jembatan"
kita masing-masing. Melalui jembatan itu, ia bisa berelasi dengan diri
sendiri, (introspeksi, refleksi, meditasi) dengan sesama (pergaulan yang
sehat) dan dengan Tuhan (berdoa). Dengan berjalan "keluar diri" dan
berbagi dengan sesama, maka kita telah membongkar keegoisan kita (16 Mei
2012).
*Tulisan ini telah dipublikasikan pada Percikan Hati edisi April 2012

Markus Marlon MSC
Skolastikat MSC
"Biara Hati Kudus"
Jl. Raya Pineleng K.M. 9
PINELENG – MANADO
95361

Rabu, 11 Juli 2012

MENULIS

MENULIS
(Sebuah Percikan Permenungan)

Sebuah tulisan kadang membingungkan – bahkan kalau tidak hati-hati –
bisa menjadi pemicu perselisihan. Seorang calon mertua kaget membaca tulisan
status Facebook dari calon menantu perempuan, "Hatiku gembira saat ini dan
seandainya mertuaku di depanku pun aku pasti tidak mau tahu. Saking
gembiranya!" Seketika itu juga, "camer" (calon mertua) mencak-mencak dan
menginformasikan ke keluarga besarnya bahwa "camen"-nya (calon menantu)
telah berbuat kurang ajar terhadapnya. Sebenarnya apa yang dibuat oleh
"camen" itu adalah sebuah iseng-iseng belaka, namun ternyata tulisan itu
ditanggapi dengan serius. Paradigma tulisan – meminjam istilah dari
Stephen Covey dalam The 7 Habits of Highly Effective Pople – yang
dilontarkan sebagai status dari pihak "camen" tentunya akan membuat si
"camer" kebakaran jenggot.

Menulis sungguh tidak gampang – maaf kepada Arswendo Atmowiloto yang menulis
buku yang berjudul Mengarang itu Gampang – sebab dengan menulis kita
memusatkan segala energi untuk membesut kata demi kata sehingga tulisan
tersebut memiliki makna dan tidak bias. Kees Bertes dalam Moralitas Lentera
Peradaban Dunia, mengisahkan bagaimana ia hidup sebagai pengarang. Tulisnya,
"Mungkin tahap yang paling berat adalah permulaannya, yaitu menghadap kertas
kosong yang perlu diisi. Untuk penulis yang hanya memakai komputer,
keadaanya pasti sama: bagi mereka tahap yang paling sulit adalah menghadap
layar monitor yang kosong. Sering dikatakan, untuk bisa menulis seorang
pengarang membutuhkan inspirasi." Dan lagi, menulis tidak bisa dikerjakan
dalam hingar-bingar keramaian, namun di tempat yang tenang. Menurut Mochtar
Pabottingi, salah satu penerima gelar Lima Cendekiawan Berdedikasi (Kompas,
27 Juni 2012) mengisahkan bahwa tulisan-tulisan yang ia lahirkan itu perlu
perjuangan ketenangan yang mendalam. Ia menunjukkan sebagai suatu askese
intelektual. Untuk mencapai tulisan yang berbobot, ia bermati raga (ascetic)
dengan jalan "tapa ngrame" (bersemadi di tempat yang ramai). Pada
akhirnya, para penulis harus "mengambil jarak" dengan dunia dan ia
berhadapan dengan ide-denya sendiri.

Zaman sekarang ini orang sulit untuk berdiam diri dan mengadakan observasi
intelektual. Budaya instan telah menguasai mentalitas kaum remaja dan
pemuda. Orang tidak betah untuk berlama-lama menekuni (menulis atau membaca)
sebuah artikel ilmiah. Hal ini dikarenakan sejak Sekolah Dasar, mereka sudah
dibiasakan untuk ujian gaya multiple choice dan kurang adanya pelajaran
mengarang. Bahkan akhir-akhir ini, para dosen mengeluh dengan hasil ujian
para mahasiswa yang gaya tulisannya seperti menulis SMS. Mereka tidak bisa
lagi membedakan antara: subyek, predikat, obyek dan keterangan. Menulis
ternyata bukan perkara mudah. Maka tidak mengherankan jika pernah ramai
dibicarakan tentang plagiarism. Untuk membuat skripsi, tesis bahkan
disertasi, mereka berani menjiplak karya orang lain. Para calon sarjana,
master dan dokter enggan untuk menulis dan mengadakan penelitian. Dalam
dunia penulisan di media massa pun ada sebuah istilah ghost writer yang
berarti penulis siluman. L. Wilardjo menulis, "Ibu negara Romania, istri
diktator Caescescu yang kemudian ditembak mati oleh pengadilan rakyat,
bahkan mengupah selusin ghost writer (penulis siluman). Tugas mereka
membikinkan makalah-makalah untuk dipublikasikan di jurnal ilmiah dengan
nama sang ibu negara sebagai penulisnya (Kompas, 23 Juni 2012). Semua ini
hendak menunjukkan bahwa menulis itu tidak gampang.

Dalam buku yang berjudul Wedhatama karya Sri Paduka Mangkunagoro IV (1809 –
1881) – yang ditulis ulang oleh Anand Krishna – memberikan masukan tentang
motivasi orang menulis. Ada orang yang menulis karena profesinya. Kelompok
pertama ini akan selalu mencari sensasi. Ia harus menciptakan sesuatu yang
dapat diterima atau ditolak oleh massa. Kelompok kedua adalah kelompok para
sastrawan. Mereka tidak selalu mementingkan penghasilan yang dapat diraih
dari tulisan-tulisan mereka. Mereka lebih mementingkan kepuasan batin.
Kadang-kadang bahasa mereka sangat pedas dan sangat pahit. Mereka tidak
peduli. Kelompok ketiga adalah mereka yang menulis karena ingin berbagi
rasa. Mereka ingin menyampaikan sesuatu. Menurut Sri Mangkunagoro sendiri,
tulisannya ini diperuntukkan bagi para siwi – para siswa atau shishya.
Shishya berarti "ia yang telah menundukkan kepala". Menundukkan kepala
berarti melepaskah keangkuhan, mengakui ketidaktahuannya dan berkeinginan
untuk belajar.

Dari uraian Sri Mangkunagoro tersebut dapat dipahami bahwa menulis itu
berbagi pengalaman. Orang yang menulis pun hendaknya bersikap terbuka
terhadap dunia luar dan mengakui keunggulan pihak lain. Lao Tze (lahir 604
seb. M) penulis Tao Teh Ching menulis, "Ia yang dirinya terbuka seperti
lembah, ibarat ibu sejati yang melahirkan segala sesuatu dalam alam ini. Ia
tidak akan pernah gagal." Lao Tze berpikir bahwa segala sesuatu yang indah
dalam duni ini berasal dari Jiwa Feminin. Kita boleh berbadan maskulin,
namun apabila kita ingin meninggalkan suatu kenangan yang indah dalam dunia,
kita harus berjiwa wanita. Para penyair dan para penulis semuanya berjiwa
wanita. Seorang wanita itu bisa melahirkan karena dirinya bersikap
reseptif, sehingga mengandung dan pada gilirannya ia melahirkan. Seorang
penulis itu bagaikan lembah yang pikirannya terbuka bagi perkembangan dunia
luar. Tidak seperti gunung yang berdiri kokoh dan "angkuh".

Permenungan ini akan diakhiri dengan sebuah kisah tentang penyair yang
ditulis oleh Kahlil Gibran (1922 – 2008). Seorang penyair menulis sebuah
syair cinta yang indah sekali. Lalu ia memperbanyak syair itu dan
dikirimkannya kepada para kawan, kerabat dan kenalan. Ia juga
mengirimkannya kepada seorang wanita yang tinggal di daeah pegunungan.
Wanita ini pernah ia temui, beberapa tahun yang lalu.

Begitu membaca syair cinta itu, hati wanita pun tersentuh. Ia mengirimkan
dua orang utusan kepada sang penyair, dengan pesan tertulis, "Aku tersentuh
sekali dengan syairmu dengan ungkapan kasihmu, rasa hatimu, Aku siap menjadi
pendampingmu. Datanglah ke sini untuk melamar diriku. Orang tuaku siap
menerimamu."

Sang penyair membalas, "Temanku, yang kutulis ini hanyalah sebuah syair.
Sesuatu yang aku kirimkan kepada sekian banyak kawan, kerabat dan kenalan.
Tidak ada maksud lain di baik itu."

Membaca tulisan sang penyair, wanita itu sedih sekali dan menulis kembali,
"Wahai penyair, kau sang munafik. Tulisanmu lain, maksudmu lain. Sampai
akhir hayat, aku tidak akan pernah meyakini kata-kata seorang penyair lagi"
(04 Juli 2012).

Markus Marlon msc
Skolastikat MSC
"Biara Hati Kudus"
Jl. Raya Pineleng KM. 9
PINELENG – MANADO
95361