Jumat, 29 Juni 2012

TUHAN, MAKACIH NEH

TUHAN, MAKACIH NEH
(Perjumpaan-Perjumpaan dalam Perjalanan yang Meneguhkan)

Ini adalah sebuah kisah pengalaman perjalanan menuju Wamena (Papua) tahun
2011. Pada waktu itu saya transit di Bandara "Sentani" Jayapura untuk
beberapa saat. Di sana saya membaca sebuah himbauan terpampang di dinding
ruang tunggu yang bertuliskan, "Terima kasih Anda tidak meludah pinang di
tempat ini." Dan di dinding sebelah bertuliskan, "Terima kasih Anda tidak
merokok." Bagi saya tulisan dan ucapan Terima kasih tersebut tidak berarti
apa-apa, karena saya tidak menghisap rokok dan menikmati sirih-pinang.
Namun, barangkali ucapan terima kasih itu amat berati bagi mereka yang
ketagihan merokok dan penikmat sirih-pinang untuk sementara waktu tidak
menikmatinya.

Sebelum boarding menuju pesawat Trigana Air, saya makan papeda, masakan
khas wilayah timur Indonesia dan minum teh tawar panas di sebuah cafetaria.
Setelah itu saya datang ke cashier dan membayarnya. Pramusaji berkata
kepada saya, "Terima kasih ya pak!" Bagi saya ucapan sang pramusaji ini
boleh saya jawab, "Terima kasih kembali nona" atau saya diam saja bahkan
acuh tak acuh pun tidak jadi masalah." Sebagai pembeli saya adalah "raja".
James Gwee pembicara kondang Bussines marketing & Sasles Promotion
mengatakan, "customer is king dan buatlah sang pembeli atau pelanggan itu
merasa nyaman." Ini juga sama sewaktu kita hendak turun dari pesawat.
Beberapa menit sebelum landing, para pramugari berhias dan mematut diri dan
berdiri di depan pintu keluar untuk mengucapkan, "Terima kasih!" Biasanya
para penumpang dengan membawa koper-tas-kardus yang berat-berat itu tidak
akan menjawab ucapan terima kasih yang diucapkan oleh mereka. Sang
pramugari diajak untuk profesional. Meskipun barangkali mereka sedang
bermasalah dengan pacarnya, tetapi harus senyum simpul melayani para
penumpang. Ucapan terima kasih yang dibuat-buat (barangkali).

Panggilan untuk boarding di pesawat sudah berkumandang dan saya cepat-cepat
naik. Penerbangan saya menuju ke Wamena dilalui dengan singkat – lebih
sedikit lama dari Manado ke Ternate – dan orang bilang satu puntung rokok
dihisap habis sampailah pada tujuan. Pada waktu itu cuaca tidak baik,
sehingga kami para "pelanggan" (sebutan untuk Maskapai Merpati Airlines)
atau "penumpang" (sebutan untuk Maskapai Lion Air) merasa ketakutan. Jarak
pandang kami terhalangai oleh kabut yang pekat. Cuaca sungguh mengerikan dan
ada badai. Pramugari secara samar-samar memberi informasi kepada kami,
"turbulent weather". Saya heran, mengapa pramugari tidak memakai bahasa
Indonesia saja, karena pada saat itu tidak ada orang bule, orang asing
maupun londo. Kemungkinan dia panik, sehingga lupa bahasa Indonesia, padahal
setahu saya dia itu orang Flores (entah itu orang Larantuka, Adonara maupun
Bajawa). Doa-doa dipanjatkan dan keringat dingin mulai keluar, ketakutan
begitu mengusai kami para penumpang atau pelanggan. Saya berdoa "Salam
Maria" dan "Bapa Kami" entah sampai berapa kali.

Tetapi untunglah, kami bisa landing dengan selamat. Kami pucat pasi keluar
dari pesawat dan pramugari tidak sempat mengucapkan kata terima kasih. Saya
secara pribadi sengaja ketemu dengan pilot dan mengucap terima kasih, karena
telah selamat. Bagiku ini adalah ucapan terima kasih yang tulus. Ini keluar
dari ungkapan hati yang terdalam. Barangkali ungkapan "terima kasih" ini
bisa dipersandingkan dengan ucapan terima kasih yang disampaikan oleh
seorang pasien yang sakit parah dan kemudian sembuh total. Ia mengucap
terima kasih kepada dokter dengan tulus. Ucapan terima kasih yang sarat
makna.

Di sana saya sudah dijemput oleh sahabat dan tibalah di Hotel Nayak, Jl.
Gatot Subroto no. 63. Sahabat saya berkata, "Sob! (itu artinya
sobat-sahabat-kerabat), sore ini keluarga kami akan mengucap syukur. Sob
yang pimpin ya? Kami sudah siapkan peralatan misa-nya dan pastor paroki
sudah oke!"

Sejenak saya tenggelam dalam "diam". Mengapa tidak mengucap terima kasih
dan mengapa mengucap syukur. Saya baru sadar bahwa mengucap syukur itu
sebuah ungkapan yang tertinggi dan terdalam. Ucapan terima kasih ditujukan
kepada manusia dan ucapan syukur ditujukan kepada Tuhan, pemilik kehidupan.
Maka tidak heranlah jika keluarga tersebut mengucap syukur dengan mengadakan
Ekaristi. Ekaristi sendiri dari bahasa Yunani, eucharist yang berarti
syukur. Kata yang dipakai untuk menyebut seluruh upacara misa, khususnya
bagian kedua (sesudah perayaan Sabda) yang mencapai puncaknya pada
konsekrasi roti dan anggur menjadi tubuh dan darah Kristus dan berakhir
dengan komuni.

Di Minahasa, saya sering mengikuti acara "pengucapan". Di sana
keluarga-keluarga menyiapkan hidangan yang disajikan untuk sahabat-kerabat
yang datang di rumahnya. Keluarga mengucap syukur kepada Tuhan atas berkat,
rejeki yang melimpah dan tentunya itu juga dibagikan kepada sesama. Mereka
mengucap syukur kepada Tuhan.

Kembali ke Wamena, setelah selesai merayakan Ekaristi atau mengucap syukur,
seorang anak kecil berdoa demikian, "Tuhan, makacih neh, saya akan makan
sagu bakar!" Dalam hati saya berkata , "Lho, koq tidak mengucap syukur
kepada Tuhan, tetapi terima kasih ya." Namun saya maklum karena dia masih
anak-anak. Tetapi tiba-tiba bapaknya berkata kepada saya, "Sob, syukur bisa
datang ke rumah kami, jadi bisa mengucap terima kasih kepada Tuhan." Saya
bingung, "Mana yang benar: Syukur atau terima kasih?" Wallahualam !! (14
Mei 2012).


Markus Marlon msc
Skolastikat MSC,
"Biara Hati Kudus"
Jl. Raya Pineleng KM. 9 PINELENG
Jaga IV – Kecamatan Pineleng
MANADO – 95361

Senin, 25 Juni 2012

BERKAH DALEM

BERKAH DALEM
Sebuah penelusuran kata-kata: Othak-athik Gathuk

Di Merauke – Papua, ada paguyuban orang jawa Katolik yang bernama
"Paguyuban Sanjaya" yang secara rutin mengadakan pertemuan setiap minggu
ke-4 dalam bulan. Biasanya selesai ibadat sabda, kami semua disuguhi makanan
khas jawa: jangan lodheh, tempe-tahu, gudheg, thiwul, pecel dan
nyamikan-nya: kalamuncang, rondho royal, semar mendem serta minumannya
wedang rondhe. Lagu-lagunya pun campur sari dari Manthous alm."Randha
Kempling" Sebagai obat kangen kampung halaman.

Pertemuan kami selalu diawali dengan kata, "Berkah Dalem". Kata-kata bagi
orang Jawa sudah familiar. Tetapi ketika orang Papua mendengar kata itu
langsung masuk ke dalam rumah. Katanya, "Berkahnya ada di dalam kah?

Saya pun sebagai orang ndesa, Gunungkidul, kadang belum tahu makna Berkah
Dalem. Kata Berkah berasal dari kata Arab, "barakah" yang memiliki
makna: kebaikan dan bersifat tetap dan terus menerus. Kata ini diambil dari
"birkah" yang berarti tempat berhimpunannya air. Air merupakan sumber
kehidupan. Bangsa Arab merupakan negara padang gurun dan air merupakan hal
yang sangat vital. Demikianlah, maka maka air sebagai berkah.

Menurut mbok saya, Dalem itu rumah. Kata itu dipakai sebenarnya oleh para
abdi di Keraton. Dengan menyebut Dalem, itu menunjuk pada Sultan, sang
empunya dalem (rumah atau keraton). Bagi orang Jawa, tidak sopan menunjuk
langsung orangnya (bhs. Latin: ad hominem yang berarti langsung menunjuk
orangnya). Maka secara implisit menunjuk melalui rumahnya. Kita juga kenal
dengan istilah sampeyan yang berarti kaki. Atau panjenengan yang berarti
tongkat. Panjenengan paling halus karena semakin jauh dari subyek yang
dimaksud.

Menurut cerita, pada waktu orang menggunakan Deo gratias. Deo (bhs. Latin)
artinya: Tuhan. Gratias (bhs. Latin) artinya berkat atau berkah. Tetapi
bagaimana orang-orang nggunung menggunakan kata itu, maka dicarilah bahasa
lokal. Seorang pastor Jesuit di sebuah paroki di desa menciptakan istilah
Berkah Dalem. Kalau orang Manado, jika bertemu orang selalu berkata,
"Dominus Vobiscum" (01 Mei 2012).

Markus Marlon msc
Skolastikat MSC
"Biara Hati Kudus"
Jl. Raya Pineleng KM. 9 – PINELENG
MANADO – 95361

Sabtu, 23 Juni 2012

BIARLAH KAKIKU YANG SATU DIPOTONG

BIARLAH KAKIKU YANG SATU DIPOTONG
(Perjumpaan-Perjumpaan dalam Perjalanan yang Meneguhkan)

Minggu, 29 April 2012, saya mengadakan perjalanan dari Bitung – sebuah
kota pelabuhan – menuju Lotta – Pineleng. Tentu saja, perjalanan ini
melewati tempat-tempat yang bersejarah. Pertama-tama saya mampir di Maumbi,
10 kilometer arah timur Manado. Di sana pula saya sempat melihat monumen
Maria Walanda Maramis (1872 – 1924), "pendidik kaum perempuan" dan hingga
detik ini "spirit emansipasi"-nya masih sangat kentara.

Setelah beberapa menit, saya melanjutkan perjalanan dan kebetulan diminta
singgah untuk makan siang di Citra Land. Rumah sahabatku itu sekitar patung
Yesus yang sedang memberkati kota Manado. Monumen Yesus yang dibangun
Ciputra ini memiliki tinggi 30 meter dan penopangnya 20 meter. Sungguh
indah memang! Saya masuk ke pekarangan rumahnya dan melihat di sana ada gua
Maria (ciri khas orang Katolik). Tetapi sangat disayangkan bahwa bunda
Maria yang cantik sudah terpolesi dengan lumut. Bahkan kedua mata sang
Bunda itu sudah tidak terlihat. Kemudian, sambil bergurau saya berkata,
"Hai! sahabat, alangkah baiknya jika kalian meningkirkan lumut-lumut itu
dari wajah sang Bunda, sehingga tidak kelihatan buta. Tapi ternyata jawaban
sang tuan rumah di luar dugaanku. Katanya, "Biarlah Bunda Maria ini "buta"
supaya ia tidak melihat kelakuanku yang buruk dan tidak terpuji itu, namun
senantiasa mendengarkan permohonan-permohonanku. Sebelum saya menanggapi
jawabannya itu, tuan rumah langsung mengajakku makan siang. Di sana ada
pelbagai masakan yang menggiurkan: ular patola, tikus ekor putih dan paniki
serta babi kecap tentunya. Kami menyantap makanan yang pedas-pedas sampai
lupa perbincangan tadi tentang Bunda Maria.

Setelah pamit, saya mengadakan perjalan ke arah Lota – Pineleng. Dalam
perjalanan ini, saya sempat nonton vcd – maklum deh, mobilnya ada
vcd-player-nya – dengan judul "The Iron Lady – Never Compromise" yang
dibintangi Meryl Streep (peraih golden globe winner sebagai best actress).
Namun pikiranku bukan di Margareth Thatcher, yang senantiasa memakai topi
itu, melainkan pada kata-kata, "biarlah Bunda Maria tetap buta." Tidak
saya sadari, pikiranku menerawang jauh di masa lampau ketika bertugas di
sebuah paroki di Keuskupan Purwokerto. Pada waktu itu, masa Prapaskah yakni
masa untuk pengakuan dosa. Salah seorang dewan datang kepada saya dan
berkata, "Romo, ini ada usul dari salah satu domba. Kalau bisa untuk romo
tamu yang membantu pengakuan dosa di paroki kita, dicarikan romo tua sekali
yang kami tidak dikenal dan hampir tuli!" Kemudian saya berkata, "Karena
apa?" Jawab bapak dewan ini, "Romo ini koq seperti kura-kura dalam perahu!"

Lamunanku buyar seketika, ketika driver berkata, "Bos, sudah sampai nih! Di
Wisma Lorenzo – Lotta" Di sana saya diminta mendampingi Rekoleksi singkat
dari Wilayah Rohani St. Katarina dari Siena (1347 – 1380), sebuah paroki di
bilangan Manado. Banyak keutamaan yang dimiliki oleh orang kudus ini. Salah
satunya, St. Katarina adalah seorang pribadi yang tulus dan tentunya
bukanlah orang yang suka iri hati.

Kemudian ada seorang peserta yang membagikan pengalamannya yang sangat
indah. Ia mulai berkisah. Ada dua orang ibu yang rumahnya berhadap-hadapan.
Mereka berdua itu bersaing tidak sehat dan saling iri hati. Jika warung yang
satu ada pembeli, ibu ini mulai membuat "gerakan tambahan" bahwa
warungnyalah yang paling laris. Ini juga yang membuat mereka berdua saling
dengki dan benci.

Suatu malam, ibu yang satu bermimpi berjumpa dengan Yesus. Dan Yesus
berkata, "Ibu, saya hendak memberikan sesuatu kepadamu. Namun ibu pemilik
warung di depanmu juga akan saya beri. Jika ibu mendapat laba Rp.
1.000.000,- sehari, maka ibu di depanmu itu akan mendapatkan laba Rp.
2.000.000,- sehari. Jika ibu saya beri dua mobil, maka ibu tetanggamu itu
akan saya beri empat mobil. Jika putra mu lulus S1, maka tetangga ibu akan
lulus S2. Bagaimana ibu, apa permintaanmu ?"

Ibu itu diam sejenak berpikir dan bermenung. Kemudian setelah itu, ia
berkata, "Tuhan Yesus, biarlah kakiku yang satu dipotong, supaya orang di
depanku itu kakinya dipotong dua-duanya!"

Kemudian saya nyeletuk, "Luar biasa yah kekuatan iri hati itu, sampai-sampai
mau menderita, asal orang lain lebih menderita" (30 April 2012).


Markus Marlon msc
Skolastikat MSC,
"Biara Hati Kudus"
Jl. Raya Pineleng KM. 9 PINELENG
Jaga IV – Kecamatan Pineleng
MANADO – 95361

Jumat, 22 Juni 2012

PAMER

PAMER
(Sebuah Percikan Permenungan)

Tahun 2010, setelah landing di Bandara Selaparang, saya singgah di salah
satu keluarga di Narmada – Lombok. Tuan rumah menyuguhi makanan yang lezat
yaitu "Ayam Bakar Taliwang". Rasanya sebanding "bebek rica-rica" a la
Manado. Sembari menikmati masakan yang lezat tersebut, saya memerhatikan
foto-foto yang mengenakan toga sebagai simbul sarjana. Seingatku
keluarga ini memiliki lima anak, tetapi yang dipasang hanya empat. Kemudian
saya mencoba bertanya kepada tuan rumah, "Ibu, bukankah ada lima anak,
kenapa yang satu tidak dipasang fotonya?" Ibu itu dengan malu-malu kucing
berkata, "Anak yang nomor empat tidak sekolah, jadi tidak ada fotonya."

Sudah menjadi gejala umum bahwa setiap orang ingin dianggap manusia super.
Super (bhs. Latin) di sini diartikan melebihi, unggul dan lebih tinggi dari
pada yang lain. Karena sifat unggulnya itu, terkadang orang-orang ingin
pamer, yang dalam bahasa keren-nya snobbish. Dari sana pula muncul kata
snobisme. Lihat saja foto-foto yang ada di Facebook maupun Blacberry,
semua berisi kiprah-kiprah kita dan pasti ada foto-foto supaya orang-orang
tahu. Myra Sidharta – seorang psikolog – melukiskan makna snobisme
dengan bagus. Snobisme adalah kecenderungan manusia yang suka memamerkan
benda-benda miliknya yang mahal dan trendy. Namun seorang snob akan menjadi
lebih tinggi kalau dirinya memiliki hubungan dengan orang-orang yang tingkat
posisi sosialnya lebih tinggi. Snobisme kini menular ke mana-mana tak
terkendali. Seorang satpam misalnya, akan merasa lebih betah kalau bekerja
ada keluarga yang sering kedatangan tamu-tamu yang berkedudukan tinggi atau
seseorang akan bangga sekali karena memiliki teman-teman hebat.

Mohammad Sobary pernah juga mengemukakan tentang orang-orang yang suka
pamer. Tulisnya, "Dalam hidup harian, kita silau dengan gemerlapnya dunia.
Kalau orang yang datang ke rumah itu memakai dasi dan pakaiannya mentereng,
spontan kita percaya dia itu orang baik-baik. Tak tahunya garong. Kalau
calon menantu selalu datang dengan mercy mengkiap, calon mertua pun bersedia
membungkuk badan ketika membuka pintu. Ibaratnya, mencium tangan calon
menantu pun bersedia. Kita sudah silau dengan simbol kemewahan semacam itu.
Dan kita tidak bisa menduga bahwa (sering terjadi) calon menantu teryata
koruptor atau buronan yang sedang dicari polisi." Memang sih, tidak semua
yang berbau pamer itu tidak baik. Ada pamer yang mendatangkan kebaikan,
seperti pameran lukisan maupun expo furniture. Ini dilakukan untuk
mendatangkan hasil yang lebih baik.

Berbicara tentang pamer, saya jadi ingat akan buku yang ditulis oleh Idrus
(1921 – 1979) dengan judul, "Hikayat Puteri Penelope." Novel ini memberikan
kepada kita suatu argumentasi indah hidup sebagai rakyat kebanyakan, padahal
sang puteri adalah anak seorang raja. Statusnya itu membuat setiap geraknya
menjadi "gunjingan" massa, pun dalam urusan yang sangat pribadi sekali yaitu
masalah perkawinan. Ia sudah bosan hidup dengan bergelimpangan harta.
Akhirnya ia beserta keluarganya sengaja menjadi orang biasa di Itali in
cognito. Di sana mereka menginap di sebuah penginapan rakyat yang murah.
Dalam suatu kesempatan jalan-jalan, Puteri Penelope berkenalan dengan
seorang mahasiswa Italia yang bernama Pictro Pirandello. Hubungan mereka
tanpa ada sas-sus yang berarti. Sang puteri akhirnya memutuskan secara resmi
untuk hidup menjadi orang biasa-biasa saja. Ia tidak berniat memamerkan apa
yang dia miliki: harta, kekayaan bahkan gelar kebangsawanannya.

Pepatah yang berbunyi, "You are what you wear" agaknya patut untuk disimak.
Bondan Winarno dalam Kiat, memperingatkan kita dengan tulisannya. Kalau kita
memakai baju batik dan kemudian mengenakan dasi, nah jangan marah kalau
dikatakan norak. Kalau dalam undangan disebut lounge suit, jangan
berani-beraninya memakai jas dan celana yang berwarna.

Memang dalam mengenakan pakaian, orang senantiasa berelasi dengan orang
lain. Kecuali kalau kita di kamar sendiri. Di sana tidak ada orang yang
menegur, meskipun seseorang berpakaian yang sangat vulgar sekalipun.
Perkataan John Donne (1572 – 1631) yang berbunyi, "No man is an Island"
rupanya sangat relavan dengan kehidupan kita.

Kita telah lupa falsafah kerendahan hati nenek moyang. Mereka tidak tertarik
memamerkan kekayaan yang benar-benar mereka miliki. Para petani yang
mendapat keuntungan besar dalam panen, menyimpan uang emas mereka dalam
tiang bambu rumah mereka. Kekayaan itu memang ia sembunyikan. Orang boleh
mengira bahwa mereka hanyalah petani-petani miskin, namun mereka gembira
dalam hati. Mereka tidak takut, kalau pada suatu saat terjadi musim
paceklik. Kita perlu membangun budaya ugahari seperti yang telah diajarkan
oleh sejarah nenak moyang kita. Sekali lagi, Bondan Winarno menulis, "Dalam
berpakaian, janganlah meniru orang-orang Amerika yang dengan tenang memakai
celana kotak-kotak merah dan hijau, jangan juga terlalu genit, kalau tidak
mau dijuluki burung merak." Yang penting sesuaikanlah dengan situasi dan
kondisi (25 April 2012).
Markus Marlon msc

Skolastikat MSC
"Biara Hati Kudus"
Jl. Raya Pineleng , KM. 9 PINELENG
MANADO – 95361

Selasa, 19 Juni 2012

PERCAYA ITU (TERNYATA) TIDAK GAMPANG

PERCAYA ITU (TERNYATA) TIDAK GAMPANG
(Perjumpaan-Perjumpaan dalam Perjalanan yang Meneguhkan)

Setelah merayakan upacara Ekaristi di stasi-stasi – paroki St. Paulus
Lembean – Minahasa Utara, biasanya saya langsung kunjungan umat. Hari
Minggu (22 April 2012), saya singgah pada sebuah keluarga yang sedang
mengalami kedukaan yang rumahnya dekat dengan Universitas Klabat –
Airmadidi.

Dengan terbata-bata, bapak ini mulai bercerita bahwa minggu yang lalu,
anaknya yang sulung mengalami kecelakaan dan meninggal dunia mendadak.
Keluarga ini kehilangan mutiara yang paling berharga. Saya mendengarkan
sharing bapak tersebut dan mencoba mengumpulkan "kata-kata penghiburan"
bagi keluarga tersebut. Selama hampir seperempat jam, saya "berkotbah"
tentang makna kehilangan dan dengan kata-kata suci bahwa sang anak itu pasti
diterima Bapa di Sorga, maka keluarga harus percaya. Kata-kata terakhir saya
ini dibalas oleh bapak tersebut, "Pastor bisa bicara dengan kata-kata indah
karena tidak mengalami sendiri. Bagaimana jika pastor sendiri yang sekarang
dalam posisi saya, apakah masih bisa pasrah dan percaya?"

Saya diam sejenak, kata-kata bapak tersebut bagaikan petir. Akhirnya saya
sadar bahwa percaya itu tidak gampang, karena bulan lalu saya kehilangan
data di komputer saya dan semua tulisan-tulisanku hilang dalam sekejab.
Kehilangan sperti itu saja saya marah-marah kepada Tuhan, "Tuhan mengapa
data-data penting itu harus hilang dari komputerku?"

Dalam perjalanan ke Pineleng, kami singgah di warung Dego-Dego yang
berlokasi Jl. Wakeke III/ 11 – Manado. Semua masakan khas Minahasa ada di
sana (wisata kuliner). Sebelum bubur Manado atau tinutuan dihidangkan, kami
sempat bincang-bincang tentang makna kepasrahan dan kepercayaan. Saya mulai
membuka perbincangan, "Saya pernah makan tinutuan, tetapi yang masak itu
orang Yogjakarta. Tentu saja, saya tidak begitu percaya dengan apa yang dia
buat. Ketika hidangan disajikan, saya tidak makan tinutuan, tetapi tinutuan
rasa gudeg."

Pengalaman ini yang saya sebut sebagai pasrah secara partial. Mungkin kita
pernah dengan kata partisipasi yang berarti ikut ambil (se)-bagian dalam
suatu kegiatan. Dalam sebuah kepanitiaan, ada seorang bapak yang merasa
diri hebat dalam segala hal. Suatu kali, dia menawarkan diri sebagai ketua
seksi dokumentasi. Tentu saja banyak orang yang tidak percaya kemampuannya,
karena memang dia belum pernah berkiprah dalam bidang tersebut.

Setelah menikmati wisata kuliner a la Manado saya melanjutkan perjalanan ke
Lotta, sebuah desa yang memiliki wisata sejarah karena di sana terdapat
makam Pahlawan Imam Bonjol (1772 – 1864). Saya singgah pada sebuah keluarga
yang anaknya hari Senin (23 – 26 April 2012) hendak melaksanakan Ujian
Nasional tingkat SLTP.

Ketika masuk di ruang tamu, saya melihat ada sepuluh lilin menyala di
sekitar Bunda Maria. Dengan ramah, tuan rumah menyambut kami dengan penuh
keramahtamahan. Saya buka dengan sebuah pertanyaan, "Ibu, kenapa hari ini
banyak lilin menyala di sekitar Bunda Maria?" Ibu itu pun mulai menjawab,
"Besok khan si Priscila akan Ujian Nasional. Saya amat percaya kepada Bunda
Maria akan menolong anakku dalam menghadapi ujian." Kemudian, saya bertanya
lagi, "Nanti hari Jumat (27 April 2012), setelah Ujian Nasional berakhir,
apakah lilin-lilin itu akan tetap menyala?" Jawabnya dengan penuh keyakinan,
"Oh, tentu tidak lah. Khan ujian sudah berakhir!" Sambil bergurau saya
nimbrung, "Yah, kasihan juga ya Bunda Maria dipakai sebagai ban serep."

Biasanya orang percaya akan kekuatan doa, tatkala sedang mengalami
penderitaan, susah, cobaan hidup dan ujian-ujian. Ini yang saya sebut
sebagai percaya secara temporal. Mungkin kita pernah mendengar tulisan
Proklamasi, .... dalam tempo yang sesingkat-singkatnya..." Orang percaya
kepada Tuhan tergantung waktu (tempo). Kalau waktu ada ujian hidup doanya
rajin tetapi jika waktu itu hidup tenang dan damai, maka doa dinomorduakan
dulu.

Sampailah saya di Skolastikat. Di ruang kerjaku ada lukisan tangan Paus
Yohanes Paulus II (1920 – 2005). Dalam lukisan tersebut ada tulisan, Totus
tuus yang berarti: segalanya milikmu.

Melalui motto Paus itu, kita bisa merenungkan kepercayaan total (dari totus
yang berati seluruhnya). Terbayang dalam diriku seorang pribadi yang begitu
beriman kepada Tuhan. Bapak ini menderita sakit. Namun dalam penderitaannya,
ia mengimani akan Yesus yang lebih menderita daripadanya. Ia tidak pernah
mengeluh dan kalau ada ketika saya mengunjungi, bapak ini malah memberi
motivasi kepada saya untuk pasrah dan percaya kepada kehendak-Nya. Saya
kagum dibuatnya.

Markus Marlon msc
Skolastikat MSC, 23 April 2012
"Biara Hati Kudus"
Jl. Raya Pineleng KM. 9 PINELENG
Jaga IV – Kecamatan Pineleng
MANADO – 95361

Sabtu, 16 Juni 2012

TUT WURI HANDAYANI

TUT WURI HANDAYANI
(Sebuah Coret-Coret tentang Pameo-Kata
Mutiara-Pepatah-Adagium-Semboyan-Peribahasa-Jargon-Ungkapan-Pitutur)

Semboyan "Tut wuri handayani", atau aslinya: ing ngarsa sung tuladha, ing
madya mangun karsa, tut wuri handayani. Arti dari semboyan ini adalah: tut
wuri handayani (dari belakang seorang guru harus bisa memberikan dorongan
dan arahan), ing madya mangun karsa (di tengah atau di antara murid, guru
harus menciptakan prakarsa dan ide), dan ing ngarsa sung tuladha (di depan,
seorang pendidik harus memberi teladan atau contoh tindakan yang baik).
Semboyan itu diciptakan oleh Ki Hajar Dewantara (1889 – 1959), seorang
pelopor pendidikan yang telah mendirikan sekolah Taman siswa pada tahun 1922

Teladan hidup sungguh efektif. Seneca (4 seb.M – 65 M), atau nama
lengkapnya: Lucius Annaeus Seneca menulis pepatah, "Longum iter est per
praecepta, breve et efficax per exempla" terjemahan bebasnya: segala
sesuatu itu akan lebih mudah diwujudkan melalui contoh daripada melalui
perintah. Juga dalam pendidikan, seorang guru itu berarti juga orang yang
bisa digugu lan ditiru (bhs. Jawa: dipercaya dan diteladani). Peribahasa
yang berbunyi, "Guru kencing berdiri, murid kencing berlari" mendapatkan
penerapannya. Demikian pula, dalam hidup berkeluarga, anak-anak dikatakan
sebagai peniru yang ulung. Dia akan meniru apa yang diperbuat oleh orang
tuanya. Buah memang jatuh tak jauh dari pohonnya.

Cita-cita para guru – pada umumnya – berharap supaya anak didiknya bisa
mandiri. Metode CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif) yang diajarkan di
sekolah-sekolah membuat para siswa menjadi kreatif dan memiliki ide yang
orisinal. Guru mendorong para siswanya untuk berpikir kreatif.

Seorang guru akan merasa bangga dan bahagia, tatkala dikunjungi oleh para
muridnya yang "sudah jadi orang." Para mantan murid itu sudah ada yang
jadi dokter, insinyur, pengusaha dan politikus. Kini mereka sudah menjadi
pribadi-pribadi yang dewasa dan mantap, selama belajar, mereka kreatif dan
tidak menyerah dengan keadaan. Kick Andy yang ditayangkan Metro TV (15 April
2012), menampilkan anak-anak remaja yang berani "keluar" dari norma
sebagai pelajar. Mereka – para pelajar itu – belajar sambil bekerja (tukang
ojek, pemulung, pembuat telur asin). Seorang pelajar yang kreatif bukanlah
"anak mama" dan penurut. Tetapi kadang kala harus "berontak" dan memiliki
"ide-ide gila". Tugas sang guru atau pemimpin adalah mangun karsa.

Memberi semangat adalah "kekuatan terselubung" dari dalam diri pemimpin.
Suetonius ( 69/75 – 130), atau lengkapnya Gaius Suetonius Transquillus,
penulis biografi Romawi Kuno dalam Dua Belas Kaisar, (sebuah buku yang
bagus dan luar biasa) mengisahkan tokoh seorang Caesar. Ia seorang pemimpin
yang ahli memberikan motivasi bagi para bawahannya. Ia menyebut prajuritnya
camerad, suatu sebutan yang amat jarang dilakukan oleh para pemimpin lain
pada zamannya. Napoleon Bonaparte (1769 – 1821) juga menyebut para
prajuritnya, camerad. Penghargaannya kepada bawahannya membuat mereka "rela
mati" demi sang kaisar. Para bawahan bisa merasakan ketulusan hati dari
pimpinannya. "Orang-orang kecil" itu lebih peka terhadap "sentuhan-sentuhan
perhatian" yang ditujukan kepadanya. Mereka hanya ingin diterima dan
diakui secara tulus.

Awal bulan April 2012, saya berenang di pantai Tanjung Karang – Kabupaten
Donggala – Sulawesi Tengah. Di sana kami sewa sampan kecil untuk
melihat-lihat terumbu karang. Saya berkata, "Bapak, terima kasih yah telah
menghantar kami melihat keindahan pantai ini." Bapak ini yang adalah orang
Palu asli berkata, "Aduh saya sangat tersanjung, sebab baru kali ini ada
orang yang menyapaku dengan Bapak. Saya menjadi semangat untuk bekerja!"
Kata-kata motivasi yang sederhana yang diucapkan dengan tulus dan ikhlas,
akan "membangunkan raksasa yang sedang tidur" dalam diri kita, meminjam
bahasanya Anthony Robbins (1960 – ) seorang penulis pengembangan diri dan
pembicara dari Amerika.

Waktu saya berkotbah tentang Yesus yang bangkit di stasi Palolo – Palu –
Sulawesi Tengah, ada orang Toraja yang pernah tinggal di Jawa berkata,
"Pastor ini seperti gajah diblangkoni – isa khotbah nanging ora bisa
nglakoni", yang artinya: bisa berkotbah tapi tidak bisa melaksanakan.
Mendengar kata-kata itu, saya pura-pura tidak mendengar dan sambil makan
sayur mayana, masakan khas Toraja, saya berkata, "Enak tenan!"

Skolastikat MSC, 16 April 2012
Biara Hati Kudus
Jl. Pineleng KM. 9 PINELENG –
MANADO – 95361
Markus Marlon msc

Kamis, 07 Juni 2012

MENGAPA AKU SELALU MENDERITA?

MENGAPA AKU SELALU MENDERITA?
(Perjumpaan-Perjumpaan dalam Perjalanan yang Meneguhkan)

Hidup kita di dunia ini adalah suatu perjalanan. Dalam perjalanan itu kita
berjumpa dengan pelbagai orang. Tentu ada yang menyenangkan dan ada juga
yang menyedihkan.

Suatu hari pada suatu masa – meminjam istilah Thomas Rudi Tamrin dalam
bukunya yang berjudul Jalan Keluar: The Art of Self Management to
Hexagonalife Balance – ada seseorang yang berkata, "Mengapa aku selalu
menderita?" Ia berkata lagi, "Aku sudah bosan menderita dan bosan untuk
hidup. Aku seperti masuk dalam liang yang sempit dan gelap. Aku ingin
semuanya ini berakhir, tetapi aku tidak tidak tahu jalan keluarnya!"

Bulan lalu, saya bersama beberapa orang mengunjungi rumah tahanan atau
LAPAS. Saya berjumpa dengan seorang bapak yang dituntut hukuman selama 30
tahun. Dia berkata, "Hidup di sini sungguh amat berat. Saya mengerjakan
suatu pekerjaan yang tidak saya sukai dan tidak ada imbalannya."

Dalam perjalanan pulang, saya merenungi makna kata-kata bapak tadi.
Hidupnya sungguh terbelenggu. Tidak ada kebebasan dari padanya. Selama 30
tahun, ia hidup dalam penderitaan yang dahsyat, ibaratnya "menghitung hari".
Saya jadi teringat akan kisah seorang tawanan pada kamp konsentrasi. Oleh
sipir, ia disuruh memindahkan batu bata-batu bata dari gudang ke pinggir
jalan. Tawanan itu mengerjakan dengan semangat karena merasa diri berguna
dan berarti bagi orang lain. Tetapi setelah batu batu-batu bata itu sampai
di pinggir jalan, ia diperintah lagi supaya batu bata-batu bata itu
dikembalikan lagi ke gudang. Hal itu dibuat berkali-kali. Ia frustasi
karena mengerjakan sesuatu yang tidak ada manfaatnya. Tawanan itu akhirnya
bunuh diri, karena dirinya merasa tidak berarti.

Hari berikutnya saya mengadakan perjalanan di suatu kota besar. Di sana
saya berjumpa dengan seorang bapak tua yang merasa bosan dengan
pekerjaannya. Dia berkata, "Bekerja di perusahaan ini sungguh membosankan.
Ketika saya akan berhenti, bos perusahaan meminta saya untuk bekerja satu
bulan lagi dengan honor sebesar Rp. 5.000.000,- Sebenarnya saya tidak
suka dengan pekerjaan itu, tetapi demi uang tersebut, saya terpaksa
menerimanya."

Saya terhenyak dengan kata-kata bapak tersebut. "Bukankah banyak di antara
kita bekerja juga seperti itu?" Bangun pagi-pagi sekali dan saat subuh
itu, ia berangkat ke kantor. Saat pulang dari kantor sudah tengah malam
dan ternyata anak-anak sudah tidur lelap. Pekerjaan dianggap beban, apalagi
ketika di kantor berjumpa dengan orang-orang yang tidak menyenangkan serta
bos yang "sulit". Orang-orang ini bisa bertahan hidup karena ada
motivasinya yaitu keluarga. Keluarga bagaikan pelabuhan hati yang
menyejukkan, "Rumahku istanaku!" Celakanya, jika ternyata keluarga tidak
memberikan kesejukan. Maka muncullah istilah, "Rumahku nerakaku!"

Saya jadi teringat akan kisah "kupu-kupu malam" yang bekerja demi membiayai
anak-anaknya. Semua yang dikerjakan hanya karena terpaksa. Wajahnya
tersenyum melayani tamu, padahal hatinya menangis. Sedih memang.

Senja hari, saya singgah ke rumah sahabat lama. Sahabat saya ini begitu
senang-gembira-bahagia dengan pekerjaannya. Dalam perjumpaan yang singkat
itu, dia berkata, "Sahabatku, sebagai penulis lagu saya amat gembira. Ibarat
tidak dibayar pun saya rela bekerja. Bahkan kalau saya bekerja hingga larut
malam, tidak ada rasa lelah sama sekali. Seolah-olah energi tidak
berkurang!"

Dalam perjalanan pulang, saya tercenung mendengarkan sharing sahabat tadi.
Kadang kala, kita ini berjumpa dengan orang-orang yang bahagia dengan
pekerjaannya. Dalam bahasa motivasi ada istilah: passion atau gairah atau
semangat. Dia berkata, "pekerjaan ini gue banget gitu loh!" Bagi dirinya,
bekerja adalah bermain. Untuk itulah tidak ada rasa bosan. Tidak
mengherankan jika kita mendengar ada seorang sukarelawan yang rela membantu
para para pengungsi di tengah hutan. Dia sangat menyenangi pekerjaan,
bahkan seandainya tidak dibayar pun.

Perjalanan terakhir ini, saya berjumpa dengan seorang biduanita. Wanita itu
berkata, "Sejak kecil saya sangat suka menyanyi. Kayaknya saya ditakdirkan
sebagai penyanyi. Kemudian saya ikut les musik. Sekarang ini saya bermain
organ tunggal sambil menyanyi. Pekerjaan yang amat menyenangkan. Seandainya
tidak dibayar pun saya sudah senang. Pekerjaanku – hobby-ku. Job saya banyak
sekali dan saya tidak pernah lelah, meskipun harus bekerja siang dan malam.
Dalam bekerja amat bahagia. Ini duniaku!"

Saya terhenyak sejenak. Kata-kata, "Pekerjaanku – hobby-ku" masih
terngiang-ngiang dalam telingaku. Lalu saya teringat kembali kata-kata bapak
di penjara yang berkata, "Mengapa aku selalu menderita?"

Perjumpaan-perjumpaan yang penuh makna. Itulah hidup! Kadang kita berjumpa
dengan orang yang optimis, namun tidak jarang kita ketemu orang yang
pesimis. Kadang kita melihat ada orang yang bekerja dengan semangat, namun
tidak jarang kita menyaksikan orang yang bekerja dengan loyo. Itulah hidup!

Skolastikat MSC, 02 April 2012
Biara Hati Kudus
Jl. Raya Pineleng KM. 9
PINELENG
Jaga IV. Kec. Pineleng
MANADO – 95361
Markus Marlon msc