Rabu, 30 Mei 2012

NEK

NÊK
(Sebuah Percikan Permenungan)

Hari Senin (12 Maret 2012), saya menyaksikan film dengan judul Caligula atau
nama lengkapnya: Gaius Iulius Caesar Germanicus Caligula (12 – 41 M). Dari
awal hingga akhir, kebrutalan Caligula membuat bulu kudukku mrinding.
Tindak-tanduknya tidak terduga dan tidak bisa dimengerti oleh akal sehat
manusia. Melihat film tersebut, saya merasa nêk, jijik dan muak. Karena
nêk itulah, perut saya mual dan bahkan hampir muntah-muntah.

Ternyata mual-mual tidak hanya berlaku bagi orang yang sedang mabuk karena
naik: kapal (laut), kendaraan (darat ) maupun pesawat (udara). Saya jadi
ingat iklan obat anti mabuk: antimo. "Antimo obat anti mabuk. Mabuk darat
lautan udara." Dari lagu itu pun kita bisa melawan bahwa rasa mual juga
bisa diterapkan jika seseorang berelasi dengan orang lain.

Jika kita mendengar keluhan seseorang satu kali – mungkin – masalah cuaca
udara yang gerah, maka kita bisa maklum dan mengerti bahkan bisa solider.
Tetapi jika keluhan itu datang bertubi-tubi, maka orang yang mendengarnya
akan nêk. William Shakespeare (1564 – 1616) pernah menulis dalam dramanya,
"keluhannya datang tidak datang satu per satu seperti mata-mata, melainkan
secara bersamaan bagaikan satu batalion." Kemudian saya berpikir,
"Bagaimana rasanya jika seseorang kedatangan tentara berjumlah satu batalion
(800 – 1000 orang)?" Tentu orang menjadi lelah secara fisik dan metal. Dalam
buku yang berjudul "Si Penghisap Energi" karangan Shaun Blankeney dan
Wallace Hanley – telahh diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia – membahas
bagaimana orang-orang yang suka mengeluh itu akan membuat energi kita
terserap. Saya boleh bertanya, "Siapa yang tidak merasa nêk jika
mendengar orang yang mengeluh dan mengeluh saja?"

Kita juga akan berasa nêk menyaksikan orang-orang yang sombong, suka makan
puji (orang yang suka dipuja dan dipuji), munafik dan penjilat. Ada dongeng
anak-anak yang terdapat dalam relief Candi Mendut. Candi Mendut merupakan
Candi Buddha yang dibangun oleh Raja Indra dari Wangsa Syailendra (± abad
VII M). Di candi itu ada kisah tentang kura-kura yang ingin terbang. Kedua
burung bangau merasa iba akan keinginannya. Maka kedua burung bangau itu
pun memagut ranting dan kura-kura pun menggigit ranting tersebut dan
diterbangkan oleh kedua bangau itu. Namun sebelum "terbang", kura-kura sudah
diwanti-wanti supaya tidak berbicara atau menanggapi orang atau makhluk
lain.

Kini kura-kura bisa "terbang" dan anak-anak yang sedang menggembalakan sapi
itu mulai kaget dan berkata, "Wah kura-kura itu luar biasa, bisa terbang
tinggi." Betapa senangnya si kura-kura, karena puja dan puji yang
dilontarkan kepadanya. Tidak pelak lagi, kura-kura itu pun berbicara karena
pujian itu dan akhirnya jatuhlah ia. Ia tewas!

Kita merasa nêk, ketika melihat seseorang – apalagi orang tersebut adalah
boss – yang makan puji, apalagi kita tahu potensi dan kompetensinya yang di
bawah standar. Setelah tukang makan puji itu mengakhiri kata sambutan
atau khotbahnya, tidak lama kemudian para penjilat mulai mendekat dan
berbisik, "Sambutan yang mulia, sunggauh luar biasa dan tidak ada duanya!"
Biasanya ketika seorang pemimpin berbicara dan – meskipun tidak lucu – para
bawahannya akan tertawa. Para bawahannya akan mengangguk-angguk, meskipun
mereka tidak tahu apa yang dimaksudkan oleh pemimpin. Bagi para penjilat,
orang yang suka makan puji itu bagaikan makanan empuk, tetapi bikin nêk
bagi orang berpikiran lurus.

Ini kisah lain lagi. Ada seorang gadis yang suka obral janji. Ia menjanjikan
akan memberi daster etnik kepada sahabat dekatnya. Sang sahabat tentunya
amat senang. Tetapi ditungggu-tunggu, ternyata "hadiah" itu pun tidak
kunjung datang. Dia juga pernah menjanjikan kepada orang lain untuk membantu
korban kelaparan bagi orang miskin Yang bikin gemas lagi yaitu bahwa gadis
itu tidak merasa berjanji. Anand Krishna dalam Jangka Jayabaya menulis,
"Ratu ora netepi janji, musna panguwasane" yang berarti: raja ingkar
janji, hilang wibawanya. Bila janji-janji itu tidak ditepati rakyat berhak
menuntut. Sayangnya sumpah jabatan terkesan tinggal sebuah upacara pelengkap
dan sudah kehilangan esensinya. Sumpah jabatan seakan sudah selesai begitu
diucapkan dan praktik sama sekali lain. Menghadapi orang yang suka janji
kita menjadi nêk.

Akhirnya kita pun berasa nêk kepada orang-orang yang suka memoles diri.
Zaman sekarang ini semua hal bisa dipoles. Rumah, perabotan rumah bahkan
wajah pun dipoles. Dalam bukunya yang berjudul, Selamat Berbakti, Andar
Ismail menulis, "Ada masker untuk menghaluskan keriput. Ada faundation
untuk mendempul lubang kulit. Ada rouce untuk membuat pipi menjadi medok.
Ada eye shadow untuk membikin mata jadi belo. Pokoknya dari rambut di kepala
sampai kuku di kaki, semuanya bisa dipoles." Bahasa pun bisa dipoles.
Isilah-istilah diperhalus supaya terdengar bagus. Gelandangan diganti dengan
tuna wisma. Penjara diganti dengan Lembaga Pemasyarakatan dan kelaparan
menurut orang-orang yang terhormat di DPR dikatakan sebagai rawan pangan.
Orang miskin dikatakan sebagai keluarga pra-sejahtera dan ketika BBM akan
naik, maka pemerintah akan berkata, "harga disesuaikan!" Tidak mampu
memerbaiki kenyataan, maka yang dapat dilakukan cuma memoles kenyataan.
Kita juga sudah nêk dengan kata-kata yang diucapakan oleh orang-orang di
atas sono. Mereka sudah tersangka, namun selalu berkata, "Kita ikuti proses
hukum yang berlaku" atau katanya, "Kalau saya mengoropsi uang Rp. 1,- saja,
saya siap untuk ditembak atau digantung di Monas" Nêk, nêk, nêk, nêk,
nêk, nêk, nêk, nêk, nêk!

Hari ini, (19 Maret 2012) adalah Hari Raya St. Yosuf, suami Maria . Ia
dikatakan si lurus hati. "Yusuf, suaminya yang lurus hati, tidak mau
mempermalukan Maria (Mat 1: 19). Saya merenungkan makna si tulus hati.
Dalam bahasa Inggris, "sincere" (tulus hati, bersungguh-sungguh). kata itu
ternyata berasal dari bahasa Latin: sine yang artinya tanpa dan cere yang
artinya lilin. Orang-orang Yunani – kalau kita pernah melihat film seri
Hercules atau Xena – dan ketika Hercules membeli sebuah patung dari
kayu, maka sang penjual berkata, "Patung Dewa Zeus – yang sebenarnya
ayahnya sendiri – tanpa lilin (sine dan cere), tanpa tambalan lilin sama
sekali, semua asli ukiran dan tanpa polesan apa-apa. Orang yang lurus
hati, seperti Yusuf, tidak akan membuat hati kita nêk.

Hari Sabtu, (17 Maret 2012), saya mendapatkan e-mail dari temanku sendiri
secara japri (jalur pribadi). Isinya demikian, "Marlon akhiri saja
tulisan-tulisanmu itu, koq saya menjadi nêk membacanya. Kamu kutip sana dan
kutip sini, kurang gawean. Saya pun sehari bisa menulis 10 artikel seperti
yang kamu buat. Hanya saja saya tidak mau!"

Benar juga apa yang dikatakan teman saya tadi. Dalam misa Hari Raya St.
Yusuf tadi pagi, saya doakan supaya temanku itu tidak nêk lagi. Saya
sungguh merasa berdosa. Maka, saya akan kurangi tulisan-tulisan saya sebelum
berhenti. Nanti suatu saat kalau teman saya tidak merasa nêk lagi saya akan
menulis lagi, mungkin sehari bisa 10 artikel atau mungkin bahkan lebih.
Wallahualam bissawab!

Skolastikat MSC, 19 Maret 2012
Biara Hati Kudus
Jl. Raya Pineleng , KM. 9 PINELENG
MANADO – 95361
Markus Marlon msc

Selasa, 29 Mei 2012

TERSINGGUNG

TERSINGGUNG
(Sebuah Percikan Permenungan)

Saya pernah bertamu di rumah sahabatku. Ketika sedang menikmati kopi,
tiba-tiba terdengar suara, "pyar!!" dan ternyata ada seseorang yang melempar
pesawat televisi dengan sebuah remote control. Tentu saja, layar kaca itu
pun pecah. Terjadilah keributan sejenak dan tidak lama kemudian, suasana
menjadi dingin kembali. Kemudian saya bertanya kepada sahabat saya tadi.
Jawabnya, "Anak saya yang sulung itu sedang tersinggung dengan acara di
televisi. Ia melihat Angelina Sondakh senyum-senyum dalam acara
entertainment bahkan menebar pesona ketika dia diwawancarai oleh beberapa
wartawan. Sekarang anak itu duduk dêlêg-dêlêg dengan pandangan kosong."
Terus kami berdua pun tertawa sambil berkata, "tersinggung! Hah!!"

Ini adalah ketersinggungan yang tidak ada gunanya, sebab pengelola acara
televisi pun tidak tahu siapa diri si anak sulung yang sedang tersinggung
itu. Ini sama ketika saya melihat televisi di kampung halamanku,
Gunungkidul – Yogyakarta. Satu pesawat televisi biasanya dilihat oleh
beberapa orang, sebab tidak semua memiliki idiot box tersebut. Ketika
disiarkan secara langsung pertandingan sepak bola, maka komentar pun
bersahutan. Kalau ada salah seorang pemain yang salah tendang bola, maka
pemain itu pun dimaki-maki. Tentu saja penonton yang menjagoi pebola itu
pun tersinggung. Maka terjadilah adu mulut di antara para pentonton. Ini
juga merupakan tersinggung yang sia-sia. Mereka lupa bahwa kata ndelok itu
punya makna kendel alok. (Kendel alok, bhs Jawa artinya: berani dan bebas
berkomentar).

Kalau dilihat dari makna katanya, "kata tersinggung" sendiri memiliki arti
tidak sengaja kena singgungan. Jadi sebenarnya yang menjadi "korban" adalah
orang yang merasa "disakiti" oleh orang lain. Orang merasa tersinggung
karena perkataan maupun perbuatan orang lain, baik yang disengaja maupun
yang tidak disengaja, apalagi orang itu sedang sensitif, luka batin dan
bermasalah. Sri Mulyono Herlambang (1930 – 2007) dalam Wayang dan Wanita
menulis, "Tokoh Drona yang dipermalukan oleh teman lamanya, Prabu Drupada,
hanya karena ia memanggil sang prabu dengan menyebut nama tanpa gelar yakni
Sucitra." Ia tersinggung dan langsung menghajar begawan Drona hingga
babak-belur dan wajahnya yang tampan menjadi bopeng bahkan tangan dan
kakinya pun cacat. Barangkali pada saat itu Drona menegur di muka banyak
orang, terutama bawahan-bawahan dari Drupada. Tentu saja ia menjadi malu.
"Mana mungkin ada orang yang suka ditegur – dengan tidak sopan lagi – di
depan banyak orang. Orang Jawa memiliki kata yang tepat untuk itu yaitu:
empan papan (tepat saat dan tepat tempat). Publius Cornelius Tacitus
(56 – 117 ), seorang Senator dan penulis sejarah Kerajaan Romawi pernah
menulis pepatah, "Secreto amicos admone, lauda palam" yang artinya:
tegurlah sahabatmu di bawah empat mata (secara diam-diam), namun pujilah
mereka secara terbuka.

Dalam pengalaman keseharian, kita sering menyaksikan sendiri orang-orang
yang tersinggung. Kebanyakan mereka tersinggung hanya karena hal-hal yang
sepele saja. Seorang sopir tersinggung karena ada mobil lain yang
melampauinya. Seorang camat tersinggung sebab master ceremony lupa
menyebut namanya ketika ada acara peresmian gedung sekolah. Seorang
direktur tersinggung gara-gara dalam undangan tidak menaruh gelarnya.
Seorang cowok tersinggung lantaran ketika sedang berbicara ceweknya terima
tilpon dari orang lain.

Kalau kita membaca berita-berita di media elektronik maupun media massa,
suguhan-suguhan tentang kekerasan yang terjadi, membuat diri kita menjadi
gamang. Mereka memiliki sumbu yang pendek, sehingga cepat terbakar.
Disinggung sedikit saja langsung maki-maki. Mobil tergores sang pemilik
langsung mencak-mencak. Usulnya tidak diterima dalam rapat berdiri dan
protes dan lebih parah lagi demo. Bangsa kita yang pernah dijuluki sebagai
bangsa yang ramah dan murah senyum, lama-kelamaan menjadi pudar. Bahkan
bangsa Indonesia telah memberi kontribusi kata "amuk" ke bahasa
Internasional, "the amok" yang berarti: mata-gelap. Tentu saja ibu pertiwi
menangis, sebab bangsa ini memberi kontribusi kata koq yang negatif. Anand
Krishna dalam Jangka Jayabaya menulis, "Jaran doyan mangan sambel" yang
berarti: Kuda suka makan sambal. Seekor kuda bila diberi sambal akan
mengamuk. Ia akan lepas kendali karena kêpêdêsên. Ia tidak doyan sambal.
Tapi, apa yang terjadi bila kuda yang tidak doyan sambal menjadi doyan?
Kebiasaan baru itu pasti mengubah sifat dasarnya. Ia menjadi tukang ngamuk –
ia akan lepas kendali, sulit diatur.

Dalam minggu-minggu ini, kita menyaksikan sendiri drama kolosal dengan judul
kenaikan BBM. Para petinggi pemerintah berdiskusi mengenakan jas dan dasi
dan dalam berkomunikasi menggunakan bahasa yang tidak dapat dipahami oleh
rakyat kebanyakan. BBM belum naik, tetapi barang-barang sudah mulai
pelan-pelan naik dan celakanya kalau barang sudah naik, maka sulit untuk
turun lagi. Belum lagi ketika merenungkan kelakuan para wakil rakyat. Banyak
kursi kosong saat Rapat Paripurna DPR (Kompas, 7 Maret 2012) dan di seberang
Gedung DPR terpasang spanduk dengan tulisan, "Negeri salah urus. Negeri Auto
Pilot" Kritikan tersebut disampaikan sebagai bentuk kekesalan masyarakat
atas berbagai persoalan bangsa yang tak kunjung selesai (Kompas, 6 Maret
2012). Tersinggungnya rakyat memang dapat dipahami. Rakyat sudah bosan dan
lelah dan muak serta apatis dengan kehidupan yang mereka hadapi ini. Cicero
(106 – 43 seb. M) dalam Orationem in Catilinam pernah berpidato, "O
tempora! O mores!" yang artinya oh, zaman apakah ini! Akhlak macam apakah
ini! Rakyat pada zaman ini seperi kaum nisada dalam dunia pewayangan. Ini
merupakan julukan dari mereka yang diperbodoh dan ditindas serta
dipermiskin. Dalam Kisah Mahabaratha, kaum nisada adalah kaum papa yang
mengorbankan diri demi kemuliaan Pandawa. Maraknya musim kampanye dengan
iming-iming yang menjanjikan kesejahteraan rakyat akhirnya hanya merupakan
isapan jempol belaka. Rakyat sudah kehabisan kata-kata dan akhirnya hanya
berkata dalam hati, "Oh, zaman apakah ini! Akhlak macam apakah ini!"

Akhir bulan Februari 2012 ini, saya singgah di salah satu keluarga di Jl.
Bethesda – Sario – Manado. Tatkala saya masuk di ruang tamu, anaknya menutup
pintu keras-keras, "derrr!" Tentu saja membuat ibunya anak itu marah.
Kemudian sang bapak itu berkata, "Maklum tanggal tua, jadi sumbunya pendek
sehingga cepat terbakar!" Kemudian saya bertanya, "Oh istri bapak itu
mungkin tersinggung?" Bapak itu pun berkata, "Iya, dia tersinggung!" sambil
tersungging.

Skolastikat MSC, 12 Maret 2012
Biara Hati Kudus – Pineleng
Jl. Manado – Tomohon, KM. 9
MANADO – 95361
Markus Marlon msc

Senin, 14 Mei 2012

DELETE

DELETE
(Sebuah Percikan Permenungan)

Sementara mengadakan perjalanan ke Pulau Bunaken, ada sms-sms berbau terror
yang menyakitkan hati. Sms-sms itu ku-save dan kadang-kadang saya baca
kembali. Hal itu saya buat berkali-kali. Ini juga yang menyakitkan. Kemudian
secara tidak sengaja, saya membaca tulisan yang tertera di palka, "Jangan
membaca berulang kali sms yang menyakitkan. Delete! Agar batin tidak
tersiksa." Pada saat itu juga, saya delete pesan singkat tersebut dan tidak
lama kemudian, saya boleh menikmati rekreasi di Pulau Bunaken dengan
gembira hati.

Menghapus, remove, delete merupakan pengalaman yang sering kita lakukan.
Kalau kita menghapus tulisan di komputer dengan mudah kita delete. Jika kita
menghapus tulisan di whiteboard dengan mudah kita erase. Dengan menghapus
tulisan atau gambar di komputer dan di whiteboard tersebut, tidak ada beban
sama sekali dalam diriku. Namun amat lain jika kita harus me-remove
nama-nama orang dalam alamat BBM, YM, e-mail maupun hand phone. Mereka
adalah nama-nama pribadi yang pernah bersahabat dengan kita dan tidak lama
lagi tidak akan ada komunikasi lagi. Setiap perpisahan pasti menyakitkan.

Putu Wijaya pernah menulis di majalah Jakarta-Jakarta tentang remove. Pada
zaman itu, orang-orang masih akrab komunikasi lewat korespondensi. Ketika
seseorang membuka buku alamat, ia mulai merenungkan nama-nama yang tertera
dalam buku tersebut. Satu per satu, ia mulai ingat kembali nama-nama orang
yang sering dikirimi surat. Ada yang enak diajak komunikasi, namun juga ada
orang yang tidak pernah membalas jika dikirimi surat. Akhirnya pemilik buku
alamat itu pun mulai ambil tip-ex dan me-remove nama-nama tersebut. Setiap
kali menghapus satu nama, ia menitikkan air mata, karena persahabatan yang
telah dialami selama ini. Ritual penghapusan nama-nama dalam buku alamat
bagaikan perpisahan yang tidak mungkin akan berjumpa lagi. Sahabat yang dulu
dikirimi surat, kini tidak akan ada lagi komunikasi.

Penghapusan pribadi juga dialami oleh Fouquet. Ia adalah menteri keuangan
dari Louis XIV (1710 – 1774) sang Raja Matahari, Le Roi Soleil. Sang raja
ini adalah pria angkuh dan arogan yang selalu ingin menjadi pusat perhatian.
Ia tidak menghendaki adanya matahari kembar. Suatu kali, Fouquet itu
mengadakan pesta yang luar biasa hebat. Ia membuat pesta itu, supaya nama
sang raja semakin besar dan semakin bersinar. Namun sangat disayangkan bahwa
pesta itu malah menjadikan sang menteri lebih popular. Tentu saja raja
langsung marah dan memerhentikan dirinya dari menteri keuangan dan dituduh
korupsi. Ia di-delete, dan mengangkat bendahara istana yang baru yakni,
Jean-Baptiste Colbert seorang yang amat kikir dan pribadinya pun tidak
menarik serta pesta-pesta kenegaraan yang ia buat paling membosankan di
Paris.

Bagaimana rasanya jika dalam hidup ini diri kita dianggap tidak ada,
meaningless dan nothing. Dalam kerumunan orang, kita tidak disapa, dalam
meeting, kita tidak dianggap ada, dalam pergaulan kita tidak dianggap
manusia. Sungguh menyakitkan. Dr Sam Ratulangie (1890 – 1949)
memperkenalkan motto-nya, "Si Tou Timou Tumou Tou", artinya: Manusia hidup
untuk menghidupi (sesama) manusia. Bila kita gabungkan kedua filsafat
tersebut, maka kita mendapatkan "Aku ada untuk Engkau!" Kita juga bisa
merujuk pemikiran Martin Buber (1878 – 1965) tentang relasi "I – Thou". Bagi
orang Jawa, relasi antarsesama itu menjadi bermakna karena merasa diri
diuwongke, yang berarti: dimanusiakan, dihargai, dianggap ada bahkan
dianggap penting. Relasi manusia yang saling menghidupkan, bukan saling
men-delete.

Bulan Maret 2011 saya singgah di di kota Tembagapura. Tembagapura merupakan
kota terpencil di pedalaman provinsi Papua yang dibangun oleh Freeport
Indonesia pada tahun 1970 – 1972. Konon, selain pembuatan film Denias –
Senandung di Atas Awan – berlokasi di Wamena, juga berlokasi di Tembagapura
ini. Saya dekati kerumunan anak-anak SD yang sementara istirahat siang.
Mereka adalah anak-anak dari para karyawan PT. Freeport Indonesia. Ketika
saya "masuk" dalam kerumunan anak-anak, mereka meneriaki salah seorang
teman mereka yang bernama James Bon. Kemudian saya bertanya, "Adakah dari
kalian yang bernama James Bon?"

Tiba-tiba, anak yang paling besar mulai membuka sebuah mop Papua. Ia
bercerita bahwa James ini adalah orang yang suka pinjam uang di warung
sekolah. Pemilik warung menulis bon, setiap kali James ini mengambil
barang-barang dagangan. Lama-lama, kertas bon itu semakin banyak dan
menumpuk. Itulah sebabnya, James dijuluki oleh teman-temannya James Bon.
Tentu saja hutang yang menumpuk itu menjadikannya sebagai beban. Ia menjadi
tidak konsentrasi dalam kegiatan belajar-mengajar. Untunglah ada seorang ibu
guru yang prihatin dengan situasi anak didiknya. Ia menemui pemilik warung
dan membayar lunas hutang-hutang James Bon itu. Setelah dibayar, ibu guru
itu lalu menyobek kertas-kertas nota bon itu. Hutangnya telah dihapus,
di-delete, di-remove. Kini James Bon sudah ringan dan kini namanya diganti
dengan nama James Delete.

Sebagai manusia, tentu kita memiliki pengalaman-pengalaman yang menyakitkan.
Banyak salah dan dosa yang telah dibuat oleh manusia. Pemazmur menulis,
"Jika Engkau, ya Tuhan mengingat-ingat kesalahan-kesalahan, Tuhan, siapakah
yang dapat tahan?" (Mzm 130: 3). Bon kita terlalu banyak menumpuk. Tuhan
sendiri telah membayar lunas (I Kor. 6: 20).

Setelah dua hari men-delete dan me-remove dari BBM yang tidak pernah
menanggapi sms-sms ku, kini nama itu muncul lagi dan minta di-invite. Di
sini, muncullah dilema dalam hatiku. Kalau saya accept, maka fotonya akan
terpampang terus dan tidak pernah ada komunikasi dan kalau saya ignore,
tentu "tidak enak hati". Jalan tengahnya adalah pending saja. Kemudian
dalam hati saya pun berkata, "Medio tutissimus ibis" yang berarti: yang
paling aman adalah apabila engkau berjalan di tengah. Ya, pending saja!!!
Mungkin bisa satu hari, satu minggu mungkin satu bulan, satu tahun dan
bahkan selama-lamanya. Wallahualam bissawab!

Skolastikat MSC, 30 Januari 2012
Biara Hati Kudus – Pineleng
Jl. Manado – Tomohon KM. 09
MANADO – Sulawesi Utara – 95361

Markus Marlon msc

Minggu, 13 Mei 2012

ADUH

ADUH!!!
(Sebuah Percikan Permenungan)

Awal Januari 2012, saya menyempatkan diri pasiar (jalan-jalan) ke kota
Ambon. Sampai di Biara MSC, Pater Wim Zomer (1938 –2012) yang memiliki motto
hidup non recuso laborem , artinya: aku tidak pernah menolak pekerjaan –
berkata, "Kalau belum makan rujak di pantai Natsepa, berarti Marlon belum
melihat kota Ambon."

Siang itu, sengaja saya hendak membuktikan sedapnya rujak pantai Natsepa.
Memang benar adanya, rasanya enak, khas dan sadap (sedap) sekali. Pantai
penuh sesak dengan orang berenang di pantai dan banyak juga yang menikmati
rujak di gazebo-gazebo. Para penikmat rujak itu begitu menjiwai nikmatnya
rujak dan setiap kali menelan satu sendok, dia berkata, "Aduh, enak sekali!"
Trus saya juga tidak mau kalah, "Aduh, enak tenan!"

Rasa aduh di sini merupakan ungkapan kekaguman atas rasa yang enak dan
mungkin tiada tara rasanya, sehingga tidak ada kata yang muncul selain kata
itu. Namun ternyata rasa nikmat dan suara-suara aduh itu pun mulai
berkurang. Setelah orang makan lagi dua porsi rujak, maka suara aduh itu pun
hampir tidak terdengar lagi. Mungkin kita jadi ingat akan prinsip ekonomi
yang berbicara tentang hukum Gossen. Hermann Heinrich Gossen ( 1810 – 1858),
seorang ahli ekonomi dari Jerman mengatakan bahwa tingkat kepuasan seseorang
dilihat dari kenikmatannya. Bungkusan rujak pertama, terasa enak dan
memunculkan kata, "Aduh". Bungkusan rujak kedua, orang sudah merasa agak
kenyang, sehingga tidak ada kata yang terucap dan bungkusan rujak ketiga
sudah menjadi kenyang sehingga yang muncul adalah, "Aduh, pedes sekali,
perut mules terlalu kenyang!"

Kemudian, setelah menikmati rujak dan melihat pemandangan alam pantai
Natsepa yang indah, saya melanjutkan perjalanan ke desa Waai. Di desa Waai
ini ada sumber air panas untuk pemandian. Panasnya air itu hampir sama
dengan yang ada di Tataaran – Tondano, Wale Pepetaupan – Sonder, Karumenga –
Langowan, Kinali – Kawangkoan dan Ranopaso – Tondano Barat, (Minahasa –
Sulawesi Utara) maupun di pemandian air panas Guci di kaki Gunung Slamet –
Kabupaten Tegal (Jawa Tengah). Ketika pertama kali mencelupkan kaki dan
mencebur di kolam air panas itu, saya berteriak, "Aduh nikmat sekali !"
tetapi entah karena apa tiba-tiba kakiku menginjak bekas kaca dan saya pun
berteriak, "Aduh, sakit sekali kakiku luka!" Dalam waktu hampir bersamaan,
ke-aduh-anku itu memiliki makna ganda: nikmat dan sakit.

Belum lama ini, saya ingin sekali membuat tattoo di lengan sebelah kiri, di
Triple A Tattoo Studio – Jl. Ch. Taulu – Manado. Bagaikan pasien yang
sedang menunggu giliran diperiksa, saya pun duduk di ruang tunggu. Di ruang
praktek, ada seorang nyong-nyong, yang sedang di-tattoo punggungnya. Pemuda
ini minta digambarkan seekor singa. Tukan tattoo mulai menusuk-nusuk
punggung pemuda itu. Tetapi pemuda itu berteriak, "Aduh sakit, bapak sedang
melukis apa?" Dengan tenang tukang tattoo itu berkata, "Saya sedang
melukis hidung singa." Pemuda itu pun berteriak, "Tidak usah dilukis saja
itu hidung singa. Lukis yang lain saja!" Kemudian, sang tukang lukis mulai
menusuk-nusuk punggung pemuda tersebut. Pemuda itu pun berteriak lagi,
"Aduh, sakit sekali, bapak sedang melukis apa?" tukang tattoo itu pun
berkata, "Saya sedang melukis telinga dan dan kaki singa." Kemudian, pemuda
itu pun berkata, "Biarkanlah singa ini tanpa telinga dan kaki, dari pada
saya mengaduh terus karena kesakitan."

Pada akhirnya, pemuda itu pun tidak pernah mendapatkan lukisan tattoo di
punggungnya dan tukang tattoo pun tidak pernah menyelesaikan gambar singa.
Terkadang, orang menolak rasa sakit dengan mengeluh, "Aduh!" Selama masih
hidup di dunia ini, orang tentu berharap bahwa penyakit dan penderitaan
hinggap pada dirinya.

Ungkapan bahasa Latin, proh dolor! yang berarti wahai derita! mirip-mirip
dengan ungkapan "aduh". Namun ungkapan "aduh" di sini memiliki makna
dolorosus yang berarti: berduka-cita, duka-nestapa dan sedih. Jika
mendengar kata dolorosus, perasaan saya langsung teringat akan prosesi di
Larantuka pada hari Paskah tahun 2011. Perarakan patung Bunda Maria mater
dolorosa atau "Tuan Ma" mengelilingi kota Larantuka. Wajah Bunda Maria
nampak sedih. Kemudian setiap perhentian atau stasi, seorang gadis cilik
berperan sebagai Veronika membawakan lagu ratapan dalam bahasa Latin yang
disebut dengan oves omnes. Lagu yang memilukan. Mendengar ratapan itu, saya
hampir menitikkan air mata dan mengaduh. Saya sedih dan mengaduh ketika
merenungkan Yesus yang akan disalibkan dan berjalan menuju puncak Golgota.
Itulah via dolorosa, jalan penderitaan.

Kata aduh biasanya juga muncul bersamaan dengan desahan. Orang mendesah
karena lelah, orang mendesah karena merasa tidak puas dengan situasi. Luo
Guan Zhong dalam Sam Kok atau The Romance of Three Kingdom, melukiskan
sebuah desahan yang diucapkan oleh Liu Bang, "Heh, aduh pengumuman apa lagi
ini!" Rasa kesal bercampur dengan tidak puas akan menimbulkan desahan
bahkan keluhan. Apa yang dikeluhkan Liu Bang ini berarti dirinya tidak
menerima apa yang ada saat itu dan secara tidak sadar akan membawa-bawa
beban negatif dalam pikirannya. Dari ketidakpuasan itu maka ketiga orang
ksatria saling menyalahkan dan berkelahi. Namun pada akhirnya para kstaria
itu bersumpah di bawah pohon persik dan berjanji untuk menegakkan
kebenaran. Daripada mengeluh dan mendesah serta mengaduh, lebih baik
berbuat.

Membaca kisah Sam Kok, saya berniat untuk hidup seperti Liu Bang yang
luar biasa. Keluhan yang diucapkan Liu Bang ini memacu dirinya untuk
membentuk paguyuban tiga pendekar yang berhasil membasmi kebatilan.
Mengaduh, mendesah, berkeluh kesah itu tidak ada artinya sama sekali.

Tiga jam berkutat di depan laptop memang merupakan pekerjaan yang
membosankan. Selain punggung sakit karena duduk terus, mata juga mulai
berat. Dan tidak saya sadari desahan pun muncul dari bibirku, "Aduh, capek
dech!!!.

Skolastikat MSC, 23 Januari 2012
Biara Hati Kudus – Pineleng
Jl. Manado – Tomohon KM. 09
MANADO – Sulawesi Utara – 95361


Markus Marlon msc

Senin, 07 Mei 2012

PERPISAHAN

PERPISAAN
(Sebuah Percikan Permenungan)

Should auld acquaintance be forgot,
And never brought to mind?
Should auld acquaintance be forgot,
And auld lang syne?
For auld lan syne, my dear, for auld lang syne,
We'll take a cup o'kindness yet, for auld lang syne .
And surely ye'll be your pint-stowp!

Sepenggal lagu ciptaan Robert Burns (1759 - 1796) di atas, sungguh amat
mengharukan ketika dikidungkan pada acara old and new. Dalam permenungan
tersebut, setiap orang tunduk kepala dan tentunya dalam hati mengenang
kembali peristiwa dan kejadian yang telah dilewati. Pembakaran kalender dari
tahun yang telah berlalu menambah harunya suasana. Bulan per bulan, kalender
dibakar dan di sana orang-orang hanya tertunduk diam dan hening serta
tidak ada satu kata pun terucap. Barangkali orang sedang berasyik masyuk
dengan pengalamanya masing-masing. Pengalaman kecewa, sakit hati, getir dan
dikhianati itu membuat hidup menjadi "lumpuh sejenak" dan tidak berdaya.
Namun manusia tidak boleh berlarut-larut – yang menurut bahasanya Dale
Carnegie dalam Petunjuk Hidup Tentram dan Bahagia – sebagai pengalaman
"menangisi susu yang telah tumpah." Melalui pengalaman yang telah berlalu,
mau tidak mau kita harus berani mengucapkan selamat berpisah dengan
peristiwa-kejadian yang menyakitkan.

Berpisah dengan masa lalu memang tidak mudah. Saya pernah berjumpa dengan
seorang oma yang sudah sakit-sakitan. Selama hidupnya – pada usia
produktif – setiap malam menerima setoran dari anak buahnya. Setiap malam
itu pula, oma ini menghitung labanya dengan suka cita. Kebiasaan itu sudah
berjalan puluhan tahun. Kini oma ini sudah pikun. Dari pagi hingga malam,
ia ngomel-omel minta setoran. Lalu oleh anak-anaknya, diberi uang-uangan
dari permainan monopoli. Oma itu langsung tersenyum senang. Dia tidak mau
berpisah dengan kebiasaan lamanya. Aneh tetapi nyata!! Ada lagi, seorang
mertua yang senantiasa berkelahi dengan menantunya gara-gara sang mertua
selalu memanggil thole kepada anaknya yang sudah beristri itu. Dalam hati
seorang ibu tentu tidak mau berpisah dengan putra kesayangannya. Sebutan
sayang-sayang, thole itu sudah mengakar dalam dirinya, sehingga sulit sekali
untuk melepaskan. William Shakespeare (1564 – 1616) dalam King Lear, hendak
memperlihatkan kepada kita bahwa berpisah dengan kemasyuran itu tidak mudah.
Tahta itu nikmat, maka sulit untuk melepaskannya. Dengan penuh harap, ia
mengundang ketiga putrinya (Goneril, Regan dan Cordelia) untuk mendengarkan
"puji-pujian" mereka. Pencapaian King Lear atas hidupnya sebagai raja, tidak
mau diganggu gugat dan ingin selalu direngkuhnya serta tidak mau lepas. Ia
tidak mau berpisah dengan hingar-bingar nikmatnya suatu kekuasaan.

Berpisah memang menyakitkan, apalagi berpisah dengan seseorang yang amat
berharga bagi dirinya. Maka tidak mengherankan ada orang yang tidak bisa
tidur dan tidak mau makan gara-gara ditinggal tugas di luar kota. Kita juga
tidak perlu kaget, jika ada orang yang bunuh diri, gara-gara ditinggal
pacarnya. Itulah sebabnya dalam ajarannya, Sidharta Buddha Gautama (563 –
483 seb. M) mengatakan bahwa perpisahan itu sangat menyakitkan, terlebih
dengan orang-orang yang dicintai. Di Pulau Samosir, (Sumatra Utara) ada
Raja Tomok yang begitu mencintai anak laki-lakinya. Ketika sang anak
meninggal, ia belum siap menerima kenyataan ini. Maka, dibuatlah patung yang
sangat mirip dengan wajah anaknya. Sang Raja menganggap bahwa anaknya itu
tidak pernah mati. Patung inilah yang dinamakan dengan sigale-gale. Cinta
ayah pada anaknya begitu berat untuk dipisahkan. Perpisahan dengan orang
yang dicintai itu menurut bahasa Sang Buddha merupakan penderitaan karena
perubahan (Viparinama-Dukkha). Berubah karena pernah dicintai, kemudian
mengalami suatu kebencian atau kematian. Dalam M.E (Marriage Encounter) ada
sesi yang berbicara tentang kematian pasangan. Kematian adalah sesuatu yang
pasti, tetapi kadang orang "takut" untuk membicarakan. Membayangkan kematian
pasangan dan berpisah untuk selama-lamanya yang amat dicintai, merupakan
proses perpisahan yang realistis, tetapi ini merupakan perpisahan yang
paling berat. Romeo menghunus pedangnya ke dadanya sendiri ketika
menyaksikan Juliet terbujur kaku atau San Pek ikut masuk dalam kuburan Eng
Tay karena tidak sanggup hidup sendiri tanpanya (Bdk. Buku yang berjudul:
San Pek- Eng Tay, sebuah kisah sedih dua anak manusia)

Setiap peristiwa – termasuk pengalaman berpisah – perlu kita sikapi dengan
bijak. Setiap orang – siap atau tidak siap – tentu akan mengalami suatu
perpisahan. Sindhunata dalam Anak Bajang Menggiring Angin, kita perlu
belajar dari ketegaran Dewi Anjani yang siap melepaskan Hanoman pergi jauh
menjadi duta Rama. Film yang berjudul, 300 mengajarkan kepada kita tentang
seorang wanita Sparta yang dengan rela melepaskan anak-anak mereka pada
usia remaja untuk dididik menjadi prajurit yang gagah perkasa.

Umur produktif manusia pun ada batasnya. Ada waktunya kita berani
melepaskan, letting go dan memberikan tongkat estafet kepada generasi muda.
Untuk segala sesuatu ada waktunya. Alexander Agung (354 – 323 seb. M) ketika
meninggal dunia pada usia muda, berpesan jika mangkat, supaya tangannya
dibiarkan terbuka. Ini menunjukkan bahwa ketika orang wafat tidak membawa
apa-apa (tangan kosong). Dalam misa tadi pagi Rm. Gregorius Hertanto Dwi
Wibowo MSC, berkotbah tentang, Nunc dimittis. Simeon berani mengucapkan
kata-kata, "Sekarang, Tuhan, biarkanlah hamba-Mu ini pergi dalam damai
sejahtera, sesuai dengan firman-Mu" (Luk 2: 29). Kitab Pengkhotbah
menulis, "Ada waktu untuk lahir dan ada waktu untuk meninggal, ada waktu
untuk menanam, ada waktu untuk mencabut yang ditanam" (Pkh 3: 2). Manusia
harus berani berpisah dan menyambut hal-hal yang baru dalam hidupnya.
Hal-hal yang baru itu kadang menakutkan, tetapi juga kadang memberi
pengharapan.

Tak terasa, tinggal 3 hari lagi tahun 2011 akan berlalu, tiba-tiba saya
teringat masa lalu.
Kehidupan manusia berlalu dengan cepatnya.
Banyak sekali yang telah dilalui.
Ada yang lancar.
Ada yang penuh rintangan.
Ada yang penuh kegembiraan.
Ada pula yang penuh kegetiran.

Semua pasti mengalaminya. Itulah kehidupan manusia.

Saat kita berumur 20 tahun merasa sungguh enak kalau kita tampan atau
cantik.
Saat kita 30 tahun merasa sungguh enak andaikan kita kembali muda lagi.
Saat kita 40 tahun merasa sungguh enak andai kita punya banyak uang.
Saat kita 50 tahun merasa ada kesehatan sungguh enak sekali.
Saat kita 60 tahun merasa untuk dapat hidup saja sudah sangat bagus.
Saat kita 70/80 tahun merasa kenapa hidup ini serasa sangat singkat sekali.

Membaca puisi di atas, lantas saya mulai membuka FB dan BB serta YM. Saya
pandangi satu per satu sahabat-sahabat yang memasang picture-nya . Dalam
puisi tertulis, "Saat kita berumur 20 tahun merasa sungguh enak kalau kita
tampan atau cantik". Saya merasa sahabat-sahabat ku ini umurnya 35 tahun ke
atas. Tetapi herannya, setiap orang memasang foto yang sedang action. Bahkan
satu hari ganti tiga kali. Barangkali ini yang dinamakan dengan
salah-mongso. Ranggawarsito (1802 – 1873) dalam Serat Kalatida, "Zaman
edan, sing ora edan ora komanan." Sebelum posting email ini, saya
cepat-cepat picture-ku yang sedang nampang saya ganti dengan nama-nama
obat herbal, sebab umurku sudah hampir 46 tahun yang berorientasi pada
kesehatan. "Curang nih!!"


Skolastikat MSC, 29 Desember 2011
Biara Hati Kudus – Pineleng
Jl. Manado – Tomohon KM. 09
MANADO – Sulawesi Utara – 95361

Markus Marlon msc

Minggu, 06 Mei 2012

KAGUM

KAGUM
(Sebuah Percikan Permenungan)

O Lord my God
When I in awesome wonder,
Consider all the worlds Thy Hands have made;
I see the stars, I hear the rolling thunder,
Thy power throughout the universe displayed

Secuil syair lagu yang berjudul, How Great Thou Art yang ditulis oleh Carl
Gustav Boberg (1859 – 1940) yang lahir di Swedia dan penulis puisi di atas
tadi, hendak menunjukkan betapa besar kuasa Tuhan atas alam raya.
Menyaksikan alam yang indah serta penuh misteri ini, kita hanya bisa
berdecak kagum. "Sesungguhnya, bangsa-bangsa adalah seperti setitik air
dalam timba dan dianggap seperti sebutir debu pada neraca. Sesungguhnya,
pulau-pulau tidak lebih dari abu halus beratnya" (Yes 40: 15). Jika
merenungkan kutipan tersebut, maka tidak ada alasan untuk menyombongkan
diri, karena manusia tidak ada apa-apanya. Inilah yang membuat para
biarawan MSC suka sekali untuk mengungkapkan salah satu kutipan dari
konstitusi lama no 4, "Ama nesciri de pro nihilo reputari" yang artinya
kira-kira : suka tidak dikenal dan dianggap nol.

Kekaguman adalah awal dari sebuah kreativitas. Kekaguman memunculkan suatu
curiosity yang pada gilirannya mencetuskan penemuan-penemuan yang amat
berguna bagi kehidupan umat manusia. Para filsuf dan ilmuwan dari Yunani
kuno, seperti: Archimedes dari Syracusa (287 – 212 Seb. M) menemukan
rumus-rumus maupun teori-teori dikarenakan rasa kagumnya terhadap alam
semesta dan ketika menemukan suatu teori ia sempat mengalami trance dengan
berseru, "Eureka" yang berarti aku telah menemukannya. Pengalaman kekaguman
itu pula bisa disebut sebagai Ah-ha experience atau Aha-Erlebnis, kalau
bahasa Manado-nya mungkin, "Bagitu koté kang!"

Pada gilirannya, manusia akan mengagumi ciptaan buatan tangan manusia.
Penemu-penemu, seperti: James Watt (1736 –1819) penemu mesin uap. Johannes
Guttenberg (1400 – 1468) penemu Mesin cetak, Christopher Sholes (1819 –
1890) penemu mesin ketik dan Guglielmo Marconi (1874– 1937), penemu Radio
dan masih banyak lagi penemu-penemu lain itu yang telah mengukir sejarah.
Mereka adalah orang-orang yang pantas dikagumi atas prestasi-prestasi yang
telah diraih, admiranda. Tujuh keajaiban dunia (Kolosus di Rodos - patung
Helios yang sangat besar, dibuat sekitar tahun 292 – 280 Seb.M oleh Chures,
sekarang Yunani. Taman Gantung Babilonia dibangun oleh Nebukadnezar II,
sekitar abad ke-8 Seb.M – abad ke-6 SM, sekarang Irak. Makam Mausolus,
satrap Persia, Caria, dibuat pada tahun 353 – 351 Seb. M di kota
Halicarnassus, sekarang Bodrum, Turki. Mercusuar Iskandariyah dibangun
sekitar tahun 270 SM di pulau Pharos dekat Alexandria pada masa pemerintahan
Ptolemeus II oleh arsitek Yunani Sostratus, sekarang Mesir. Piramida Giza
dipakai sebagai makam untuk firaun Mesir Khufu, Khafre, dan Menkaure,
sekarang Mesir yang dibangun pada dinasti ke-4 Mesir (sekitar 2575– sekitar
2465 Seb.M) Patung Zeus yang berada di Olympia, dipahat oleh pemahat
Yunani Fidias, kira-kira 457 Seb.M sekarang Yunani. Kuil Artemis – 550 SM,
di Efesus, sekarang Turki) adalah saksi sejarah yang membuat kagum umat
manusia. Atau ketika orang mengunjungi bangunan monumental dari Vatikan
sampai Barcelona, tidak putus-putusnya bibir ini berdecak kagum. Antoni
Gaudi (1852 – 1926) di Barcelona memperlihatkan betapa cerdasnya manusia
menciptakan bangunan yang indah dan ramah lingkungan. Para pengunjung pun
antre amat panjang untuk melihat dari dekat Sagrada Família itu. Tetapi
sangat disayangkan bahwa untuk mengagumi kedahsyatan bangunan yang
mengagumkan itu, tour leader, dalam setiap kunjungan senantiasa
meng-hayo-hayo, supaya perjalanan kami itu dipercepat, karena masih harus
melihat obyek wisata lain. Yasraf Pialing dalam Dunia yang Dilipat, menulis
bahwa dunia zaman sekarang ini memiliki prinsip: cheaper, better dan faster.
Dengan harga yang murah, manusia ingin cepat-cepat menikmati dan yang paling
baik. Prinsip ini sangat bertentangan dengan orang-orang yang mengagumi
keindahan. Orang barangkali bisa menggagumi: ukirannya, proses pembuatannya
dan – tentunya – penciptanya dan ini bisa berlama-lama, seolah-olah "waktu
berhenti" seketika. Arvan Pardiansyah dalam Cherish every moment, mengajak
para pembaca untuk menikmati hidup itu dari peristiwa ke peristiwa dengan
penuh syukur. Kita super sibuk, ibaratnya mau jalan-jalan ke pulau Bali,
tetapi sudah berpikir bagaimana nanti perjalanan pulang dari Bali.

Orang bisa kagum terhadap diri sendiri. Kekaguman yang berlebihan, akan
memunculkan deviasi / penyimpangan yang disebut sebagai narcisime. Pada
abad pertengahan, orang-orang kagum dengan tubuh manusia, maka lukisan dan
patung-patung pun dipahat secara detail: tubuh yang indah dan otot-otot yang
sangat hidup. Padahal sebenarnya, ajakan untuk berani berpikir sendiri itu
sudah ada sejak zaman Romawi Kuno. Maka muncullah sebuah ungkapan yang
dicetuskan oleh Horatius (65 – 8 seb. M), sapere aude yang berarti:
beranilah untuk mencari tahu. Atau menurut bahasa lain, "Beranilah untuk
berpikir sendiri"
Kita pun tidak salah jika memiliki kekaguman kepada orang lain. Kekaguman
terhadap orang lain ini, memunculkan istilah ngefens. Dalam pertunjukan yang
menampilkan bintang idola, banyak akil baliq, menjerit-jerit histeris ketika
menyaksikan sang bintang yang melantunkan sebuah lagu. Sang idola bagaikan
doll yang bisa dimilikinya dan senantiasa menjadi fancy (bayang-bayang)
setiap harinya. Yudi dalam Giri melukiskan kehidupan pioner-pioner Islam di
tlatah Jawa. Pada waktu itu, Ki Agung Bungkul didatangi oleh seorang
pemuda yang bernama Jaka Samodra. Sang Ki Agung begitu kagum atas
kejujuran sang pemuda itu. Karena itulah, Jaka Samodra diminta menjadi
menantunya dengan menikahi putrinya yang bernama Selasih, yang kemudian
berganti nama menjadi Wardah. Padahal pada waktu itu, ia sudah hampir pasti
menjadi menantu Sunan Ampel (1420 – 1481). Akhirnya, pada saat yang
bersamaan calon sunan itu menikahi dua gadis. Joko Samodra kemudian disebut
sebagai Sunan Giri (1443 - 1506). Pemujaan yang berlebihan terhadap orang
lain bisa menjadikan dirinya fanatik dan cenderung posesif dan pada suatu
saat akan bersikap destruktif (merusak dan mematikan). Mahatma Gandhi
(1869 - 1948) dan John Lennon (1940 - 1980) dibunuh sendiri oleh orang-orang
yang mengidolakan tokoh-tokoh tersebut.

Akhirnya kita kagum dengan "Yang Di Atas". Kekaguman ini merupakan
kekaguman yang paripurna. Rudolf Otto (1869 – 1937) memandang kekaguman
pada Tuhan sebagai "Pribadi" yang menggentarkan atau mysterium Tremendum
(kata Latin Tremendum berarti: mendahsyatkan atau menggentarkan). Di pihak
lain, Allah dialami atau dirasakan sebagai "Pribadi" yang baik, penuh kasih,
peduli, menyenangkan, menenteramkan dan menakjubkan. Manusia merasakan hal
seperti itu ketika berhadapan dengan peristiwa kelahiran, kesembuhan,
kesuksesan, hasil panen, pergantian malam dan siang, pergantian musim,
pertolongan dan penyertaan Tuhan dalam hidupnya dan lain sebagainya. Di
hadapan Allah yang seperti itu manusia merasa damai dan bahagia. Allah
dilihat manusia sebagai "Pribadi" yang menggemarkan atau mysterium
fascinosum (kata Latin fascinans berarti mengasyikkan atau menggemarkan),
ada rasa takut sekaligus mencintai, ajrih-asih (Bhs. Jawa). Rasa kagum
kepada Tuhan itu oleh para biarawan MSC selalu dilantumkan dalam lagu yang
berjudul Ave Admirabile. Isi lagu itu penuh dengan puji-pujian atas Tuhan
yang telah banyak memberi anugerah yang melimpah kepada umat manusia. Untuk
itu sebagai manusia, rasa kagum itu hanya bisa dinyatakan dalam bentuk
pujian ( laudatio) memuliakan dan mengagungkan (magnificatio)

Ssebelum Natal 2011, saya jalan-jalan ke Wanea – Manado dan sempat singgah
di Restoran Mawar Sarron depan Gereja Bethany yang amat megah. Saya makan
bersama-sama dengan seorang bapak. Sebelum makan, saya berdoa dengan khusuk
atas berkat yang melimpah. Dan waktu makan pun kami senang dengan hidangan
yang lezat: ayam goreng kampung. Sambil menikmati hidangan, kami mengagumi
Tuhan yang menciptakan ayam yang gurih. Tetapi tiba-tiba, ada tulang yang
menyangkut di gigiku. Kemudian saya berseru, "Sialan ini tulang. Kurang
ajar, membuat acara makanku tidak nyaman!" Bapak itu pun kemudian berkata,
"Hai saudara, dalam waktu yang hampir bersamaan saudara mengagumi Tuhan dan
tidak lama kemudian memaki Tuhan, sang Pencipta alam semesta!!" Dengan agak
malu-malu, saya hanya bisa tersenyum, "He he he!"

Skolastikat MSC, 26 Desember 2011
Biara Hati Kudus – Pineleng
Jl. Manado – Tomohon KM. 09
MANADO – Sulawesi Utara – 95361

Markus Marlon msc

Rabu, 02 Mei 2012

PENDIDIKAN ATAU PENGAJARAN?

PENDIDIKAN ATAU PENGAJARAN ?
Sebuah penelusuran kata-kata: Othak-athik Gathuk

Sering saya dibingungkan dengan istilah teacher (pengajar) dan educator
(pendidik). Saya akan mencoba meng-othak-athik (menelurusi sekenanya) dan
semoga gathuk (bertemu dan cocok). Di sini saya gunakan kata "mencoba" dan
"semoga". Jadi seandainya tidak berhasil menemukan "kecocokannya" yah
maklum adanya.

Kata education yang berarti pendidikan itu berasal dari bahasa Latin,
educare: e-, keluar dan ducere, memimpin atau menuntun. Orang dituntun untuk
keluar dari diri sendiri serta lingkungannya. Ia menjadi bebas. (Bdk.
INSPIRASI, Lentera yang membebaskan, tulisan Markus Marlon: April 2012).
Orang dididik supaya bebas dari kegelapan dan melihat terang. Helen Keller
(1880 – 1968) dan Louise Braille (1809 – 1852) telah membebaskan dari buta
bisa "melihat", Pusat-pusat Rehabilitasi narkoba telah membebaskan
orang-orang yang ketagihan bisa pulih kembali. Lapas-lapas (Lembaga
Pemasyarakatan) telah mengubah orang-orang yang bertindak kriminal menjadi
orang yang berguna bagi masyarakat. Sekolah-sekolah (baik formal maupun
formal) telah mengajak anak-anak melihat dunia yang lebih luas
(cakrawala).

Ketika saya live in di Pondok Pesantren Pabelan – Magelang (1983), di sana
terlihat sekali betapa para kiai itu mendidik para santrinya. Mereka hidup
bersama dalam satu pondok dan apa yang dibuat oleh sang kiai dibuat oleh
para santri. Mereka dididik. Tidak heranlah jika Ki Hajar Dewantara (1889 –
1959), seorang pelopor pendidikan yang telah mendirikan sekolah Taman siswa
pada tahun 1922 mengajak para anak didiknya di Taman Siswa (tentunya) untuk
memiliki jiwa yang bebas – merdeka. Namun – menurut Ki Hajar (sang guru),
kebebasan yang bertanggung jawab. Brian Klemmer dalam The Compassionate
Samurai menulis, "Viktor Frankl (1905 – 1997) pernah menyarankan agar Patung
Liberty (patung kebebasan) di Panti Timur dilengkapi dengan "Patung Tanggung
Jawab" di Pantai Barat".

Para pendidik atau educator mengajak para anak didiknya untuk menjadi
manusia-manusia yang bebas karena pendidiknya terlibat di dalamnya. Ing
ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Arti dari
semboyan ini adalah: tut wuri handayani (dari belakang seorang guru harus
bisa memberikan dorongan dan arahan), ing madya mangun karsa (di tengah atau
di antara murid, guru harus menciptakan prakarsa dan ide), dan ing ngarsa
sung tuladha (di depan, seorang pendidik harus memberi teladan atau contoh
tindakan yang baik).

Di pihak lain, para pengajar atau guru tugasnya mengajar para muridnya. Ia
mengajar dengan mentransfer ilmu yang ada padanya. Pengajaran zaman ini,
ada metode CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif), di sini para guru menjadi
"moderator". Para pengajar juga bisa diterapkan dalam diri pelatih, misalnya
pelatih renang, pelatih sepak bola. Maka tidak mengherankan jika ada siswa
yang tindakannya kurang terpuji, akan dikatakan, "Kurang ajar!" (02 Mei
2012)

"SELAMAT HARI PENDIDIKAN NASIONAL 2012"

Markus Marlon msc
Skolastikat MSC
"Biara Hati Kudus"
Jl. Raya Pineleng KM. 9 – PINELENG
MANADO – 95361

ARTI

ARTI
(Sebuah Percikan Permenungan)

Setiap orang ingin membuat dirinya berarti, bukan saja bagi dirinya sendiri
melainkan juga bagi orang lain. Ada seorang ibu yang sangat asing dengan
anaknya sendiri. Seorang ibu yang amat kaya mempunyai dua putri. Suaminya
seorang kontraktor yang terkenal. Karena hartanya melimpah, maka kedua
putrinya disekolahkan di Amerika. Tentu saja anak-anaknya hidup dengan gaya
dan model ala Amrik.

Suatu kali kedua putrinya liburan semester. Ibunya amat kangen dan ingin
sekali memanjakan putri-putrinya itu. Waktu itu, sang anak sedang di kamar
dan ibu masuk kamarnya langsung merangkulnya. Tetapi sang anak berkata,
"Mengapa ibu masuk kamar saya tanpa mengetuk pintu terlebih dulu?" Maka, ibu
pun menyahut, "Engkau khan anakku, sayang" Tetapi anak itu menjawab, "Tapi
ma, saya khan punya privacy!" Hubungan jadi tegang dan sang ibu salah
tingkah. Bisanya hanya menangis. Ibu itu sedih karena merasa dirinya tidak
berarti bagi anak-anaknya.

Mengapa orang bangun pagi-pagi dan tidur larut malam? Maka jawabannya ialah
bahwa orang itu ingin dirinya berarti. Bukankah seorang kepala keluarga akan
merasa tidak berarti di hadapan istrinya kalau ternyata penghasilannya lebih
kecil dari istrinya? Mark Antony (82–30 S.M) yang perkasa pun pernah
frustasi ketika mengalami kekalahan fatal di Actium, yang dikenal dengan
nama "Battle of Actium". Di sinilah sebenarnya batin Mark Antony galau,
karena tidak mampu membahagiakan jantung hatinya dan akhirnya muncul
bayangan Julius Caesar (100–44 S.M) yang dengan mudah mampu menaklukkan
musuh dengan gemilang. Klimaks dari kisah karangan William Shakespeare ini
ialah bahwa Mark Antony melarikan diri dari kenyataan dengan minum-minuman
sampai mabuk. Namun, dirinya menjadi semangat dan merasa berarti ketika
Cleopatra (69–30 S.M) berbisik kepadanya, "Kau sangat berarti bagiku."
Kata-kata itu berbunyi merdu di telinganya sehingga dirinya berani maju
berperang, meskipun harus mengalami kekalahan di tangan Gaius Octavius (63
Seb. M – 14 S.M), yang kemudian dikenal dengan nama Kaisar Agustus. Kita
tidak akan sangsi bahwa orang bisa berjuang sampai titik darah penghabisan
karena ingin merasa berarti bagi orang yang dicintai.

Kisah drama tragis seperti Hamlet – misalnya – hendak – melukiskan
bagaimana dalam keragu-raguannya ia hendak menunjukkan keberartiannya di
hadapan ibunya, Ratu Gertrude. Hamlet mau menyelamatkan ibunya dari
cengkeraman si hati busuk yang adalah pamannya sendiri yang bernama
Claudius. Perjuangan Hamlet ialah bahwa dia adalah sebagai putra mahkota,
maka dalam hidupnya dia berusaha menjadi "pahlawan" dengan membalas kematian
ayahnya. Sang idealis, Don Quixote de la Mancha, karya sastra terkenal
Miguel de Cervantes Saavedra juga hendak melukiskan petualangan "sang
pahlawan" yang ingin menumpas kebatilan, tetapi ternyata kejahatan itu
selalu ada dan malah makin merajalela. Dari sinilah kita boleh berefleksi,
banyak orang yang ingin membuat dirinya berarti tetapi karena kurang
realistis, yang terjadi adalah kegetiran jiwa seperti Hamlet dan kekonyolan
seperti yang dilakukan oleh Don Quixote.
Merasa diri berarti merupakan kebutuhan dasar manusia – yang menurut bahasa
Abraham Maslow dalam "Mazhab Ketiga" diartikan sebagai aktualisasi diri
(self actualization). Seorang yang mampu mengakualisasikan dirinya, dia akan
berarti bagi orang lain. Misalnya, betapa bahagianya ketika seseorang baru
belajar menulis dan ternyata artikelnya dimuat dalam suatu media massa. Ia
merasa berarti bagi orang lain, karena opininya dibaca oleh banyak orang.
Dengan demikian, keberartian hidup itu dimulai dari mengerjakan hal-hal
yang kecil yang akhirnya diakui oleh orang lain. Pengakuan dari orang lain
itu, yang akhirnya mendorong seseorang untuk lebih dan lebih lagi mencoba
untuk berbuat, sehingga dirinya semakin merasa berarti. Dan memang self
actualization itu alangkah baiknya jika sudah dialami ketika seseorang masih
dalam tahap pertumbuhan. Dan kita patut bersyukur bahwa zaman sekarang ini
ilmu pengetahuan berkembang pesat dan ini berpengaruh bagi pendidikan anak.
Ada intelligent quotient, emosional quotient dan spiritual quotient. Semua
ini hendak menunjukkan betapa besar perhatian kita bagi generasi penerus
kita.

Tetapi bagaimana yang terjadi jika dalam bertindak, manusia senantiasa
dirong-rong arti hidupnya? Dalam hidup keluarga sering terjadi orang tua
memiliki anak favorit, meskipun itu tidak begitu nampak. Anak favorit tentu
saja senantiasa dipuji, mungkin karena kerajinannya, di muka orang tuanya.
Di pihak lain, tentu ada anak yang menurut orang tuanya sebagai anak nakal.
Terhadap anaknya yang nakal itu, orang tua sering menganjurkan agar dirinya
bertingkah laku seperti kakaknya yang sikapnya terpuji. Tentu saja perlakuan
orang tua yang suka membanding-bandingkan itu membuat dirinya merasa tidak
berarti. Gambaran diri bahwa dirinya tidak berarti bisa membuat dirinya
terpuruk yang mengakibatkan dirinya bersikap rendah diri. Sikap rendah diri,
penolakan diri, pertahanan diri dan proyeksi yang menurut Erik Erikson
(1902 – 1994) disebut sebagai krisis identitas diri inilah yang bisa membuat
dirinya (tanpa disadari) merasa tidak berarti. "Life is beautiful" yang
berarti hidup itu indah adalah ungkapan keseharian yang amat akrab dengan
hidup kita. Tugas kita selama hidup di dunia ini adalah mengisi hidup yang
indah ini dengan hal-hal yang berarti.

Kemarin, saya dapat e-mail japri (jalur pribadi) yang isinya kira-kira
demikian, "Tulisan saudara selama ini hanya mengolah kata dan tidak
berdasarkan fakta. Tulisan-tulisan saudara bagaikan sampah, sehingga
langsung saya delete saja. Sungguh-sungguh tidak berarti!". Saya merenungkan
kata-kata itu dalam hati, "Memang ada benarnya juga. Tapi paling tidak,
tulisan-tulisanku itu berguna bagi diriku sendiri sebagai introspeksi!"
Antony de Melo dalam Burung Berkicau, menulis, "Burung tetap berkicau, entah
didengar atau tidak" Atau Andre Wongo dalam Audio Book dengan judul, Bunga
Lily memotivasi, "Entah dilihat atau tidak dilihat, bunga Lily itu tetap
berbunga di lereng bukit". Pembelaan diri nie ye!!

Skolastikat MSC, 12 Desember 2011
Biara Hati Kudus – Pineleng
Jl. Manado – Tomohon KM. 09
MANADO – Sulawesi Utara – 95361

Markus Marlon msc

Selasa, 01 Mei 2012

CURHAT

CURHAT
(Sebuah Percikan Permenungan)

Pertengahan Mei 2011, saya menempuh perjalanan Jakarta – Manado dengan
pesawat Lion. Kami duduk bersebelahan dengan seorang bapak yang tidak saya
kenal sama sekali. Dalam perjalanan, bapak itu bercerita tentang dirinya dan
pengalamannya. Dalam berbicara kadang-kadang senang, tetapi tiba-tiba penuh
emosi dan akhirnya menunduk sedih. Setelah pesawat landing, bapak itu pun
berkata kepada saya, "Adik, terima kasih ya! Dengan curhat, hati saya sudah
menjadi lega dan plong rasanya. Sekali lagi terima kasih!"

Dalam hidup bermasyarakat, komunikasi dengan orang lain merupakan –
condition sine qua non – syarat mutlak. Dipacu nafsu menemukan bahasa
perdana manusia, Kaiser Friderich II (1194 – 1250) melakukan eksperimen
eksentrik. Dua bayi yang baru lahir diasingkan dari rangsangan bahasa. Tidak
seorang pun diperbolehkan berbicara dengan mereka. Percakapan di lingkup
mereka dilarang keras. Kaiser berasumsi, didorong kebutuhan kemunikatif,
keduanya otomatis akan berbicara bahasa asli manusia dari zaman sebelum
petaka menara Babel, biarpun tak ada stimulus linguistis. Walau kondisi
fisik bugar, mereka akhirnya meninggal akibat kebisuan. Eksperimen gagal
total dan dibayar mahal. Bagi manusia, berbahasa bukanlah sekedar media
komunikasi, tetapi setara makanan, minuman di samping kebutuhan biologis dan
sosial (Kompas 8 November 2011).

Pada dasarnya, setiap orang memiliki beban dan berharap bahwa akan menjadi
ringan. Perjumpaan-perjumpaan dengan orang lain bisa meringankannya. Beban
pikiran itu yang seringkali membuat hidup kita menjadi kesuh. Setelah
pikiran-pikiran itu dicurahkan, sepertinya bahu menjadi ringan dan bisa
tegak kembali. Abdoel Moeis (1883 – 1959) dalam Salah Asuhan, mengisahkan
kedua wanita: mertua dan menantu yang sangat akrab – kedekatan ini mungkin
jarang terjadi – antara ibu Hanafi dan Rapiah. Mereka berdua memiliki beban
yang sama, yakni sikap dan kehidupan Hanafi. Namun dengan saling mencurahkan
isi hatinya, mereka bisa bertahan menghadapi situasi yang demikian. Kita
jadi teringat Dewa Atlas dalam mitologi Yunani. Atlas digambarkan sebagai
dewa yang memikul bumi ini di bahunya. Ia tidak memiliki kesempatan untuk
meletakkan bumi itu, sebab jika sedetik saja Atlas meletakkan bumi, maka
akan menimbulkan bencana. Betapa berat beban Atlas, yang melakukan
tugas-pekerjaannya dan tidak pernah bisa membagikannya kepada yang lain.
Arif Mansur Makmur dalam Tesaurus plus, menerangkan bahwa curhat memiliki
arti untuk meringankan (upload dan unburden) permasalahannya kepada yang
lain. To upload his troubles on someone, mencurahkan
permasalahan-permasalahannya kepada seseorang. Dalam arti ini, curhat pun
dialami oleh para santo maupun santa. Wilfrid McGreal dalam Yohanes Salib,
menuliskan bagaimana ketika Yohanes Salib (1542 – 1591) mengalami
kegelapan, ia mencurahkan isi hatinya kepada Teresa Avila (1515 - 1582).
Demikian pula sebaliknya. Cum amico amara et dulcia communicate velim, yang
berarti: aku menginginkan agar membagikan segala sesuatu dengan sahabat,
baik yang pahit maupun yang manis (baik dalam suka maupun duka).

Kadang ada juga orang yang tidak bisa mengungkapkan beban hatinya. Pernah
suatu kali saya mengadakan retret agung di Rumah Retret Roncalli – Salatiga.
Selama retret gaya ignatian ini, saya tidak diperkenankan berbicara dengan
orang lain silentium magnum, kecuali dengan pembimbing rohani.
Gejolak-gejolak hati dan pengalaman buram masa lampau yang akan saya
ungkapkan itu tidak terungkap. Kemudian pada suatu kesempatan, saya diajak
ke Candi Gedong Songo – Ambarawa. Di tempat ketinggian itu, saya
mencurahkan isi hati: berteriak-teriak keras, mengungkapkan apa yang
mengganjal di hati. Dan memang sungguh benar. Curhat diartikan sebagai
self-disclosure, pengungkapan diri yang dilakukan seseorang dengan tujuan
supaya hatinya menjadi ringan. Retret bisa berjalan dengan lancar, sebab
ada keterbukaan dari pihakku yakni orang yang dibimbing. Selain
berteriak-teriak, ada juga orang yang menuliskan uneg-uneg-nya dalam buku
Diary. Diary bagaikan teman dekatnya yang mampu menerima curahan hati sampai
sedalam-dalamnya bahkan ke sudut yang paling rahasia. Anne Frank (1929 –
1945) – yang memiliki nama kecil: Annelies Maria Frank – dalam The Diary
of Anne Frank, melukiskan sebuah pengalaman batin seorang gadis Yahudi
dalam masa kejahatan Nazi. Dia bisa bertahan hidup dalam kebengisan, salah
satu pengalamannya itu ia curahkan dalam bentuk tulisan. Bimbo pernah
melantunkan lagu dengan judul Tuhan dan ini menjadi lagu religius yang
indah. Dalam arti ini, tidak salahlah bahwa seseorang bisa mengaduh kepada
Tuhan. Peng-aduh-an kepada Tuhan inilah yang kita pandang sebagai curhat.

Seorang yang duduk di pucuk pimpinan adalah orang yang kesepian. Dia adalah
orang yang mengambil keputusan untuk perusahaan, lembaga, yayasan yang
dikelolanya. Karena itulah, bawahannya tidak ada yang berani mendekat,
kecuali para penjilat yang biasa memuji-muji dengan maksud mendapatkan
posisi empuk. Pepatah Latin yang berbunyi, "Animo magis quam corpore aegri
sunt" yang berati: mereka yang berkuasa itu lebih banyak terkena sakit
jiwa daripada sakit badan – kalau kita renungkan – ada benarnya juga.
Setelah selesai tugas di kantor yang penuh dengan formalitas, seorang
pemimpin ingin mencurahkan isi hatinya kepada orang lain. Ia ingin
berbincang-bincang tentang hal-hal yang sepele, sambil minum secangkir teh
dengan koleganya dan tertawa-tawa, meskipun tidak ada yang lucu. Kita jadi
ingat akan Alm. Suharto yang memiliki senyum khas ketika menerima tamu
dengan cangkir di tangannya. H.C. Andersen (1805 - 1875) dalam Pakaian Baru
Kaisar, telah membuktikan bahwa para asisten kaisar itu hanya bisa
mengatakan "ya" terhadap kaisar, sehingga ketika sang kaisar tidak
menggunakan pakaian (telanjang), mereka takut untuk memberitahu. Dewa
tertinggi, Zeus yang tinggal di puncak gunung Olimpus pun kadang-kadang pada
waktu senggangnya suka untuk bercengkrama dengan rakyat jelata. Zeus dan
dewa-dewa lain suka mengunjungi bangsa Hiperboria – sebuah bangsa yang
bebas dari penyakit dan penuh kebahagiaan ini – sebab di tempat itu Zeus
merasa mendapat sambutan penuh keramahtamahan. Tidak heranlah bahwa dewa
tertinggi itu pun menikahi manusia-manusia biasa, yang pada gilirannya
melahirkan manusia setengah dewa yaitu Herkules. Dewa itu berbagi cerita dan
berbagi cinta dengan manusia.

Selang beberapa lama, saya marah, kecewa dan jengkel kepada seseorang.
Dalam hati saya mau ketemu dia untuk "mencurahkan hati" dengan marah-marah
supaya merasa plong. Akhirnya muncul ide. Rasa jengkel, kecewa dan marah
itu saya tulis dalam bentuk surat. Setelah selesai saya tulis, surat itu
kumasukkan dalam amplop, dengan prangko secukupnya dan alamat lengkap,
kemudian saya masukkan dalam laci.

Setelah dua hari surat itu ngendon di laci, saya buka surat itu dan saya
baca. Aduh! Betapa mengerikan isi surat itu. Penuh kemarahan dan – maaf –
agak kasar. Saya bersyukur sebab sebelum ketemu orang yang akan menjadi
sasaran kemarahan, curhat terlebih dahulu kepada sahabatku: kertas surat.
Surat curhat itu pun tidak jadi saya kirim via pos, meskipun jarak orang
yang akan saya kirimi surat itu sepelemparan batu saja jauhnya. Memang
benar kata-kata Ignatius Loyola, (1491 – 1556) "Di saat mengalami desolatio
kita jangan mengambil keputusan." Oh curhat, curhat !! Ada-ada saja kau
ini.

Skolastikat MSC, 05 Desember 2011
Biara Hati Kudus – Pineleng
Jl. Manado – Tomohon KM. 09
MANADO – Sulawesi Utara – 95361

Markus Marlon msc