Senin, 30 April 2012

PEKA

PEKA
(Sebuah Percikan Permenungan)

Tahun 80-an, saya sering menggunakan jasa omnibus vehiculum – yang kemudian
orang menyebutnya sebagai bus – dari Jogya ke Magelang, tepatnya di
Mertoyudan. Di dalam perjalanan, kami duduk di kursi masing-masing. Di
tengah perjalanan, kadang ada penumpang baru yang naik. Tidak terelakkan
bahwa penumpang yang baru itu adalah seorang ibu yang sudah hamil tua.
Dengan kepekaan yang tinggi dan gentleman, seorang pemuda tentu akan berdiri
dan mempersilakan ibu itu untuk menempati tempat duduknya. Inikah makna
dari lady first? Wallahu alam bissawab!

Sikap pemuda tadi sungguh pantas untuk dipuji. Sikap peka bisa dilatih sejak
anak usia dini. Kahlil Gibran, lahir di Bsharri, Libanon (1883 - 1931)
dalam Suara Sang Guru, menulis seorang anak yang dididik dengan penuh
kasih, akan menjadi pribadi yang yang menasihi. Sejak usia dini, anak
dilatih untuk keluar dari diri membantu orang lain. Dari sini kita kenal
dengan sebuah syair, "Sympathy for the suffering of others¸often including a
desire to help" yang berarti: rasa simpati terhadap penderitaan sesamanya
yang dinyatakan dengan keinginan untuk menolong. Bagi Ä–mmanuel Lévinas
(1906 – 1995), pengalaman dasar manusia adalah pertemuan dengan orang
lain. Oleh karena itu, seseorang bertanggungjawab total atas keselamatan
sesamanya. Di sinilah muncul istilah effect of care (kepekaan dan
kepedulian). Hal ini sama dengan ahli kopi yang sangat peka pada cita rasa
sesendok kopi. Pencicip kopi yang dimiliki oleh perusahaan-perusahaan kopi
disebut sebagai coffe taster memiliki kepekaan yang sangat tinggi. Mereka
dapat menjelaskan, meskipun dengan mata tertutup tentang kopi yang mereka
minum secara detail. Keahlian menjadi peka itu dibutuhkan latihan sejak
dini.

Pepatah Cina kuno berujar, "Hanya orang buta yang dapat menikmati cahaya
sesungguhnya." Bagi seorang yang menderita tuli, bisa mendengar suara air
yang menetes saja sudah menjadi musik yang paling indah. Sama seperti orang
buta yang bisa melihat rembulan, pasti akan indah luar biasa. Helen Keller,
lahir di Tuscumbia – Alabama (1880 – 1968) pernah berkata, "It is terrible
thing to see and have no vision." Menurutnya, asal melihat dan benar-benar
melihat adalah dua hal yang berbeda. Tetapi bagi kita yang mendengar dan
melihat secara normal, seringkali hal-hal yang kecil itu lewat begitu saja.
Bunda Maria memiliki kepekaan yang tinggi. Dalam kisah perkawinan di Kana
(Yoh 2: 1 – 10) menunjukkan kepekaan Maria terhadap kondisi orang yang
sedang mengadakan pesta pernikahan. Maria meminta Yesus untuk membantu tuan
pesta supaya terhindar dari rasa malu. Ia sehati seperasaan dengan tuan
pesta. Marah Rusli (1889 – 1968) dalam Sitti Nurbaya, melukiskan kepekaan
yang dibuat oleh Arifin, sahabat Samsulbahri. Arifin paham sekali apa yang
menjadi kesedihan dan kedukaan sahabatnya itu, maka ke mana pun pergi Samsul
selalu diikuti.

Para pemimpin yang terhormat itu dipilih oleh rakyat. Vox populi, vox Dei –
Suara rakyat adalah suara Tuhan. Tugas mereka menyuarakan apa yang ada di
hati rakyat, lebih-lebih mereka membela mati-matian orang yang diwakili.
Para pemegang amanah rakyat itu bersidang, ber-rembug dan berbicara demi
kesejahteraan yang diwakilinya. Tidak heranlah jika kata parlement itu dari
kata parler (bhs Prancis) yang berarti berbicara. Untuk itulah, rakyat
akan sangat kecewa, jika amanah yang diberikan kepada wakilnya itu
disalahgunakan. Lihat saja apa yang terjadi dalam diri anggota DPR
akhir-akhir ini. Mereka tersandung masalah etika, sehingga para rakyat
berkata, "Apa yang dapat diteladani dari pejabat public?" (Kompas 19
November 2011). Berita di media cetak maupun elektronik tentang korupsi para
elit politik membuat kepercayaan rakyat mulai luntur. Istilah sense of
crisis umumnya terkait dengan makna kepekaan terhadap sebuah situasi yang
sedang dihadapi oleh masyarakat. Sudah layak dan sepantasnyalah bahwa
orang-orang yang menerima amanah itu peka dengan jeritan rakyat. Ungkapan
Latin, "Salus populi suprema lex esto" – hendaklah keselamatan rakyat
menjadi hukum tertinggi – menginspirasi kita bahwa penentu kebijakan atau
stakeholder, diharuskan peka akan keselamatan rakyat dan ini sebagai bentuk
tanggung jawab. Masyarakat Jawa menekankan kepekaan "membaca" apa yang
berada di belakang sesuatu yang tampak. Sebab memang masyarakat Jawa
cenderung sungkan menyampaikan sesuatu secara langsung dan terbuka.
Penyampaian sesuatu, khususnya kritikan terhadap pimpinan secara terbuka
sering dianggap tidak sopan, melanggar etiket bahkan dianggap mbalelo atau
berontak. Hal ini bisa kita lihat dalam kisah Ki Ageng Mangir yang berontak
melawan kekuasaan Mataram. Kisah asmara yang diwarnai ambisi dan tragedi
kekuasaan. Seorang pemimpin yang peka terhadap penderitaraan rakyatnya,
harus mampu membaca tanda-tanda zaman dan yang menjadi rumor masyarakat yang
dipimpinnya. Sri – Edi Swasono dalam Kepemimpinan, dilukiskan bahwa
seorang pemimpin itu haruslah memiliki hati yang lapang dan peka terhadap
masyarakat, terlebih mereka yang tidak mampu bersuara, voice of voiceless.
Kepekaan itu modal awal bagi seseorang bisa merasa peduli. Orang yang tidak
peka mustahil untuk peduli. Seseorang yang mata hatinya tertutup oleh ego
dan ambisi akan menjadi orang yang tidak peka. Sindhunata dalam Anak Bajang
Menggiring Angin, hendak melukiskan ketidakpekaan yang ada dalam diri Dewi
Keikeyi. Karena ambisi pribadinya, ia tidak hanya mengorbankan keluarganya,
melainkan juga seluruh kerajaan Ayodya. Orang yang peka, sudah hampir
pasti memiliki pengorbanan yang tinggi. Lihat saja pengorbananan Nabi
Ibrahim AS untuk menyembelih putra semata wayangnya yang sangat dicintainya:
Ismail yang kemudian oleh Allah Allah SWT digantikan dengan hewan korban.
Jika pengorbanan semacam ini kita teladani, maka pejabat pemerintah akan
memegang amanah itu sebagai tugas pelayanan. Kalau menurut bahasa McGannon,
leadership is action, not position.

Kepekaan tidak hanya terhadap sesama manusia, tetapi juga harus dibangun
juga kepekaan dengan hewan maupun lingkungan. "If you can read the sign, the
sign is every where". Tanda itu ada di mana-mana dan kita seharusnya
membacanya. Di Jawa orang-orang dilarang memotong daun pupus paling muda
yang berwarna indah dari pohon pisang, bukan karena alasan mistis atau
pemali. Namun jika dilakukan, maka pohon-pohon pisang itu pun akan mati dan
ini berakibat fatal. Di Lamalera, pulau Lembata (Flores), ada tradisi unik
berburu ikan paus. Dalam perburuan itu para nelayan tidak diperkenankan
membabi buta membunuh ikan paus, melainkan dibatasi satu atau dua ekor
saja. Atas kepedulian itu pula, oleh undang-undang ditetapkan ada
binatang-binatang yang dilindungi, karena populasi mereka semakin langka.
Komodo di pulau Rinca dan Pulau Komodo, Badak di Ujung Kulon dan Tarsius di
Sulawesi Utara adalah beberapa contoh betapa peduli dan peka manusia
terhadap binatang yang jika tidak dilindungi akan segera punah. Para
pendongeng kisah dunia, seperti: H.C. Andersen – lahir di Odense, Denmark
(1805 - 187) dengan dongengnya: Bunga Snowdrop yang Beruntung, Sebuah
Keluarga yang Bahagia. Charles Perrault, lahir di Paris - Prancis ( 1628 -
1703) dengan dongengnya: Cinderella, Sleeping Beauty, Tujuh Istri si
Janggut Biru dan Grimm Bersaudara (Jacob Grimm: 1785 - 1863 dan Willem
Grimm: 1786 - 1859) dengan dongengnya: Rubah dan Angsa, Tiga Anak yang
Beruntung, hendak mengajak kita supaya melalui fairy tales tersebut, kita
memiliki semangat dan kepekaan dalam berelasi dengan orang lain.

Sementara menulis artikel ini, tetangga sebelah sementara dilanda sakit.
Tetapi entah karena apa, kesukaanku untuk mendengarkan musik keras-keras
tidak terkendali. Akhirnya kudengarkan group band asal Liverpool yakni The
Beatles. Lagu yang berjudul, "Yesterday" memekakkan telinga. Kemudian
salah seorang dari tetangga itu datang kepada saya sambil menyodorkan sebuah
kertas memo dengan kutipan, "kami menyanyikan kidung duka, tetapi kamu
tidak menangis." (Luk 7: 32 b). Dalam hati saya berkata, "Nyindir nie ye!!!"

Skolastikat MSC, 22 November 2011
Biara Hati Kudus – Pineleng
Jl. Manado – Tomohon KM. 09
MANADO – Sulawesi Utara – 95361

Markus Marlon msc

Jumat, 27 April 2012

BELAJAR

BELAJAR
(Sebuah Percikan Permenungan)

Adalah mustahil bagi kita, hidup tanpa "bersentuhan" dengan yang lain. Sejak
kita lahir, alam dan orang-orang di sekeliling telah menjadi "guru-guru"
yang luar biasa. Daniel Defoe (1659 – 1731), sastrawan Inggris menulis
novel yang sangat terkenal yakni Robinson Croesoe. Cerita tentang Robinson
Croesoe ini pernah digunakan untuk membuktikan bahwa manusia dapat hidup
sendirian. Pendapat ini mengabaikan bahwa Robinson Croesoe telah dididik
dalam suatu dunia budaya tertentu dan peralatan yang ia bawa adalah buatan
tangan manusia. Dengan berkomunikasi dengan orang lain dan alam, ia
dimampukan untuk menjadi pribadi pembelajar. Bahkan nabi Muhammad (570 –
632), pernah berkata supaya kita berani belajar sampai ke negeri Cina.
Sering pula kita mendengar bahwa kita belajar hingga masuk ke liang kubur,
long life education. Ini berarti bahwa kesempatan belajar itu tidak mengenal
umur dan tidak mengenal tempat.

Alam semesta yang luas membentang serta belum terselami itu yang
pertama-tama membuat decap kagum umat manusia. Kebudayaan Jawa memandang
alam semesta memiliki nilai yang luhur. Dari merekalah umat manusia belajar.
Manusia belajar pada alam. Ajaran itu dinamakan Asthabratha. Pardi Suratno
dalam Sang Pemimpin menguraikan dengan jeli dan detail makna
Asthabratha. Nilai-nilai Asthabratha itu disampaikan oleh tokoh bernama
Begawan Kesawasidi kepada Arjuna. Tetapi untuk mengetahui munculnya ajaran
Asthabratha, bisa dilihat dalam tradisi cerita Ramayana. Ajaran ini
diberikan oleh Rama kepada adiknya yang bernama Bharata supaya tetap menjadi
raja di Ngayodya. Rama kemudian memberikan wejangan berupa ajaran
kepemimpinan kepada Bharata sebagai bekal untuk memerintah. Setelah menerima
wejangan tersebut, Bharatha sedikit lega karena merasa telah mendapatkan
bekal ilmu tentang pemerintahan digambarkan bahwa seorang pemimpin itu
mengayomi yang berarti melindungi dari serangan musuh dan menjaga serta
memelihara rakyatnya. Astha berarti delapan dan bratha berarti tindakan.

Delapan tindakan itu diwujudkan dalam kepemimpinannya memiliki keutamaan
yang kesemuanya demi kesejahteraan rakyatnya. Pertama, Kadya Surya (serupa
matahari) artinya, menerangi, memberi kehangatan, menghidupkan dan
menumbuhkan. Kedua, Kadya Chandra (serupa rembulan) artinya, menciptakan
suasana teduh, damai, cinta, sabar dan indah. Ketiga, Kadya Kartika (serupa
bintang), artinya, memberi arah atau menjadi teladan. Keempat, Kadya
Samirana (serupa angin), artinya, tanpa menampakkan diri namun bisa mengisi
kekosongan, memberi nafas kehidupan dan memasuki lembah yang paling bawah
sekalipun. Kelima, Kadya Tirta (serupa air), artinya mengalir atau
berorientasi ke bawah, berpermukaan rata atau adil dan jujur, luwes dan bisa
menyesuaikan bentuk, bisa masuk ke celah yang paling kecil sekalipun dan
bersifat membersihkan. Keenam, Kadya Dahana (serupa api), artinya tegas dan
mampu menghanguskan siapa pun yang keliru tanpa pandang bulu. Ketujuh,
Kadya Samodra (serupa laut), artinya berwawasan luas dan berpikiran dalam,
bisa menampung masukan dari mana pun dan bersifat dinamis. Kedelapan,
Kadya Bantala (serupa bumi) artinya, menjadi tempat berpijak semua orang dan
menyediakan tempat hidup serta ruang gerak untuk semua orang. Seandainya
para pemimpin dalam melaksanakan tugasnya berpegang pada nilai-nilai
Asthabratha, tentulah rakyat akan mengalami kesejahteraan. Alam raya
menyediakan "pelajaran" yang luar biasa. Setelah belajar dari alam
semesta, kita bisa memaknai bagaimana belajar kepada orang-orang yang
sederhana.

Sidharta Gautama (563 SM – 483 SM) sebelum dan sesudah mendapatkan
pencerahan, buddha adalah pribadi yang suka belajar. Dalam film yang
berjudul, "The Life of The Buddha", Pangeran Sidharta memerhatikan dengan
sepenuh hati apa yang dilakukan petani yang sedang membajak sawah. Dari
pengamatan itulah, ia melakukan meditasi. Untuk mendapatkan pencerahan,
Sidharta Gautama belajar dari para guru. Ie Swe Ching dalam Sidharta
Gautama, melukiskan bagaimana pencarian Sidharta untuk mencapai pencerahan
begitu ketat dan keras. Sang guru berkata, "Di sini orang harus mampu
menahan berbagai penderitaan jasmani siang hari berjemur di bawah terik
matahari dan malam hari berendam di dalam air yang dingin." Sidharta sudah
melaksanakan apa yang dianjurkan oleh gurunya, namun belum juga menemukan
"pencerahan." Dalam peziarahannya, dia tidak pernah berhenti belajar.
Pandita Widyadharma dalam Riwayat Hidup Buddha Gotama mengisahkan bahwa
Sidharta belajar dari ronggeng. Gotama berkata dalam hati, "Sungguh aneh
keadaan di dunia ini bahwa seorang Bodhisatta (calon Buddha) mesti menerima
pelajaran dari seorang penari ronggeng. Karena bodoh aku telah menarik
demikian keras tali kehidupan, sehingga hampir-hampir saja putus. Memang
seharusnya aku tidak boleh menarik tali itu terlalu keras atau terlalu
kendor." Melalui belajar dengan apa yang ia alami, Sidharta Gautama
mendapatkan pencerahan, enligment, buddha. Di sini sang Buddha bersikap
amat rendah hati. Ibaratnya ia belajar dari orang yang kecil. Orang Jawa
memiliki peribahasa, "Kebo nusu gudel" yang artinya kerbau yang adalah
induk mengisap susu dari anaknya. Sudah layak dan sepantasnya, jika
seseorang yang ingin mendapatkan pengetahuan tidak perlu malu jika harus
"berguru" kepada yang muda.

Dalam film yang berjudul, "The Story of Ruth" dengan sutradari Henry
Koster, di sana penceriteraannya lebih luas daripada yang tertulis dalam
Kitab Suci (Rut 1: 1 – 4: 22). Rut dilukiskan sebagai pendeta Chemos
belajar dari apa yang disembah oleh Mahlon, putra Naomi. Akhir dalam film
tersebut sungguh membuat iman kita semakin mantap dengan kata-kata,
"Aminadab memperanakkan Nahason, Nahason memperanakkan Salmon Salmon
memperanakkan Boas (suami Rut), Boas memperanakkan Obed, Obed memperanakkan
Isai dan Isai memperanakkan Daud (Rut 4: 20 – 22). Rut adalah wanita dari
suku bangsa Moab. Lebih aneh lagi, ada orang yang belajar dari
musuh-musuhnya. Sudah menjadi kelajiman bahwa kepala suku mencari musuh
untuk bertarung dengan orang-orang yang kuat. Musuh-musuh yang kuat dari
suku lain itu dianggap sebagai "guru". Ia belajar bagaimana berperang dan
jika musuhnya itu kalah dan mati, dia akan kembali ke rumah dan memberikan
nama bayinya yang baru lahir dengan nama tersebut.

Film berjudul Jengis Khan, yang mengisahkan tentang kelahiran hingga
kematiannya memperlihatkan bagaimana ayah Jengis Khan berperang melawan
kepala suku pemberani yang bernama Temujin. Sampai di rumah ia "membaptis"
putranya dengan nama Temujin dan nanti akan menjadi Jenghis Khan (1162 –
1227). Yesus pernah bersabda, "Pandanglah burung-burung di langit, yang
tidak menabur dan tidak menuai dan tidak mengumpulkan bekal dalam lumbung,
namun diberi makan oleh Bapamu yang di sorga. Bukankah kamu jauh melebihi
burung-burung itu?" (Mat 6: 26) Rasa cemas, kuatir dan gelisah amat akrab
dengan kehidupan kita. Yesus mengajak kita untuk belajar dari kesederhanaan
satwa yang tidak diperhitungkan oleh manusia. Burung-burung pipit itu selalu
gembira, baik cuaca cerah maupun mendung. Beberapa abad sebelum Yesus
lahir, Aesop (620 – 560 seb.M) telah mengajari kita dengan belajar dari
kisah-kisah binatang, fable. Kisah-kisah seperti: Pertemuan sekelompok
tikus, Rubah dan anggur, Kera dan lumba-lumba, menyadarkan kita bahwa atas
salah satu cara tigkah laku kita itu menyerupai binatang. Ada rasa dengki
dan iri, serakah, angkuh, tidak mau kalah namun juga ada ketulusan dan
kerendahan hati. Dari sanalah kita belajar.

Tentang sikap belajar, kita harus melihat dari niatnya. Fasilitas yang
lengkap dan guru yang mantap jika sang murid tidak ada niat untuk belajar,
maka akan sia-sia. Dalam pewayangan lakon "Ekalaya", ada ksatria bernama
Ekalaya atau Palgunadi yang hendak berguru kepada Dorna. Namun berhubung
dirinya bukan putra bangsawan (keturunan bangsa Kuru), maka tidak memiliki
hak untuk menjadi muridnya. Terpaksa dengan niatnya yang tulus-murni ia
"belajar" dari luar pagar istana. Tidak tanggung-tanggung, dia membuat
patung Dorna dan ditaruh di padepokan-nya. "Guru Dorna" seolah-olah memberi
pelajaran kepada ksatria itu. Dan memang benar, keahlian memanah ksatria itu
sungguh luar biasa bahkan melebihi Arjuna, murid kesayangan Dorna. Sikap
hidup yang seperti ini adalah mereka yang belajar bukan untuk sekolah,
tetapi untuk hidup. Seneca (4 seb. M – 65), dramawan Romawi berkata, "Non
scholae sed vitae discimus." Apa yang dibuat oleh Ekalaya ini menyadarkan
kita bahwa penghayatan studi kita tidak boleh terpancang pada gelar. Gelar
akademik akhirnya hanya dilihat sebagai gengsi semata. Maka tidak
mengherankan jika orang beramai-ramai menjadi plagiat sebuah skripsi, tesis
maupun disertasi.

Akhir dari permenungan ini, saya ingat akan kata-kata Yesus sendiri,
"Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan
memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah dari
pada-Ku karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapatkan
ketenangan. Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Ku pun ringan (Mat
11: 28 – 30).

Skolastikat MSC, 19 September 2011
Biara Hati Kudus - Pineleng
Jl. Manado – Tomohon KM. 10
Minahasa – MANADO – Sulawesi Utara – 95361

Markus Marlon MSC

Senin, 23 April 2012

MUDA

MUDA
(Sebuah Percikan Permenungan)

Dalam tradisi Yunani dan Romawi kuno, pemuda-pemudi menduduki peranan
penting dalam kisah. Patung renaissance yang berjudul, "David" pahatan
karya Michaelangelo (1475-1564) sungguh memukau karena guratan
kepemudaannya. Dalam mitologi Yunani, ada manusia yang memohon kepada dewa
dengan harapan bisa hidup abadi. Mereka minum buah nectar supaya masa muda
selalu dinikmati. Kata orang, masa muda adalah masa romantika.

Syair lagu yang berbunyi, "Masa muda, sungguh senang, jiwa penuh dengan
cita-cita" barangkali memberikan inspirasi bagi kita. Masa muda juga
disebut sebagai saat yang tepat untuk berkreasi. Tetapi jangan lupa bahwa
daya kreativitas sang pemuda itu tidak bisa dilepaskan begitu saja, tetapi
harus didampingi. E. M. Berens dalam Kumpulan Mitologi dan Legenda Yunani
dan Romawi, berkisah tentang seseorang yang bernama Ikarus, putra
Daedalus. Ia adalah seorang pemuda yang ikut ayahnya, bereksperimen untuk
terbang. Mereka menggunakan lilin untuk merekat bulu-bulu pada sayap buatan.
Ketika terbang di atas awan, sang ayah menasihati supaya tidak terbang
tinggi-tinggi supaya lilin perekat itu tidak meleleh karena sengatan sinar
matahari. Tetapi sang pemuda itu rupanya sulit untuk mendengar nasihat
ayahnya. Sang pemuda berambisi menjadi yang terbaik dan ia pun melambung
tinggi dan meninggi, tetapi akhirnya terjungkal, karena sayap-sayapnya
patah.

Ikarus, seorang pemuda yang hendak berjuang hidup cemerlang, namun kurang
waspada. Lain kisah dengan pemuda-pemudi para perintis bangsa Indonesia yang
memiliki visi yang luar biasa. Apakah terbayang dalam benak kita bahwa
pahlawan nasional kita sudah menelorkan ide-ide yang cemerlang di kala
mudanya. Kartini (1879 – 1904) – meski kini disebut sebagai "Ibu Kita
Kartini" – meninggal pada usia 24 tahun. Bayangkan, betapa mudanya ketika ia
berangkat ke dalam ide-ide besar, dengan masterpiece-nya Dari Gelap
Terbitlah Terang. Bung Hatta (1902 –1980), belum berumur 30 tahun ketika ia
menjadi tokoh perjuangan merintis kemerdekaan. Masa pertempuran untuk
kemerdekaan berkecamuk juga menyediakan momentum untuk anak-anak muda. Di
tahun 1946, Panglima Divisi Siliwangi adalah seorang pemuda bernama A.H.
Nasution (1918 – 2000), umurnya 28 tahun. Di waktu Yogya diduduki tentara
Belanda, seorang perwira yang berumur 28 tahun juga memimpin serangan umum
untuk merebut kota itu. Namanya Soeharto (1921 – 2006).

Kata orang lagi, untuk melawan kepikunan di masa tua, orang harus banyak
mengisi TTS ataupun menulis. Mangun Wijaya (1929 – 1999) penulis buku
Burung-burung Manyar dan Umar Kayam (1932 – 2002) penulis buku Para Priyayi
pernah berkata bahwa seorang penulis itu tidak pernah akan tua. Dengan
memahat kalimat demi kalimat, seorang penulis merenungkan dalam dan lebih
dalam lagi, sehingga pemikirannya tidak akan pernah berhenti. Sikap hati
yang selalu ingin hal-hal yang baru itu membuat orang selalu muda.
Sebaliknya, ada orang yang masih muda tetapi memiliki sikap hati yang mandeg
atau stagnasi, dan ia terjebak dalam pemikiran-pemikiran yang kaku dan
tidak mau menerima pendapat orang lain. Masalah umur itu bukan menjadi
jaminan bahwa dirinya sudah dewasa ataupun belum.Yang paling penting yaitu
bagaimana memaknai kehidupan ini dengan hal-hal yang berkualitas. Bukankah
zaman sekarang ini orang amat mengandalkan gelar, pangkat dan jabatan untuk
memaknai hidup. Ada orang yang beranggapan bahwa gelar doktor merupakan
puncak akademik, sehingga setelah mendapatkan gelar, dia tidak menulis atau
mengadakan penelitian ilmiah lagi. Padahal, sebenarnya gelar doktor harus
dipandang sebagai awal kariernya, sehingga senantiasa akan mencipta dan
mencipta.

Goenawan Mohamad dalam catatan pinggir-nya mengutip ajaran Kong Hu Cu atau
Confucius (551-479 SM). Pada umur 15 tahun, aku mengamalkan diri untuk
belajar kebijaksanaan. Pada umur 30 tahun aku tumbuh lebih kuat dalam
kebijaksanaan. Pada umur 40 tahun, aku tidak lagi punya rasa ragu. Pada umur
60 tahun tak ada suatu pun di atas bumi yang bisa mengguncangkanku. Pada
umur 70 aku dapat mengikuti imlak hatiku tanpa mengingkari hukum moral. Usia
tua memberikan kesempatan untuk kearifan, begitu Kong Hu Cu mengajarkan.

Skolastikat MSC, 22 Agustus 2011
Biara Hati Kudus – Pineleng
Jl. Manado – Tomohon KM. 10
MANADO – Sulawesi Utara – 95361

Markus Marlon MSC

Jumat, 20 April 2012

PENGALAMAN KEHILANGAN

PENGALAMAN KEHILANGAN
(Perjumpaan-Perjumpaan dalam Perjalanan yang Meneguhkan)

Apa yang dibagikan di serayu-net (Selasa, 17 April 2012) oleh Ibu Rahel
dan ditanggapi oleh beberapa serayu-netters yang lain, mendorongku untuk
menuliskan sebuah pengalaman kehilangan. Pengalaman kehilangan yang akhirnya
dilihat sebagai pengalaman iman, karena telah "berjumpa dengan St. Antonius
Padua" seorang kudus dari Lisbon (Portugal).

Saya memiliki seorang teman yang trauma menggunakan komputer. Kujumpai dia
di ruang kerjanya yang menggunakan mesin ketik antik merek Siemag. Ia mulai
sharing, "Pada waktu itu tahun 90-an, saya mengetik di komputerku yang
baru. Saya menulis bahan seminar yang akan dipaparkan pada hari itu juga.
Setelah kira-kira 6 halaman, tiba-tiba listrik mati dan tulisan pun hilang
karena belum di-save. Keringat dingin mengalir di sekujur tubuhku.
Pengalaman kehilangan ini merupakan pengalaman pahit, sehingga saya tidak
percaya lagi dengan barang yang namanya komputer." Dan dia terus memainkan
jari-jarinya di atas mesin ketik bututnya, "tik-tak-tik-tak."

Perjumpaanku dengan teman yang trauma dengan komputer tersebut saya
ceriterakan dalam mobil Innova warna krem. Kami bersama seorang teman
hendak mengadakan perjalanan ke Poso, sebuah kota yang masih menyisakan
kenangan pahit, yaitu puing-puing rumah yang hancur dan dibakar pada tahun
1998. Sesampai di kota Parigi – Kabupaten Parigi Moutong, teman
seperjalananku ketinggalan HP. Dia begitu panik dan dengan gemetaran dia
berkata, "Sungguh, HP itu adalah hidupku. Isi dari HP tersebut adalah
data-data yang amat berharga: nomor-nomor penting, nomor rekening, HUT para
sahabat dan masih banyak lagi. Karena dia ngomel-ngomel terus, akhirnya
driver harus balik ke Palu untuk mengambil HP tersebut. HP belum hilang
saja sudah ngomel-ngomel tidak karuan, apalagi kalau HP itu hilang.

Memang kehilangan barang bisa membuat sedih bahkan stres yang
berkepanjangan. Ada orang yang kehilangan barang yang amat disukai, maka dia
mulai berdoa kepada St. Antonius Padua (1195 – 1231), seorang kudus yang
"membantu" mengembalikan barang hilang, penolong dalam bahaya-bahaya
kemandulan, kelahiran, penyakit sampar. Kita juga pernah mendengar ada
seorang bapak yang bunuh diri, gara-gara kehilangan uang milyaran rupiah
yang diinvestasikan di Bank. Ia sedih sekali karena kehilangan harta
kekayaannya.

Saya juga pernah berjumpa dengan orang yang begitu ikhlas. Di desa kecil,
Playen – Gunungkidul – Yogyakarta, ada seorang bapak yang dikenal
sebagai Bapak "Ayub" Dwijowiyono. Bapak "Ayub" ini pernah berkata pada
suatu waktu, "Orang yang kehilangan harta bendanya, tidak kehilangan
apa-apa. Orang yang kehilangan nyawanya, telah kehilangan separuh dan orang
yang kehilangan kepercayaan, akan kehilangan seluruh hidupnya." Kata-kata
bijak itu mengajak kita untuk menjaga nama baik dan kepercayaan. Di tempat
lain, saya juga berjumpa dengan seseorang yang berkata, "Kehilangan benda
itu tidak perlu sedih-sedih amat sih, sebab suatu saat pasti akan didapat
kembali, bahkan lebih baik dari pada itu." Setelah mengalami kehilangan
benda-benda duniawi, bagaimana dengan kehilangan suasana seperti yang
dialami oleh bapak dalam perjumpaan berikut.

Perjumpaanku dengan seorang bapak di kota Makasar, tepatnya di Jl.
Lumadukelleng, mengingatkan kita bahwa anak-anak sungguh merupakan mutiara
yang tak ternilai harganya. Bapak itu bercerita demikian, "Saya menyesal
sekali telah kehilangan saat anak-anakku berbicara atau berjalan untuk
pertama kali. Setiap kali anakku lahir saya bekerja di luar pulau. Suasana
hati yang indah tidak ternilai harganya itu kini tidak saya dapatkan
kembali. Saya telah kehilangan anak-anakku menangis dan ngompol di
pangkuanku. Saya telah kehilangan kenangan indah bagaimana anak-anakku
nglendhot di badanku." Bapak ini tercenung sejenak, kemudian berkata lagi,
"Kini anak-anak sudah remaja dan dewasa. Mereka sudah sibuk dengan urusan
mereka sendiri-sendiri."

Pengalaman kehilangan bapak di atas dapat dipersandingkan dengan pengalaman
kehilangan seorang ibu yang kujumpai di Gramedia – Manado (Jl. Sam
Ratulangi). Malam itu ia resah dan gelisah mencari-cari buku Iliad of
Homer. Dia bolak-balik dari rak ke rak yang sama. Kemudian tiba-tiba dia
mengeluh, "Kemarin buku itu ada di rak ini dan saya mau beli tetapi saya
belum perlu sekali. Tetapi setelah saya ingin membacanya ternyata buku itu
sudah raib. Bagian servis mengatakan bahwa stock buku itu sudah habis!"
Kita bisa merenungkan bahwa ketika barang-barang itu ada di depan kita,
maka kita cenderung menyia-nyiakan, tetapi ketika barang itu tidak ada,
kita sangat kehilangan.

Masih dalam suasana Paskah di kota Palu (Kamis, 12 April 2012), kami
berenam (Rm. Herry Purasa, Rm. Novi Tuju, Rm. Felix Amias, Rm. Fanny
Manengkey dan Fr. Agus Maming serta saya) sedang nonton film Tutur
Tinular di channel Indosiar – Jam 21.00. Pada waktu itu, saya sedikit
terganggu dengan bau yang tidak sedap dan ngomel-ngomel. Kemudian salah
seorang dari mereka berkata, "Marlon, orang yang kehilangan saja
tenang-tenang saja dan ikhlas koq kamu yang menemukan ngomel-ngomel!"
Kemudian saya bertanya, "Kehilangan apa itu?" Jawabnya dengan tenang,
"Kentut!"

Skolastikat MSC, 18 April 2012
Biara Hati Kudus
Jl. Raya Pineleng KM. 9 PINELENG
Jaga IV – Kecamatan Pineleng
MANADO – 95361
Markus Marlon msc

Sabtu, 14 April 2012

MEMBERI

MEMBERI
(Sebuah Percikan Permenungan)

Charles Dickens (1812 – 1870) novelis Inggris dalam Great Expectations,
menceriterakan Pip kecil yang memberi roti yang sedang kelaparan kepada
tawanan, yaitu Magwitch yang divonis hukuman mati. Namun dalam perjalanan
hidup selanjutnya, Pip bertumbuh dewasa dan mendapatkan bantuan dari
donator yang tidak dikenal. Berkat dana yang jumlahnya tidak kecil itu, Pip
akhirnya menjadi orang yang sukses dan hidup dalam level papan atas.
Menjelang akhir hayatnya, Magwitch mengaku bahwa dialah orang yang memberi
dana kepada Pip, karena ketika dirinya susah, hanya Pip lah yang mau
menolongnya, meskipun hanya memberikan sepotong roti saja. Pemberian –
meskipun kecil – amat berguna bagi yang membutuhkannya. Bahkan ada ungkapan
yang mengatakan bahwa memberi sesuatu kepada orang lain tanpa menunda sama
dengan memberi dua kali. Bukan hanya yang menerima yang bahagia dengan
pemberian itu, tetapi juga yang memberi juga mengalami kebahagiaan, karena
bisa berbagi rezeki dengan yang lain.

Theresa dari Kalkuta (1910 – 1997) adalah pribadi yang suka memberi.
Sewaktu kecil, ia "belajar memberi" dari ibunya yang bernama Dranafile yang
dalam bahasa Albania berarti bunga mawar. Dwiyani Christy dalam Mother
Theresa – Melayani Yang Termiskin Dari Yang Miskin, melukiskan bahwa
keluarga Bojaxhiu kerap mengundang orang-orang yang miskin, terlantar dan
kekurangan. Pengalaman-pengalaman inilah yang menjadi dasar yang kuat bagi
Theresa kecil untuk berkarya di kemudian hari. Mother Theresa pernah
berkata, "Saya amat terharu dengan orang-orang miskin di Kalkuta. Ketika
saya memberikan 1 kg beras kepada orang muslim, tidak lama kemudian orang
itu pergi ke tetangganya dan memberikan ½ kg berasnya kepada orang Hindhu."
Pengalaman Mother Theresa ini tentu saja bisa membuat bibir kita berdecak
kagum.

Kebanyakan orang enggan berbagi sesuatu kepada orang lain, karena
kepemilikannya pun akan berkurang. Tetapi lain dengan berbagi kebahagiaan,
maka kebahagiaan itu akan berlipat ganda. Hati yang bahagia karena sedang
mujur, sukses atau mendapatkan rezeki, perlu kita bagikan kepada orang lain.
Setiap budaya mengenal yang namanya upacara syukuran. Bersyukur atas
kebaikan Tuhan atas rezeki dan keselamatan keluarga. Pengalaman itulah yang
dalam upacara Budaya Minahasa terkenal dengan pengucapan. Orang mengadakan
pengucapan karena telah diberi banyak berkat dari Tuhan dan dari sana pula
berkat itu pun dibagi-bagikan. Yesus mengajar kita untuk berbagi berkat,
"Yesus menengadah ke langit dan mengucap berkat, lalu memecah-mecahkan roti
itu dan memberikanya kepada murid-murid-Nya, lalu murid-murid-Nya
membagi-bagikannya kepada orang banyak" (Mat 14: 19). Kisah nabi Elia
tentang si janda di Sarfat yang hanya memiliki segenggam tepung untuk
dirinya sendiri dan anaknya – karena musim kering. Pada awalnya, ketika si
janda diminta untuk memberikan sebagian makanannya, tetapi ada keraguan
dalam dirinya. Nabi Elia berkata, "Sebab beginilah firman Tuhan, Allah
Israel, tepung dalam tempayan itu tidak akan habis dan minyak dalam
buli-buli itu pun tidak akan berkurang sampai pada waktu Tuhan memberi
hujan ke atas muka bumi" (1 Raj. 17: 14).

Cami Walker dalam Keajaiban Memberi menerangkan bahwa dengan memberi sesuatu
kepada orang lain, ternyata akan memberikan pula kesehatan sang pemberi.
Memberi serupa dengan tindakan positif yang akan berdampak pada energi
kehidupan. Orang China mengenal istilah cincai. Orang yang mudah memberi
itu tidak terlalu perhitungan. Anehnya dan memang nyata, orang-orang yang
mudah memberi juga mudah mendapat. Dari sudut pandang Firman Tuhan ini
disebut hukum tabur tunai. "Dan setiap orang yang karena nama-Ku
meninggalkan rumahnya, saudaranya laki-laki atau saudaranya perempuan, bapa
atau ibunya, anak-anak atau ladangnya akan menerima kembali seratus kali
lipat dan akan memperoleh hidup yang kekal" (Mat 19: 29). Sebaliknya orang
yang pelit dan terlalu banyak perhitungan baik dengan Tuhan maupun sesama,
maka berkat juga sulit turun untuk orang-orang seperti ini. William James
Sidis adalah seorang genius Amerika. Ia memiliki IQ tertinggi, melebihi
Leonardo da Vinci (1454 – 1519) dan John Suart Mill (1806 – 1873). Pada
usia 16 tahun dia sudah menjadi guru besar. Tetapi dia memiliki kehidupan
yang tragis. Pada usia muda ia meninggal dunia dan namanya hilang seturut
berjalannya waktu. Daya intelektualnya yang tinggi tidak dimanfaatkan untuk
kesejahteraan umat manusia. Ia pelit mendarmabaktikan ilmu pengetahuannya.
Sebaliknya, para contributor pengetahuan kepada banyak orang akan menemukan
hidup yang penuh (fully human, fully alive), karena hidup mereka berguna
bagi banyak orang. Tetapi tidak jarang kita menemui orang yang pelit dan
"penuh perhitungan". Segala sesuatunya diperhitungan dengan uang. Di sanalah
muncul ungkapan, "mata duitan." Orang tersebut diminta untuk melayat
tetangganya, tetapi jawabnya adalah rugi waktu. Diminta untuk mengangkat
barang temannya tetapi dia berkata, "rugi tenaga". Di Gereja harus
mengeluarkan uang untuk kolekte, dia berkata, "rugi uang." Orang semacam ini
memiliki mental miskin. Meskipun dari segi materi, dirinya kecukupan, namun
tetap merasa kurang dan kurang. Lebih lagi, dia menerapkan prinsip, do ut
des yang artinya memberi supaya mendapatkan atau memberi dengan pamrih.

Jansen Sinamo dalam Korupsi dan Keluhuran memberikan ilustrasi bahwa alam
semesta itu memberikan kepada manusia sesuatu yang seimbang. Alam tidak
pernah korupsi. Ekektron, misalnya hanya bersedia menerima jatah energi yang
sudah ditetapkan alam baginya sebesar kelipatan bulat konstanta Planck
(Kompas, 4 Juni 2011). Alam bekerja dengan prinsip "secukupnya", tidak
berlebihan dan tidak berkekurangan. Mahatma Gandhi ( 1869 – 1948), pernah
mengatakan bahwa dunia ini memberikan rezeki yang berlebihan kepada semua
umat manusia yang bersyukur, namun tidak cukup bagi satu orang yang serakah.
Beberapa abad sebelum Mahatma Gandhi lahir, Horatius (,,,,,) pernah
berkata, "Semper avarus eget" yang artinya orang yang serakah selalu
menuntut. Alam semesta memberikan yang terbaik kepada umat manusia. Tetapi
eksploitasi alam semesta pada akhirnya mencelakakan penghuni planet itu
sendiri. Banjir dan global warming serta penggundulan hutan adalah
beberapa kejadian dari keserakahan umat manusia.

Pengalaman memberi memang sungguh indah. Belum lama ini saya berjalan-jalan
di Pantai Kalasey dengan seorang tamu dari luar kota. Sore hari itu saya
mengajak tamuku untuk melihat sunset. Ketika detik-detik, matahari akan
kembali ke peraduannya, tamu itu berkata kepada saya, "Sahabat, terima kasih
atas pemandangan indah yang engkau berikan kepada saya." Saya malu, karena
tidak memberikan sesuatu pun kepada tamuku itu, tetapi serentak menyetujui
bahwa saya telah "memberi sesuatu" kepada tamuku itu.

Skolastikat MSC, 9 Agustus 2011
Biara Hati Kudus - Pineleng
Jl. Manado – Tomohon KM. 10
Pineleng II, Jaga VI
Minahasa – MANADO – Sulawesi Utara – 95361

Markus Marlon MSC

I love Monday

MENCINTAI HARI SENIN

Ketika Michelangelo (1475 - 1564) hendak membangun Gereja St. Petrus di
Vatikan (Ia juga menjabat kepala arsitek untuk beberapa tahun), dirinya
ditegur oleh sahabatnya, "Hai Angelo, mengapa kamu bekerja siang dan malam
memikul marmer dari gunung. Untuk apa ?" Dengan penuh keyakinan,
Michaelangelo berkata, "Sebab di dalam batu ini ada malaikatnya, maka aku
semangat bekerja."

Di sini hendak dikatakan bahwa pekerjaan yang dibuat oleh sang pelukis dan
pemahat agung ini memiliki tujuan yang jelas, yaitu bekerja demi kemuliaan
Tuhan (AMDG: Ad maiorem Dei Gloriam - Kemuliaan Allah yang semakin besar),
yang nantinya akan menjadi puas batinnya.

Memang tanpa kita sadari, seringkali kita merasa jenuh dan bosan dengan
pekerjaan yang kita lakukan. Bahkan ada penulis yang menulis buku tentang
"Monday Syndrom" yaitu suatu kecemasan para karyawan menghadapi hari Senin,
sebab dirinya akan menghadapi pekerjaan yang itu-itu saja dan berjumpa
dengan orang-orang yang sama.

16 Mei 2011

Skolastikat MSC Pineleng
Manado - Sulawesi Utara

Markus Marlon MSC

Powered by Telkomsel BlackBerry®

Jumat, 13 April 2012

TERGANGGU

TERGANGGU
(Sebuah Percikan Permenungan)

Di lereng Long's Peak di Kolorado terdapat reruntuhan sebuah pohon raksasa.
Para ahli ilmu hayat mengatakan bahwa pohon tersebut sebelumnya pernah hidup
selama empat ratus tahun. Pohon itu mulai tumbuh ketika Columbus mendarat di
San Salvador dan tumbuh setengah umur tatkala kaum Pilgrims (Puritan
Inggris) menduduki Playmouth pada tahun 1620. Selama masa hidupnya yang
panjang itu, pohon raksasa tersebut telah disambar petir empat belas kali
dan diserang badai serta salju longsor beribu-ribu kali. Hal itu terjadi
selama empat abad. Pohon itu tetap hidup dan berdiri dengan megah. Akan
tetapi akhirnya pohon raksasa tersebut tumbang dan roboh menggeletak rata
dengan tanah setelah diserbu oleh pasukan militer kumbang kayu.
Kumbang-kumbang yang badannya amat kecil bila dibandingkan dengan pohon
raksasa tersebut mampu mengalahkan pohon yang kuat perkasa. Serangga kecil
itu melobangi batangnya sedikit demi sedikit namun tak kunjung berhenti
sampai akhirnya pohon raksasa itu kehilangan kekuatannya. Pohon raksasa yang
gagah perkasa tidak mempan disambar petir, tak goyang diserang badai, tak
lapuk dimakan usia, akhirnya roboh dan hancur hanya karena diserang
kumbang – serangga kecil yang dapat kita bunuh dengan menggunakan satu jari
saja. Kisah ini bisa dibaca dalam Petunjuk Hidup Tentram dan bahagia
tulisan Dale Carnigie (1888 – 1955)

Hal sepele yang seharusnya tidak diperhitungkan itu malah justru bisa
mengganggu kehidupan kita. Dalam biografi orang terkenal dapat dipelajari,
betapa banyak orang kuat yang akhirnya mati atau kalah dengan hal-hal yang
tidak diperhitungkan sebelumnya. Alexander Agung (356 s.M –323 s.M) Julius
Caesar (100 s.M – 44 s.M) Jengis Khan (1162 – 1227) dan Napoleon Bonaparte
(1769 – 1821) mangkat bukan karena perang besar, melainkan karena penyakit
atau kelelahan. Padahal, cita-cita seorang satria harusnya mati di medan
laga. Berbahagialah Bisma, dalam Mahabharata tulisan C. Rajagopalachari dan
Achilles dalam Illiad tulisan Homerus serta Winnetou dalam End of Winnetou
tulisan Karl May, karena para pahlalwan itu gugur dalam medan laga. Romo
Mangunwijaya (1929 – 1999) pun tercapai cita-citanya, karena ketika wafat
sedang menjalankan tugasnya sebagai penceramah yang pada waktu itu berbicara
tentang "Buku dan Masa Depan Bangsa."

Sebagai manusia, tidak jarang dalam hidup ini kita kehilangan orientasi,
karena memikirkan hal-hal yang remeh-temeh. Kita lihat saja, hidup sebagai
pengkritik ternyata lebih mudah, dibandingkan sebagai pemuji. Kalau ada satu
lembar kertas putih bersih dan di sana ada satu titik noda hitam, maka
orang akan dengan mudah melihat titik noda hitam tersebut. Orang lebih
terfokus pada titik noda hitam tersebut, sehingga melupakan satu lembar
kertas putih bersih. Demikian pula, hidup kita itu diwarnai dengan masa
lampau yang mungkin bersimbahkan dosa. Oleh karena itu, pandangan kita ke
depan menjadi kabur dan kita tidak jernih lagi melihat masa depan yang
terbuka luas membentang. Kita lihat bagaimana seseorang yang mau keluar
rumah tetapi Hand Phone-nya tertinggal, tentu saja akan sangat terganggu.
Tanpa kehadiran Hand Phone, maka dirinya akan terganggu, bahkan dapat
dijadikan alasan untuk tidak melakukan ini dan itu. Sarana yang semestinya
membantu kita untuk memudahkan pekerjaan, malah mempersulit diri kita.
Begitu pula dengan sarana yang namanya Air Conditioner. Orang yang sudah
terbiasa dan menggantungkan dirinya kepada Air Conditioner tersebut, akan
merasa sulit jika tinggal di tempat yang panas. Ia akan terganggu dengan
udara yang panas dan tidak bersahabat, sehingga tidak bisa berbuat apa-apa,
kecuali mengeluh dan mengeluh.

Richard Carlson dalam "Don't sweat the small stuff for men" ini mengajari
kita untuk lebih relax dalam menghadapi pelbagai masalah dalam hidup ini.
Salah satu tulisan yang berbicara tentang kecemasan hati sungguh baik untuk
disimak. Kita sering mencemaskan hal-hal kecil yang berhubungan dengan orang
lain. Kita menjadi cepat marah, terganggu, cemas dan tidak sabar atau heran
mengapa orang berperilaku (atau tidak berperilaku) menurut cara yang kita
anggap benar. Dicontohkan bahwa seorang bapak membawa putrinya ke sebuah
restoran dan melihat seorang pria yang mengeluh tentang pelayanan di
restoran itu dengan nada yang sangat marah. Dia berkata, "Bodoh sekali
pelayan-pelayan itu," Dia marah dan menganggap pelayanan di restoran itu
buruk sekali. Pria itu tidak berpikir kalau si pelayan tersebut sedang
melayani lusinan meja. Saat itu tampaknya restoran sangat padat oleh
pengunjung dan kekurangan pegawai. Pria itu marah di tempat dan saat yang
seharusnya tidak perlu marah yang pada gilirannya bisa menimbulkan penyakit
mental.

Untuk mengakhiri permenungan ini, saya menjadi ingat akan novel tulisan
Charles Dickens (1812 – 1870) yang berjudul, "Christmas Carol" dan
novelnya sudah di-film-kan. Novel ini menceriterakan tentang Ebenezer
Scrooge, seorang rentener London yang amat pelit. Selama hidupnya dia amat
terganggu dengan orang-orang yang meminjam uang darinya. Maka, setiap hari
dia berusaha supaya uang itu dapat kembali dengan bunga yang mencekik. Dia
mempunyai pandangan bahwa orang lain yang meminjam uangnya adalah sarana
untuk memperkaya dirinya sendiri. Saat menjelang Natal, Scrooge dikunjungi
oleh roh dari rekan kerjanya yang terakhir yakni almarhum Marley, yang
memperingatkan supaya peduli dengan kehidupan orang. Orang lain bukanlah
sebagai gangguan, melainkan sebagai rekan ataupun mitra untuk hidup bahagia.
Malam itu, Marley memperlihatkan Natal yang telah lampau dan mengingatkan
masa mudanya. Natal saat ini menunjukkan dia sebuah keluarga yang miskin
tetapi bahagia yakni keluarga Cratchit. Termasuk Tini Tim yang pincang.
Kemudian ditunjukkan juga penglihatan dari Natal yang akan yang
melukiskaan suatu kematian Scrooge dan orang-orang yang selama ini diberi
pinjaman bersuka ria. Ketika Scrooge bangun dari tidurnya pada Natal pagi,
ternyata dirinya masih hidup serta sehat. Pada saat itulah, ia baru bisa
bersyukur karena selama hidupnya telah menyia-nyiakan relasinya dengan
sesama. Dalam kisah ini, kita diingatkan kembali tentang Zakheus, pemungut
cukai yang bertobat dan rela memberikan hartanya bagi orang lain yang telah
diperasnya (Luk. 19: 1 – 10). Orang lain yang dulunya dianggap sebagai
"gangguan" kini menjadi berkat. Maka, jangan mudah terganggu.

Skolastikat MSC, 1 Agustus 2011
Biara Hati Kudus - Pineleng
Jl. Manado – Tomohon KM. 10
Pineleng II, Jaga VI
Minahasa – MANADO – Sulawesi Utara – 95361

Markus Marlon MSC

Rabu, 11 April 2012

MANUSIA MATI MENINGGALKAN NAMA

MANUSIA MATI MENINGGALKAN NAMA
(Sebuah Coret-Coret tentang Pameo-Kata
Mutiara-Pepatah-Adagium-Semboyan-Peribahasa-Jargon-Ungkapan-Pitutur)

Ketika masih kecil, saya sering mengalami sendiri bagaimana seseorang
diganti namanya. Awalnya temanku ini bernama Suparto Jayabinangun Eko
Kusumo. Nama yang bagus dan indah. Namun entah karena apa, sahabat saya ini
sering jatuh sakit. Atas kesepakatan keluarga, dibuatlah jenang abang
putih, artinya jenang merah-putih dan digantilah nama tersebut menjadi
Slamet. Percaya-tidak percaya, setelah menyemat nama baru itu, ia menjadi
orang yang sehat walafiat. Peribahasa Jawa yang berbunyi, gugon tuhon yang
berarti: suatu tahayul yang dipercayai kebenarannya. Pepatah Latin menulis,
"Nomen est omen" yang artinya: nama adalah pertanda. Dalam sebuah nama
selalu terkandung sebuah harapan baik. Nama-nama seperti: Khrisna, Muhammad,
Gandhi, Maria, Bhisma dan masih banyak lagi, menjadi nama favorit. Tidak
mungkin terbayangkan, ada orang tua yang memberikan nama kepada anaknya,
seperti: Yudas atau Hitler atau Dursila maupun Durna. Namun kita pun heran
karena nama adik dari Caligula atau nama lengkapnya: Gaius Iulius Caesar
Germanicus Caligula (12 – 41 M) adalah Drusilla. Meskipun ia orang Romawi
namun kalau kita mendengar nama itu menjadi takut. Nomen ist omen.

Barangkali, apa yang tertulis di atas tadi akan ditolak habis-habisan oleh
Shakespeare (1564 – 1616). Ia melalui Romeo, pernah mengungkapkan, "What
is in a name?" yang secara filosofis kerap dipertanyakan mengenai apa arti
sebuah nama. Sri Sultan Hamengkubuwono X mengajarkan kepada rakyatnya di
Yogyakarta tentang makna sebuah nama. Ia berkata, "Kehilangan harta sama
saja tidak kehilangan apapun, kehilangan nyawa sama dengan kehilangan
separuh. Tapi kehilangan integritas dan harga diri adalah kehilangan
segalanya." Integritas dan harga diri ini adalah sebuah nama. Jika nama
seseorang itu sudah buruk, maka hilanglah masa depan seseorang. Tidak
mengherankan jika orang tua senantiasa wanti-wanti kepada anaknya ketika
hendak merantau, "Jaga nama baik ya nak!" Tambahnya lagi, "Di mana bumi
dipijak, di situ langit dijunjung." Untuk menjaga nama baik, seseorang
haruslah "tahu adat" dan menghormati adat-istiadat di tempat orang itu
tinggal. Dan sebagai bhakti bagi nama baik orang tua, muncul peribahasa,
"Mikul dhuwur mendhem jero" yang berarti: memperlihatkan jasa orang tua
setinggi mungkin dan merahasiakan aibnya serapat mungkin.

Tidak ada monument untuk menghormati para pengritik. Memang kadang-kadang,
pengkritik itu dibutuhkan. Kritik-kritik yang dilotarkan bisa menjadi kaca
benggala bagi hidup seseorang untuk memperbaiki diri. Kritik-kritik inilah
yang disebut sebagai kritik yang membangun. Hanya pengritik yang omdo
(omong doang)-lah yang membuat sang pengritik sendiri bagaikan berkumur
dengan racun. Lama kelamaan ia akan sakit dan mati. Sebaliknya, monument
itu didirikan bagi orang yang berhati mulia dan memiliki nama yang harum.
Mereka adalah pribadi yang altruis. Hidup mereka dikorbankan bagi banyak
orang. Nama mereka diabadikan untuk Bandara-bandara, sekolah-sekolah,
nama-nama jalan dan nama-nama Rumah Sakit. Sebagian dari mereka adalah:
Pangeran Antasari (1809 – 1892), Si Singamangaradja (1849 – 1907), Sam
Ratulangi (1890 – 1949), Tjuk Njak Dhien ( 1850 – 1908), Martha Chistina
Tijahahu (1800 – 1818), Sultan Hassanudin (1631 – 1670) dan Pangeran
Diponegoro (1785 – 1855). Ralph Waldo Emerson (1802 – 1883) mengatakan
bahwa sosok pahlawan adalah individu biasa. Hanya mereka sanggup bertahan
sedikit lebih lama dalam situasi sulit.

Ya memang benar, "Manusia mati meninggalkan nama." Amal baik seseorang
selalu dikenang walaupun ia sudah tiada.

Skolastikat MSC, 21 Maret 2012
Biara Hati Kudus – Pineleng
Jl. Manado – Tomohon KM. 9
MANADO – 95361
Markus Marlon msc

Senin, 09 April 2012

CUKUP

CUKUP
(Sebuah Percikan Permenungan)

Minggu lalu, saya diantar sahabat berkunjung pada sebuah keluarga di
bilangan Pasar Empat Lima – Manado. Sudah cukup lama kami
berbincang-bincang mengenai pelbagai perkara. Tuan rumah yang saya kunjungi
kayaknya sudah gerah. Istrinya setiap kali melihat jam dinding di ruang
tamu. Saya baru sadar ternyata sudah tiga jam saya berkunjung di rumahnya.

Dalam perjalanan pulang, teman saya itu pun berkata, "Sahabat, tadi tuan
rumah sudah gelisah karena you terlalu lama bertamu. Kalau lama-lama
bertamu, tentu saja tuan rumah akan menjadi bosan." Saya setuju dengan
nasihat dari sahabatku tadi. Tidak heranlah jika tadi tuan rumah
berkali-kali melihat arloji tangannya. Kemudian sahabatku itu berkata lagi,
"Ya, sebaiknya kalau bertamu itu secukupnya saja!" Pada hari itu, saya
mendapat pengalaman yang amat berharga.

Ada sebuah cerita yang menarik untuk disimak. Suatu ketika Epictetus (55 –
135 M) seorang filsuf yang dilahirkan di Hierapolis, Phrygia – ditanya
oleh temannya, "Siapa yang bisa disebut kaya?" Dia menjawab, "Cui satis est
quod habet," artinya: yang kaya itu adalah orang yang sudah merasa cukup
dengan yang dimilikinya. Kerakusan dan ketamakan itu terjadi karena orang
tidak pernah merasa diri cukup. Mahatma Gandhi (1167 – 1227) pernah
berkata, "Dunia ini cukup bagi orang yang hidup secara wajar dan ugahari,
tapi tidak cukup bagi orang yang serakah."

Keserakahan dan ketamakan yang terjadi akhir-akhir ini menyakiti hati rakyat
yang setiap hari berjuang untuk mengisi perutnya. Orang-orang yang memiliki
sebutan bapak dan ibu dewan terhormat masih belum merasa cukup dengan apa
yang mereka miliki. Mungkin kita bisa belajar dari kisah awal Revolusi
Prancis. Stefan Zweig dalam Maria Antoinette, (1755 – 1793) menulis bahwa
Raja Louis XVI (1754 - 1793) bersama anggota keluarganya berdiri di balkon
menyebar roti yang diperebutkan rakyat yang kelaparan. Rakyat rela
menukarkan kematian dengan secuil roti. Raja pesta-pora sedangkan rakyat
jelata menderita-sengsara. Baiklah jika kita meneladani asketis sang
Nabi. Asep Salahudin menulis, "Rasulullah lebih memilih menyatu dengan
rakyat. Istananya tidak dibangun berlapiskan emas permata, tetapi menjadi
bagian dengan masjid tempat keluar masuk masyarakat. Alih-alih memakai pagar
yang menghabiskan uang rakyat, pintu rumahnya justru dibiarkan terbuka agar
para sahabat dan komponen bangsa dapat berdialog setiap saat." (Kompas, 4
Februari 2012). Pribadi yang sudah merasa cukup tidak perlu takut dengan apa
yang dimiliki. Rasulullah sangat terbuka dengan alam sekitar, sang nabi
transparan, hidupnya suci sehingga setiap orang bisa menimba "air kehidupan
yang indah itu."

Jika kita menyaksikan media elektronik dan mass media yang menyiarkan
tentang kerasukan orang-orang terhormat, paling-paling rakyat hanya dapat
berteriak, merobohkan pagar, pasang tenda di depan Gedung DPR, menjahit
mulut atau membakar diri (Kompas, 24 Januari 2012). Kita pun menjadi apatis
terhadap situasi zaman sekarang. Tidak salahlah jika kita menyebutnya
sebagai annus horribilis yang berarti tahun yang mengerikan. Orang yang
mencuri sandal jepit dibawa ke meja hijau dan mereka yang menyelewengkan
uang rakyat bermilyard-milyard, bahkan triliyun rupiah, masih bisa
lenggang kangkung.

Rasa tidak cukup juga terjadi dalam diri para penguasa. Kekuasaan itu
nikmat. Jika tidak maka dunia ini akan aman dan sejahtera, bagaikan negeri
Hesperia yang diimpikan oleh Aeneas, sebuah epik karya Vergilius (70– 19
seb. M ). Jika para mentri kita yaitu Kabinet Bersatu II ( 2009 – 2014) itu
sungguh-sungguh memahami makna minister (Kata minister dalam bahasa
Latin berarti pelayan), maka tidak akan lagi perebutan kekuasaan . Para
penguasa tidak pernah belajar dari sejarah. Banyak dari mereka diturunkan
secara paksa, padahal jika seorang penguasa itu sungguh-sungguh menghayati
falsafat dari lengser keprabon madeg pandhita, yang artinya: meninggalkan
urusan dunia dan menuju jalan ke akhirat, maka dirinya akan menjadi manusia
terhormat dan menjadi negarawan. Mari kita lihat penaklukan dari Raja Cyrus
Agung (547 – 529 seb. M). Sebagai penguasa Kerajaan Persia dan penakluk
bangsa Lidia dan Babilonia, Cyrus memiliki kedudukan yang belum pernah ada
sebelumnya: tuan atas seluruh tanah mulai dari perbatasan India hingga
Mediterania. Sang Raja sudah diperingatkan supaya mengakhiri petualangannya
"menguasai dunia" Tetapi nafsu berkuasanya tidak kunjung padam. Akhirnya
dia terbunuh ketika berperang melawan sebuah suku bangsa bernama Massagetae.
Para prajuritnya sudah ingin pulang dan berjumpa dengan anak dan istrinya
sambil berkata, "Enough is enough. Sudah cukup! Mari kita pulang!" Tetapi
sang raja menutup mata hatinya. Robert Greene (lahir: 1959) dalam 48 Hukum
Kekuasaan menulis bahwa bahaya terbesar biasanya terjadi pada momen
kemenangan. Orang yang menang perang akan semakin besar kuasa dan
wewenangnya. Sisi buruknya adalah bahwa ia akan menyalahgunakan wewenangnya,
sehingga yang terjadi adalah sewenang-senang. Lord Acton (1834 – 1902)
mengatakan bahwa the great man is the bad man, yang artinya orang besar
adalah orang yang buruk. Di balik kegemilangan prestasi mereka, tiap
penakluk – dipandang dari sudut yang lain – adalah orang-orang yang juga
menghancurkan kehidupan banyak orang. Attila (406 - 453) memeras bangsa
Romawi dan menghancurkan kehidupan ratusan suka bangsa Eropa sehingga ia
disebut Flagellum Dei, yang artinya: Bencana dari Tuhan. Sepak terjang
Genghis Khan (1167 – 1227) dengan bangsa Mongol-nya menyebabkan kehancuran
di sepanjang daratan Eurasia, sehingga bangsa-bangsa Eropa Barat yang tidak
mengalaminya secara langsung pun menyebut mereka sebagai bangsa "Bangsa
Setan menjijikkan yang dicurakna seperti para iblis dari Neraka.
Singkatnya, setiap penakluk pada umumnya memunyai predikat negatif di
samping kemegahannya.

Mengatakan, "Cukup" memang tidak mudah. Ketika merokok bersama dengan
teman-teman, saya berkata, "Ini isapan yang terakhir. Cukup!" Tetapi
besoknya saya mengatakan hal yang sama, "Ini isapan yang terakhir. Cukup!"
Merenungi makna cukup ini, saya jadi ingat akan kata-kata Teresa dari Avila
(1515 – 1582), "Solo Dios basta" yang berarti: Tuhan saja cukup. Inilah
motto tahbisan Pastor Terry Panomban Pr.

Skolastikat MSC, 26 Maret 2012
Biara Hati Kudus
Jl. Raya Pineleng , KM. 9 PINELENG
MANADO – 95361
Markus Marlon msc