Kamis, 29 Maret 2012

ADA UDANG DI BALIK BATU

ADA UDANG DI BALIK BATU
(Sebuah Coret-Coret tentang Pepatah-Peribahasa-Jargon-Ungkapan)

Peribahasa yang berbunyi, "Ada udang di balik batu" tentunya sudah tidak
asing lagi di telinga kita. Jika kita rujuk pada pepatah Latin, akan muncul
kata, do ut des yang berarti: aku memberi supaya Anda juga memberi.
Pemberian dan pertolongan kepada orang lain, itu memiliki maksud agar
nantinya – entah kapan – ia akan mendapatkan kembali, bahkan kalau bisa
lebih. Sri Mulyono Herlambang (1930 – 2007) dalam Wayang dan Wanita
menulis, "Tokoh Drona yang dipermalukan oleh teman lamanya, Prabu Drupada.
Drona dihajar sampai tangan dan mukanya rusak. Dengan dendam yang membara,
ia berusaha untuk mendapatkan bala-bantuan untuk menggembur kerajaan
Pancala. Bala bantuan itu adalah para pangeran Pandawa dan Kurawa, yang
adalah para muridnya" Apa yang dibuat oleh sang guru itu "ada udang di
balik batu". Dalam bertindak menggunakan filsafat "mata kail", atau
"rencong". Jika kita melempar sesuatu, maka akan datang kembali ke arah kita
lagi. Yesus juga mengritik orang yang dalam melakukan memiliki maksud
tertentu, "Ingatlah jangan kamu melakukan kewajiban agamamu di hadapan orang
supaya dilhat mereka..." (Mat. 6: 1).

Lao Tze (± 604 – 521 seb.M) dalam Tao Teh Ching menulis, "Alam ini bekerja
tanpa mengharapkan suatu imbalan. Demikian juga para bijak." Segala sesuatu
dalam alam ini, termasuk hewan membawakan peran mereka masing-masing, tanpa
mengharapkan imbalan. Setiap pagi matahari terbit, ia tidak mengharapkan
imbalan apa pun. Alam raya di dunia ini juga memberikan ajaran kepada kita.
Danau Galilea, misalnya airnya diterima dari aliran sungai Yordan dan
setelah itu dialirkan ke sungai-sungai lain. Di sekitar danau itu tanahnya
amat subur dan ikan-ikan amat banyak. Ada ikan mirip mujair, tetapi di sana
namanya ikan petrus. Sebaliknya laut mati, adalah laut yang hanya menerima
air dari mana-mana, tetapi laut itu tidak pernah memberikan aliran airnya ke
tempat lain, sehingga tidak ada makhluk hidup sama sekali. Makanya namana
Laut Mati. Peribahasa Inggris, "Give and take is fair play" artinya:
memberi dan menerima adalah keharmonisan dan keseimbangan. Orang yang suka
donor darah juga akan sehat dan segar.

Peribahasa Jawa, "Sepi ing pamrih rame ing nggawe" yang berarti: mengerjakan
sesuatu yang tidak didasari oleh kepentingan pribadi, tetapi semata-mata
untuk kepentingan bersama, mengajak kita untuk merenungkan sikap kita dalam
berelasi dengan orang lain. Di setiap daerah ada budaya saling membantu .
Di Minahasa, ada mapalus yakni bekerja bersama-sama tanpa pamrih. Di Jawa
Tengah juga ada sambatan, membantu orang yang punya hajat tanpa imbalan
sepeser pun. Saya sering mendengar pengumuman di paroki-paroki yang
menyumbang dana atau material, tetapi ketika diumumkan tidak mau disebutkan
namanya: No Name. Yesus bersabda, "Tetapi jika engkau memberi sedekah,
janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu" (Mat.
6: 3)

Skolastikat MSC, 29 Februari 2012
Biara Hati Kudus – Pineleng
Jl. Manado – Tomohon KM. 9
MANADO – 95361
Markus Marlon msc

Rabu, 28 Maret 2012

NYAMAN

NYAMAN
(Sebuah Percikan Permenungan)

Waktu saya berlibur di kampung halaman, desa Playen – Wonosari – Gunung
Kidul, saya sempat meminta mbok Ngadirah menyeterikakan kemejaku yang
lusuh. Mbok Ngadirah yang adalah pembantu setia keluargaku kemudian mulai
membakar arang. Setelah beberapa saat, saya baru sadar ternyata mbok
Ngadirah ini menyeterika pakai seterika jadul (Jaman Dulu). Kemudian saya
bertanya, "Kenapa mbok tidak menggunakan seterika yang ini (listrik)?"
Jawabnya dengan polos, "Walah le, seterika ini lebih mantep, abot dan bagus
dan saya sudah senang pake ini!"

Pengalaman di atas adalah suatu pengalaman hidup dalam comfort zone. Orang
yang sudah merasa nyaman dan aman dengan dirinya akan sulit dan (bahkan)
tidak mau keluar atau hengkang dari kenyamanan tersebut. Tommy Siawira
dalam Blueprint Kesuksesan mengatakan bahwa musuh terbesar dari seorang
pemenang adalah comfort zone. Karena seseorang yang terjebak di dalamnya
akan merasa nyaman sehingga membuatnya enggan untuk beranjak dan pindah ke
keadaan yang baru. Manusia memang mudah terbuai dengan comfort zone dan
melupakan hal-hal penting yang seharusnya dilakukan. Buku tebal warna hijau
berjudul Mao Zedong, juga hendak memperlihatkan rasa nyaman yang dialami
oleh Mao Zedong (1893 – 1976) tersebut. Jika hendak mengadakam meeting, ia
tidak berpakaian resmi, tetapi hanya memakai piyama saja. Ia mengundang
para dewannya mengelilingi tempat tidurnya. Dari sana lah, Mao memimpin
rapat. Dan katanya, ide-ide meluncur dengan cepat, ketika badan dan jiwanya
terasa nyaman.

Dalam bahasa motivasi, ada istilah good is not enough, yang berarti: baik
saja tidak cukup. Seseorang berusaha meninggalkan hal yang dianggap sudah
baik dan beranjak ke lebih baik lagi, agung dan mulia. Good to great!! Hidup
di atas rata-rata, yang dalam bahasa Injil sebagai pemberian diri "lebih"
(extra mile), merupakan sikap yang melawan rasa kenyamanan. Yesus bersabda,
"Dan kepada orang yang hendak mengadukan engkau karena mengingini bajumu,
serahkanlah juga jubahmu. Dan siapa pun yang memaksa engkau berjalan sejauh
satu mil, berjalanlah bersama dia sejauh dua mil" (Mat 5: 40 – 41). Dalam
kisah Gunung Tabor, juga hendak memperlihatkan bahwa Yesus hendak meretas
rasa nyaman. Petrus berkata kepada-Nya, "Guru betapa bahagianya kami berada
di tempat ini. Baiklah kami dirikan sekarang tiga kemah, satu untuk Engkau,
satu untuk Musa dan satu untuk Elia" (Luk 9: 33). Tabernaculum, kemah, papan
merupakan tempat yang nyaman, apalagi tempatnya di atas gunung – tentu amat
sejuk dan semilir – membuat orang ingin tidur dan bermalas-malasan. Tetapi
rupanya Yesus tidak mau berlama-lama di atas gunung – madeg pandhita ratu –
melainkan harus turba (turun ke bawah) ke Yerusalem. Ia "membongkar" kemah
sebagai simbol kenyamanan dan menghadapi dunia yang penuh
intrik-konspirasi-korupsi di Yerusalem. Taruhannya adalah nyawa-Nya
sendiri. Andre Wongso dalam Audio Book, bercerita tentang Si Raja Elang.
Burung ini ketika anak-anak sudah mulai remaja, sangkarnya diobrak-abrik dan
ini "memaksa" anak-anak ini supaya tidak krasan lantas mau tidak mau harus
terbang, meskipun bulu-bulu sayapnya belum begitu kuat. Dan seandainya
anak-anak itu tidak kuat, langsung induk turun dan mengangkat anaknya dalam
kepaknya. Kita bisa belajar dari sana.

Merenungkan makna nyaman, saya teringat akan perkataan Imam Syafi'i (767 –
819), "Orang berilmu dan beradab tidak akan diam di kampung halaman.
Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang. Merantaulah, kau akan
dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan. Berlelah-lelahlah, manisnya hidup
terasa setelah lelah berjuang. Aku melihat air menjadi rusak karena diam
tertahan. Jika mengalir menjadi jernih, jika tidak, kan keruh menggenang.
Singa jika tak tinggalkan sarang tak akan dapat mangsa. Anak panah jika
tidak tinggalkan busur tak akan kena sasaran. Jika matahari di orbitnya
tidak bergerak dan terus diam. Tentu manusia bosan padanya dan enggan
memandang. Bijih emas bagaikan tanah biasa sebelum digali dari tambang. Kayu
gaharu tak ubahnya seperti kayu biasa jika didalam hutan." Apa yang ditulis
oleh Imam Shafi'i ini bagi kita merupakan "pukulan telak" bagi manusia.
Perpindahan – atau dalam syair yang selalu dinyanyikan malam Natal adalah
transeamus – merupakan pengalaman yang menyakitkan. Orang yang sudah mapan
hidupnya tidak mudah "membongkar" tempat tinggalnya dan membangun. Kata
mapan sendiri berasal dari kata papan (bhs. Jawa yang berarti: material
pembuat rumah). Kenyamanan dalam hidup, mapan, home sweet home, tentu
membuat orang merasa damai dan krasan atau at home, sehingga tidak mau
meninggalkan "istananya". Benar sekali bahasa iklan furniture, "Kursinya
empuk sampai lupa berdiri!" Rasa nyaman, memang mematikan. Orang menjadi
mandeg dan tidak mau bergerak dan berkembang. Kisah yang berjudul "Sang
Katak" mungkin bisa menjadi inspirasi, "Ada seekor katak dimasukan ke dalam
panci yang berisi air, katak tersebut tidak berusaha beranjak dari panci
dan terus berenang. Di pihak lain, secara perlahan panci tersebut
dipanasi, sedikit demi sedikit dan ketika air itu tiba-tiba menjadi panas
dan mendidih si katakpun tidak sempat melarikan diri karena sudah terjebak
dalam kenyamanan air dan akhirnya mati." Nyaman sendiri memiliki konotasi
suatu rasa aman. Orang yang merasa aman tentu tidak mau beranjak dari tempat
tersebut. Ini yang barangkali bikin pusing para uskup dan para provinsial,
tatkala harus memindahkan para pastornya dari tempat 'basah" ke tempat
"kering".

Bung Karno (1901 – 1970) – singa podium – pernah berpidato dengan mengangkat
negeri yang bernama Uttarakuru. Dalam dunia pewayangan, negeri ini dikenal
sebagai negeri yang tentang-tentram-damai. Negeri yang amat tenang, tidak
ada riak-riak sungai, gelombang, apalagi badai. Tidak ada gelengan kepala,
adanya anggukan kepala. Juga tidak ada dinamika, semuanya serba monoton.
Menyikapi negeri ini, Bung Karno berkata, "Jangan! Sekali-sekali tidak!"
Memang, kebalikan dari rasa nyaman adalah perdebatan, konflik, gejolak dan
akhirnya demo. Kata pepatah, "Laut yang tidak bergelomang tidak akan
menghasilkan pelaut yang trampil" sungguh ada benarnya.

Biasa orang yang sedang tertantang akan teringat masa-masa nyaman dan jaya.
Gunawan Muhamad dalam Catatan Pinggir (29 November 2009) menuliskan tentang
carut-marut, kehidupan gereja abad ke-16, decadency moral. Tulisnya, "Pernah
ada sebuah zaman ketika agama, zina, kekuasaan, uang, nepotisme, jual beli
jabatan, perang, pembunuhan, dan moralitas campur baur. Itulah abad ke 16 di
Italia, ketika Paus Aleksander VI (1431 – 1503) naik Takhta Suci." Masa
jaya itulah yang ingin digenggam dan tidak mau melepaskan oleh para penguasa
Gereja pada masa itu. Rasa nyaman dan kejayaan memiliki makna yang hampir
sama. Itulah yang kita sebut sebagai triumphalistis. Orang masih ingin
mengagungkan masa-masa jaya, padahal situasi sudah berubah. Merasa diri
tinggal di puncak, kejayaan, kemuliaan memang terasa nyaman, namun orang
lupa bahwa masa-masa itu bisa bisa tumbang karena rong-rongan yang digerus
oleh waktu.

Masa keemasan amat indah jika dikenang. Belum lama ini di kota Ambon, saya
mengunjungi wisma jompo, kisah-kisah dari para penghuni itu bertaburan
kata-kata masa jaya mereka. Seringkali kata yang mucul, "Waktu saya dulu
sebagai……." Atau, "Dulu, system lembaga ini saya yang buat." Celakanya lagi
yaitu ada lembaga yang pernah jaya atau moncer. Penghargaan datang dari
mana-mana, pimpinan lembaga menjadi orang penting. Namun sayang bahwa
lembaga tersebut kurang membaharui diri, sehingga ketinggalan zaman. Luarnya
hebat, namun di dalamnya keropos. Ia lupa adagium yang berbunyi, "Ecclesia
semper reformanda" yang berarti: Gereja selalu memperbaharui diri terus
menerus, sebab kalau tidak akan tergilas oleh waktu itu sendiri. Tempora
mutantur et nos mutamur in illis, waktu itu berubah dan kita pun ikut
berubah di dalam kurun waktu itu.

Sebelum pulang ke Manado, saya jalan­-jalan di rumah bulik (bahasa
Manadonya: tante atau mama ade). Anak dari bulik saya itu lama sekali
bekerja di ibu kota sebagai PRT (Pembantu Rumah Tangga). Selama
bertahun-tahun, ia sudah biasa hidup dalam dunia modern.

Waktu lebaran, anak bu lik saya membeli kulkas dan ditaruh di ruang tamu.
Saya sedikit agak heran, "Bagaimana mungkin, desa ini tidak ada listrik koq
ada kulkas?" Siang itu, saya amat kehausan dan kubuka pintu lemari kulkas.
Astagfirullah, ternyata isinya baju-baju!!

Lantas, saya bertanya kepada bu lik, "Mengapa kulkas ini tidak diisi dengan
yang seharusnya?" Jawabnya, "Thole, sebab selama di Jakarta, si gendhuk ini
tiap hari menggunakan barang seperti itu loh!"

Kemudian saya berkata kepada bu lik saya yang buta huruf, "Bu lik, berarti
gendhuk ini hidup dalam comfrot zone!" Bu lik balik bertanya, "Apa itu?"
Saya pura-pura tidak mendengar, sambil menutup kulkas berisi baju-baju itu.

Skolastikat MSC, 9 Januari 2012
Biara Hati Kudus – Pineleng
Jl. Manado – Tomohon KM. 09
MANADO – Sulawesi Utara – 95361

Markus Marlon msc

Senin, 26 Maret 2012

PEMBANTU

PEMBANTU
(Sebuah Percikan Permenungan)

Monumen cinta, Taj Mahal yang dibangun oleh 20.000 orang tenaga kerja dan
memakan waktu 22 tahun, hingga kini masih berdiri megah merupakan saksi
sejarah cinta juga penderitaan. Konon, setelah bangunan itu selesai
dikerjakan, Shah Jahan (1592 – 1666), memerintahkan untuk memotong jari-jari
tangan para arsitek. Ini dimaksudkan supaya mereka tidak mendirikan "Taj
Mahal" tandingan. Hal yang sama tentunya juga terjadi pada pembangunan
piramida-piramida di Mesir dan Candi Borobudur pada zaman dinasti Syailendra
( 760 – 860).

Bertold Brech, penyair Jerman yang termasyur itu pernah berkata, "Pada
malam ketika tembok Tiongkok jadi, ke manakah para tukang batu pergi? Para
tukang batu itu hilang tak tercatat. Hanya raja-raja yang tercatat. Sejarah
memang tidak adil," tulis Gunawan Mohamad dalam Catatan Pinggir 25 April
1981. Tulisan-tulisan tersebut di atas, mengajak kita berefleksi tentang
para pembantu yang telah meringankan pekerjaan para majikannya.

Para pembantu di kraton Jogja dan Surakarta memiliki romantika tersendiri.
Novel "Pengakuan Pariyem"-nya Linus Suryadi, dan "Gendhuk Duku"-nya
Mangunwijaya, memberikan pelukisan tentang kepasrahan para wanita sebagai
abdi dalem. Mereka itu duduk bersila di pendapa atau di bawah pohon sawo
kecik (lambang kabecikan; bhs Jawa artinya kebaikan) di kraton, maupun yang
di makam para Raja di Imogiri. Para abdi dalem itu dalam hidupnya hanya
memiliki satu tujuan yaitu melayani sang raja. Begitu fanatiknya para abdi
dalem, sampai pernah berkata, "pejah gesang ndherek gusti" artinya hidup
mati ikut sang raja. Ungkapan, "Adoh ratu cedhak watu" yang artinya jauh
dari raja dan dekat dengan batu atau gunung melambangkan betapa besar
pengaruh sang raja bagi rakyat. Semua yang diberikan oleh sang raja dianggap
sebagai berkat. Bahkan, seandainya selir yang dihadiahkan kepada Tumenggung
di daerah pinggiran kerajaan, selir itu disebut sebagai triman, yaitu
pemberian, rahmat yang tiada taranya. Ullen Sentalu (ULating bLENcong
SEjatNE TAtaraning LUmaku), adalah sebuah museum yang menyimpan pelbagai
kisah para istri atau selir raja yang lokasinya di dekat Kaliurang. Ada
salah satu lukisan yang mendiskripsikan tentang seorang selir raja yang
hanya bisa melihat dari jarak jauh putrinya. Bahkan sang anak tidak boleh
tahu siapa ibunya. Ini semua merupakan kisah tragis "orang-orang kecil"
atau abdi dalem.

Pada zaman kuno, para raja mengangkat para sida-sida (eunuch) untuk menjadi
penjaga tempat gudik-gundik. Para sida-sida itu sudah disiapkan sejak masa
kanak-kanak di dikebiri, sehingga dirinya tidak lagi mempunyai nafsu
seksual. Para sida-sida tidak bisa lagi mengganggu para gundik raja, sebab
mereka bukan lagi pria maupun wanita. Raja-raja, seperti Salomo cenderung
memperbanyak istri dan gundik secara berlebihan (1 Raj 11: 3). Di negeri
Tiongkok sudah ada orang-orang yang khusus melayani keluarga kerajaan.
Pelayan raja ini namanya kasim (castrated). Pengorbanan sida-sida dan kasim
sungguh luar biasa. Memang ada juga kasim yang menonjol yaitu Cheng Ho
(1360 – 1433), yang masa kecilnya bernama Ma He (Bdk. "Ceng Ho" ditulis oleh
Remisilado). Laksamana Cheng Ho ini mengabdikan hidupnya secara total
kepada Kaisar Yongle, kaisar ketiga dari dinasti Ming. (Bdk. Laksamana Cheng
Ho, dalam Seri Tokoh Dunia no. 41). Di Tiongkok juga, para pembantu sebuah
kerajaan bagaikan masuk dalam "lubang hitam". Tatkala orang sudah mengabdi
sang raja, maka seluruh hidupnya dipersembahkan kepadanya. Ketika sang raja
atau permaisuri atau selir mangkat, para pembantu itu pun ikut prosesi
dalam kubur dan dimasukkan dalam makam dan ditutup batu. Mereka pun dikubur
secara hidup-hidup (Bdk. film Sun Tzu). Sadis dan ngeri memang!! Konon,
kabarnya Cleopatra (Akhir tahun 69 BC – 12 Agustus 30 BC) bunuh diri dengan
membiarkan dirinya dipagut ular kobra sebagai lambang Dewi Isis, juga
kedua pelayan wanitanya ikut tewas bersama sang ratu.

Di zaman Romawi, budak adalah mereka yang dianggap bukan manusia, karena
diperjualbelikan. Bahkan kalau budak yang membunuh majikan, maka semua budak
akan mendapat hukuman, yakni hukuman mati. (Bdk. Quo Vadis tulisan Henry
Sienkiweicz) Perdagangan budak adalah legal (Bdk. Film judul, "Spartacus").
Perbudakan juga berkembang di America, kebanyakan di perkebunan kapas (Bdk.
Novel, Gone with the wind, tulisan Margarett Michell). Tetapi kita patut
bersyukur atas pidato Abraham Lincoln (1809 – 1865) yang mengumumkan
emansipasi atau pembebasan seluruh budak di wilayah Amerika Serikat. (Bdk.
Pidato-pidato yang mengubah dunia, penerjemah Haris Munandar) dan secara
mengagumkan, perjuangan melawan segregasi dan diskriminasi rasial dipelopori
oleh Martin Luther King Jr (1929 – 1968) dengan pidatonya yang berjudul, "I
have a dream" yang disampaikan dalam sebuah unjuk rasa menuntut hak-hak
sipil di Washington DC pada tahun 1963.

Yesus menganggap para murid bukan lagi hamba, melainkan sabahat (Yoh 15:
15). Yesus menambahkan lagi bahwa seorang hamba tidak tahu apa yang
diperbuat oleh tuannya (Yoh 15: 15). Dari sinilah kita tahu bahwa Yesus amat
menghargai orang lain. Paulus dalam suratnya kepada Filemon menerangkan
betapa orang yang dulunya budak, kini menjadi saudara dalam Kristus (Flm 8
22). Di Yunani Kuno, juga ada yang namanya budak. Aesop (620 – 560 BC),
dulunya adalah seorang budak. Tetapi karena kepandaiannya menulis
kisah-kisah binatang (fable), maka dirinya dibebaskan dan menjadi penulis
kerajaan. Karena Yesus menyebut para rasul sebagai sahabat itu –
barangkali – muncul kata-kata seperti: vikaris jendral untuk pembantu uskup,
socius untuk pembantu magister, pastor rekan untuk menggantikan pastor
bantu.

Merenungkan kehidupan para pembantu, saya jadi ingat sewaktu berhadapan
dengan realita, yakni ketika saya berkunjung ke keluarga yang kaya raya.
Pembantu itu menyajikan hidangan di depanku. Setelah minuman tersedia,
nyonya itu memerintahkan tugas yang lainnya. Wajah pembantu itu pun
memelas-pasrah mengerjakan apa yang diperintahkan "tanpa perlawanan" sedikit
pun. Hal yang sama juga saya lihat dengan mata kepala sendiri, seorang
pembantu wanita dengan seragam khusus dan sering dipanggil suster itu – atau
tepatnya adalah babysitter – mengendong bayi mungil. Di sebelahnya, bapak
dan ibu muda itu makan dengan lahapnya, tanpa menghiraukan sang babysitter
yang –barangkali lapar – karena belum makan. Pemandangan inilah yang
membuat hati saya menjadi trenyuh dan terharu, betapa besar pengorbanan sang
pembantu itu. Seringkali saya juga menjadi sedih jika ada anak kecil yang
adalah putra mahkota sang majikan menyebut pembantunya dengan sebutan batur
atau babu.

Pembantu atau pelayan adalah orang yang tidak diperhitungkan, yang tugasnya
di belakang layar (backstage). Kebanyakan dari mereka bukanlah orang
terpelajar, akibatnya eksploitasi ekonomi, sosial, bahkan kekerasan fisik,
psikis dan seksual dapat mengancam kerja pembantu rumah tangga (Bdk. Kompas
dalam RI adopsi Konvensi ILO – 18 Juni 2011). Memang kita tidak boleh
menutup mata dengan apa yang dibuat oleh Pembantu RT yang pandai seperti
dalam film yang bejudul, "TKW Hongkong Rhapsody" yang dimainkan amat bagus
oleh Lola Amaria. Majikannya amat baik dan lemah lembut serta murah hati.
Saya jadi ingat pembantuku di rumah, yang bernama Harni. Ketika saya masih
kecil, dia yang momong saya. Kini dia menjadi pembantu keluarga kakakku yang
jadi tukang momong ponakanku. Barangkali, nanti kalau ponakanku punya anak,
dia akan momong anak dari ponakanku. Luar biasa! Yok kita beri apresiasi
yang tinggi, ucapan syukur, terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada
pembantu kita.

Kantor "Percikan Hati", 20 Juni 2011
Biara Hati Kudus,
Skolastikat MSC - Pineleng
Jl. Manado – Tomohon KM. 10
Pineleng II, Jaga VI
Minahasa – MANADO – Sulawesi Utara – 95361

Markus Marlon MSC

Minggu, 25 Maret 2012

Cinta

CINTA
Oleh : Kahlil Gibran

Apabila cinta memberi isyarat kepadamu, ikutilah dia,
Walau jalannya sukar dan curam.
Dan pabila sayapnva memelukmu menyerahlah kepadanya.
Walau pedang tersembunyi di antara ujung-ujung sayapnya bisa melukaimu.
Dan kalau dia bicara padamu percayalah padanya.
Walau suaranya bisa membuyarkan mimpi-mimpimu bagai angin utara
mengobrak-abrik taman.
Karena sebagaimana cinta memahkotai engkau, demikian pula dia
kan menyalibmu.

Sebagaimana dia ada untuk pertumbuhanmu, demikian pula dia ada untuk
pemangkasanmu.

Sebagaimana dia mendaki kepuncakmu dan membelai mesra ranting-rantingmu nan
paling lembut yang bergetar dalam cahaya matahari.
Demikian pula dia akan menghunjam ke akarmu dan mengguncang-guncangnya di
dalam cengkeramannya.
Laksana ikatan-ikatan dia menghimpun engkau pada dirinya sendiri.

Dia menebah engkau hingga engkau telanjang.
Dia mengetam engkau demi membebaskan engkau dari kulit arimu.
Dia menggosok-gosokkan engkau sampai putih bersih.
Dia merembas engkau hingga kau menjadi liar;
Dan kemudian dia mengangkat engkau ke api sucinya.
Sehingga engkau bisa menjadi roti suci untuk pesta kudus Tuhan.

Semua ini akan ditunaikan padamu oleh Sang Cinta, supaya bisa kaupahami
rahasia hatimu, dan di dalam pemahaman dia menjadi sekeping hati Kehidupan.
Namun pabila dalam ketakutanmu kau hanya akan mencari kedamaian dan
kenikmatan cinta. Maka lebih baiklah bagimu kalau kaututupi ketelanjanganmu
dan menyingkir dari lantai-penebah cinta.
Memasuki dunia tanpa musim tempat kau dapat tertawa, tapi tak seluruh gelak
tawamu, dan menangis, tapi tak sehabis semua airmatamu.

Cinta tak memberikan apa-apa kecuali dirinya sendiri dan tiada mengambil
apa pun kecuali dari dirinya sendiri.
Cinta tiada memiliki, pun tiada ingin dimiliki; Karena cinta telah cukup
bagi cinta.

Pabila kau mencintai kau takkan berkata, "Tuhan ada di dalam hatiku," tapi
sebaliknya, "Aku berada di dalam hati Tuhan".

Dan jangan mengira kau dapat mengarahkan jalannya Cinta, sebab cinta,
pabila dia menilaimu memang pantas, mengarahkan jalanmu.

Cinta tak menginginkan yang lain kecuali memenuhi dirinya. Namun pabila kau
mencintai dan terpaksa memiliki berbagai keinginan, biarlah ini menjadi
aneka keinginanmu: Meluluhkan diri dan mengalir bagaikan kali, yang
menyanyikan melodinya bagai sang malam.

Mengenali penderitaan dari kelembutan yang begitu jauh.
Merasa dilukai akibat pemahamanmu sendiri tentang cinta;
Dan meneteskan darah dengan ikhlas dan gembira.
Terjaga di kala fajar dengan hati seringan awan dan mensyukuri hari haru
penuh cahaya kasih;

Istirah di kala siang dan merenungkan kegembiraan cinta yang
meluap-luap.
Kembali ke rumah di kala senja dengan rasa syukur;
Dan lalu tertidur dengan doa bagi kekasih di dalam hatimu dan sebuah gita
puji pada bibirmu.

MUTIARA

MUTIARA
(Sebuah Percikan Permenungan)

Mimpi Kino dan Juana untuk menjadi kaya karena menemukan mutiara terbesar
di dunia akhirnya kandas, setelah mutiara itu dilemparkan kembali ke dalam
laut. John Steinbecxk amat lihai dalam memainkan penanya, sehingga para
pembaca diajak untuk berdecak kagum dengan apa yang dialami oleh Kino itu
sendiri. Tulisan yang berjudul "The Pearl" dan sudah di-film-kan ini,
hendak mengajak kita betapa berharganya nilai keutuhan dan kekuatan
keluarga dibandingkan dengan "kekayaan" yang baru saja ditemukan oleh Kino.
Namun setelah mutiara yang menjadi rebutan dan pergunjingan banyak orang
itu dilemparkan kembali ke dasar samodra, hati Kino kini menjadi tenang
kembali.

Tiap orang mempunyai kelekatan yang mendasar dalam hidup ini. Karena
kelekatan itu juga manusia bisa bermusuhan bahkan saling membunuh. Memang,
sudah menjadi kodratnya bahwa sejak manusia hidup di dunia ini ada
kecenderungan untuk memiliki. Keinginan untuk memiliki dan memiliki secara
berlebihan, membuat orang lupa diri, sehingga memunculkan keserakahan yang
luar biasa. Kisah Kino di atas, sebenarnya hendak mengkritik kita bahwa
hidup yang sederhana dan menerima dengan apa yang dimilikinya adalah sikap
hidup yang baik. Dalam sejarah maupun mitologi, keinginan yang berlebihan
bisa membawa kehancuran, seperti dalam diri Raja Midas dalam mitologi
Yunani maupun dalam diri Qarun kisah dari Arab. Dari kisah Qarun tersebut,
muncul kata harta karun. Mereka sama-sama mati menggenaskan karena sikapnya
yang tamak.

Kelekatan tidak hanya terhadap barang saja, tetapi bisa juga kelekatan
terhadap relasi. Kalau seseorang menyandarkan diri pada relasi dan ingin
menguasainya, maka yang terjadi adalah kekecewaan dan cemburu karena
ternyata orang lain yang kita anggap kita kuasai ternyata memiliki relasi
dengan orang lain. Ingatkah Kisah Alexander Agung (356-323 SM), raja
Macedonia yang mempunyai hubungan khusus dengan lelaki. Namanya
Hephaistion. Dan itu pun hancur karena terjadi relasi yang tidak sehat.
Mutiara yang indah dalam persahabatan itu bisa menjadi kusam, setelah ada
indikasi bahwa persahabatan tersebut tidak tulus.
Sebenarnya, persahabatan yang tulus itu tidak mengikat melainkan
membebaskan satu dengan yang lain. Ada sebuah kisah pengalaman tentang dua
orang ibu yang sangat akrab. Kalau salah satu ada di sana, pasti yang lain
pasti juga berada di sana. Kedua orang ibu itu bersatu dan tidak pernah
terpisahkan. Kedua orang itu dalam bersahabat sungguh-sungguh tulus. Namun,
pada suatu hari, mereka berdua mempunyai ide untuk bekerja sama dalam
bisnis. Pada awalnya, bisnis berjalan dengan lancar. Tetapi lama-lama
mereka saling mencurigai. Ketidakpercayaan mulai muncul, tatkala
diperhadapkan dengan kepentingan diri sendiri.

Kembali pada novel "The Pearl" tadi, pasangan suami istri yang tadinya
harmonis, kini menjadi saling menyalahkan bahkan terjadi pembunuhan tatkala
menemukan mutiara yang besar di seluruh dunia. Kekayaan yang seharusnya
menjadi sumber kesejahteraan malah menjadi sumber kecurigaan dan akhirnya
keluarga itu menjadi terasing dari dunianya untuk mempertahankan mutiara
yang sangat berharga.

Kelekatan dengan diri sendiri juga bisa menohok pada emosi kita. Orang yang
memiliki rasa gengsi tinggi atau arogan, sulit untuk bersikap rendah hati.
Novel Biografi berjudul "The Perfect Joy of St. Francis" tulisan Felix
Timmermans mengajarkan kepada kita bahwa kebahagiaan sejati itu terwujud
kalau seseorang rela melepaskan pangkat dan jabatan untuk melayani orang
lain. Dalam kisah itu, St. Fransiskus (1181 – 1226), menjadi orang yang
lepas bebas tidak melekat dengan seseorang maupun sesuatu. Ia membuang
mutiara dan ia hidup dalam kemiskinan yang radikal. Orang yang takut
membuang mutiaranya, bagaikan kisah dari Afrika berikut ini. Pada waktu
itu, pemburu-pemburu ingin mendapatkan kera yang bertengger di pohon. Untuk
menangkap binatang tersebut, seorang pemburu menyediakan kacang di dalam
toples. Karena kera itu rakus, maka kera mengambil kacang dalam toples
sampai-sampai karena tangannya penuh dengan kacang, maka sulit untuk keluar
dari toples tersebut. Begitulah, para pemburu dengan mudah menangkap kera
tersebut.

Bukankah dalam hidup ini, kita membawa 2 beban. Beban di depan berisi
tentang kecemasan-kecemasan hidup yang akan datang. Sedangkan tas yang kita
bawa di belakang berisi tentang pengalaman masa lalu yang senantiasa kita
ingat karena kesalahan-kesalahan yang pernah kita alami. Inilah yang
membuat hidup ini terasa berat. Bahkan ada orang yang mempunyai
kecenderungan untuk masuk dalam dunianya sendiri yang penuh dengan
penderitaan. Kesenangan semacam disebut juga sebagai mashochisme. Orang
yang sudah terlena dengan kemapanannya (esthablished), tidak mau mengalami
dunia yang lain. Kemapanan atau stagnasi dalam kehidupan kita yang penuh
dengan tantangan dan pembaharuan bisa menimbulkan manusia-manusia kerdil
pikirannya. Dalam dunia yang serba canggih, tehnologi sudah menjadi makanan
sehari-hari, sehingga orang yang tidak menguasai informasi bisa tergilas di
dalamnya. Jargon "menguasai informasi berarti menguasai dunia" mendapatkan
kebenarannya. Untuk berkembang dalam bidang ini, mutiara-mutiara yang
dibuang adalah rasa gatek (gagap tehnologi) dan berani melangkah maju ke
depan meski banyak tantangan. Membuang mutiara dalam hidup ini bukan
pekerjaan yang mudah, karena harus ada kesiapan mental yang kuat. Kita
bagaikan masuk dalam perang kehidupan. Kemenangan akan terjadi, jika kita
sungguh-sungguh berani membuang sesuatu yang bernilai dalam hidup kita,
tetapi yang menghambat untuk perkembangan pribadi. Oh, mutiara-mutiara.

Merauke, 13 Februari 2011

Markus Marlon msc

Sabtu, 24 Maret 2012

BOHONG

BOHONG
(Sebuah Percikan Permenungan)

Kata "bohong" dalam minggu-minggu terakhir ini menjadi primadona. Di
mana-mana orang berbicara tentang Angelina Sondakh yang "katanya" bohong.
Ada yang gemes mendengarkan apa yang dikatakan yang secara langsung dapat
disaksikan beberapa stasiun Televisi. Kebohongan itu memang melelahkan.
Bohong yang satu akan melahirkan kebohongan berikutnya. Deshi Ramadhani
dalam Lihatlah Tubuhku, menulis bahwa kebohongan yang kita buat itu suatu
saat akan ketahuan juga. "Sepandai-pandai tupai meloncat, suatu waktu jatuh
ke tanah juga."

Kebohongan memang sudah ada sejak dulu kala. Andres Bailey dalam Aesop,
melukiskan kebohongan yang dilakukan oleh sang gembala. Pada waktu itu sang
gembala berteriak-teriak minta tolong karena katanya ada singa. Setelah para
penduduk datang hendak menolong, sang gembala berkata, "He he, kena tipu lu.
Emangnya enak dibohongi?" Orang-orang yang menolong memaki-maki sang gembala
tersebut. Hari kedua, dia teriak-teriak lagi minta tolong dan seperti hari
kemarin, mereka datang hendak menolong. Dan ternyata si gembala bohong lagi.
Hari ketiga, singa betul-betul datang, sang gembala itu menjerit-njerit
minta tolong ketakutan. Tetapi tidak ada orang yang datang lagi. Gembala
tewas disergap singa. Ulah orang yang bohong, akhirnya akan "kena batunya
juga" kata peribahasa. Sindhunata melihat bahwa bohong adalah laknat. Ia
memberikan pelukisan tentang kebohongan dalam peradaban manusia. Tulisnya,
"Bohong adalah kanker di hati manusia. Dan, bohong itu bermuara di bibirnya.
Karena itu, kebijakan Jawa mengajar, "Ajining dhiri ana ing lathi, ajining
raga ana ing busana" artinya: harga diri manusia ada dalam bibirnya, nilai
raga ada dalam busananya. Orang boleh berdandan secantik Putri Indonesia,
tetapi apabila ia tidak bisa menjaga bibirnya – artinya suka berbohong – ia
tidak berharga sama sekali (Kompas, 24 Februari 2012). Yudi Latif, sang
pemikir Kebangsaan dan Kenegaraan menyitir pernyataan Thomas Jefferson
(1743 - 1826), "Jika syarat masuk surga itu harus masuk partai politik, saya
lebih memilih tak mau menjadi anggota partai politik." (Kompas, 21 Februari
2012). Pernyataan ini mendekati sinisme. Memang dunia perpolitikan kita pada
saat ini sedang diuji. Ruang sidang bagaikan drama komedi dan para pelakunya
adalah para dewan terhormat. Rakyat menjadi muak dengan dagelan-dagelan
(lelucon) mereka, apalagi rakyat sendiri sedang dilanda kesulitan dan
dililit ekonomi, sehingga hidup menjadi sulit. Nabi Muhammad SAW (571/572 –
632) bersabda, "Dusta adalah ibu daripada segala dosa." Kita prihatin,
bahwa pada zaman ini kebohongan sudah bersimaharajalela dan betapa karena
kebohongan, bangsa ini tetap melarat dan tidak bisa maju.

Tentang bohong, mungkin kita jadi ingat para pembohong yang digambarkan
sebagai berhidung panjang. Carlo Collodi (1826 – 1890) dalam Pinokio,
hendak mengisahkan tentang Pinokio sebagai anak angkat seorang tukang sepatu
tua bernama Geppetto. Pinokio amat disayangi bapaknya. Namun sangat
disayangkan bahwa dirinya tukang bohong. Setiap kali berbohong, maka hidung
itu pun bertambah "mancung". Zaman sekarang kalau begitu, banyak orang yang
berhidung mancung. Berita bohong, atau tepatnya berita hoax sudah merambah
dalam dunia maya. Bad news travels fast, kabar buruk cepat menyebar. Coba
kita baca broadcasting dari BBM, SMS, e-mail, dan twitter yang
kadang-kadang berisi hoax, "minta supaya kirim uang, isi pulsa dan
lain-lain."

Kebohongan juga ada dalam mitologi Yunani. Edith Hamilton dalam Mitologi
Yunani, "Zeus adalah penguasa jagat raya kadang melakukan kebohongan. Jika
sang Dewa itu menghendaki wanita lain atau dewi lain, dirinya harus
menyamar menjadi angsa, sapi atau manusia biasa supaya tidak diketahui oleh
sang permaisurinya, Hera." Apa yang dibuat oleh Zeus itu ternyata juga
sudah dilakukan oleh binatang bermimikri, yaitu bunglon. Bunglon adalah
binatang yang kulitnya bisa berubah warna seperti daun atau batang, sehingga
selamat dari mangsa musuhnya. Makanya orang yang plin-plan adalah disebut
sebagai bunglon. Pagi bicara kedelai, siangnya bicara tempe (Bhs Jawa: Esok
dele awan tempe). Tidak bisa dipegang ucapannya dan banyak bohongnya.
Dongeng-dongeng anak-anak yang masih saya ingat adalah Serat Kancil. Kancil
yang dalam bahasa Latin disebut tragulus javanicus merupakan binatang kecil
seperti rusa. Kisah ini banyak menceriterakan kelicikan dan kebohongan yang
dilakukan oleh kancil. Dia pembohong, tapi licik, smart, cerdas dan
cunning. Itulah dongeng.

Ketika jalan-jalan ke Sumbawa, saya mengunjungi Istana Air Mayura yang
dibangun oleh Anak Agung Anglurah Made Karang Asem pada tahun 1744. Di
setiap jalan ada pohon manggis. Guide menerangkan bahwa buah manggis ini
tidak pernah berbohong, sebab isi buahnya bisa dilihat dari pantat buahnya.
Manusia jujur adalah yang berbicara sesuai dengan apa yang ada di dalam
hatinya. Dalam Ensiklopedi Wayang Indonesia (terbitan: Sekretariat
Nasional Pewayangan Indonesia – Sena Wangi) Puntadewa atau Yudistira adalah
seorang satria yang selama hidupnya tidak pernah berbohong. Ahli strategi
perang, Prabu Kresna menyuruh Bimo membunuh Esti Aswatama dengan senjata
rujakpolo. Berita kematian Esti Aswatama inilah yang oleh Pandawa sengaja
diserukan sebagai kematian Aswatama, untuk membuat batin Begawan Drona
tergoncang. Dalam situasi yang tidak menentu, Drona bertanya kepada
Yudhistira, orang yang paling jujur, sabar dan tidak pernah marah, makanya
dirinya disebut juga sebagai orang yang berdarah putih. Ketika ditanya oleh
Drona, Yudhistara menjawab, "Ya, Esti (diucapkan lirih, nyaris tidak
terdengar) Aswatama memang tewas." Yudhistira tidak berbohong. Drona
mendengarnya bahwa yang mati adalah Aswatama, tentu saja langsung
teriak-teriak, menangis dan berlari-lari tanpa tujuan. Jiwa Drona terkoyak
sehingga menjadi labil. Dari sanalah, Drestajumena – putra bungsu Prabu
Drupada – menebas lehernya, sehingga kepala guru besar itu terpenggal.
Drona tewas, sebab dibohongi oleh para prajurit Pandawa, bahwa anaknya
semata wayang dikabarkan tewas terbunuh. Dengan kabar bohong itu, hatinya
menjadi galau, sehingga dengan mudah untuk diserang.

Tiga halaman sudah, saya bermenung tentang "bohong", dalam hati saya pun
malu, sebab saya juga suka berbohong dan tulisan ini pun mungkin hanya hoax
belaka. Jangan hiraukan, kalau perlu di-delete saja.

Skolastikat MSC, 05 Maret 2012
Biara Hati Kudus – Pineleng
Jl. Manado – Tomohon, KM. 9
MANADO – 95361
Markus Marlon msc

Minggu, 18 Maret 2012

PULANG

PULANG
(Sebuah Percikan Permenungan)

Lagu dan syair yang dilantunkan oleh Ebiet G. Ade yang berjudul, "Aku
Ingin Pulang" sungguh mengharukan hati. Kerinduan akan kembali ke rumah,
merupakan pengalaman pribadi yang kompleks. Rindu akan kamar yang dulu kita
gunakan untuk meletakkan badan jika penat, rindu berjumpa dengan orang tua
dan kakak-adik, rindu akan kamar mandi yang airnya sejuk, rindu akan halaman
rumah tempat bermain dengan teman-teman sebaya. Menyadari akan makna rumah
yang penuh nostalgia di masa kecil itu, saya menjadi ingat akan ungkapan
klasik yang berbunyi, "Rumah adalah sanctuary bagi tiap pribadi." (Kompas,
16 Juli 2011).

Rumah yang penuh kenangan itu bukan saja sebagai bentuk bangunan (a house),
tetapi rumah juga membuat hati damai, krasan dan menyembuhkan (at home).
Sebagai contoh, tatkala saya bertugas di Paroki Kutoarjo, jika dalam diriku
ada rasa tidak nyaman, pada hari Rabu pagi – waktu untuk ambulasi – saya
kembali ke Gunung Kidul. Selama sehari penuh, saya tiduran di tempat kamarku
waktu kecil dan mandi dengan air yang sama ketika masih kecil. Di rumah itu
saya bersantai-santai yang oleh Cicero ( 106 – 43 BC) dikatakan bahwa
manusia itu sebagai homo relaxus. Kerileksan itulah yang memulihkan energy
saya siap untuk berkreasi kembali. Ketika Rabu sore, kembali ke tempat
dinas, sudah sehat lagi. Rasa kangen terobati. Barangkali pengalaman pulang
ke rumah itu yang menurut istilah psikologi sebagai suatu oceanic
experience, suatu pengalaman samodra yang nyaman dalam kandungan ibu atau
dalam comfort zone. Wallahualam!

Rasa at home dalam rumah itu juga bisa kita lihat dalam diri kamar
seseorang. Pastor Gregorius Hertanto Dwi Wibowo MSC, doctor lulusan
Universitas Innsbruck – Jerman, sekarang ini bertugas sebagai dosen
dogmatic dan staf Pembina di Skolastik. Dalam sharing-nya, ia bisa
mengamati sikap hidup seseorang dari kamarnya. Ada seseorang yang amat aktif
di luar (pekerja militant, pemberi seminar dan disenangai banyak orang),
tetapi dirinya tidak at home di kamarnya, padahal kerapihan dalam kamar
pribadi itu menunjukkan pula kerapihan dalam hidupnya. Orang telah
melanglang buana "memberikan ilmunya" kepada banyak orang, kini perlu pulang
ke kamarnya untuk "mengendapkan" pengalaman-pengalaman hidupnya. Di kamar
pribadinya inilah, dia bisa berbicara dengan dirinya sendiri. Sekali lagi,
"Rumah adalah sanctuary bagi tiap pribadi". Karen Armstrong dalam Muhammad
Sang Nabi menulis, "Kita semua memerlukan sebuah tempat pribadi dalam
kehidupan kita di mana kita dapat beristirahat sejenak dari kehidupan: hal
itu membantu kita untuk memusatkan diri kita dan menjadi lebih kreatif. Di
Arab di mana seluruh kehidupan merupakan perjuangan, sanctuary merupakan
kebutuhan." Dari sana kita bisa merenungkan, betapa pentingnya kita untuk
"pulang" dan memberi tempat dan waktu yang khusus dan khusyuk untuk pribadi
kita.

Di kampung halamanku pula, ada ritual yang tidak pernah tergantikan dari
generasi ke generasi yakni pulang ke rumah (mudik). Setiap tahun, menjelang
Idul Fitri, ratusan bus dari Jakarta ber-mudik untuk pulang ke rumah.
Kepulangan mereka tidak tanpa perjuangan. Mereka harus membeli tiket (bus,
KA dan pesawat) dengan harga yang melambung tinggi dan sesampainya di
air-port, stasiun dan stamplat para pemudik harus berdesak-desakan mencari
tempat duduk. Tetapi semuanya itu dipandang sebagai ibadah yang akhirnya
bisa berjumpa dengan kerabat di kampung halaman. Di kampung halaman itulah,
mereka saling mengampuni dan memaafkan, sehingga manusia menjadi fitrah
(suci).

Menurut Pri GS, yang senantiasa "menggoda Indonesia" di Radio Smart FM
setiap Jumat Malam, pernah berbicara tentang "perjalanan ke rumah."
Pertama, adalah perjalanan ke tempat Ibadat. Dalam dirinya ada kerinduan
berjumpa dengan Tuhan. Kedua, adalah perjalanan ke tempat kerja. Dalam
aktivitas kerja, manusia mencari nafkah untuk keluarga. Yang ketiga adalah
perjalanan ke rumah. Inilah yang merupakan perjalanan yang sungguh penuh
getaran-getaran cinta. Sebab di sana ada kerinduan akan berjumpa dengan
orang-orang nyata, yaitu yang ia cintai. Homerus (850 -? BC) dalam Odyssey
melukiskan bahwa peristiwa pulang ke rumah adalah suatu petualangan yang
penuh dengan suka-duka, melewati onak-duri, tantangan-godaan, riak-gelombang
namun akhirnya menemukan kebahagiaan setelah berjumpa dengan keluarganya:
istrinya Pennelope dan anaknya Thelemachus di Ithaka. Pengalaman Odysseus
selama 10 tahun adalah sebuah petualangan spiritual (sanctuary).

Memang benar apa yang dikatakan pepatah, dalam Buku Peribahasa tulisan
Annisa Mutia "Hujan emas di negeri orang, hujan batu di negeri sendiri" yang
berarti sebaik-baiknya negeri orang lain, lebih baik negeri sendiri.
Pemazmur menulis syair yang sangat indah untuk memaknai kecintaan pada
kampung halamannya, "Di tepi sungai-sungai Babel, di sanalah kita duduk
sambil menangis, apabila kita mengingat Sion. Pada pohon-pohon gandarusa di
tempat itu kita menggantungkan kecapi kita. Sebab di sanalah orang-orang
yang menawan kita meminta kepada kita memperdengarkan nyanyian, dan
orang-orang yang menyiksa kita meminta nyanyian sukacita: 'nyanyikanlah bagi
kami nyanyian dari Sion?' Bagaimanakah kita menyanyikan nyanyian Tuhan di
negeri asing?" (Mzm 137: 1 – 4). Di dalam rumahnya sendiri, seseorang bisa
mengungkapkan secara penuh seperti apa yang diceriterakan oleh Laura Ingall
Wilder dalam Little House on the Prairie.

Kata Pendahuluan dari salah satu buku Catatan Pinggir ditulis oleh Ignas
Kleden. Penulis mengatakan bahwa setiap penulis memiliki "rumah"-nya
sendiri-sendiri. Demikian pula dengan Gunawan Mohamad. Gaya penulisannya
sudah terpateri, sehingga tidak mungkin pulang ke "rumah lain". Peristiwa
ini juga saya amati dalam dunia burung dan kelelawar. "Rumah" Burung walet
(collacalia fuciphaga) yang terletak di kebun Wisma Lorenzo Sentrum
Kateketik – Lotta (Manado) mengajariku untuk memaknai arti kepulangan.
Burung-burung itu setiap pagi terbang dari "rumah" entah ke mana, tetapi
pada sore menjelang malam hari, mereka pulang dan masuk ke "rumah". Hal yang
sama juga saya lihat kelelawar-kelelawar (pterocarpus edulis) yang jumlahnya
ribuan, bahkan jutaan yang bergantungan di pohon-pohon di tengah laut
kepulauan Rinca (Nusa Tenggara Timur). Setiap magrib kelelawar-kelelawar itu
terbang untuk mencari makan dan menjelang subuh, mereka pulang ke "rumah"
untuk istirahat. Burung dan kelelawar akan kembali ke "rumah"-nya
masing-masing, meskipun pergi entah ke mana.

Akhir dari peziarahan kita di dunia ini adalah pulang ke rumah Bapa. Pepatah
Latin yang berbunyi, "Hodie mihi, cras tibi" yang artinya, hari ini aku,
besok kamu. Ungkapan ini hendak menunjukkan kepada kita bahwa kematian
menuju rumah Bapa adalah sesuatu yang pasti. Yesus sendiri bersabda,
"Janganlah gelisah hatimu: percayalah kepada Allah, percayalah juga
kepada-Ku. Di rumah Bapa-Ku banyak tempat tinggal." (Yoh 14: 1 – 2 ).
Ketika mengadakan perjalanan di Medan, saya menemui makam-makam yang indah
nan megah di pinggiran jalan besar. Guide yang menemaniku dalam perjalanan
mengatakan bahwa anak-anak membangun makam tersebut sebagai tempat
peziarahan terakhir di dunia bagi orang tuanya. Oleh karena itu, jika
seseorang meninggal di tempat lain, keluarga berharap jenazahnya bisa
"pulang" dan beristirahat kekal di kampung halaman. Bersama Agustinus (354 –
430), mari kita mengakhiri peziarahan kita untuk kembali ke rumah Bapa,
"Engkau telah menciptakan kami untuk Diri-Mu sendiri; dan hati kami takkan
tenang sebelum beristirahat dalam Dikau." (Bdk. Confesiones 3, 6, 11).

Skolastikat MSC, 25 Juli 2011

Biara Hati Kudus - Pineleng
Jl. Manado – Tomohon KM. 10
Pineleng II, Jaga VI
Minahasa – MANADO – Sulawesi Utara – 95361

Markus Marlon MSC

Kamis, 15 Maret 2012

MUDA FOYA-FOYA, TUA KAYA RAYA, MATI MASUK SURGA

MUDA FOYA-FOYA, TUA KAYA RAYA, MATI MASUK SURGA
(Sebuah Coret-Coret tentang Pameo-Kata
Mutiara-Pepatah-Adagium-Semboyan-Peribahasa-Jargon-Ungkapan-Pitutur)

Waktu ngangsu kawruh (menuntut ilmu) di Seminari Menengah Mertoyudan
(1982 – 1986), saya menerima surat dari ibu dan tulisan yang masih kuingat
adalah "Dalam hidup ini, kita harus berakit-rakit ke hulu, berenang-renang
ke tepian. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian." Isi "surat
wasiat" itu rupanya memiliki makna yang mendalam. Peribahasa ini dikandung
maksud: kalau menginginkan sesuatu, hendaklah berusaha untuk mendapatkannya.

Dongeng, cerita rakyat dan wiracerita-wiracerita, memberikan kepada kita
kisah-kisah kebijaksanaan tentang penderitaan manusia yang pada akhirnya
berbuah manis. Cerita Cinderella-nya Charles Perrault (1628 – 1703),
dongeng The Snow Quenn-nya H.C. Andersen (1805 – 1875) dan wiracerita
pembuangan Rama dan Shinta yang didampingi Laksmana di hutan Dandaka,
hendak menunjukkan kepada kita bahwa untuk menuju kemuliaan, seseorang
perlu menderita terlebih dahulu. Dalam peribahasa Inggris, ada
tulisan-tulisan, "No pain, no gain" (iiada hasil tanpa jerih payah) atau
"Nothing stake, nothing draw." (kalau tidak membeli lotere, jangan
berharap akan menang undian). Kalau meminjam bahasa eksekutif muda, "Tidak
ada makan siang yang gratis"

Jatuh-bangun yang kita alami dalam hidup ini, meyakinkan diri kita bahwa
hidup ini adalah suatu perjuangan. Seneca (4 seb M – 65 M) menulis, "Vivere
militare" yang berarti hidup adalah berjuang. Lewat ungkapan ini, Seneca
mengajak pembacanya untuk berjuang mengatasi berbagai kesulitan dalam hidup.
Pius Pandor menyitir ungkapan Ovidius (43 seb.M – 18 M) "Dulcia non meruit,
qui non gustavit amara" yang berarti: yang tidak pernah mengecap kepahitan
tidak akan dapat pula menikmati kemanisan. Memang benar bahwa bersusah payah
itu merupakan syarat mutlak untuk mencapai kebahagiaan. Pepatah per ardua
ad astra, yang berarti: bersusah payah untuk sampai ke bintang, rupanya
tepat untuk melukiskan makna hidup ini.

Orang-orang yang telah mengukir sejarah adalah mereka yang memiliki semangat
juang yang tinggi. Bung Karno (1901 – 1970) dengan para founding fathers
memiliki impian yang tinggi untuk membangun "jembatan emas kemerdekaan."
Bung Karno harus keluar-masuk penjara demi perjuangan kemerdekaan. Ia
ditahan di penjara Sukamiskin dan dibuang ke Ende (NTT) dan diasingkan di
Bengkulu. Bung Karno wafat bukan di istana yang mewah.
Mohandas Karamchand Gandhi (1869 — 1948) yang juga dipanggil Mahatma
Gandhi (bahasa Sansekerta: "jiwa agung") adalah pejuang dengan jubah
pengemis. Film berjudul Gandhi yang dibintangi oleh Ben Kingsley
(1943 - ) melukiskan bagaimana ia membentuk gerakan perlawanan rakyat
sipil untuk memrotes monopoli garam yang diberlakukan pemerintah Inggris di
India. Gerakan Satyagraha yang dipimpin oleh Mahatma Gandhi ini bersikeras
bahwa garam merupakan kebutuhan vital bangsa India. Ia bersama-sama rakyat
yang jumlahnya ribuan berdemo untuk menentang ketidakadilan yang dibuat oleh
Inggris. Gandhi mati karena ditembak.

Martin Luther King Jr. (1929 – 1968) mencanangkan kebebasan bagi bangsa
kulit berwarna. Pidatonya yang terkenal adalah I have a dream. Perjuangan
Martin Luther King Jr yaitu adanya kebebasan. Penggalan dari pidatonya,
"Aku punya mimpi bahwa suatu hari di bukit-bukit merah di Georgia, anak-anak
dari mantan budak dan anak-anak dari mantan pemilik budak dapat duduk
bersama dalam sebuah meja". Pada puncak kariernya, tahun 1968 dia ditembak
di Lorraine Motel di Memphis, Tennessee.

Para pejuang kemanusiaan, berharap mereka gugur pada saat menunaikan
tugasnya dalam pengabdian. Bhisma, seperti yang ditulis dalam Mahabaratha,
gugur ketika sedang berperang. Lakon Bhisma Gugur mengisahkan dengan
tragis, bagaimana kematiannya beralaskan senjata-senjata dan bukan
permadani, bau anyir darah dan bukan anggur, serta tangisan keikhlasan dan
bukan penyesalan. Demikian pula, para pejuang kemanusiaan akan menemukan
kebahagiaan tatkala perjuangan dan penderitaan mereka menjadi inspirasi bagi
para penerus bangsa.

Ketika saya dan Komunitas suster-suster ADM Kutoarjo pasiar (piknik) di
Pangandaran – Ciamis – Jawa Barat (2002), ada sekelompok pemuda yang
sedang menikmati sunset menjelang magrib. Dari kejauhan saya mendengar
diskusi yang cukup menarik dan terdengar samar-samar. Mereka berbicara
tentang carpe diem, hidup harus dinikmati, hedonisme dan untuk apa
susah-susah. Kemudian tak lama kemudian seorang gadis remaja berkata,
"Hidup yang baik itu ya: muda foya-foya, tua kaya raya dan mati masuk
surga!" Seketika itu juga buyarlah permenunganku tentang "Bersakit-sakit
dahulu, bersenang-senang kemudian" Kemudian dalam hati saya berkata, "Enak
juga ya muda foya-foya, tua kaya raya dan mati masuk surga! Tapi bagaimana
caranya?????????"

Skolastikat MSC, 14 Maret 2012
Biara Hati Kudus – Pineleng
Jl. Manado – Tomohon KM. 9
MANADO – 95361
Markus Marlon msc

Kamis, 08 Maret 2012

MENS SANA IN CORPORE SANO

MENS SANA IN CORPORE SANO
(Sebuah Coret-Coret tentang
Pameo-Pepatah-Adagium-Semboyan-Peribahasa-Jargon-Ungkapan-Pitutur)

Hari Sabtu (03 Maret 2012), saya berenang bersama-sama para senior di Kolam
Renang "Indraloka" Kinilow – Tomohon. Sebelum mengenakan pakaian renang
di ruang ganti, seorang tukang kebun berkata kepada saya, "Pak, ini baru
sip. Pagi-pagi sudah berolah raga. Bapak harus mens sana in corpore sano
dulu!" (sambil mengacungkan jempolnya kepadaku). Kata-kata bapak tadi
berbunyi merdu di telingaku. Selama berenang (gaya: bebas, dada atau katak
dan gaya punggung), kata-kata bapak itu tidak lepas dari permenunganku
sedetik pun jua.

Pepatah Latin, "Mens sana in corpore sano" itu selengkapnya berbunyi,
"Orandum est ut sit mens sana in corpore sano" artinya: hendaklah kamu semua
berdoa agar ada jiwa yang sehat di dalam badan yang sehat. Pepatah ini
diciptakan oleh penulis Romawi yang bernama Desimus Junius Juvenalis (60 –
140). Ia banyak menyindir Roma sebagai kota yang tidak layak dihuni, Senat
yang mutunya merosot, lembaga pengadilan yang tidak jujur, kerakusan
penguasa akan uang, serta gaji guru, penyair, sejarawan yang rendah. Dari
ungkapan itulah, Juvenalis kemudian memberi berbagai ajaran mengenai
syarat-syarat agar orang menjadi waras.

Merenungkan kata-kata Juvenalis tersebut, rupanya apa yang ditulis oleh
Ranggawarstito (1802 – 1873) itu hingga saat ini masih relevan. Anand
Krisna dalam Tetap Waras di Jaman Edan menulis, "Amenangi jaman edan, ewuh
aya ing pembudi, melu edan nora tahan, yen tan melu anglakoni boya kaduman
melik, kaliren wekasanipun dilalah kersa Allah, begja-begjane kang lali,
luwih begja kang eling lawan waspada," artinya: Menghadapi jaman edan ini,
memang pikiran pun kacau. Ikut jadi edan tidak diijinkan oleh nurani.
Sebaliknya apabila tidak ikut demikian, akan terisolasi dari masyarakat
luas. Namun bagaimanapun juga, betapapun nikmatnya kehidupan mereka yang
ikut menjadi edan, masih lebih bahagia mereka yang tetap mempertahankan
kesadarannya. Memang jaman sekarang ini kita berhadapan dengan bumi yang
sedang gonjang-ganjing. Selengkapnya seperti suluk dalam pewayangan, "Bumi
gonjang ganjing langit kelap kelip katon lir gincangingalir risang maweh
gandrung sabarang kadulu wukir monyag manyig" artinya: bumi berguncang,
langit berkilat, terlihat seperti orang cinta melihat segalanya, gunung pun
berantakan. Gandrung itu berarti senang atau cinta. Jadi, orang-orang
sekarang yang aktif di politik itu memang sedang senang mengejar posisi atau
jabatan atau kekuasaan.

Tren birokrat yang korup (Kompas, 5 Maret 2012), orang mudah mengamuk,
kekerasan menjangkiti anak-anak (Kompas, 29 Februari 2012) dan kebohongan
publik ada di mana-mana. Barangkali inilah yang disebut para sang pujangga
itu sebagai Jaman Edan. Jiwa kita pada jaman ini sedang tidak waras.
Robert Harris dalam Imperium: sebuah novel, menuturkan bahwa ikan itu jika
mati yang busuk kepala terlebih dahulu. Demikian, kebusukan moral itu pun
yang terjadi saat ini juga terlebih dahulu dalam diri para pemimpin. Cicero
(106 – 43 seb.M) – yang hidupnya jauh sebelum Juvenalis ini – ternyata
sudah berusaha menentang orang-orang yang tidak waras. Pidatonya yang
terkenal yakni melawan Catilinia (108 – 62 seb.M), seorang anggota Senat,
yang ingin merebut negara Roma dengan kekerasan. Kita pun kadang
geleng-geleng kepala tidak habis pikir dengan kelakuan dan sikap para
pemimpin jaman ini.

Inilah perkataan Pengkhotbah, anak Daud, raja di Yerusalem. "Nil novi sub
sole" yang artinya: tidak ada yag baru di bawah matahari (Pkh. 1: 9). Sejak
jaman dahulu kala, ternyata pembusukan, dekadensi moral dan "penyakit jaman"
telah melanda dunia hingga detik ini. Demikianlah, kita tidak perlu heran
dan kaget jika ketidakwarasan ini masih kita saksikan di sekitar kita.

Namun kita tidak perlu berkecil hati, sebab banyak orang yang berusaha untuk
menjadi sehat. Sering juga kita mendengar pameo yang berbunyi, "Kesehatan
bukanlah segala-galanya, tetapi tanpa kesehatan segalanya tidak berarti."
Supaya jiwa (pikiran) dan badan sehat, maka perlu belajar olah raga dan olah
jiwa. Pius Pandor dalam Ex Latina Claritas menulis bahwa jiwa dan badan
perlu "dirawat". Jiwa dirawat dengan aneka keutamaan yang menghantar pada
kebahagiaan; sedangkan badan dirawat dengan banyak mengolah tubuh sehingga
pribadi menjadi seimbang dan sehat. Buya Hamka (Haji Abdul Malik Karim
Amrullah, 1908 – 1981) dalam Falsafah Hidup memberikan wejangan bahwasanya
sehat jasmani dan rohani itu amat penting.

Setelah berenang kira-kira satu jam, kami mentas dari kolam renang dan mulai
mengeringkan badan. Bapak yang tadi menyapa kami datang lagi dan berkata,
"Pak sudah selesai mens sana in corpore sano-nya?" Saya menjawab, "Sudah
pak kami berenang dari sana ke sano. He he he !"

Skolastikat MSC, 07 Maret 2012
Biara Hati Kudus – Pineleng
Jl. Manado – Tomohon KM. 9
MANADO – 95361
Markus Marlon msc

Minggu, 04 Maret 2012

PEMIMPIN YANG HEMAT KATA

PEMIMPIN YANG HEMAT KATA
(Sebuah Percikan Permenungan)

"Kekuasaan tidak bisa dimiliki oleh orang-orang yang bicara sembarangan",
adalah kutipan dari buku yang berjudul, 48 Hukum Kekuasaan tulisan Robert
Greene. Penulis menggambarkan kisah ini dengan tokoh yang bernama
Coriolanus.

Gnaeus Marcius, yang juga dikenal sebagai Coriolanus, adalah seorang
pahlawan militer besar di Roma kuno. Pada paruh pertama abad 5 s.M, ia
memenangkan banyak peperangan terkenal dan menyelamatkan kota itu dari
bencana berkali-kali.

Sebelum terjun ke dunia politik, nama Coriolanus memancing perasaan takjub.
Prestasinya di medan perang menunjukkan bahwa ia adalah seorang pria yang
sangat pemberani. Karena rakyat tidak tahu banyak hal tentangnya, berbagai
jenis legenda pun disangkut-pautkan dengan namanya. Namun demikian, tepat
saat ia berpidato di hadapan rakyat Roma dan mengutarakan pendapatnya,
segenap kehebatan dan misterinya pun lenyap. Semakin banyak ucapan yang
dilontarkan oleh Coriolanus, ia tampak semakin lemah.

Seorang pemimpin adalah pemegang kebijakan (stakeholder). Kata demi kata
yang dikeluarkan dari mulutnya haruslah sudah "matang." Orang Jawa
mempunyai jargon yang sangat tepat, "Sabda pandhita ratu" yang artinya
perkataan seorang raja yang sudah keluar dari mulutnya tidak bisa ditarik
kembali. Pengajaran ini amat dipatuhi dalam dunia pewayangan. Para ksatria
yang telah mengungkapkan kata-kata untuk melakukan sesuatu sudah dianggap
sebagai ikthiar atau sumpah yang harus dipenuhi. Para ksatria sejati tidak
mudah mengumbar janji.

Seorang pemimpin yang suka berpolemik dan membuat pernyataan menjadi
makanan empuk bagi lawan politiknya. Apa yang dilontarkan ke masa bagaikan
bola salju. Pernyataan Sang Pemimpin begitu cepat menyebar tanpa kendali.
"Ajining diri gumantung kedaling lathi" yang artinya, harga diri seseorang
tergantung dari kata-kata yang keluar dari mulutnya. Pro dan kontra untuk
menyikapi kata-kata Sang Pemimpin menuai badai yang besar, sehingga
melelahkan dan menguras energi. Inilah yang diharapkan dari para lawan
politiknya. Pada gilirannya, Sang Pemimpin menjadi tidak berwibawa lagi,
dan jika berpidato – meskipun isinya berbobot – tetapi karena kurang bisa
mengendalikan lidahnya, kata-kata yang keluar darinya tidak mempunyai arti
lagi. Pidatonya tidak mempunyai nilai jual.

Historia repete, sejarah berulang. Banyak kekuasaan jatuh karena kata-kata
yang diucapkan. Buku tulisan Stefan Zweig yang berjudul Marie Antoineette
sangat jeli memaparkan tentang terjadinya Revolusi Perancis. Tidak ingatlah
bahwa Revolusi Perancis juga terjadi karena kata-kata dari Marie
Antoinette, "Roti di istana ada, tetapi tidak cukup untuk kalian." Tentu
saja rakyat yang kelaparan akan mencari jalan supaya orang-orang dalam
istana tersebut juga menderita kelaparan. Jalan satu-satunya adalah
revolusi. "Hukuman" dari rakyat tersebut adalah gantung dengan goulettine.
Kata-kata yang tidak terkendali berpotensi untuk membuat keruh suasana.

Para pemimpin seperti Louis XIV adalah orang-orang yang menghemat kata.
Ketika dewan kerajaan komplain dan ingin bertemu dengan sang Raja. Louis
XIV mendengarkan mereka tanpa mengucapkan apa-apa dengan mimik paling penuh
teka-teki di wajahnya. Akhirnya setelah para utusan dewan itu menyelesaikan
presentasinya dan meminta pendapat sang Raja, sang Raja menatap mereka dan
berkata, "Kupikir dulu, ya." Kemudian ia pun pergi. Para mentri dan anggota
istana tidak akan pernah mendengar sepatah kata pun tentang topik tersebut
dari bibir sang Raja.

Di saat-saat negara sedang genting dilanda dengan multi problema, banyak
orang pandai berpendapat dan berargumen. Dengan gampang orang bersumpah
demi nama Allah bahwa dirinya bersih. Kata-kata yang telah diucapkan itu
direkam dan setiap saat jika dibutuhkan ditayangkan kembali. Masyarakat
akhirnya bisa menilai melalui kata-kata yang diucapkan tersebut. Hai, para
pemimin berhematlah dengan kata-katamu.

Merauke, 22 Februari 2011

Markus Marlon msc