Selasa, 28 Februari 2012

KOTAK SAMPAH

KOTAK SAMPAH

Sebulan lalu aku mendapatkan kiriman sebuah cerita pendek nan indah dari
seorang temanku. Singkat ceritanya seperti di bawah ini :

Seorang penumpang dengan sang sopir taxi melaju dengan kecepatan tinggi
menuju bandara. Tiba-tiba sebuah mobil melintas di depan mereka. Sang sopir
taxi dengan sigap menginjak rem mobilnya dengan tiba-tiba, menyebabkan
goncangan besar bagi sang penumpang. Apa yang terjadi kemudian? Sopir taxi
yang hampir ketabrakan menurunkan kaca jendelanya, sambil memandang sang
sopir ugal-ugalan itu ia hanya memberikan senyumnya yang indah kepadanya,
melambaikan tangan dan meneruskan perjalanannya.

Merasa aneh terhadap sikap sang sopir, si penumpang bertanya penuh
keheranan: "Pak, tadi kita hampir mati karena kelakuan sopir ugalan itu,
tapi apa yang bapa buat terhadapnya, malah tersenyum dan melambaikan tangan
untuknya." Sang sopir menurunkan kecepatan mobilnya dan berkata dengan penuh
bijaksana : "Dewasa ini banyak orang membawa sampah mereka dan ingin
menuangkan ke dalam kotak sampah yang masih kosong. Menerima sampah mereka
berarti menerima beban yang lebih berat lagi sementara kita sendiri pun
memiliki beban. Karena itu, lebih baik tidak mengizinkan diri untuk memikul
beban sampah mereka."

Tak disangka kejadian serupa datang dalam kehidupanku semalam. Dalam
perjalanan pulang ke rumah aku menumpang sebuah taxi dengan kecepatan
tinggi. Keluar dari sebuah terowong, tiba-tiba aku berteriak: "my goodness",
sang sopir rupanya juga melihat apa yang kulihat sehingga dengan tiba-tiba
mengerem mobilnya 1 meter di belakang sepeda motor honda yang tiba-tiba
mencoba melintas di depan kami. Karena kepanikan sang pengendara kehilangan
akal sehingga ia berhenti dalam kepasrahan di tengah-tengah jalan yang masih
ramai itu.

Rupanya ada sepasang sejoli muda-mudi yang karena kemabukan cinta, dengan
seenaknya memutar arah motor honda mereka tanpa memperhatikan kendaraan lain
yang masing berlalu lalang.

Mendapatkan pengalaman seperti itu serentak keluar dari mulutku : "Emangnya
tidak mau hidup lagi ?" Banyak lagi kata-kata hojatan yang keluar dari
mulutku sementara sang sopir hanya diam terpaku memandang pasangan yang
sementara kebingungan di atas sepeda motor mereka. Aku kemudian sadar bahwa
aku telah mengeluarkan banyak kata yang tidak pantas sementara sang sopir
hanya diam sambil memandang pasangan itu dengan senyum. Aku lalu menepuk
bahunya dan mengatakan: "Sungguh, engkau seorang sopir yang luar biasa." Ia
kemudian membalasnya dalam bahasa Tagalog (bahasa national Filipina, yang
aku sendiri tidak bisa menangkap maksudnya dengan baik).

Setelah kembali ke kamar, aku teringat akan cerita yang telah dikirimkan
oleh temanku tentang "kotak sampah." Benar, bukan hanya orang yang marah,
kecewa, putus asa dan fustrasi yang berjalan sambil mencari tempat untuk
membuang sampah mereka, tetapi juga mereka yang mengalami kegembiraan,
kenikmatan dan kepuasaan yang berlebihan seperti pasangan muda-mudi tadi.
Mereka merasa bahwa dunia ini hanya milik mereka berdua. Apakah ada bahaya
atau larangan, itu tidak penting. Yang penting adalah mereka bisa merasakan
kebahagiaan ketika mereka larut dalam kenikmatan sesaat. Mereka seakan mau
mengatakan kepada orang lain bahwa silakan menyingkir dari sekitar kami
karena dunia ini adalah milik kami berdua.

Dengan demikian, apa yang kita bisa pelajari dari kisah ini bahwa karena
himpitan ekonomi, meningkatkan tingkat kesulitan hidup dan
diombang-ambingkan oleh beragam problem hidup, orang-orang, termasuk kita
sendiri pun kadang membawa sampah permasalahan hidup kita dan ingin
membuangnya ke dalam kotak orang lain. Seorang suami/ayah yang menghadapi
masalah di kantor ingin membuang sampah kemarahan ke dalam kotak sang istri
dan anak-anaknya. Seorang istri/ibu yang bermasalah dengan teman-temannya
ingin membuang sampah kejengkelan ke dalam kotak suami dan anak-anaknya.
Seorang anak remaja/dewasa yang putus cinta atau mendapatkan kesulitan di
sekolah ingin membuang sampah ke dalam kotak orang tuanya. Seorang muda yang
memiliki sampah putus asa dan fustrasi karena belum mendapatkan pekerjaan
atau pasangan hidup ingin membuang sampah ke dalam kotak teman-teman atau
siapa saja yang ditemuinya.

Seorang pembina yang memiliki sampah karena banyaknya tugas dan tanggung
jawab yang diembannya, ingin membuang sampahnya ke dalam kotak anak
binaannya. Seorang romo yang memiliki sampah dalam relasinya dengan pimpinan
atau karena relasi pribadi ingin membuang sampah ke dalam kotak umatnya.
Seorang suster yang merasa putus asa karena bekerja di daerah susah ingin
membuang sampah ke dalam kotak saudari-saudarinya di komunitasnya. Dan
akhirnya, kita bisa mengatakan bahwa setiap orang memiliki dalam dirinya
sampah (kemarahan, kejengkelan, iri hati, dendam, putus asa dan beragama
emosi negatif lainya) sekaligus juga ada kotak sampahnya masing-masing.

Ada dua hal yang bisa menjadi titik permenungan kita, yakni: di satu pihak,
setiap orang sementara membawa dalam dirinya sampah emosi negatifnya sambil
mencari kota orang lain untuk mengisi di dalamnya. Apa yang seharusnya
muncul dalam kesadaran kita bahwa hendaklah kita tahu cara dan tempat yang
cocok untuk membuang sampah kita. Sampah itu harus dibuang dari dalam diri
kita, tapi memperhatikan cara dan memilih tempat yang cocok pasti tidak akan
membuat lingkungan sekitar menjadi kotor atau nafas orang menjadi sesak
hanya karena mencium busuknya sampah yang sementara kita buang. Namun, di
lain pihak, kita masing-masing adalah pemilik kotak yang sementara dicari
oleh orang, yang kebanyakan sampah untuk menjadi tempat buangannya. Oleh
karena itu, seperti sang sopir yang tidak mengizinkan kotak hati dan
pikirannya menjadi tempat pembuangan sampah orang lain, kita pun hendaknya
menutup kotak kita ketika orang lain ingin membuang sampah ke dalamnya,
ataukah jika Anda memang bersedia menjadi kotak bagi sampah orang lain, maka
pastikanlah bahwa sampah itu tidak akan menjadi busuk di dalam kotakmu.
Pastikanlah bahwa petugasnya akan datang mengambil pada waktunya. Untuk yang
ini silakan setiap orang memaknainya. Sang sopir itu telah mengambil jalan
yang benar ketika ia tidak mengizinkan dirinya untuk menghardik sopir
ugal-ugalan, yang bukan hanya
hampir menabrak dan merusakan mobilnya, tetapi juga bisa mengirimnya ke
lembah kematian. Walaupun dalam kondisi sang sopir berada pada posisi benar
dan tepat untuk memarahi pasangan yang sementara mabuk cinta itu, namun apa
yang telah dibuatnya adalah memberikan senyum manis dan memaafkan mereka
yang bersalah kepadanya. Membalas dengan mendamprat yang bersalah bahkan
yang melukai kita dengan kata dan perbuatan adalah tindakan membuka
lebar-lebar kotak kita dan membiarkan orang lain mengisi sampah mereka ke
dalamnya. Saudara, bukankah sampah yang Anda miliki saat ini di dalam dirimu
sudah terlalu banyak dan berat ? Kenapa Anda harus mengizinkan orang lain
mengisi sampah mereka ke dalam kotakmu ? Dimikianlah kedua sopir itu memberi
pelajaran berharga kepada kita sekalian.

Oleh karena itu, lewat cerita singkat ini kita belajar untuk menjadi semakin
bijak dalam menghadapi realitas hidup. Hidup bersama orang lain, tak bisa
dilepaskan dari kenyataan bahwa kita hidup di tengah orang-orang yang ingin
membuang dan menerima sampah. Benar, bahwa seharusnya kita menutup kotak
sampah kita bila kita melihat orang lain yang berusaha untuk membuang sampah
ke dalamnya. Namun, yang sebaliknya Anda juga bisa lakukan bila Anda
betul-betul mempunyai sebuah kepribadian, iman yang kuat dan teguh. Apa yang
aku
maksudkan, yakni kita belajar dari Yesus, Sang Guru kita. Bukankah Ia yang
hanya mempunyai kotak sampah besar yang kosong dan tidak pernah memiliki
sampah, telah membiarkan kotaknya diisi dengan sampah-sampah kita? Bukankah
setiap saat kita berdosa kita telah manambah berkilo-kilo berat sampah kita
ke dalam kotak Yesus? Ia yang tidak memiliki sampah tapi rela menerima
kotakNya
terisi dengan sampah kita, bahkan yang lebih istimewa lagi bahwa Ia rela
memikul sampah-sampah kita di dalam kotakNya. Tegakah hati kita untuk
selalu membuat sampah baru sementara kita membebankannya kepada Yesus untuk
memikulnya ?

Kesempatan yang indah nan berahmat ini hendaknya digunakan oleh
masing-masing untuk melihat kembali seberapa banyakkah sampah yang ada di
dalam dirinya saat ini; melihat kembali cara membuang sampah itu dan
akhirnya ke mana saja selama ini Anda membuang sampahmu? Ada yang pasti
bahwa kita tidak seperti Yesus yang hanya memiliki kotak sampah, karena pada
hakekatnya kita memiliki keduanya dalam diri kita saat ini, baik sampah
maupun kotak sampah.

Apa yang aku inginkan lewat tulisan ini, yakni kenalilah sampahmu,
ciptakanlah cara yang bagus untuk membuang sampahmu dan carilah tempat yang
cocok untuknya. Lebih luhur lagi bila Anda yang telah berada dalam tingkat
kedalaman spiritual yang tinggi, pasti akan bersedia menjadi kotak sampah
seperti Yesus. Biarlah kita memikul beban anak-anak kita, sahabat-sahabat
kita, suami atau istri, anak didik dan umat kita. Bila Anda mampu menjadi
kotak sampah seperti Yesus maka tentunya Anda telah membuat hidup dan dirimu
menjadi berkat bagi orang lain. Biarlah kita menjadi tempat pembuangan
sampah emosi-emosi mereka, asalkan lewatnya mereka bisa bertumbuh menjadi
dewasa dan matang dalam hidup dan iman mereka. Aku percaya bahwa suatu waktu
yang akan dibawa kembali ke rumah sang tuan adalah kotak sampah dan bukan
sampahnya, bukan ?

Marilah di sisa hidup kita, kita mengorbankan sedikit dari apa yang kita
miliki demi kebahagiaan orang lain, demi usaha mereka untuk menggapai hari
depan yang lebih cerah. Bukankah benih itu harus mati agar darinya bertumbuh
tunas-tunas baru yang subur? Biarlah kita menjadi benih yang mati di dalam
tanah agar menyuburkan tunas baru yang akan bertumbuh. Seperti apa yang
Yohanes Pembaptis katakan; "Biarlah Ia menjadi besar, tapi aku harus menjadi
kecil." Yohanes percaya bahwa dalam tindakan seperti inilah derajat
kemanusiaan sebagai seorang nabi tetap dikenang sepanjang masa, dan itulah
yang berkenan
kepada Allah. Saya tetap percaya bahwa siapapun Anda dan dalam keadaan
apapun Anda saat ini, tapi ada yang pasti bahwa Anda mampu menjadi sebuah
"kotak sampah" demi kebahagiaan hidup orang lain. Justru dalam
pengorbananNya-lah kita mendapatkan kembali hak kita sebagai anak-anak
Allah. Kita masih
memiliki waktu untuk menunjukkan bahwa kita pun bisa seperti Yesus jika kita
mempunyai kerelaan, kerendahan hati, iman dan harapan yang teguh akan kasih
Allah, Yang selalu membalas perbuatan amal kita di dunia ini.Salam dan doa
seorang sahabat untuk para sahabat,

***Duc in Altum***
Efix Sj

SUMPÊK

SUMPÊK
(Sebuah Percikan Permenungan)

Kata sumpêk barangkali belum familiar dengan bahasa harian kita. Kata
"Sumpêk" yang dimaksud di sini bukan tokoh dalam kisah China klasik yang
berjudul San Pek-Eng Tay tulisan Okt (terbitan Yayasan Obor Indonesia).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (cet. ke-3 tahun 1990), kata sumpêk ini
memiliki beberapa arti: resah, risau, sesak, merasa tidak enak dan pengap.
Ada orang yang merasa sumpêk karena memiliki beban pikiran dan hanya bisa
plong jika curhat kepada orang lain. Ada orang yang sumpek tinggal di
perumahan kumuh yang padat penduduknya, sehingga tidak bisa leluasa
bergerak. Juga ada orang yang merasa sumpek jika melihat tumpukan pakaian
kotor di ruang tamu. Dia ingin lari dari kesumpekan tersebut. Sumpêk juga
bisa diartikan sebagai tempat yang pengap. Orang yang tinggal di kamar
kosnya yang sempit dan tidak berjendela. Dan masih banyak lagi
pengalaman-pengalaman pahit tentang sumpêk ini. Tentu saja pengalaman
sumpêk ini masing-masing kita pernah mengalaminya.

Novel berjudul Pompii yang ditulis oleh Robbert Harris, penulis
nggris – lahir tahun 1957 di Nottingham ini menggambarkan situasi sumpek
yang luar biasa. Novel ini juga telah diangkat dalam layar lebar.
Meletusnya gunung Vesuvius pada tahun 79 membuat udara kota Pompii panas
dan orang-orang pun tersiram lahar panas dan tewas dalam sekejap. Dalam
novel tersebut dilukiskan bagaimana kematian yang belum siap menimpa
penduduk Pompii. Ada yang sedang memasak, ada yang sedang beraktivitas, ada
yang sedang berlutut. Suatu pemandangan yang mengerikan. Kita bisa
membayangkan, betapa panasnya udara pada saat itu. Kota besar itu pun
bagaikan bilik yang sempit karena debu bercampur deru suara gunung yang
menyembur-nyemburkan lahar panas. Orang-orang kaya yang terperangkap dalam
rumah mewahnya pun diwarnai rasa sumpêk yang mendalam. Dalam rumah tidak ada
udara, lilin-lilin pun mati, sehingga yang muncul hanyalah bisik-bisik doa
yang ditujukan kepada patung Jupiter, king of the kings dan Vulcanus,
penguasa Gunung Api.

Pada zaman kita ini, dengan adanya anomali cuaca dan global warming
effect, udara di sekitar kita semakin panas, bahkan panas membara. Belum
lagi ketika kita mengendarai mobil dan menyaksikan bertaburan baliho dan
spanduk serta poster yang menyuguhkan tampang para tokoh yang siap bertarung
dalam ajang pemilu atau pilkada. Jalan-jalan pun menjadi sumpêk rasanya.
Inilah yang oleh Eko Budihardjo dipandang sebagai polusi visual (Kompas, 21
Januari 2012). Belum lagi hiruk-pikuk para komentar di media elektronik
(infotainment maupun berita-berita di Televisi) yang banyak memberi
kesaksian sana-sini berkenaan dengan Nazaruddin dan Angelina. Semua ingin
berbicara. Mereka lupa dengan sebuah ungkapan dari pepatah Latin, "qui
nimium probat, nihil probat" yang artinya: yang memberi kesaksikan terlalu
berlebihan, sesungguhnya dia itu tidak memberi kesaksian apa-apa.
Komentar-komentar para politisi itu membuat pikiran menjadi sumpêk. Kita
hendak jalan-jalan sore menikmati alam kota dan mau ngadhem di ruang publik,
tetapi ternyata udara panas. Udara menjadi sumpêk, akhirnya kita jalan-jalan
ke mall untuk ngadhem. Tidak beli apa-apa, hanya sekedar window shopping.
Inilah trend hidup zaman modern. Banyak orang yang menghilangkan rasa
sumpêk-nya dengan pergi ke mall-mall.

Ada seseorang yang merasa tidak at home di rumahnya sendiri, padahal
rumahnya bagus, indah dan megah. Kemudian saya bertanya kepada ibu itu.
Katanya, "Aduh saya sangat sumpêk di rumah. Setiap pulang dari kantor suami
pulang dan langsung lihat TV sambil merokok sehingga baunya ampek. Kemudian,
saya melihat ada pakaian kotor yang belum dicuri. Tiba-tiba, anak-anak
datang hanya sibuk dengan FB-nya tidak mau membersihkan tempat tidur.
Sementara mau seterika listrik mati. Belum lagi, anak saya yang bungsu
bertengkar rebutan mainan. Hiiiiiih sumpêk sekali dan kepala rasanya mau
pecah." Memang benar bahwa rasa sumpêk itu perlu dihadapi dengan arif dan
bijaksana dan salah satunya adalah refreshing. Refreshing bisa membuat
pikiran segar kembali dan untuk sementara waktu boleh menjadi obat rasa
sumpêk. Tatkala berjalan-jalan di Venesia - Italia, saya melihat banyak
orang duduk-duduk di kafetaria sembari minum kopi maupun ngobrol.
Barangkali ini merupakan pemandangan yang lazim (Bdk. film berjudul The
Tourist yang dibintangi Angelina Jolie dan Johnny Depp). Suasana hati yang
relax sambil memandang dari kejauhan Gondola yang lalu-lalang membuat hati
cerah dan rasa sumpêk pun hilang. Atau ketika saya berkaraoke di "Happy
Puppy – Karaoke Keluarga" yang terletak Jl. Kapt. Tendean – Manado,
beberapa datang memang untuk melepaskan "beban" hidupnya yakni
kesumpekannya. Mereka bernyanyi keras-keras – biarpun kadang fals – namun
setelah keluar dari studio, dapat dilihat wajah-wajah yang ceria. Rasa
sumpêk pun hilanglah. Mark Twain (1835 – 1910) dalam Prince and Pauper
menceriterakan seorang pangeran yang "merasa iri" terhadap anak
gelandangan. Sang pangeran membayangkan betapa bahagianya hidup dan tinggal
di alam bebas. Tidak ada aturan protokoler atau resmi yang membosankan,
kaku dan ini membuatnya sumpek. Tinggal di istana ternyata tidak selamanya
menemukan enjoy (Bdk. Kisah Sidharta Budha Gautama ). Kebetulan sang
pangeran berwajah mirip dengan gelandangan tersebut, sehingga ia bertukar
peran. Pangeran menjadi pengemis dan sebaliknya. Sang pangeran untuk
sementara waktu bisa merasakan kebebasan tinggal di daerah kumuh dan bisa
merasakan kebahagiaan.

Rasa sumpêk juga bisa kita alami di kantor tempat kita bekerja. Setengah
hidup kita berada di tempat kerja. Kalau kita sering merasa sumpêk dengan
"kantor" kita itu, maka betapa menderitanya kita ini. Belum lama ini,
tatkala saya makan siang di Restoran "Sop Rusuk Babi" di Boulevard –
Manado, ada seorang karyawan yang berbicara kerasa-keras tentang
ke-sumpêk-an kerjanya di kantor. Ia mulai bercerita dengan teman kantornya
di meja makan no. 3, "Aduh sumpêk sekali deh bekerja dengan bos yang
otoriter dan mau menangnya sendiri, suasana kantor yang kurang adil, ruang
kerja yang penuh dengan arsip-arsip yang tidak teratur serta teman kerja
yang tidak bersahabat." Pasti bekerja di kantor tidak bahagia, sehingga
dirinya terkena penyakit Monday syndrome , ketakutan menghadapi hari Senin.
Orang ini paling sedih jika harus bekerja dan berjumpa dengan orang-orang
dan pekerjaanya setiap hari baru.

Untuk menyikapi situasi tersebut, baiklah jika karyawan tersebut mengambil
waktu cuti untuk refreshing sejenak. Dengan menghirup udara yang segar di
tempat lain, tentunya nantinya ketika kembali akan menjadi lain. Tidak akan
merasa sumpêk lagi.

Sekarang bagaimana dengan ke-sumpêk-an yang terjadi dalam batin orang. Ada
kalanya kita tidak ada semangat sama sekali dalam mengerjakan sesuatu atau
bad mood. Suasana batin seperti itu, kita menjadi sensitif. Kita menjadi
sumpêk dengan diri sendiri. Namun ada orang yang melarikan diri supaya bisa
"melupakan" rasa sumpek tersebut. Whitney Houston (1963 - 2012) dalam
wawancara dengan Oprah Winfrey di Metro TV 12 Februari 2012 mengatakan bahwa
dengan kokain dan marijuana dirinya merasa tenang dan damai. Tetapi setelah
menggunakan obat itu, ke-sumpêk-an dihadapi lagi dan ingin lagi menggunakan
obat tersebut. Seperti minum air laut. Semakin minum air laut, semakin
hauslah dirinya.

Skolastikat MSC, 27 Februari 2012
Biara Hati Kudus – Pineleng
Jl. Manado – Tomohon, KM. 9
MANADO – 95361
Markus Marlon msc

Senin, 20 Februari 2012

TERBAIK

TERBAIK
(Sebuah Percikan Permenungan)

Penyair Amerika – Douglas Malloch (1877 – 1938) menulis puisi:

Bila Anda tidak bisa jadi pohon cemara di atas bukit
Jadilah belukar di lembah – tetapi harap jadilah belukar indah di pinggir
parit;
Jadilah perdu, bila Anda tak bisa jadi pohon.
Bila Anda tidak bisa jadi perdu, jadilah rumput, dan buatlah jalan-jalan
jadi semarak;
Bila anda tidak bisa jadi gurami, jadilah teri – tetapi teri yang paling
indah di tambak!

Kita tidak semuanya bisa jadi komandan, harus ada yang jadi pasukan, semua
ada kepentingannya masing-masing.
Ada pekerjaan besar ada pekerjaan kecil, semua harus dilakukan.
Dan tugas yang harus kita kerjakan ialah yang terdekat dengan kita.
Bila Anda tidak bisa jadi jalan besar, jadilah pematang.
Bila Anda tidak bisa jadi matahari, jadilah bintang.
Bukan besarnya yang mengukur Anda kalah atau menang – yang penting jadilah
wajar dan matang!

(Dale Carnegie (1888 – 1955), penulis yang lahir di Missouri dalam Petunjuk
Hidup Tentram dan Bahagia.)

Merenungkan puisi tersebut di atas, saya menjadi ingat akan para penulis dan
motivator yang menekankan makna menjadi yang terbaik. Mereka sering
menuliskan kisah tentang Rajawali, "Jangan terbang seperti ayam, kalau
engkau mampu terbang tinggi seperti seekor rajawali." Kisah ini dapat di
baca pada: Antony de Melo – lahir di Bombay (19319 – 1987) dalam Burung
Berkicau, Napoleon Hill – lahir di Virgina (1883 – 1970) dalam Benih-Benih
Ajaib Kesuksesan. Andre Wongso dalam 15 Wisdom and Success Classical
Motivation Stories. Tapi sebenarnya kisah-kisah seperti ini sudah terlebih
dahulu diceriterakan oleh Aesop – penulis fabel dari Yunani Kuno (620 – 560
seb. M) dalam bukunya yang berjudul Fabel Aesop. Inti dari ungkapan itu
adalah supaya kita menggunakan kemampuan kita secara optimal untuk
mengemban cita-cita. Pepatah Latin yang berbunyi, "Hodie melius quam heri,
cras melius quam hodie" yang berarti: Hari ini lebih baik dari pada kemarin,
besok lebih baik dari pada hari ini, menyadarkan kita supaya setiap hari
itu kita mengerjakan secara total dan baik, bahkan harus menjadi yang
terbaik. Cicero (106 – 43 seb.M), selengkapnya, Marcus Tullius Cicero
adalah orang yang membenci perang. Ia kemudian belajar menjadi ahli pidato
dan ahli hukum. Karena kerja kerasnya – ia bersemboyan seperti Achilles,
pahlawan Perang Troia, yaitu "selalu menjadi terbaik dan mengalahkan yang
lainnya". Karena ketekunan dan fokusnya terhadap profesinya, maka dia
menjadi yang terbaik. Seandainya pada waktu itu Cicero tidak memilih
pekerjaan (meminjam istilahnya Douglas Malloch) "yang tidak dekat
dengannya" tentunya dia tidak akan menjadi yang terbaik.

Arvan Pradiansyah dalam Talk-Show Smart FM, pernah mengulas tentang latihan
menjadi pemimpin. Tulisnya, "Orang lebih baik menjadi kepala kucing dari
pada ekor singa." Dengan kesetiaan memimpin dalam kelompok kecil, seseorang
berlatih untuk menjadi pemimpin dan tentunya menjadi pemimpin yang terbaik.
Pardi Suratno dalam Pemimpin, mencetuskan sebuah gagasan bahwa seorang
pemimpin itu hadir untuk melayani. Para menteri itu mendapatkan amanah dari
Tuhan untuk melayani masyarakat. Minister (bhs. Latin yang berarti menteri)
itu memang memiliki arti melayani (bhs. Inggris, to minister, artinya
melayani). Maka sangat mengherankan jika para pejabat pemerintah dalam
tugas – pelayanannya malah membuat rakyat menderita itu sangat disayangkan.
Kalau begitu, mereka telah mengkhianati amanah.

Dunia memang membutuhkan orang-orang yang terbaik. Untuk menjadi yang
terbaik, dibutuhkan latihan dengan memakan waktu yang cukup panjang dan
menurut The Beatles itu muncul dalam lagu yang berjudul, The long and
winding road, jalan panjang dan beriku. Ketekunan untuk menghasilkan
prestasi yang tertinggi itu nampak dalam pertandingan Olimpiade (776 seb.
M). Motto itu adalah citius, altius, fortius (lebih cepat, lebih tinggi,
lebih kuat). Untuk menjadi "pribadi yang lebih", dalam ilmu motivasi kita
sebut sebagai "prestasi di atas rata-rata". Dan untuk memiliki sikap hidup
yang lebih dari yang lain, maka seseorang menomorsatukan pelayanan
(service). Nil satis nisi optimum, yang berarti: Yang bisa dibilang cukup
bagus itu tak lain tak bukan adalah yang terbaik, mengajak kita untuk
menghadapi masa depan penuh dengan optimisme yang tinggi (Tajuk Rencana -
Kompas 31-12-2011). Niat dalam diri untuk menjadi yang terbaik menjadi
motivasi yang kuat untuk menemukan nilai yang terbaik dalam setiap
kesempatan. Tetapi amat disayangkan bahwa kita ini cenderung menjadi pribadi
"yang sedang-sedang saja" (mediocre) dan mudah merasa puas dengan pencapaian
prestasi yang tidak optimal. Kalau ingin menjadi yang terbaik, bergaulah
dengan orang-orang yang memiliki positif thinking. Pepatah Inggris menulis,
"Birds of a feather flock together" yang berarti: Burung-burung berkelompok
menurut jenisnya. Orang cenderung berkelompok dengan mereka yang memiliki
selera dan kepentingan yang sama.

Samuel Willard Crompton dalam 100 Peperangan yang Berpengaruh di dalam
Sejarah Dunia, salah satu bab-nya mengulas tentang Penaklukan Alexander
yang Agung (356 – 323 seb. M). Ketika ia sedang dalam perjalanan, tiba-tiba
terserang demam dan meninggal dunia (Bdk. Michael Hart dalam Seratus Tokoh
Yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah), para komandan bertanya kepada sang
Raja, "Siapa yang akan menggantikanmu ?" Dengan tenang ia berkata, "Yang
akan menggantikanku adalah yang terbaik di antara kalian."

Tatkala nyantrik di Seminari Menengah Mertoyudan (1982 – 1986), setelah
siesta (tidur siang) para seminaris mengadakan opera (kerja tangan: pel,
menyapu kebun dls). Selama bekerja ada lagu-lagu pengantar gairah dan
semangat, seperti: the Police, The Beatles dan Queen. Namun entah kenapa
lagu, "We are the Champions" yang dinyanyikan oleh Freddie Mercury dari
Queen hingga detik ini masih terngiang-ngiang. Yah, kita adalah para juara
dan menjadi yang terbaik dari bidang kita masing-masing dan kita berhak
mendapatkan mahkota.

Skolastikat MSC, 20 Februari 2012
Biara Hati Kudus – Pineleng
Jl. Manado – Tomohon, KM. 9
MANADO – 95361
Markus Marlon msc

Rabu, 15 Februari 2012

MISKIN

MISKIN*
(Sebuah Percikan Permenungan)

Akhir dari kisah klasik, "The Story of The Other Wise Man" itu melukiskan
perjumpaan antara Yesus dengan Artaban. Artaban menyesal, karena dirinya
tidak bisa mempersembahkan hadiah bagi sang Raja. Artaban adalah seorang
raja yang tertinggal atau "sengaja ditinggal" oleh ketiga raja yang
mengunjungi bayi Yesus, yakni: Melkhior, Balthasar dan Kaspar. Namun dengan
tegas, Yesus bersabda, "Yang kau perbuat bagi saudara-Ku yang paling hina,
telah kau buat bagi-Ku" (Mat. 25: 40 – 45).

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), orang miskin diartikan sebagai
orang yang tidak berharta benda serta serba kekurangan (berpenghasilan
sangat rendah). Kemudian muncul lagi kata miskin absulut yaitu situasi
penduduk atau sebagian penduduk yang hanya dapat memenuhi makanan, pakaian
dan perumahan yang sangat diperlukan untuk mempertahankan tingkat kehidupan
yang minimum. Kalimat ini hendak mengatakan bahwa de facto setiap hari kita
menemukan orang-orang yang membutuhkan uluran tangan kita.

Dalam sejarah peradaban manusia, orang miskin sering menjadi perbincangan
yang menarik. Perbudakan yang terjadi pada zaman dahulu, seperti di Mesir,
China dan Romawi Kuno – mungkin di seantero dunia ini – hendak
memperlihatkan bahwa orang miksin itu tidak memiliki hak atas diri mereka
sendiri. Mangunwijaya dalam Tumbal menunjukkan kepada kita bahwa orang
miskin senantiasa menjadi korban. Mereka merupakan korban politik dan
korban ekonomi dan tentunya hidupnya tidak lepas dari penderitaan. Pada
zaman ini, orang-orang miskin semakin terpuruk ketika kita menyaksikan
sendiri "drama" para pejabat tinggi serta anggota Dewan yang Terhormat
mengorupsi dana yang seharusnya menjadi bagian para kaum papa. Sejak zaman
dahulu hingga hari ini, menjadi orang miskin memang tidak enak. Publius
Ovidius Naso (20 seb.M – 17 M) pernah berujar, "Pauper ubique iacet" yang
berarti: di mana-mana, orang miskin itu tidak dihargai.

Kita mengenal, ada orang miskin kemudian malah dipermiskin. Peribahasa yang
berbunyi, "Sudah jatuh tertimpa tangga lagi" mungkin tepat untuk melukiskan
situasi orang yang menderita seperti ini. Dalam dunia pewayangan, kita
mengenal dengan istilah kaum Nisada. Ini merupakan julukan dari mereka yang
diperbodoh dan ditindas serta dipermiskin. Dalam kisah Mahabaratha, kaum
Nisada adalah kaum papa yang mengorbankan diri demi kemuliaan Pandawa.
Maraknya musim kampanye dengan iming-iming yang menjanjikan kesejahteraan
rakyat akhirnya hanya merupakan isapan jempol belaka. Setelah "suara" mereka
berhasil memenangkan sang kandidat, tidak lama kemudian, janji itu pun
dilupakan. Rakyat tetap miskin, menjadi tumbal politik.

Kita juga mengenal, ada orang kaya, tetapi "batinnya miskin". Mereka
memiliki semua yang telah diimpikan. Bahkan dia merasa bahwa dunia sudah
bisa ia genggam, namun hatinya terasa kosong dan kesepian. Mereka juga bisa
kita golongkan sebagai "orang miskin". Dalam Kitab Suci, orang-orang miskin
sering disebut-sebut sebagai oang yang berbahagia, "Berbahagialah orang yang
miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya kerajaan Surga" (Mat.
5 – 7). Ungkapan ini adalah kalimat pembukaan dari "Sabda Bahagia" dari
khotbah Yesus di sebuah bukit di wilayah Galilea. Mahatma Gandhi (1869 –
1948) menyebutkan bahwa dia sangat sepaham dengan isi khotbah tersebut.
Bunda Maria dengan magnificat-nya berdoa, "Jiwaku memuliakan Tuhan dan
hatiku bergembira karena Allah, Juruselamatku, sebab Ia telah memperhatikan
kerendahan hamba-Nya." (Luk. 1: 46 – 47). Meskipun hidup dalam kekurangan,
namun ada kegembiraan dan rasa syukur.

Eddy Kristiyanto OFM dalam Sahabat-Sahabat Tuhan, melukiskan banyak
kongregasi dan ordo didirikan karena keprihatinan terhadap kaum miskin.
Mereka hidup miskin menurut Injil untuk "mengikuti jejak Kristus".
Kisah-kisah hidup secara miskin itu telah ditulis oleh Thomas á Kempis
(1382 – 1471) dalam buku yang berjudul Imitatio Christi. Fransiskus Asisi
(1182 – 1226) meninggalkan harta kekayaan ayahnya karena dipanggil oleh
Kristus, "Ayo, pulihkanlah rumah-Ku!" Bersama dengan teman-teman yang
tertarik oleh semangat radikal yang berdasarkan Injil itu, Fransiskus
memulai hidup bersama secara miskin. Semangat kemiskinannya itu terus
mendorong murid-muridnya untuk hidup benar-benar miskin dengan rela.

Pada abad XX, Teresa dari Calcutta (1910 – 1997) adalah model pribadi yang
begitu dekat dengan kaum miskin. Pada tahun 1948, ia mendirikan "Kongregasi
Misionaris Cintakasih" dan mengorganisir sebuah tempat khusus bagi orang
yang sekarat dan supaya mereka bisa meninggal secara wajar dan ditemani dan
sekolah serta klinik untuk kaum papa. Sebuah perkampungan penderita kusta
dibangun; orang buta, orang timpang dan lumpuh, orang jompo dan orang
terlantar yang menghadapi ajal semuanya perlu dirawat. (Ensiklopedi Gereja
jilil 8). "Tuhan mengutus aku untuk mewartakan kabar gembira bagi kaum
miskin" (Luk 4: 18) atau "Evangelizare paupuperibus misit me" adalah motto
para biarawan Congregasio Missionis (CM) yang dirikan oleh Vincent de Paul
(1576 – 1660) dari Prancis. Motto ini dipakai karena pada awal pendiriannya,
serikat Katolik ini bekerja membantu kelangan petani miskin di pedesaan dan
para tahanan yang diperkerjakan pada kapal-kapal dagang di
pelabuhan-pelabuhan Prancis selatan. Dari kutipan tersebut, sabda Yesus ini
hendak mengajak kita untuk merenungkan betapa tinggi nilai marbatat manusia.

Banyak anggota umat Kristen Perdana di Yerusalem menjual seluruh milik
mereka dan membagikannya kepad arang-orang miskin. Semangat kemiskinan dan
solidaritas umat itu sangat mengesankan (Kis 4: 32). "Akan tetapi, sesudah
beberapa tahun, umat itu begitu melarat, sehingga jemaat-jemaat di Asia
Kecil dan Yunani yang didirikan oleh Paulus, diminta mengumpulkan derma (Kis
11: 29; I Kor 16: 1 – 4; Gal 2: 10). Solidaritas antarumat itu hingga kini
masih bisa kita saksikan dalam kegiatan pastoral. Tidak jarang kita melihat
sekelompok umat yang sedang mengunjungi orang yang sedang sakit. Orang yang
sakit dilukiskan sebagai "pribadi yang miskin" maka perlu mereka dikunjungi
dan diperhatikan serta dikuatkan. Kita pun sering menyaksikan ada
kelompok-kelimpok kategorial tertentu yang dengan penuh kasih serta sukarela
memberikan sebagian dari hasilnya untuk didermakan bagi orang miskin.
Berbagi rejeki kepada orang-orang yang membutuhkan sungguh merupakan
perintah injili yang luhur.

Di setiap paroki ada bantuan ekonomi bagi kaum papa (sandang, pangan dan
papan) yang dikelola oleh Komisi atau Tim Kerja Pengembangan Sosial Ekonomi
(PSE). Komisi ini berusaha agar orang yang hidupnya dalam tataran ekonomi
lemah "diberi pancing" supaya bisa menghidupi dirinya sendiri.
Pelatihan-pelatihan, Credit Union (CU) dan kegiatan-kegiatan yang dapat
memberdayakan diri mereka sendiri. Bantuan yang diberikan kepada kaum papa
dimaksudkan bukan untuk diberi dan diberi terus-menerus, melainkan supaya
membuat diri mereka mandiri (berdiri di atas kaki mereka sendiri). Quintus
Horatius Flaccus (65 – 8 M) pernah berkata, "Pauper enim non est, cui rerum
suppetit usus," yang berarti: orang yang dapat mengelola urusan dirinya
sendiri bukanlah orang miskin.

(Pernah dipublikasikan pada Majalah INSPIRASI, Lentera yang Membebaskan –
Januari 2012).

Skolastikat, 13 Februari 2012
Biara Hati Kudus – Pineleng
Jl. Manado – Tomohon KM. 9
MANADO – 95361
Markus Marlon msc

Berkat atau kutuk, siapa yang tahu ?

Berkat atau Kutuk ?

Pernah ada seorang tua yang hidup di desa kecil. Meskipun ia miskin, semua
orang cemburu kepadanya karena ia memiliki kuda putih cantik. Bahkan raja
menginginkan hartanya itu. Kuda seperti itu belum pernah dilihat orang,
begitu gagah, anggun dan kuat.

Orang-orang menawarkan harga amat tinggi untuk kuda jantan itu, tetapi orang
tua itu selalu menolak, "Kuda ini bukan kuda bagi saya," katanya, "Ia adalah
seperti seseorang. Bagaimana kita dapat menjual seseorang. Ia adalah sahabat
bukan milik. Bagaimana kita dapat menjual seorang sahabat ?" Orang itu
miskin dan godaan besar. Tetapi ia tidak menjual kuda itu.

Suatu pagi ia menemukan bahwa kuda itu tidak ada di kandangnya. Seluruh desa
datang menemuinya. "Orang tua bodoh," mereka mengejek dia, "Sudah kami
katakan bahwa seseorang akan mencuri kudamu. Kami peringatkan bahwa kamu
akan di rampok. Anda begitu miskin. Mana mungkin anda dapat melindungi
binatang yang begitu berharga ? Sebaiknya anda menjualnya. Anda boleh minta
harga apa saja. Harga setinggi apapun akan dibayar juga. Sekarang kuda itu
hilang dan anda dikutuk oleh kemalangan".

Orang tua itu menjawab : "Jangan bicara terlalu cepat. Katakan saja bahwa
kuda itu tidak berada di kandangnya. Itu saja yang kita tahu; selebihnya
adalah penilaian. Apakah saya di kutuk atau tidak, bagaimana Anda dapat
ketahui itu ? Bagaimana Anda dapat menghakimi ?". Orang-orang desa itu
protes : "Jangan menggambarkan kami sebagai orang bodoh! Mungkin kami bukan
ahli filsafat, tetapi filsafat hebat tidak di perlukan. Fakta sederhana
bahwa kudamu hilang adalah kutukan."

Orang tua itu berbicara lagi : "Yang saya tahu hanyalah bahwa kandang itu
kosong dan kuda itu pergi. Selebihnya saya tidak tahu. Apakah itu kutukan
atau berkat, saya tidak dapat katakan.Yang dapat kita lihat hanyalah
sepotong saja. Siapa tahu apa yang akan terjadi nanti ?"

Orang-orang desa tertawa. Menurut mereka orang itu gila. Mereka memang
selalu menganggap dia orang tolol; kalau tidak, ia akan menjual kuda itu dan
hidup dari uang yang diterimanya. Sebaliknya, ia seorang tukang potong kayu
miskin, orang tua yang memotong kayu bakar dan menariknya keluar hutan lalu
menjualnya. Uang yang ia terima hanya cukup untuk membeli makanan, tidak
lebih. Hidupnya sengsara sekali. Sekarang ia sudah membuktikan bahwa ia
betul-betul tolol.

Sesudah lima belas hari, kuda itu kembali. Ia tidak di curi, ia lari ke
dalam hutan. Ia tidak hanya kembali, ia juga membawa sekitar selusin kuda
liar bersamanya. Sekali lagi penduduk desa berkumpul sekeliling tukang
potong kayu itu dan mengatakan : "Orang tua, kamu benar dan kami salah. Yang
kami anggap kutukan sebenarnya berkat. Maafkan kami".

Jawab orang itu : "Sekali lagi kalian bertindak gegabah. Katakan saja bahwa
kuda itu sudah balik. Katakan saja bahwa selusin kuda balik bersama dia,
tetapi jangan menilai. Bagaimana kalian tahu bahwa ini adalah berkat ? Anda
hanya melihat sepotong saja. Kecuali kalau kalian sudah mengetahui seluruh
cerita, bagaimana anda dapat menilai ? Kalian hanya membaca satu halaman
dari sebuah buku. Dapatkah kalian menilai seluruh buku ? Kalian hanya
membaca satu kata dari sebuah ungkapan. Apakah kalian dapat mengerti seluruh
ungkapan ? Hidup ini begitu luas, namun Anda menilai seluruh hidup
berdasarkan satu halaman atau satu kata.Yang anda tahu hanyalah sepotong!
Jangan katakan itu adalah berkat. Tidak ada yang tahu. Saya sudah puas
dengan apa yang saya tahu. Saya tidak terganggu karena apa yang saya tidak
tahu."

"Barangkali orang tua itu benar," mereka berkata satu kepada yang lain. Jadi
mereka tidak banyak berkata-kata. Tetapi di dalam hati mereka tahu ia salah.
Mereka tahu itu adalah berkat. Dua belas kuda liar pulang bersama satu kuda.
Dengan kerja sedikit, binatang itu dapat dijinakkan dan dilatih, kemudian
dijual untuk banyak uang.

Orang tua itu mempunyai seorang anak laki-laki. Anak muda itu mulai
menjinakkan kuda-kuda liar itu. Setelah beberapa hari, ia terjatuh dari
salah satu kuda dan kedua kakinya patah. Sekali lagi orang desa berkumpul
sekitar orang tua itu dan menilai. "Kamu benar," kata mereka, "Kamu sudah
buktikan bahwa kamu benar. Selusin kuda itu bukan berkat. Mereka adalah
kutukan. Satu-satunya puteramu patah kedua kakinya dan sekarang dalam usia
tuamu kamu tidak ada siapa-siapa untuk membantumu. Sekarang kamu lebih
miskin lagi. Orang tua itu berbicara lagi : "Ya, kalian kesetanan dengan
pikiran untuk menilai, menghakimi. Jangan keterlaluan. Katakan saja bahwa
anak saya patah kaki. Siapa tahu itu berkat atau kutukan ? Tidak ada yang
tahu. Kita hanya mempunyai sepotong cerita. Hidup ini datang
sepotong-sepotong."

Maka terjadilah 2 minggu kemudian negeri itu berperang dengan negeri
tetangga. Semua anak muda di desa diminta untuk menjadi tentara. Hanya anak
si orang tua tidak diminta karena ia terluka. Sekali lagi orang berkumpul
sekitar orang tua itu sambil menangis dan berteriak karena anak-anak mereka
sudah dipanggil untuk bertempur. Sedikit sekali kemungkinan mereka akan
kembali. Musuh sangat kuat dan perang itu akan dimenangkan musuh. Mereka
tidak akan melihat anak-anak mereka kembali. "Kamu benar, orang tua," mereka
menangis. "Tuhan tahu, kamu benar. Ini membuktikannya. Kecelakaan anakmu
merupakan berkat. Kakinya patah, tetapi paling tidak ia ada bersamamu.
Anak-anak kami pergi untuk selama-lamanya".

Orang tua itu berbicara lagi : "Tidak mungkin untuk berbicara dengan kalian.
Kalian selalu menarik kesimpulan. Tidak ada yang tahu. Katakan hanya ini :
anak-anak kalian harus pergi berperang, dan anak saya tidak. Tidak ada yang
tahu apakah itu berkat atau kutukan. Tidak ada yang cukup bijaksana untuk
mengetahui. Hanya Allah yang tahu".

Orang tua itu benar. Kita hanya tahu sepotong dari seluruh kejadian.
Kecelakaan-kecelakaan dan kengerian hidup ini hanya merupakan satu halaman
dari buku besar. Kita jangan terlalu cepat menarik kesimpulan. Kita harus
simpan dulu penilaian kita dari badai-badai kehidupan sampai kita ketahui
seluruh cerita.

Author: Unknown

Halo rekan-rekan Alumni Pika,
Apa komentar anda mengenai cerita ini ?

Salam kompak,
PDS


Rabu, 08 Februari 2012

NON-JOB

NON-JOB
(Sebuah Percikan Permenungan)

Tahun 2003, bulan Februari SK bapak Uskup Purwokerto tentang benuming saya
di paroki St. Yohanes Rasul – Kutoarjo berakhir dan saya akan mutasi ke
Merauke. Tidak lama berselang saya pun berangkat ke Merauke. Tetapi
ternyata SK dari Mgr. J. Duivenvoorde MSC ( wafat tahun 2011) belum juga
muncul dan saya harus menunggu SK itu kira-kira hampir satu bulan. Selama
satu bulan, saya tidak tahu mau buat apa. Padahal, waktu berkarya di
Keuskupan Purwokerto, selama tujuh tahun saya sudah biasa berpastoral: siap
khotbah, kunjungan umat, rapat-rapat, memberikan kursus-kursus dan kegiatan
lainnya, kini semuanya sudah berlalu. Kemudian dalam hati saya berkata,
"Apakah ini yang dinamakan dengan post power syndrom dini?" Saya juga tidak
tahu.

Sebelum ada SK yang baru, saya di Biara MSC Merauke hanya makan, tidur –
bangun dan tidur lagi, seperti yang dilantunkan oleh Mbah Surip (1949 –
2009). Bahkan ketika makan bersama di refectorium, nasi dan sagu tidak bisa
tertelan, karena saya ingat kata-kata Paulus, "Seorang yang tidak mau
bekerja, janganlah ia makan" (2 Tes 3: 10). Dalam perasaanku, setiap
pandangan mata dari teman-temanku berkata kepadaku, "Marlon, si non-job!"
Kemudian saya termenung dan tercenung, "Barangkali seperti ini rasanya
mendapat julukan non-job. Sedih dan malu serta merasa meaningless
bercampur-aduk menjadi satu.
Orang merasa malu kalau tidak bekerja, karena akan mendapat julukan yang
tidak enak didengar: pengangguran. Oleh karena itu, job adalah
segala-galanya dan jika tidak memiliki pekerjaan atau non-job, dirinya
merasa diri tidak berharga.

Dalam setiap program, kita kenal dengan yang namanya job-discription
(gambaran tugas). Orang yang memegang suatu pekerjaan harus melakukan
tugas-pekerjaannya sesuai dengan gambaran yang telah digariskan. Jika dalam
pelaksanaan tugas tersebut menyimpang, maka akan ditegur oleh pimpinannya.
Selama menjalankan tugas, dirinya akan berjumpa dengan masalah dan evaluasi.
Imbalan dari menjalankan tugas adalah honor atau gaji. Dalam melakukan
tugasnya, orang yang mendapatkan job tersebut dikendalikan oleh orang lain.
Ia menjalankan skenario orang lain. Edith Hamilton dalam Mitologi Yunani,
muncul dalam tokoh yang bernama Sisiphus. Ia dihukum oleh raja dan hukumanya
itu adalah membawa batu naik ke atas bukit. Setelah batu itu sampai di atas
bukit oleh raja di-gelinding-kan lagi dan Sisiphus bekerja lagi untuk
membawanya ke atas. Ini dilakukan berkali-kali sampai tidak tahu, kapan
berakhir. Tentu saja pekerjaan rutinitas itu sangat membosankan. Dewa
Atlas juga mendapat tugas yang sangat berat yakni memanggul bumi di bahunya.
Pekerjaan yang sangat membosankan, karena tidak ada variasi dalam hidupnya.
Ia melakukan pekerjaan dengan skenario orang lain. Erich Fromm (1900 –
1980) dalam To have or To Be, mengingatkan kepada kita bahwa pekerjaan yang
kita miliki (having) seharusnya membuat diri kita berkembang, menjadi
(being), pribadi yang lebih bahagia.
Menyaksikan film dokumentar yang berjudul Auschwitz, di sana ada slogan di
gerbang monumen kamp konsetrasi Nazi Auschwitz , "Arbeit macht Frei" yang
berarti: Kerja akan membuatmu bebas. Dalam Kamp Pembantian tersebut (1940 –
1945), para tawanan dipaksa untuk bekerja. Ada kisah yang menarik berkenaan
dengan tugas pekerjaan yang dilakukan oleh para tawanan. Ada seorang bapak
yang diminta untuk memindahkan batu-batu di se berang jalan. Setelah sekian
lama, batu-batu itu sudah dipindahkan. Bapak itu pun merasa puas dan
bahagia. Tetapi tidak lama kemudian, bapak itu disuruh mengembalikan
batu-batu tersebut ke tempat semula. Bapak ini akhirnya bunuh diri, karena
apa yang dikerjakan itu tidak memiliki tujuan.

Kalau melaksanakan pekerjaan atau job itu skenarionya orang lain, maka
karier itu skenarionya adalah diri sendiri. Arvan Pradiansyah dalam The 7
Law of Happiness, menulis bahwa orang yang berani meninggalkan job-nya dan
membuka usaha sendiri adalah orang yang menjalankan kariernya, ia menemukan
satisfaction. Ia telah menemukan "jalur-nya" menurut Romo St. Sumpono MSC,
animator PRH. Pria atau wanita karier itu hidupnya terfokus pada apa yang
sedang dikerjakan. Maka tidak mengherankan kalau ada wanita tidak mau
menikah demi karier. Dalam dirinya ada hasrat dan semangat serta tujuannya
adalah kesuksesan. Pria atau wanita karier membutuhkan suatu pengakuan dari
pihak luar. Keahlian dan penguasaan bidang tersebut diakui (professio:
pernyataan di hadapan umum), sehingga dianggap professional. Ia ahli dalam
bidangnya.

Kalau karier, skenarionya diri sendiri, lantas saya bertanya,"Bagaimana
dengan orang yang berkerja tetapi karena panggilan jiwa? Ia bekerja semangat
karena merasa bahwa dirinya ada paggilan, calling atau vocation?" René
Suhardono dalam Your job is not your carier, menulis bahwa orang yang
mengerjakan dengan penuh semangat dan tidak pernah lelah, dirinya telah
menemukan passion. Ia bekerja karena ada dorongan yang terdalam dari
hatinya. Kong Fu Tzu (551 – 479) pernah berkata bahwa orang yang mencintai
pekerjaannya, seolah-olah tidak pernah bekerja. Yansen Sinamo dalam Morning
Ethos pada Radio Smart FM (3/2/2012) mengatakan bahwa hidup kita di dunia
ini diarahkan untuk kebaikan, seperti dalam kisah "Tukaram, seorang
Brahmin di India". Pekerjaan kita di dunia ini mempunyai tujuan, yaitu
kepenuhan hidup. Orang yang "terpanggil" itu pekerjaannya merupakan
pelayanan, pengabdian yang tanpa pamrih, amanah. Dengan demikian, motivasi
yang terdalam bukanlah: gaji dan pujian serta penghargaan, melainkan rasa
syukur boleh melayani, seperti yang dikatakan Paulus, "Upahku ialah ini
bahwa aku boleh memberitakan Injil tanpa upah" (1 Kor 9: 17).

Orang yang sudah terpikat dan terpesona kepada Allah ada rasa bahagia yang
tidak terkatakan. Maka, tidak mengherankan jika ada orang-orang yang rela
meninggalkan kemapanan hidup demi tugas pelayanan dengan tanpa upah
sedikitpun. Ia mengalami kebahagiaan. Ada rasa anthusias. Kata anthusias
berasal dari bahasa Yunani: En= dalam Theos = Tuhan. Orang yang hidup dalam
pelayanan akan senantiasa bahagia, Gaudete in Domino semper, yang artinya:
Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! (Flp 4: 4).

Saya adalah pribadi yang kalau bekerja tidak anthusias dan penuh
perhitungan. Bahkan kadang-kadang, rugi waktu kalau harus menolong orang.
Yang kupikirkan bahwa pekerjaanku itu harus ada imbalannya. Tetapi ada puisi
yang dimasukkan kamar kerjaku lewat bawah pintu. Puisi ini yang sedikit
mengubahkanku, hanya sedikit saja. Ini isi puisi tersebut:
Marlon, pentingkan dulu pelayananmu
Bila kita melakukannya selama ada waktu luang. Itulah Pekerjaan.
Bila kita melakukannya meskipun mengganggu aktivitas kita. Itulah
Pelayanan
Bila kita berhenti karena tidak ada yang berterima kasih kepada
kita. Itulah Pekerjaan.
Bila kita terus bekerja walaupun tidak pernah dikenal siapapun.
Itulah Pelayanan
Bila kita melakukannya untuk diri sendiri. Itulah Pekerjaan
Bila kita melakukannya untuk Tuhan. Itulah Pelayanan
Bila kita melakukannya demi kehormatan diri. Itulah pekerjaan.
Bila kita melakukannya demi kemuliaan Tuhan. Itulah Pelayanan
Bila kita merasa telah banyak berkorban dan layak mendapatkan
upah. Itulah Pekerjaan.
Bila kita terus merasa belum cukup melakukan apa-apa dan terus
ingin melakukan lebih. Itulah Pelayanan.

Setelah membaca puisi tersebut, saya berkata dalam hati, "Capek
dech!!"

Skolastikat MSC, 06 Februari 2012
Biara Hati Kudus – Pineleng
Jl. Manado – Tomohon KM. 09
MANADO – Sulawesi Utara – 95361

Markus Marlon msc