Kamis, 26 Januari 2012

AIR MATA

AIR MATA
(Sebuah Percikan Permenungan)

Ketika saya mendengarkan sebuah petikan gitar, hati ini tergetar sebab
petikan itu melukiskan suatu kesedihan. Saya intip lembaran partitur dan
bertanya dalam hati, "mengapa lagu itu memiliki irama yang sedih?" Oh,
ternyata judulnya "Lacrima". Penasaran akan judul tersebut, kucari tahu lagi
maknanya dan artinya adalah air mata. Air mata memang memiliki banyak
konotasi. Orang beranggapan bahwa air mata senantiasa berkorelasi dengan
kesedihan dan penderitaan. Jawabnya, "Belum tentu!!"

Ada orang yang memiliki air mata buaya, yang pura-pura menangis untuk minta
belas kasihan. Tetapi juga ada air mata kegembiraan. Ketika seseorang
mengalami keberhasilan maupun lepas dari bahaya, ia mengeluarkan air mata.
Ini adalah air mata kebahagiaan dan syukur. Air mata pun memiliki pelbagai
kisah. Kisah air mata yang mengenaskan ada dalam kisah Mahabharata,
tulisan C. Rajagopalachari. Tidak ada orang yang tahu bahwa Karna yang
sementara beradu keahlian memanah untuk saling membunuh itu adalah putra
Kunthi. Ibu mana yang tidak sedih menyaksikan kedua anaknya perang tanding
dengan penuh kedengkian. Demi martabatnya sebagai ibu dari para pangeran,
Kunthi tidak mengakui Karna di muka umum sebagai putranya. Air mata Kunthi
tidak boleh keluar, yang semestinya mengalir deras. Inilah sebuah kesedihan
yang luar biasa. Seandainya Kunthi boleh memilih, tentunya dirinya ingin
menangis sepuas-puasnya memeluk Karna, putranya dan tidak rela jika anaknya
itu tewas dalam medan laga.

Barangkali kita pernah mendengar kata-kata, "Anak laki-laki dilarang
menangis." Tidak mengherankan jika seorang anak laki-laki yang terjatuh dan
menangis, sang ibu akan berkata, "Jangan menangis nak!, seperti anak
perempuan saja." Untuk urusan sang anak yang dibina untuk menjadi anak yang
tidak boleh menangis, saya menyaksikan film yang berjudul "Spartan". Film
ini dengan terus-terang mengukuhkan bahwa dunia kaum laki-laki adalah
kekerasan, pantang menyerah dan yang terpenting adalah tidak boleh air mata
mengalir dari pelupuk matanya. Sadis memang!!

Tetesan air mata bukan monopoli kaum hawa saja. Kisah-kisah kepahlawanan
atau wiracerita tidak menyembunyikan kaum laki-laki, bahkan seorang raja
agung yang bernama Raja Priamus pun mengeluarkan air mata. Saat sang Raja
menyaksikan putranya sendiri yang bernama Hektor, mati dibunuh secara keji
oleh Achilles, Sang Raja mengeluarkan air mata. Kisah ini bisa dibaca dalam
buku klasik yang berjudul "Iliad" tulisan Homerus (± abad ke VIII SM). Atau
Durna, seorang guru para pangeran Kurawa dan Pandawa, menangis
sehabis-habisnya tatkala mendengar kematian putranya Aswatama - meskipun
sebenarnya yang mati pada waktu itu adalah Estitama, nama seekor gajah.
Yesus, seperti ditulis oleh Lukas amat sedih dan menangisi kota Yerusalem.
Dan ketika Yesus telah dekat dan melihat kota itu, ia menangisinya. Katanya,
"Wahai, betapa baiknya jika pada hari ini juga engkau mengerti apa yang
perlu untuk damai sejahteramu! Tetapi sekarang hal itu tersembunyi bagi
matamu (Luk. 19: 41). Saat ini, kita bisa menyaksikan di kota Yerusalem
berdiri megah sebuah gereja yang bernama Gereja "Dominus Flevit", artinya
Gereja Tuhan Menangis. Dalam imajinasi, kita bisa membayangkan, tentunya air
mata mengalir dengan derasnya dari mata Yesus. Kesedihan Yesus bisa
dipahami. Yesus begitu mencintai umat manusia dan merindukan keselamatan
bagi umat-Nya.

Pepatah Latin yang berbunyi, "Lacrima nihil citius arescit" yang berarti
tidak ada yang lebih cepat mengering daripada air mata, mengajak kita untuk
menyadari bahwa betapapun orang menangis dengan bercucuran air mata, cepat
atau lambat, akan mengering dan kesedihan pun terobati. Entah benar, entah
salah seseorang yang memiliki beban berat dalam hidupnya tidak ada senjata
lain kecuali menangis. Dan setelah air mata keluar, rasa legalah yang
didapat dalam hati.

Setelah menulis beberapa artikel di depan Komputer, air mataku jatuh
berlinang. Saya keluar dan melihat taman yang hijau di kebun Skolastikat dan
dengan segera air mata pun mengering. Memang benar kata pepatah Latin tadi,
bahwa tidak ada yang lebih cepat mengering daripada air mata.

Skolastikat MSC, 18 Mei 2011
Jl. Manado - Tomohon KM. 9
Pineleng II, Dusun VI
MANADO
Sulawesi Utara

Markus Marlon MSC

Sabtu, 21 Januari 2012

KATA-KATA

KATA-KATA
(Sebuah Percikan Permenungan)

Waktu menginap di Hotel Nayak – Wamena – Papua (Maret 2011), saya tidak
bisa tidur nyenyak. Di Jalan tepat depan Bandara, terdengar orang
berteriak-teriak. Kemudian saya bertanya kepada seorang karyawan hotel –
yang kebetulan orang Manado dan jawabannya adalah karena orang itu banyak
minum air kata-kata. Air kata-kata dalam bahasa Manado adalah minuman keras,
yang bisa membuat orang berkata-kata sembarangan, yah karena mabok itu.

Peristiwa besar terjadi karena adanya perkataan. Dari kejadian yang saleh
seperti mendirikan lembaga amal sampai peristiwa yang keji, seperti
pembunuhan, dimulai dari perkataan. Namun, ada juga suatu tindakan sadis
yang tidak dimulai dengan berkata dengan orang lain, Marquis de Sade
misalnya. Marquis de Sade (1740-1814) penulis Prancis ini memulai kegiatan
sadisnya dengan berkata-kata dengan dirinya sendiri dalam bentuk tulisan.
Dalam film yang berjudul Quills dilukiskan bagaimana sang filsuf dan
sastrawan kelahiran Paris, yaitu Marquis de Sade (1740 – 1814) dengan gigih
membuka tabir dalam diri manusia yang pada dasarnya memiliki sifat suka
menyakiti orang lain. Dari sanalah muncul istilah yang akrab dengan telinga
kita yaitu sadisme. Kesadisan yang dibuat oleh si de Sade ini tidak dengan
kata-kata.

Tindak kejahatan besar seperti pemboman, perampokan, pembunuhan, senantiasa
diprakarsai dengan perkataan dari kelompok kecil yang dalam istilah
politiknya disebut sebagai konspirasi. Pembunuhan Julius Caesar (100 – 44
seb. M) yang terjadi pada pertengahan Maret, yakni 15 Maret 44 karena
ditusuk hingga mati oleh Marcus Junius Brutus (85 – 42 seb. M). Peristiwa
ini terjadi karena adanya perkataan yang mengarah pada perundingan
(conspiration) dari Marcus Brutus, Cassius, Casca, Trebonius, Ligarius,
Decius Brutus dan Metellus Cimmber. Maka apa yang dikatakan oleh Yohanes,
penulis Injil yang keempat bahwa "pada mulanya adalah Firman" (Yoh 1: 1 a)
itu memang benar sekali. Bukankah perang yang dikutuk oleh umat manusia itu
pada mulanya adalah perkataan.

Rajagopalachari dalam Mahabharata, menulis, "Kalau pada waktu itu,
Doryudana, putra mahkota Astina rela mendengarkan apa yang dikatakan oleh
Kresna, sang duta perdamaian, tentu tidak akan terjadi perang Mahabharata
yang mengerikan itu." Homerus (± VIII s.M) dalam The Illiad, menulis,
Perang Troya tidak akan terjadi, jika ayah Paris yang bernama Raja Priamus
itu mau mendengarkan apa yang dikatakan oleh Kasandra, sang nujum yang juga
adalah putrinya. Istilah Jawa, "Sabda pandita ratu" yang artinya apa yang
dikatakan sang raja akan menentukan nasib rakyatnya itu, hendak menunjukkan
bahwa perkataan sang raja begitu besar pengaruhnya bagi banyak orang. Banyak
tokoh politik dunia yang konon dikatakan belum sempurna jika belum membaca
buku karya Bung Karno (1901 - 1970), yang disebut "singa podium" itu. Dalam
kesempatan sebuah seminar yang diadakan oleh Sema – Hima STF Seminari
Pineleng – Manado tahun 90-an, Franz Magnis Susena juga termotivasi – salah
satunya – karena tertarik dengan kehadiran Bung Karno dalam panggung
politik. Perkataannya dan pidatonya yang penuh wibawa itu menggelegar dan
menggoncang dunia, sehingga Indonesia pernah disegani oleh negara-negara
lain.

Sebaliknya, orang yang diam seringkali menimbulkan banyak penafsiran dan
membuat takut bagi lawan politiknya. Ketika Megawati diam dan "no comment",
maka di Harian Kompas, pernah muncul artikel yang berjudul, "Mega,
Berbicaralah." Kalau menghadapi suasana yang chaos, memang tepat jika
bersikap diam. Ketika Socrates ( 469 – 399 seb. M) hendak dieksekusi, para
muridnya membujuknya supaya mengalah saja dan mengaku kalah, tetapi ia tetap
diam dan bergeming. Dalam dunia politik juga ada istilah peniup peluit
(whistle-blower) Orang yang sebagai "juru kunci" seperti Mohammad
Nazaruddin atau Nunun Nurbaeti, apa yang muncul dari bibirnya adalah sebuah
kata magis. Siulan, kicauannya dan kata-katanya ditunggu-tunggu dan
dinanti-nantikan serta bernilai milyaran rupiah. Tetapi ingat bahwa jika
kata-kata itu tidak lagi memiliki nilai: berdemo, dan berkata-kata di
depan istana dan di depan gedung DPR ternyata kata-kata itu pun tidak
dihiraukan. Kata-kata itu bagaikan suara di padang gurun. Berbagai kalangan
dibuat terperangah dan terenyak atas kasus bakar diri mahasiswa Sondang
Hutagulung di depan Istana Negara. Reaksi terperangah bertambah karena bakar
diri tidak dikenal sebagai ekspresi perjuangan politik dalam sejarah
Indonesia merdeka. Tindakan bakar diri juga tidak mempunyai akar cultural di
Nusantara. Kata-kata sudah kehilangan daya persuasi untuk mendorong pejabat
pemerintah mengungkapkan kasus kematian Munir, peristiwa penembakan
mahasiswa Trisakti dan kasus orang-orang hilang (Kompas dalam Tajuk Rencana,
12 Desember 2011). Peristiwa ini bisa disejajarkan dengan tindakan mepe,
(berjemur) di alun-alun kerajaan Majapahit pada zaman itu. Sidharta Buda
Gautama (563 – 483 seb. M), pernah berkata bahwa peristiwa yang membela
kebenaran itu paling tidak bisa membuat masyarakat menjadi "sadar". Sadar
bahwa tidak ada ketidakadilan, korupsi, serta HAM diabaikan. Kata-kata
Sondang tidak seperti orang yang bersuara di padang gurun, melainkan tetap
"hidup" menjadi refleksi kita.

Masaru Emoto dalam The Miracle of Water menerangkan bahwa kata-kata juga
amat berpengaruh bagi kehidupan, pun bagi benda mati sekalipun. Emoto
mengadakan penelitian 2 gelas yang diisi dengan air bening (bukan putih,
karena air putih itu susu). Gelas yang satu selama seminggu, diberi
kata-kata kotor dan dimaki-maki. Sedangkan gelas yang lainnya diberi
kata-kata manis – indah - manis dan penuh pujian. Setelah satu minggu,
air bening yang dipuji-puji itu menjadi makin jernih. Sedangkan air yang
dimaki-maki itu kekuning-kuningan dan berbau tidak sedap. Kekuatan kata
juga bisa kita lihat dalam film yang berjudul The Love of Johnny Johson.
Pada waktu itu, pulang sekolah mereka bertiga (Merry, Johnny dan Laura)
melihat sebuah pohon besar. Kemudian, Laura mengambil batu dan berkata,
"Pasti lemparanku kena sasaran!" Dan memang benar, kena sasaran. Kemudian,
Merry dengan penuh ragu-ragu berkata, "Aku tidak bisa!" Dengan kekuatan
setengah-setengah, lemparan batu itu pun tidak sampai batang pohon. Hal ini
bisa dipersandingkan dengan kisah wayang yang berjudul, Pandawa Berguru.
Ketika Drona melatih memanah bagi para pangeran Pandawa dan Kurawa,
Arjunalah yang paling yakin dengan apa yang dikatakan. Arjuna berkata, "Saya
akan memanah tembolok burung tersebut." Dan benar anak panah itu melesat
dan tepat pada sasarannya yakni tembolok.

Belum lama ini, pagi-pagi sekali, saya mendapatkan kata-kata sms yang
berbunyi, "Kau goblok, kau bego, kau anak haram, kau sinting, binatang!!!"
Pengirimnya tidak ada nama. Tentu saja saya langsung terkulai lemas, sedih
dan langsung tidak bisa makan pagi dan siang.

Untuk mengurangi rasa down-ku, saya ingin refreshing ke Mega Mall naik
Angkutan Desa warna biru jurusan Pineleng – Manado. Sampai di tengah
jalan, muncul lagi sms dengan nomor yang sama, "Maaf, maaf seribu maaf! Tadi
itu ternyata salah kirim. Maaf ya, meskipun saya tidak kenal anda!" Hatiku
langsung gembira, suka ria, bersyukur dan tentunya lapar, karena tidak makan
sejak pagi dan siang. Kebetulan di depan Hotel Prince ada restoran Lesehan
Malioboro (Di kota Manado juga ada Malioboro). Langsung saya pesan dua
gelas es cendol dan dua porsi gudeg komplit, untuk saya makan sendiri. Dalam
hati saya berkata, "Luar biasa itu kata-kata. Dua jam yang lalu, saya tidak
ada nafsu makan sama sekali. Dengan kata-kata itu pula, saya lapar dan
bernafsu besar untuk makan!" oh kata-kata, memang kau sungguh luar
biasa!!!!!

Skolastikat MSC, 19 Desember 2011
Biara Hati Kudus – Pineleng
Jl. Manado – Tomohon KM. 09
MANADO – Sulawesi Utara – 95361

Markus Marlon msc

Rabu, 18 Januari 2012

KESEMPATAN

KESEMPATAN
(Sebuah Percikan Permenungan)

Pada sebuah negeri antah berantah, hiduplah seorang punggawa kerajaan yang
ingin menjadi kaya. Karena niatnya yang membara itu, ia hendak memulainya
dengan tinggal dalam keheningan di tepi sungai. Cicero (106 - 43) berkata,
"Animus hominis semper appetit agere aliquid" – jiwa manusia selalu ingin
melakukan sesuatu. Ia berjalan menyusuri tepi sungai dan duduklah di sana.
Kegelapan yang mencekam menyelimuti tempat itu dan punggawa itu menemukan
sekantong berisi "kerikil" tepat di bawah ia duduk.

Untuk mengisi waktu senggangnya, ia melemparkan "kerikil-kerikil" itu di
atas sungai dan suara plik-plik itu yang menjadi hiburan di tempat yang
gelap gulita. Setelah beberapa saat, pulanglah ia menuju pesanggrahannya
dengan membawa kantong tersebut. Dinyalakanlah lampu teplok itu dan suasana
kamar pun menjadi terang-benderang. Ketika mengintip isi kantung itu, betapa
terkejutnya dia, sebab "kerikil-kerilik" yang tadi dibuang itu ternyata
adalah mutiara, yang sekarang hanya tinggal satu. Ia telah membuang
kesempatan.

Ucapan H. Jackson Brown Jr yang berbunyi, "Nothing is more expensive than
a missed opportunity" yang berarti tidak ada harga yang lebih mahal
daripada peluang yang sudah hilang, rupanya bukan isapan jempol belaka.
Tulisan-tulisan Laura Ingalls Wilder seri Little House yang berjumlah 10
novel (dari Rumah Kecil di Rimba Besar sampai Pengelana Rumah Kecil) ini
merupakan cerita yang membangun watak (character building). Charles Ingalls
yang sering dipanggil Pa, sebagai kepala keluarga memberi pengajaran
kepada anak-anaknya untuk berani mengambil setiap kesempatan. Tatkala harus
mutasi dari daerah satu ke daerah yang lain, istrinya, Carolina Quiner
(1839 – 1924) tidak pernah mengeluh. Memang benar apa yang dikatakan
pepatah, "Orang bodoh membuang kesempatan, orang pandai mencari kesempatan
dan orang bijaksana menciptakan kesempatan." Keluarga ini berani
menciptakan kesempatan dan berani pula mengambil risiko. Tantangan mereka
bertubi-tubi tiada henti, dari cuaca yang tidak bersahabat, hama belalang,
beruang, serigala dan last but not the least yakni suku Indian. Tantangan
dan bencana dari keluarga ini dianggap sebagai berkat. Pepatah Latin yang
berbunyi, "calamitas virtutis occasion" – sebuah kesempatan untuk munculnya
sebuah kebajikan rupanya diamini oleh penulis buku seri Little House ini.
Pendidikan karakter dari kedua orang tuanya itu membuat Laura menciptakan
kesempatan dengan cara menjadi guru di usia yang sangat muda dan bekerja di
rumah tukang jahit baju. Mereka adalah keluarga Kristen yang saleh dan
setiap kali menghadapi tantangan dan kesulitan selalu mengacu kepada Kitab
Suci. Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai
melampaui kekuatanmu (1 Kor 10: 13).

Tetapi karena kemalasannya, orang pun biasa menunda kesempatan yang ada.
Pepatah Inggris berujar, "opportunity seldom knocks twice." yang berarti:
kesempatan itu jarang datang untuk yang kedua kali. Saya kenal dengan
seseorang yang akan diberi proyek. Orang tersebut sudah dihubungi dan
ditunggu-tunggu oleh pemberi order, tetapi tidak datang-datang. Akhirnya,
proyek itu pun dialihkan kepada orang lain. Setelah, proyek itu mulai
dikerjakan, betapa menyesalnya orang tersebut, ternyata proyek itu bernilai
milyaran rupiah. Orang menunda kesempatan, karena – barangkali – sedang
menunggu kesempatan yang jauh lebih besar, atau menunggu tepat saatnya.
Tetapi kita harus ingat bahwa hidup kita yang nyata itu adalah saat ini dan
kini, hic et nunc. Thomas Carlyle pernah berkata, "Our main business is not
to see what lies dimly at distance, but to do what lies clearly at hand"
yang artinya: Tindakan utama yang harus kita kerjakan bukanlah melihat apa
yang terletak samar-samar di kejauhan sana, melainkan melaksanakan apa yang
kelihatan dengan jelas di depan mata. Antony de Mello dalam Burung Berkicau,
melukiskan bahwa orang yang menunda kesempatan itu bagaikan seorang
membacakan surat cintanya kepada pujaan hatinya, padahal dia ada di
depannya. Horatius (65 – 8) pernah berkata, "Rapiamus occasionem de die" –
marilah kita tangkap kesempatan itu ketika masih ada hari. Karna dalam
pewayangan digambarkan sebagai seorang bangsawan, karena dia adalah putra
Kunthi dengan Dewa Indra. Namun oleh Pandawa, dirinya dianggap sebagai
Radeya. Maka sedihlah hati Karna itu. Dalam situasi yang amat kalut,
Doryudana mengangkat dia menjadi saudaranya. Dari sana pula, ia menjadi
Adipati Awangga. Kesempatan yang diberikan pangeran Astina itu tidak
disia-siakan, sehingga berani membela mati-matian melawan saudara kandungnya
sendiri, Arjuna (Kompas 20-11-2011). Ungkapan Kanjeng Nabi Muhammad,
"Sembahyanglah seperti kau ini akan mati besok pagi" rupanya baik untuk
menjadi renungan kita.
Orang tidak berani mengambil kesempatan, karena takut ambil resiko. Hidup
bersama dengan orang lain, membuat kita merasa bahwa orang lain menjadi
"pengamat" apa yang kita kerjakan. Sebelum orang mengerjakan sesuatu, ia
sudah takut melakukannya, karena jangan-jangan akan gagal. Orang itu telah
kalah sebelum bertanding. Sebelum berperang, orang meruntuhkan mental
lawannya. Robert Green dalam 48 Hukum Kekuasaan, mengisahkan tentang
Hannibal (264 – 182) Jendral Kartago yang memiliki strategi yang jitu. Ia
memasang obor-obor di tanduk-tanduk kerbau di malam hari. Dari ketinggian
para prajurit Romawi menjadi takut karena melihat obor-obor yang menyala
begitu banyaknya yang disangka adalah para prajurit Kartago. Prajurit Romawi
merasa gentar dan kehilangan kesempatan untuk berperang dengan gagah
perkasa. Cicero dalam suatu kesempatan juga pernah berkata, "Fortuna favet
fortibus" yang berarti nasib baik menyertai orang yang berani. Alexander
Agung adalah seorang pemimpin yang tidak mewariskan kekuasannya kepada
keturunannya. Ketika hendak meninggal, ia hanya mengatakan, "Pemimpin yang
meneruskanku adalah yang terkuat." Lance Kurke dalam The Wisdom of
Alexander the Great, menuliskan sebuah kisah tentang Alexander Agung yang
memotivasi para prajuritnya untuk mendapatkan tongkat komado. Ia berkata
bahwa setiap orang berhak memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi
pemimpin. Kisah Michael Jackson yang telah difilmkan itu memberikan
inspirasi kepada kita. Ketika Jackson tampil untuk pertama kali di panggung,
tiba-tiba mikrofon itu diserahkan kepadanya. Dengan penuh percaya diri
calon rocker dunia itu pun melantumkan lagu. Ibunya berkata, "Lihat,
anakku telah menemukan nasibnya." Vergilius (70 – 19) dalam Aeneas,
menulis, "fata viam invenient" – takdir itu menemukan jalannya sendiri.
Demikian pula Michelangelo (1475 - 1564) yang menemukan takdirnya sebagai
pelukis. U Cheng Fang dalam Michelangelo Buonarroti, memberikan ilustrasi
bahwa Micaelangelo sebenarnya adalah seorang pematung. Ia memahat patung
yang termasyur seperti: David di Firenze, Nabi Musa dan Pieta yang sekarang
di Gereja St. Peter. Tetapi oleh Paus Paulus III, pematung itu diangkat
sebagai arsitek bangunan Gereja St. Peter yang megah itu. Pada waktu itu ia
bergumul dengan dirinya sendiri dan masuk café serta mabuk. Ketika keluar
dari café, ia melihat pemandangan yang sangat indah yang ternyata
menginspirir lukisan fresco di plafon kapel Sikstina. Michelangelo tidak
menolak kesempatan yang diberikan oleh Paus Paulus III itu dan kini namanya
menjadi agung sebagai arsitek gereja terbesar di dunia. Saya tidak habis
pikir, bagaimana seandainya pada waktu itu sang maestro itu menolak usul
sang Paus tersebut.

Saya tinggal di Biara dan sejak di Seminari diwajibkan untuk siesta (tidur
siang). Sekarang pun di usia yang sudah menua ini masih mewajibkan diri
untuk siesta. Suatu kali ada tamu dari Manado yang singgah di Biara Hati
Kudus – Pineleng. Setelah makan siang, saya masuk kamar dan di pintu saya
tulis, "Sedang Tidur Siang. Jangan Diganggu"

Siang itu rupanya ada keluarga yang datang membawa sesuatu untuk saya,
tetapi karena saya sedang menikmati "jam suci" maka tamu itu pun
melanjutkan perjalanan ke Tomohon. Sampai di Tomohon, orang ini menulis
sms, "Pater, tadi saya singgah mau kasih uang untuk biaya makan para frater
selama satu bulan, tetapi berhubung sedang istirahat dan tidak boleh
diganggu, maka uang itu saya berikan kepada orang lain." Memang, Dewi
Fortuna tidak memihak orang yang malas. Mea culpa, karena kesalahanku!!

Skolastikat MSC, 28 November 2011
Biara Hati Kudus – Pineleng
Jl. Manado – Tomohon KM. 09
MANADO – Sulawesi Utara – 95361

Markus Marlon msc

Senin, 16 Januari 2012

BARU

BARU
(Sebuah Percikan Permenungan)

Nil novi sub sole adalah kata-kata Pengkotbah yang berarti: tidak ada yang
baru di bawah matahari (Pkh 1: 9). Kata-kata tersebut mematahkan semangat
kita dalam menyikapi tahun baru 2011. Mungkin di antara kita sudah berniat
untuk: hidup baru, semangat baru dan banyak perabot baru yang sudah kita
siapkan dalam menghadapi tahun yang baru.

Sesuatu yang baru pasti menarik. Kalau kita melihat entertainment di
Televisi-televisi swasta, ada acara yang berisi puji-pujian dan
keterpesonaan satu sama lain bagi pasangan artis yang sedang jatuh cinta
atau pengantin baru. Tetapi lihat, nanti jika akan bercerai, maki-makian
datang bertubi-tubi yang tidak datang satu per satu seperti mata-mata,
tetapi satu batalyon. L'histoire répète! Sejarah berulang.

Kisah hidup manusia itu dari adanya peradaban manusia hingga detik ini,
tidak luput dari: keserakahan akan harta, perebutan wanita dan konspirasi
tahta. Tiga Ta (Wanita, Tahta dan Harta). Lihat saja kisah asmara yang
pernah menghebohkan dunia. Banyak penulis yang menggoreskan penanya untuk
melukiskan kecantikan Cleopatra (69 – 30 seb. M) yang kisah cintanya dengan
Julius Caesar (100 – 44 Seb. M) dan dilanjutkan dengan Mark Antony (82 – 30
Seb. M) tidak lekang oleh panas dan tidak lapuk oleh hujan. Layar lebar
yang dibintangi oleh Elizabeth Tailor (1932 – 2011) yang berjudul, Cleopatra
memang luar biasa. Kisah berikutnya adalah Theodora, tokoh utama novel yang
berjudul Wanita, tulisan Paul Willman. Dan yang tidak kalah serunya adalah
kisah Simson dan Delila (Hak 16: 1 – 3 ).

Kisah perebutan tahta bertaburan di mana-mana. Dari setiap negara dan
bangsa, menyimpan kisah-kisah suksesi yang kadang membuat bulu kuduk
berdiri. Dalam dunia politik ada adagium Latin yang berbunyi, "Hostis aut
amicus non est in aeternum; commode sua sunt in aeternum" yang berarti:
tidak ada kawan dan lawan yang abadi; yang abadi hanyalah kepentingan.
Bahkan kota Vatikan, yang adalah sebagai kota suci tidak luput dari
perebutan tahta ini. Brenda Ralph Lewis dalam Sejarah Gelap para Paus:
Kejahatan, pembunuhan dan Korupsi di Vatikan, memperlihatkan kepada kita
bagaimana intrik dan konspirasi mendominasi setiap kisah dari buku
tersebut. Tahta untuk Rakyat, sebuah biografi yang mengisahkan Sri Sultan
Hamengku Buwono IX (1912 – 1988) menjadikan kita optimis bahwa sang sultan
tidak pernah menggunakan hak istimewanya bagi kehidupannya sehari-hari.

Robert Harris dalam Imperium, mengajak kita untuk meliat bahwa harta menjadi
perebutan para senator. Cicero (106 – 43 Seb. M) pernah mengatakan, "Ikan
itu mulai membusuknya dari kepala. Untuk itu, orang-orang atasan (pimpinan)
yang korup harus kita penggal terlebih dahulu." Semua bisa dibeli dengan
uang. Sejak zaman Romawi kuno, uang memainkan peranan penting. Maka
muncullah istilah pecunia non olet yang berati: uang itu tidak pernah bau,
terjemahan bebasnya: siapa pun suka pada uang. Bahkan dalam lelucon muncul
kata, "Uang yang Mahakuasa."

Nil novi sub sole, tidak ada yang baru di bawah matahari. Keserakahan, nafsu
dan perebutan tahta hingga hari ini menjadi primadona bangsa Indonesia.
Opini-opini di media cetak dan elektronik yang berisikan para badut politik
pilihan rakyat, membanjir tak terbendung. Rakyat kecil jenuh dibuatnya dan
cenderung apatis. Vox pupuli vox Dei, suara rakyat, suara Tuhan. Semoga
Tuhan tidak salah memilih wakil-wakil rakyat.

Menyaksikan para badut politik, kita bersama Cicero berseru, "O tempora!
O mores!" oh zaman apakah ini! Akhlak macam apakah ini! Ungkapan ini adalah
kutipan dari sebagian pidato Cicero melawan Catilina (109 – 63 Seb. M),
seorang politikus Romawi pada 8 November 63 Seb. M. Orang-orang yang
pesakitan karena dituduh korupsi tidak merasa malu lagi. Dengan gagah
perkasa mereka berani "bernyanyi" dan mengadakan konperensi pers. O tempora!
O mores!

Tetapi kita tidak perlu pesimis maupun apatis. Dalam keterperukan masih ada
harapan. Dalam mitologi Yunani, ada kisah menarik yang mengisahkan tentang
"Kotak Pandora." Dikisahkan bahwa ada sebuah kotak yang berisi pelbagai
malapetaka dalam bentuk makhluk kecil bersayap warna coklat dan kotak
tersebut dihiasi dengan ornament yang amat memesona, yang – tentunya –
membuat setiap orang ingin membukanya. Pandora, si wanita itu ingin
sekali mengetahui isi kotak tersebut. Keinginannya begitu kuat, padahal
sudah diperingatkan supaya tidak membukanya. Tatkala kotak itu dibuka,
keluarlah malapetaka yakni segala macam penyakit dan tabiat buruk serta
kejahatan yang mengobrak-abrik umat manusia. Penyesalan selalu datang
terlambat. Pandora amat sedih. Sorak gembira serta-merta berubah menjadi
tangis yang tragis. Keluhan terdengar dari segala penjuru karena rasa sakit
dan ketakutan akan kematian. Namun, bagaimana pun juga dalam hati para Dewa
muncul belas kasihan kepada umat manusia (Bdk. Promotheus, Dewa yang
mencintai umat manusia dengan memberi api). Para Dewa "mengutus" makhluk
yang baik yakni Harapan, yang ditugaskan untuk menyembuhkan luka-luka
tersebut. Harapan, kumudian terbang melalui jendela dan menjalankan tugas
yang sama terhadap para korban lain untuk mengembalikan semangat mereka.
Harapan – meskipun kecil dan sedikit – amat berpengaruh besar bagi
kelangsungan hidup umat manusia. Situasi baru yang dialami oleh keluarga
Charles Ingalls mengajak kita untuk merenungkan bahwa situasi baru itu perlu
disikapi dengan baik dan optimis. Kesepuluh novel (Rumah Kecil di Rimba
Besar, Rumah Kecil di Padang Rumput dst) tulisan Laura Ingalls (1867 - 1957)
semuanya penuh dengan tantangan, namun disikapi dengan semangat yang baru.
Yesaya pernah menulis, "Buangkanlah dari padamu segala durhaka yang kamu
buat terhadap Aku dan perbaharuilah hatimu dari rohmu! Mengapakah kamu akan
mati, hai kaum Israel?" (Yeh 18: 31)

Kita sudah masuk tahun baru, 2012. Tahun yang baru ini, kita berniat untuk
membuka lembaran baru setelah Kotak dibuka oleh wanita yang bernama
Pandora. Niat-niat dan rencana-rencana baik sudah saya programkan. Saya
akan berusaha untuk lebih baik dari tahun yang kemarin. Tetapi, seandainya
tahun ini ada kesalahan dan kekilafan, saya boleh berkata, "Khan kesalahan
sudah ada sejak zaman Adam dan Hawa" Dan saya tambahkan lagi, "Nil novi
sub sole, tidak ada yang baru di bawah matahari." Bersama orang-orang
Papua, saya akan berkata, "Itu sudah!"

Skolastikat MSC, (menjelang) 01 Januari 2012
Biara Hati Kudus – Pineleng
Jl. Manado – Tomohon KM. 09
MANADO – Sulawesi Utara – 95361

Markus Marlon msc

JUMPA

JUMPA
(Sebuah Percikan Permenungan)

Awal bulan Januari 2012, saya sengaja mengunjungi kota Ambon dan salah
satunya ingin berjumpa dengan Mgr. Andreas Sol MSC. Tatkala saya ungkapkan
tentang hari pentahbisan saya, Mgr. Andreas langsung teringat peristiwa itu.
Perjumpaan yang beberapa menit itu ternyata bisa membuka takbir kisah-kisah
yang luar biasa. Seolah-olah tirai masa lalu terbuka lebar dan Mgr. Sol
berbicara dengan suara lantang tentang pengalamannya sewaktu berkarya
sebagai uskup. Pertama-tama berbicara tentang sejarah Maluku, kemudian
Perpustakaan Rumpius yang merupakan harta tidak ternilai harganya bagi
Maluku. Apa yang dituturkan itu, bagi saya bagaikan menonton film kehidupan.
Energi positif yang disebarkan oleh Mgr. Sol telah memberikan daya dorong
yang positif pula terhadap orang yang dijumpai.

Pengalaman perjumpaan memiliki banyak dimensinya. Ketika saya
berjalan-jalan di kota Manado dan berjumpa dengan kerumunan orang atau
pembeli toko di Gramedia, tidak ada getar-getar hati dalam diriku. Semua
berjalan biasa-biasa saja. Kemudian, ada perjumpaan yang menyakitkan. Suatu
kali ada seorang ibu yang kedapatan sakit parah. Selama bertahun-tahun, ibu
itu tergolek di ranjang yang pengap. Di wajahnya terlihat ada rasa dendam.
Ketika saya mengunjunginya, ibu itu men-sharing-kan pengalamannya sendiri
tanpa diminta, "Setiap subuh, saya hampir pasti sesak nafas, karena hari ini
akan berjumpa dengan menantuku. Dada menjadi sesak dan hati terasa pedih!"
Perjumpaan-perjumpaan dari ibu dan menantu ini merupakan perjumpaan yang
tidak produktif. Dua orang yang memiliki rasa saling membenci yang berjumpa
akan menguras energi. Perjumpaan yang mungkin hanya beberapa saat saja,
rasanya begitu lama. Konon kabarnya, setelah ada perdamaian antara ibu dan
menantu itu – secara berangsur-angsur – ibu itu mengalami kesembuhan yang
sangat berarti. Gunawan Mohamad dalam Catatan Pinggir yang berjudul
"Kunthi", berkisah tentang perjumpaan yang mengharukan antara Kunthi dan
anaknya, Karna. Keharuan yang sangat mendalam melingkupi perjumpaan di senja
hari itu. Dalam perjumpaan itu, Kunthi membuka rahasia, bahwa Karna adalah
anak kandung sendiri. Menjelang "perang tanding" antara Karna dan Arjuna,
sang bunda intervensi, supaya Karna mengalah melawan Pandawa Lima.
Perjumpaan yang pertama dan terakhir dengan sang bunda ini bagi Karna
sungguh merupakan pengalaman yang amat berharga sekaligus menyedihkan.

Film yang berjudul Ben Hur, mengajak kita berefleksi tentang makna
perjumpaan. Pada waktu itu Judah Ben Hur sebagai tawanan atau lebih tepat
akan dijadikan budak digiring menuju suatu tempat yang tangan dan kakinya
diborgol. Ben Hur mengalami keputusasaan yang amat mendalam. Namun
pengalaman perjumpaan dengan Yesus – yang ia tidak kenal itu – membuat
dirinya memiliki semangat untuk bertahan dan akhirnya menjadi "pembebas"
bagi adiknya: Esther dan ibunya: Miriam. Wajah dan sinar mata-Nya yang
teduh memberikan kesejukan bagi Ben Hur untuk bertahan dalam tekanan
kekuasaan bangsa Romawi. Perjumpaan Yesus yang sudah bangkit dengan para
murid di Emaus. Hati para murid menjadi semangat dan berkobar-kobar (Luk
24: 32). Zhakeus, si pemungut cukai juga mengalami hal yang sama. Perjumpaan
dengan Yesus bahkan sudi mampir ke rumahnya membawa perubahan dalam dirinya.
(Luk 19: 1 – 10). Samuel Willard Crompton dalam 100 Hubungan Yang
Berpengaruh di dalam Sejarah Dunia, hendak memperlihatkan bahwa perjumpaan
antara dua orang yang memiliki visi yang sama bisa menggoncang dunia.
Kolaborasi antara dua orang yang berpikir secara positif menghasilkan
sesuatu yang luar biasa. Mereka itu adalah: Kubilai Khan (1215 – 1294) dan
Marco Polo (1254 – 1324), Paus Yulis II (1443 – 1513) dan Michelangelo
(1475 – 1564) dan tentunya masih banyak lagi perjumpaan-perjumpaan yang
menghasilkan buah-buah berlimpah.

Orang Jawa memiliki peribahasa, "Witing tresno jalaran saka kulina" yang
berarti: orang bisa saling mencintai karena sering berjumpa. Saya pernah
tinggal satu tahun di suku Muyu – pedalaman Merauke. Saya heran ada seorang
guru asli Manado yang jatuh cinta dengan orang pedalaman. Dia mengatakan
bahwa perjumpaan yang terjadi setiap hari membuat dirinya tergetar hatinya
dan kini mereka berdua sudah membangun bahtera cinta. Ada juga seorang
karyawan – gadis yang bertugas di ruang receptionist pada sebuah perusahaan.
Gadis ini pada awalnya "tidak ada hati" sama sekali terhadap seorang duda
tua yang datang ke kantor melewati meja penerima tamu. Perjumpaan setiap
hari di awal pagi membuat kedua anak manusia itu tergetar. Kemudian sang
duda berkata, "Memang ada kata romantik yang berbunyi: first love never
dies, tetapi perjumpaan-perjumpaan yang kami alami semakin membuat cinta
kami bersemi dan bertumbuh."

Perjumpaan-perjumpaan masa lalu, seperti masa sekolah maupun masa-masa
bermain meninggalkan kesan yang mendalam. Masa pendidikan dan pembinaan bagi
para murid adalah masa yang amat berat. Pengalaman dimarahi guru dan
mendapat nilai merah membuat murid menjadi marah kepada gurunya. Bahkan
beberapa guru dan dosen dijuluki killer. Namun setelah murid-murid ini
menjadi "orang" dan berjumpa dengan sang guru, pujian dan ucapan syukurlah
yang disampaikan kepadanya. Pengajaran yang keras dan "kejam" dari para guru
dianggap sebagai grace in disguise. Mantan murid pun berkata, "Jika dulu
kami-kami ini tidak dididik secara keras oleh bapak dan ibu guru, tentunya
tidak akan menjadi orang seperti sekarang ini!" Pengalaman masa lalu yang
barangkali penuh duka itu pun terbayar tatkala melihat hasil yang kini sudah
dinikmati. Peribahasa, "Kemarau setahun dibayar dengan hujan satu hari,"
agaknya tepat untuk memahami makna ini. Ada rasa damai dan sejuk.

Sementara menulis artikel ini dari jauh terdengar lagu dangdut yang
dilantunkan oleh Masyur Subhawannur. Syairnya kira-kira demikian, "Bukan
perpisahan yang kutangisi, hanya perjumpaan yang kusesali." Hal yang pasti
dari perjumpaan adalah perpisahan. Sebelum berjumpa kita harus menyiapkan
diri untuk berpisah.

Terkadang, dua anak manusia yang telah berjumpa dan saling menyayangi –
entah karena sesuatu hal – mereka harus berpisah. Laki-laki itu berkata
lirih, mengutip kata-kata Rhoma Irama, "Kau yang mulai - kau juga yang
mengakhiri. Kau yang berjanji - kau yang mengingkari" Tambahnya lagi
dengan kata-katanya sendiri, "Kalau tahu begini, lebih baik dulu aku tidak
jumpa!"

Skolastikat MSC, 16 Januari 2012
Biara Hati Kudus – Pineleng
Jl. Manado – Tomohon KM. 09
MANADO – Sulawesi Utara – 95361