Senin, 17 Oktober 2011

KAMBING HITAM

KAMBING HITAM
(Sebuah Percikan Permenungan)

Yang namanya melemparkan kesalahan kepada orang lain atau
mengkambinghitamkan orang lain itu senantiasa nampak dalam sktesa kehidupan
kita. Dan biasanya yang menjadi korban adalah wong cilik, yang tidak
berdaya. Ini memang dapat dimaklumi karena memang mereka tidak memiliki
apa-apa, sehingga yang ada hanyalah "salah dan kalah". Orang miskin dalam
cerita jawa sering disebut sebagai tumbal. Disebut tumbal karena
diperlakukan tidak adil serta sewenang-wenang oleh mereka yang bertindak
culas dan tentu saja yang diinjak-injak itu tidak mempunyai perlawanan yang
seimbang. Akhirnya menjadi apatis, karena meskipun berjuang dengan daya
upaya, para penguasa tidak memiliki telinga (lagi) untuk mendengarkan.
Kisah wong cilik ini akan begitu nyata dalam cerita pewayangan dengan judul
"Bale Sigala-gala". Ceritanya mengisahkan usaha Kurawa membinasakan para
Pandawa, ketika mereka masih remaja. Bale Sigala-gala dirancang oleh arsitek
Astina bernama Purucona atas petunjuk Mahapatih Sengkuni. Dinding
pesanggrahan itu terbuat dari bahan yang mudah terbakar. Namun ternyata
mereka bisa lolos. Lalu ditemukan 6 orang yang terbakar. Mereka adalah para
pengemis yang "numpang tidur" yang dikiranya adalah para putra Pandawa dan
ibunya, Kunthi. (Bdk. "Mahabaratha", tulisannya Nyoman S. Pendit). Para
pengemis itu adalah orang yang tidak punya suara atau voiceless. Mereka
tewas karena keserakahan para penguasa. Proyek-proyek pemerintah seperti
pendirian mall, lapangan golf dan jalan toll senantiasa menimbulkan korban.
Penggusuran pun terjadi sewenang-wenang sehingga jeritan dan terikan serta
tangisan orang-orang miskin itu tidak digubris lagi. Inilah negeri nyiur
melambai yang dulu terkenal dengan keramah-tamahannya. Namun saat ini negeri
ini penuh dengan ingar-bangar kekerasan, demo dan amuk massa.

Tetapi sebenarnya kisah "kambing hitam" itu bisa kita lihat dalam Kitab
Suci. Harun meletakkan kedua tangannya di atas kepala kambing jantan yang
masih hidup dan mengakui segala kesalahan dan pelanggaran mereka. Setelah
itu, kambing dilepaskan di padang gurun. Demikianlah dosa dan kesalahannya
sudah dibawa si kambing jantan itu. (Im 16: 20 – 22). Kisah kambing jantan
tersebut – barangkali – menjadi cikal bakal terjadinya kambing hitam. Tidak
jauh beda dari itu, dalam tradisi Jawa ada kisah di gunung Bromo yakni suku
Tengger. Dikisahkan ada ibu janda yang bernama Roro Anteng, yang memiliki
banyak anak. Pada waktu itu gunung Bromo mengalami kegoncangan hebat. Untuk
membuat harmoni alam semesta, maka bumi meminta "korban". Kerelaan Joko
Seger, putranya yang bungsu untuk mengorbankan diri itu merupakan
penyelamatan alam semesta.

Kisah-kisah kambing hitam yang besar setelah penyaliban Yesus ada dalam
diri Socrates (469-349 BC). Model pengajaran yang dipakai oleh Socrates
adalah mencari kebenaran dengan model dialog. Kebenaran sejati yang
ditemukan oleh Socrates itu ternyata menohok para pejabat pemerintahan kota
Athena. Tentu saja mereka kebakaran jenggot dan konsekuensi logis dari itu
semua adalah bahwa dirinya harus disingkirkan. Maka, dicarinya "kambing
hitam". Socrates yang adalah filsuf, dianggap oleh pemerintahan kota Athena
sebagai orang yang memengaruhi kejahatan kaum muda. Socrates dihukum mati
dengan meminum racun kalau tidak mau menarik ajaran-ajarannya. Tetapi
Socrates tidak mau menarik ajarannya dan dia berani untuk membela ajaran
yang diyakininya. Ia mati dengan minum racun untuk membela kebenaran. (Bdk.
Buku judul, "Peradilan Socrates") Kisah yang agak sama dan juga di negeri
Yunani adalah kisah Oedipus. Drama yang sudah diterjemahkan oleh Rendra
berjudul "Oedipus Rex" dengan apik ini memiliki kekuatan magis sekaligus
tragis. Sophocles (496-406 B.C) penulis drama tersebut mengisahkan tentang
Oedipus¸yang dianggap bersalah oleh semua orang. Hanya Oedipuslah pihak yang
harus dituduh, karena ia melakukan pembunuhan Laius dan mengawini Yocasta,
ibunya sendiri. Karena tindakan itulah Oedipus menjadi penyebab penyakit
menular yang menjadi bencana kota. Ia seorang monster yang harus
disingkirkan. Memang, akhirnya Oedipus sengaja menyakiti diri sendiri dengan
mencungkil kedua matanya dan hidup terlunta-lunta di hutan belantara. Ajaran
Socrates dan "penyimpangan" Oedipus itu membuat kekacauan kosmik, chaos dan
disorder. Maka untuk memulihkan dunia supaya menjadi harmoni, order harus
ada korban yakni kematian Socrates dan penderitaan Oedipus.

Kisah "kambing hitam" yang sempurna ada dalam diri Kaisar Nero. Pada tahun
64 Kaisar Nero, yang memiliki nama lengkap, Nero Claudius Caesar Drusus
Germanus (37-68 AD), dipersalahkan karena menyebabkan kebakaran besar yang
menghancurkan sebagian besar kota Roma. (Bdk. Novel "Quo Vadis", karya
Henryk Sienkiweicz,) "Oleh karena itu, untuk menghilangkan desas-desus,"
sejarahwan Romawi yang paling mendalam yang bernama Tacitus (55-115 A.D)
menuliskan. "Nero menetapkan perkumpulan orang-orang Kristenlah sebagai yang
telah melakukan kejahatan." Mereka diejek, difitnah dan dikoyak oleh
singa hingga akhir hayat atau diikat pada salib dan ketika hari petang
dibakar dan digunakan sebagai penerang di kebun kekaisaran. Sang kaisar
membuat kesalahan, namun ia sendiri tidak mau mengakuinya, bahkan
melemparkan kesalahan itu kepada kelompok kecil yang dijuluki nazarenos,
pengikut orang yang bernama Yesus dari Nasaret.

Kadangkala, "kambing hitam" juga ditujukan kepada suasana, keadaan dan benda
yang tidak bisa kita gapai atau peroleh. Jika kita menginginkan sesuatu,
tetapi tidak mampu untuk mendapatkannya, kita akan menyalahkan "yang lain".
Kisah ini sudah dituturkan oleh Aesop, pendongeng ulung Yunani kuno (620 –
560 BC) dengan fable-nya (cerita binatang) yang berjudul "anggur yang asam"
(sour grapes). Rubah itu sungguh bernafsu untuk mendapatkan anggur. Tetapi
berhubung sudah berusaha mendapatkannya, tetapi lompatannya tidak sampai,
sehingga gagal mendapatkannya. Sambil bersungut-sungut, Rubah itu berkata,
"paling anggur itu asam." Dunia binatang merupakan "cermin" yang tepat
untuk kehidupan kita.

Menyalahkan orang lain itu memang paling mudah. Kalau kita menunjuk dengan
jari ke orang lain, sebenarnya empat jari yang lain menunjuk pada diri
sendiri. Maka orang perlu mengenali diri sendiri dengan baik sebelum
menyalahkan orang lain. Ungkapan "gnoti souton" (Bhs. Yunani) yang artinya
kenalilah dirimu sendiri, rupanya tepat untuk menekankan supaya kita lebih
hati-hati dalam hidup ini, sebelum membicarakan orang lain. Tetapi lebih
baik, "Jangan pernah membicarakan tentang orang lain."

Kantor "Percikan Hati", 06 Juni 2011
Biara Hati Kudus,
Skolastikat MSC - Pineleng
Jl. Manado – Tomohon KM. 10
Pineleng II, Jaga VI
Minahasa – MANADO
Sulawesi Utara – 95361

Markus Marlon MSC

Selasa, 11 Oktober 2011

KEKUASAAN

KEKUASAAN
(Sebuah Percikan Permenungan)

Saya mempunyai seorang teman yang hidupnya sangat tertekan. Dari pagi
hingga malam, dia tidak pernah luput dari "kekuasaan" orang tuanya. Ketika
orang tuanya pergi, ia mulai "menunjukkan" kekuasaannya dengan "menguasai"
pembantunya di rumah. Pembantu merasa tertekan sebab dibentak, dipukul,
dicaci-maki, dihina dan dijelek-jelekkan. Suatu ketika si pembantu itu tidak
tahan lagi, namun ia tidak berani menghadapi anak majikannya itu secara
frontal. Dengan penuh amarah dan rasa dendam, ia memukuli kucing milik sang
majikan, hingga kucing itu lari terbirit-birit hampir mati. Dalam bahasa
psikologi, tindakan si pembantu itu disebut sebagai kompensasi. Kompensasi,
menurut Alfred Adler (1870 – 1937) seorang psikiater Austria adalah suatu
proses reaksi psikologis dari perasaan inferior (rendah diri) seseorang.
Orang yang terkena sindrom inferior cenderung bertindak agresif terhadap
orang lain. Rasa inferioritasnya ditutupi dengan sebuah rasa percaya diri
yang berlebihan. Dalam fenomena psikologis ini terlihat dalam hamparan
realitas hidup keseharian kita, termasuk dalam perilaku para penguasa.

Dalam Olympus kisah-kisah Dewa Yunani, misalnya Dewa Kronos begitu tega
menelan anak-anaknya sendiri, karena ia takut kalau kekuasaannya kelak
direbut oleh anak-anaknya. Dalam Kitab Suci, Absalom yang terburu-buru
merebut kekuasaan ayahnya: Daud dan berperang melawan Moab. Tetapi sangat
disayangkan bahwa Absalom tewas bukan karena perang face to face dengan
Yoab, melainkan karena kepalanya terantuk pada dahan pohon (2 Sam 18: 9 –
33).

Dalam buku yang berjudul, 48 Hukum Kekuasaan tulisa Robert Greene ada
kutipan tentang makna kekuasaan, "Untuk dikagumi oleh rakyat, buatlah mereka
takut kepadamu. Ciptakanlah terror supaya rakyat minta perlindungan
kepadamu." Kata-kata tadi merupakan ajaran Niccolo Machiavelli ( 1469 –
1527 ), penulis buku Il Principe. Kalau Adolf Hitler (1889 – 1945) membaca
Il Principe di atas ranjang setiap setiap hari, maka Lenin (1870 – 1924) dan
Yosef Stalin (1879 – 1953) mempelajarinya secara khusus di sebuah
Universitas di Rusia. Bahkan Benito Mussolini (1883 – 1945) secara
terang-terangan mengaku diri sebagai pengikut setia Machiaveli oleh karena
itu, ia sering mengutip kalimat-kalimat magisnya dalam pidato-pidatonya.
Buku Imperium, yang cover-nya adalah wajah Cicero ( 106 – 43 BC) bercerita
tentang perebutan kekuasan yang dimulai dengan perdebatan para senator. Dari
sana ada kisah yang menarik. Dalam perdebatan tercetus perdebatan tentang
pembusukan (corruption) dengan mengambil contoh seekor ikan. Ikan itu jika
membusuk, yang akan busuk adalah kepalanya terlebih dahulu. Demikian pula,
para penguasa adalah orang-orang yang memegang kekuasaan tertinggi. Negara
hancur, corrupt, bankrupt dan collapse pertama-tama karena "kelakuan"
penguasanya. Memang, penguasa adalah pemegang kebijakan yang membuat negara,
organisasi, perkumpulan dan lembaga bisa maju atau hancur. Pepatah Latin,
"Imperia et potestates pudorem ac auctoritatem non iam habentes" artinya
para petinggi dan penguasa tidak lagi mempunyai rasa malu dan kewibawaan
mengajak kita untuk berrefleksi, sejauh ini bagaimana sikap penguasa yang
kita kenal.

Perilaku penguasa itu aneh dan unik. Ketika pertama kali ia ingin menggapai
kekuasaan, dirinya akan tampil sebagai penampung aspirasi rakyat. Ia
berbicara tentang kepeduliannya terhadap wong cilik. Ia membuka diri untuk
menerima input yang berupa ide-ide dari constituent-nya. Tetapi ternyata
"bulan madu" antara calon penguasa dan pemberi suara itu pun tidak
berlangsung lama, karena secepat kilat sang penguasa mulai memutar haluan
"kapal kekuasaannya". Kritik pun mulai ditampik dan dirinya dibentengi oleh
puluhan bodyguard yang berotot kekar tetapi stupid. Bahkan tidak jarang
para penguasa – karena dikritik – berusaha untuk membungkam dan memberangus
media massa.

Untuk melawan pemegang kekuasaan, Seno Gumira Ajidarma dalam Ketika
Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara, menulis bahwa menutupi kebenaran
adalah perbuatan yang paling bodoh yang bisa dilakukan oleh manusia di muka
bumi ini. "Lawanlah itu!" Voltaire (1694 – 1778) misalnya ikut andil dalam
merekayasa terjadinya Revolusi Prancis (1789) dan dia pun ikut meringkuk di
penjara Bastile yang terkenal itu. Sebuah tulisan atau kumpulan tulisan
berseri mampu mengoyak kaki kekuasaan hingga terpelanting sembab. Buku
adalah musuh bebuyutan dari orang-orang berkepribadian kurang jujur.
Pramoedya Ananta Toer, penulis novel tetralogi yang tersohor itu pernah
berkata, "Janganlah pernah membungkam sebuah tulisan." Pada zaman abad-abad
gelap di Eropa, penguasa (Gereja) berusaha untuk melarang terbitnya
buku-buku, bahkan buku-buku tersebut dibakar. Daftar tulisan-tulisan
tersebut dinamakan Tridentine Index. Tetapi kita harus sadar bahwa ide dan
gagasan yang tertulis dalam buku itu bagaikan "anak" revolusi, demontrasi
dan protes. Pepatah Latin yang berbunyi, "verba volent, scripta manent"
artinya kata-kata itu akan terbang, sedangkan yang tertulis itu akan
menetap. Gagasan-gagasan dalam bentuk tulisan itu "tinggal tetap" dan hanya
menunggu "bom waktu" saja.

Memang, tidak semua orang tergila-gila dengan kekuasaan. Banyak orang
"sehat" di dunia ini, sekalipun masyarakat sudah "sakit". Mengutip tulisan
Priyono Sumbogo dalam Forum Keadilan (26 Juni 2011) terbersit suatu
harapan bahwa kita pernah memiliki teladan publik bangsa. Tulisnya, "Dulu
kita memiliki tokoh-tokoh sipil seperti Buya Hamka, Nurcholis Madjid dan
Romo Mangunwijaya. Mereka tidak memiliki kekuasaan politik, tidak memiliki
massa yang terorganisasi, juga tidak punya cukup untuk membeli gengsi.
Mereka hanya memiliki kata-kata yang secara umum mulia, walaupun mereka
tetap tidak luput dari kesalahan. Kata-kata mereka didengar oleh banyak
orang, meskipun barangkali tidak dijalankan. Dalam bersyiar, Buya Hamka
tidak meledak-ledak, tidak menyakiti siapa pun, juga tidak tunduk pada
kekuatan politik apa pun. Nurcholis dipanuti oleh semua penganut agama,
karena selalu mengingatkan bahwa "Tuhan bagi siapa saja". Nurcholis juga
disukai semua golongan, karena semua partai, semua suku dan semua kelompok
dapat menjadi berkah bagi semua negara. Romo Mangun menjauhi hingar bingar.
Ia menyepi di tepian Kali Code, Yogyakarta untuk mendidik anak-anak yang
tidak diperhatikan oleh negara. Tetapi para wartawan seringkali datang
menemuinya, kemudian menyebarkan pikiran-pikiran Romo Mangun yang jernih dan
menyejukkan."

Sidharta Budda Gautama (563 – 483 BC) adalah pangeran yang semula menikmati
harta kekayaan sang ayah. Setelah ia melihat sendiri bahwa nasib manusia itu
ditandai oleh kelahiran, kesengsaraan, penyakit dan mati, ia segera
melepaskan dirinya dari jejaring kekuasaan itu dan hidup sebagai petapa
miskin. Yesus adalah putra Allah yang turun ke dunia dan mengambil rupa
seorang hamba dan menjadi sama dengan manusia (Flp. 2:8). Ajaran Yesus
tentang kekuasaan amat paradoksal dan tidak masuk akal bagi kekuasaan zaman
sekarang. Barangsiapa terbesar di antara kamu, hendaklah ia menjadi
pelayanmu (Mat. 23: 11). Sebutan Minister yang kalau di Indonesia adalah
mentri itu sebenarnya berarti pelayan (to minister, artinya melayani,
meladeni).

Kekuasaan itu nikmat, sehingga dikejar oleh semua orang, entah yang
berpangkat tinggi, maupun yang rajin berdoa. Karena nikmatnya itu, maka
perlu dibatasi. Mother Theresa dari Calcuta (1910 – 1997), pernah berkata,
"Berhentilah makan sebelum kenyang." Kekuasaan juga demikian, jika orang
terlalu lama menjabatnya, rakyat pun akan mengalami kejenuhan dan kurang
penyegaran (pemikiran dan ide baru). Seorang penguasa yang berhenti sebelum
masa jabatannya berakhir dan pada puncak jayanya, dirinya akan tetap
dicintai dan dikenang oleh rakyatnya. Dalam permenungan ini, saya jadi ingat
ketika saya menjadi pastor di paroki kecil. Tetapi seringkali saya merasa
bahwa "berkuasa" sendirian itu nikmat, sebab tidak ada orang yang
mengontrol. Apa yang saya katakan dianggap benar oleh umatku. Bahkan, ketika
harus pindah dari tempat tugas, rasa-rasanya berat. Sekali lagi, kekuasaan
itu nikmat. Tidak lama kemudian saya dinasihati oleh sahabatku, "Untuk
memegang kekuasaan, obatilah terlebih dahulu luka psikologis itu dengan
pencerahan budi dan pendewasaan diri. Kalau sudah begitu, maka kekuasaan itu
bukan lagi soal nikmat, melainkan itu sungguh suatu hikmat."

Kantor "Percikan Hati", 30 Juni 2011
Biara Hati Kudus,
Skolastikat MSC - Pineleng
Jl. Manado – Tomohon KM. 10
Pineleng II, Jaga VI
Minahasa – MANADO – Sulawesi Utara – 95361

Markus Marlon MSC