Rabu, 28 September 2011

MAHKOTA

MAHKOTA
(Sebuah Percikan Permenungan)

Kata Inggris, "no pain, no gain" dan "no cross no crown" memiliki makna yang
mendalam bagi kehidupan kita. Untuk mendapatkan kesuksesan memang orang
tidak boleh berpangku tangan, melainkan harus bekerja dan berjuang bahkan
harus disertai dengan penderitaan. Di Yunani kuno, istilah untuk
pertandingan adalah agoon. Dan untuk memenangkan sebuah pertandingan perlu
latihan dan kerja berat. Dari situlah maka muncul kata agony yang dalam
bahasa Inggris berarti penderitaan. Dengan demikian, peribahasa yang
berbunyi, "berakit-rakit dulu, berenang ke tepian" mendapatkan artinya di
sana. William Shakespeare ( 1564 – 1616) dalam Julius Caesar
menerangkan makna mahkota. Ketika Julius Caesar (100 – 44 SM) dinobatkan
menjadi kaisar seumur hidup, dia melemparkan mahkotanya kepada rakyat.
Markus Antonius (82 – 30 SM), orang kepercayaannya menjunjung tinggi di
depan Julius Caesar yang sudah menjadi mayat itu dengan pidatonya yang
masyur. Katanya, "Kalian semua melihat bagaimana aku di Lupercal sampai tiga
kali menawarkan mahkota kepadanya dan tiga kali pula ia tolak. Apa ini gila
kekuasaan?" Rupanya Julius Caesar hendak membuktikan bahwa kekaisaran Roma
yang saat itu maju itu dibutuhkan kerja keras.

Tetapi banyak kejadian dan peristiwa yang ingin mendapatkan mahkota tanpa
penderitaan akan berakhir dengan penderitaan. Drama tragedi karangan –
sekali lagi – William Shakespeare yang berjudul, "Machbath" melukiskan
bagaimana si Machbath atas bujukan istrinya, membunuh Sang Raja, hanya
karena menginginkan mahkota dan supaya cepat dilantik menjadi raja. Tetapi
selama hidupnya, Machbath dihantui dengan pembunuhan keji yang telah dia
lakukan. Memang yang namanya perebutan mahkota itu selalu saja menghasilkan
suatu korban.
Sede vacante, tahta lowong, bagi suatu kerajaan memang merupakan
malapetaka. Ketika Rama dan Sinta dalam Anak Bajang Menggiring Angin tulisan
Sindhunata, diusir oleh Dewi Kaikeyi, maka terjadilah tahta lowong, putra
mahkota yang menjadi idaman seluruh rakyat Ayodya harus mengembara di hutan
Dandaka selama 14 tahun. Maka terciptalah puisi indah, "Tanpa raja, sebuah
negara pasti musnah/ Tanpa raja, panenan tak akan dituai/tanpa raja anak
akan melawan orang tua/ tanpa raja, kejahatan akan merajalela//" Dalam hal
ini, maka kedudukan seorang pemimpin sangat mutlak.

Tapi yang namanya manusia itu dalam mencapai kemuliaan tidak jarang
menggunakan mental instant (sekali jadi). Dalam dunia perpolitikan kita
kenal money politic atau "politisi busuk". Dalam dunia bisnis ada ungkapan
uang pelicin dan nepotisme ketika hendak mencari pekerjaan. Dunia
pendidikan sempat dihebohkan karena adanya kebiasaan "menyontek" atau
plagiat skripsi maupun tesis. Dalam mencari kedudukan, seseorang tidak mau
menempuh jalan yang panjang dan berliku-liku, seperti yang pernah
dinyanyikan oleh Iwan Fals dengan judul, "Jalan Panjang yang berliku."
Liriknya: Jalan panjang yang berliku / jalan lusuh dan berbatu / Namun
kuharus mampu menempuh / bersama beban di batinku //. Saya sendiri
meyakini bahwa apa yang kita dapatkan dengan mudah hasilnyapun tidak akan
memuaskan. Maka dalam membangun hidup berkeluarga pun ada masa untuk pacaran
yakni masa saling mengenal dan menjajagi satu dengan yang lain. Kalau satu
hari kenalan dan langsung mau dihadapkan pada Sang Penghulu untuk
dinikahkan, tentu saja akan mengalami kesulitan di kemudian hari. Seorang
mahasiswa yang hanya belajar satu malam saja menjelang ujian tentu saja
berbeda dengan seorang mahasiswa yang dengan setia belajar dari hari ke hari
untuk menghadapi ujian. Dalam arti ini, persiapan batin sangat diperlukan
untuk menghadapi dunia yang penuh dengan pergolakan. Bukankah untuk
mendapatkan mahkota, seseorang harus bersih hatinya supaya tidak tercemar
dengan pengaruh-pengaruh yang tidak baik.

Untuk mencapai mahkota kemuliaan, seseorang perlu berproses yakni
mengundurkan diri dan mengolah batinnya. Markus Marlon dalam Suara
Pembaharuan menulis, " Ketika Musa mendapatkan tugas dari Allah, maka Musa
sengaja menyendiri, retreat di padang gurun (Kel 2: 15 – 20). Tatkala Paulus
mendapatkan penampakan Yesus di Damaskus, maka Paulus pergi ke tanah Arab
untuk menyepi, retreat (Gal 1: 17). Sewaktu Yesus hendak memulai karya-Nya,
Ia menyendiri, retreat di padang gurun selama 40 hari lamanya (Mrk 1: 12).
Karen Armstrong dalam Muhammad sang Nabi menulis bahwa Muhammad tinggal di
gunung Hira' di lembah Mekkah untuk melakukan semacam retreat (menyepi).
Ini merupakan kebiasaan umum di jazirah Arab pada saat itu. Muhammad mengisi
waktu sebulan itu – pada bulan Ramadhan – dengan ibadah dan memberi sedekah
kepada kaum miskin" (SP 30 Juli 2011). Ternyata untuk mendapatkan sesuatu
yang berharga kita perlu mengundurkan diri untuk menimba kekuatan dari dalam
diri, karena buah-buah karya yang baik itu tidak datang dari langit.
Olimpiade pertama (776 SM) yang diselenggarakan untuk menghormati para
pahlawan itu, para pemenangnya diberi mahkota daun salam yang disebut dengan
laurel. Seorang olahragawan hanya dapat memperoleh mahkota sebagai juara,
apabila ia bertanding menurut peraturan-peraturan olahraga (2 Tim 2: 5). Ini
berarti usahanya selama berlatih itu tidak sia-sia. Memang, segala sesuatu
yang kita kerjakan itu tentu akan menghasilkan buah. Dan untuk menghasilkan
sesuatu yang optimal itu perlu waktu. Seperti ungkapan dalam bahasa Inggris
menyebutkan, "Rome was not built in one day" yang artinya, kota Roma tidak
selesai dibangun dalam satu hari.

Skolastikat MSC, 29 Agustus 2011
Biara Hati Kudus – Pineleng
Jl. Manado – Tomohon KM. 10
MANADO – Sulawesi Utara – 95361

Markus Marlon MSC

Selasa, 27 September 2011

RELASI

RELASI
(Sebuah Percikan Permenungan)

Di negeri antah berantah, hiduplah seorang permaisuri yang memiliki puri
yang indah dan dibangun di bukit tengah kota. Sang permaisuri begitu
mencintai puri itu, sehingga dibuat tidak memiliki jendela. Ia tidak rela
kalau perabot puri itu diketahui dan dilihat oleh orang lain. Di kamarnya
yang dikelilingi dengan cermin-cermin itu, sang permaisuri memanjakan
dirinya dengan bersolek. Karena kegemarannya bersolek itulah sang raja
marah. Dibongkarnya cermin-cermin itu dan dibuatlah lobang. Dengan adanya
lobang tersebut, ia menyadari bahwa di seberang puri tersebut banyak orang
menderita yang perlu untuk dikunjungi dan dibantu. Sejak saat itulah, sang
permaisuri menyuruh membuat jendela-jendela di purinya dan membuat jembatan
untuk menghubungkan antara puri kerajaan dan rakyatnya. Jembatan yang
terhampar, jendela dan pintu yang terbuka hendak melukiskan bahwa dirinya
mau berelasi dengan orang lain.

Gereja pun menyadari akan perlunya berelasi. Paus Yohanes XXIII (1881 –
1963) yang sebelumnya bernama Kardinal Roncalli, merasa bahwa Gereja harus
membuka pintu perubahan lebar-lebar. Ia menekankan kebutuhan gereja akan
"aggiornamento" artinya disesuaikan mengikuti zaman. Gereja harus mengejar
ketinggalannya dengan dunia modern. Walaupun dogma tidak berubah,
pengungkapannya dapat dan harus berubah. Orang Protestan harus dilihat
sebagai "saudara-saudara yang terpisah" bukan sebagai penyesat yang jahat.
Kini di setiap keuskupan bahkan paroki ada seksi HAK (Hubungan Antar
Keagamaan) yang hendak membangun relasi yang baik dengan agama-agama lain.
Setiap kali ada kerusuhan yang menyangkut SARA, para tokoh umat beragama
berkumpul dan membahas isu tersebut. Syukur kepada Allah bahwa suasana yang
sempat panas itu pun akhirnya menjadi kondusif. Dialog, kumunikasi,
musyawarah, kesepakatan dan perundingan adalah cara yang efektif untuk
meredam relasi yang memanas. Paus Yohanes Paulus II (1920 – 2005) adalah
seorang Paus yang suka melanglang buana untuk membangun relasi dengan
negara-negara lain dan agama serta aliran kepercayaan lain. Kata Pontifex
Maximus, menurut interpretasi saya mengandung arti: pont = jembatan dan
facere = membuat). Tugas salah satu Paus adalah membuat jembatan / membangun
relasi. Maka tidak mengherankan jika pada tahun 1987 dan sesudahnya Yohanes
Paulus II bertemu di Asisi dengan pimpinan banyak agama sedunia untuk
mendoakan damai bagi seluruh dunia. Belum lama ini, Paus Benediktus XVI
menemui tokoh-tokoh agama di biara, tempat Martin Luther dulu belajar di
Erfurt dan dihadiri 20 pemimpin dalam Kompas, 24 September 2011. Untuk
hidup berdamai dengan sesama perlulah berelasi dengan baik.

Orang yang ingin membangun relasi dengan orang lain memiliki niat – dalam
hatinya – untuk berdamai. Relasi dari tingkat pribadi sampai ke
negara-negara sudah menjadi kebutuhan. Di sinilah setiap negara memiliki
duta. Duta adalah utusan yang membawa kedamaian bagi negara yang dikunjungi.
Sindhunata dalam Anak Bajang Menggiring Angin, dengan amat bagus memberikan
ilustrasi tentang Hanoman, duta Rama. Tanggung jawabnya begitu berat sebagai
duta karena harus menghadapi pelbagai tantangan. Baik dari pihak dalam
(para kera pengikut Rama) maupun dari pihak luar (para ksatria pembela
Rahwana). Meskipun berat tugas yang diembannya, Hanoman, putra Anjani ini
tetap melaksanakannya dengan sepenuh hati. Prof Kong Yuanzhi dalam Cheng
Ho Muslim Tionghoa, menceriterakan seorang duta perdamaian yang luar biasa.
Cheng Ho berhasil dalam membangun relasi dengan negara-negara tetangga dan
dari relasinya yang baik dengan negara-negara yang dikunjungi itu,
terjalinlah pertukaran: budaya dan hasil bumi. Tidak sedikit hambatan yang
yang dihadapi oleh Cheng Ho. Bahkan tantangan dari dalam (kerabat sendiri)
tidak kalah dahsyatnya. Ia berprinsip, "Orang sering melempar batu di jalan
kita. Tergantung kita mau membuat batu itu jadi tembok atau jembatan."
Kritikan-kritikan dari orang lain dibangunnya sebuah "jembatan" sehingga
bisa dipakai untuk menjalin relasi dengan orang-orang yang tadinya
mengkritiknya. Itulah yang sering kita sebut sebagai kritik yang membangun.
Sekolah Komik Pipilaka dalam Laksamana Cheng Ho menulis bahwa relasi
dengan negara-negara lain itu tidak bertahan lama, sebab ketika Cheng Ho
mangkat, buku-buku yang ditulis selama pelayaran dibakar musnah oleh
orang-orang yang kontra dengannya.

Membangun relasi memang tidak mudah. Ibarat rumah yang sudah dibangun
dengan baik, dapat dengan mudah dirobohkan. Pepatah China berbunyi, "Satu
musuh kebanyakan dan seribu teman masih kurang" mengajak kita untuk
bermenung bahwa yang namanya membangun relasi itu memang tidak mudah.
Terkadang kita merasa bahwa relasi yang kita miliki itu sudah solid. Maka
dengan modal itu, orang bisa membuat kesepakatan yang gegabah. Ada dua ibu
yang merasa sudah akrab satu dengan yang lain. Karena keakrabannya itu,
mereka berdua sepakat untuk bekerja sama membangun usaha. Pada awalnya,
mereka saling percaya, tetapi dalam perjalanan waktu, usaha itu semakin
besar dan dari sana mulai ada saling curiga. Pecunia not olet yang artinya
siapa pun suka pada uang. Tidak lama kemudian, relasi yang dibangun dengan
niat yang baik, akhirnya layu sebelum berkembang.

Relasi yang sudah dibangun dengan baik pun kadang bisa juga dirobohkan
oleh kekuatan roh jahat. Di dunia ini tidak semua orang akan sependapat
dengan gagasan yang kita lontarkan. Niat ini muncul sebab dalam dirinya ada
rasa iri, dengki dan kecewa. Elizabeth M. Ince dalam Thomas More dari
London, melihat adanya relasi yang indah antara Raja Henry VIII (1491 -
1547) dan Thomas More (1478 - 1535). Sang raja bahkan sering beranjang sana
di rumahnya. Namun kekecewaan sang raja itu muncul setelah mengetahui bahwa
Thomas More tidak mendukung pernikahannya dengan Anne Boyle. Thomas More
setia dengan Paus. Akhir dari relasi itu adalah pemenggalan lehernya. Dalam
Kitab suci, Saul awalnya begitu menyayangi Daud, bahkan sudah dianggap
seperti anaknya sendiri. Tetapi ketika Saul mendengar sendiri, rakyat
memuji Daud, maka relasi mereka berdua menjadi terganggu dan ada niat
terselubung bahkan terang-terangan mermaksud membunuh Daud (1 Sam 21: 1 –
26: 25). Tetapi dalam diri Daud tidak ada dendam dan benci kepada Saul.
Daud semakin dikuatkan karena memiliki relasi yang baik dengan putra Saul,
yakni Yonatan (Sam 18: 1 – 20: 42)

Ada juga relasi yang dari luar nampaknya kuat, tetapi fundamennya rapuh.
Ini berlaku dalam relasi antara atasan dan bawahan. Seorang pemimpin adalah
orang yang "kesepian". Ketika waktu senggang tiba, ia menginginkan
sanjungan, pujian dan pengakuan dari bawahannya. Inilah kesempatan yang
ditunggu-tunggu oleh para penjilat. Secara berlebihan mereka memuji
pemimpinnya. Apa yang dikatakan oleh pemimpin itu selalu benar. Muncullah
badut-badut baru yang membuat gelak tawa. Tertawa kemunafikan. Kisah ini
bisa diperdalam ketika membaca dongeng "Pakaian Baru Kaisar" tulisan Hans
Christian Andersen (1805 – 1875), penulis dongeng Swedia. Relasi karena
jilat-menjilat tidak akan berlangsung lama. Ketika pemimpin mendapat SK
pemberhentian, mereka pun akan mundur teratur dan pada gilirannya akan
menjilat pemimpin yang baru. Relasi yang rapuh.

Inti dari relasi adalah komunikasi. Perseteruan, perkelahian, bahkan perang
itu terjadi karena tidak adanya komunikasi yang baik. Sang duta
dipermalukan, seperti yang terjadi dalam kisah, "Kubilai Khan" dan "Arya
Penangsang". Perundingan gagal total, sepertinya yang terjadi dalam kisah
Mahabaratha dengan lakon, "Kresna Duta". Di pihak lain, komunikasi yang
baik akan menumbuhkan sikap perdamaian. Setiap pagi, sebelum mengawali
tugasnya, Yesus senantiasa berkomunikasi dengan Bapa-Nya. Ia pergi ke
tempat sunyi dan berdoa (Mrk 1: 35). Semalam-malaman Ia berdoa kepada Allah
(Luk 6: 12). Yesus senantiasa berelasi dengan diri-Nya sendiri,
lingkungan-Nya , sesama-Nya dan Bapa-Nya.

Skolastikat MSC, 26 September 2011
Biara Hati Kudus – Pineleng
Jl. Manado – Tomohon KM. 10
MANADO – Sulawesi Utara – 95361

Markus Marlon MSC

Rabu, 21 September 2011

GIGIH

GIGIH
(Sebuah Percikan Permenungan)

Jansen Sinamo dalam Kafe Etos menulis, "Nama Jenghis Khan (1162 – 1227)
mungkin tidak terlalu asing bagi kita. Sudah banyak buku yang ditulis
untuknya dan sudah banyak film yang dirilis baginya. Sepenggal kisah –
mungkin lebih tepat disebut sebagai hikayat – yang mengisahkan tentang
pengalaman sewaktu dikejar-kejar, dia bersembunyi di dalam gua. Di sana ia
melihat sebuah pemandangan yang menakjubkan. Segerombolan semut yang sedang
berusaha mengangkat sebongkah makanan melewati sebuah dinding batu setinggi
kepalan tangannya, yang di mata semut-semut itu adalah tebing yang amat
curam. Berulang kali ketika mereka hampir sampai di puncak, makanan itu
jatuh, sehingga mereka harus turun kembali ke dasar untuk beramai–ramai
mengangkatnya. Mengamati perjuangan semut-semut yang tidak pernah putus asa
itu merupakan keasyikan tersendiri bagi Temujin. Iseng-iseng ia pun mulai
menghitung, berapa kali mereka jatuh bangun mengangkat makanan tersebut.
Satu kali, dua kali, tiga kali, empat kali, sepuluh kali, lima belas kali,
dua puluh kali, sampai lebih daripada lima puluh kali, hingga hitungan yang
kesekian, semut-semut itu pun berhasil. Pengalaman di dalam gua inilah yang
menjadi strating point bagi Jenghis Khan untuk menata hidupnya di kemudian
hari."

Gigih adalah suatu sikap seseorang untuk maju terus meskipun banyak
tantangan yang dihadapi. Anak-anak Sparta dalam Spartan memberikan
pengajaran kepada kita bahwa sejak awal, kehidupan manusia adalah berjuang.
Seneca (4 SM – 65) berkata, "Vivere militare" yang berarti hidup itu adalah
berjuang. Nyoman S. Pendit dalam Mahabaratha, hidup di dunia ini adalah
suatu perjuangan untuk mukti (mendapatkan kekuasaan, hidup mulia dan
sejahtera) atau mati. Ini terjadi dalam lakon pewayangan berjudul,
"Doryudana Gugur". Sang Putra Mahkota Astina itu bertanding melawan Bima.
Ketika hendak gugur, dari bibirnya sempat keluar kata-kata, "Hidup ini yah,
jika tidak mukti yah mati!" Kegigihan dari para prajurit Sparta dan Bima
adalah untuk mendapatkan martabat yang tinggi.
Memang untuk mendapatkan kehidupan yang sejahtera-aman-tentram-damai-mulia
itu tidak serta merta didapatkan begitu saja, seperti membalikkan tangan.
Kisah-kisah penuh penderitaan dalam dongeng maupun biografi, hendak
menunjukkan kepada kita bahwa untuk mendapatkan mahkota kemuliaan, orang
tidak bisa menghindari duri, no thorn no crown. Untuk mendapatkan pencapaian
yang prima, harus dilalui dengan penderitaan, no pain no gain. Lebih dari
semua itu dibutuhkan suatu semangat dan kegigihan yang tinggi. Charles
Perrault (1628 – 1703), sastrawan Perancis dan penulis dongeng Cinderella,
mengisahkan tentang seorang gadis miskin yang tidak memiliki apa-apa.
Meskipun tidak ada dukungan dari saudari-saudari dan ibu tirinya, dia tetap
mengerjakan tugas-tugas hariannya yang super berat itu dengan setia.
Cinderella tidak mau menyerah dengan situasi dan kondisi yang ada.
Kebanyakan orang akan berhenti berjuang ketika menyaksikan bahwa apa yang
dikerjakan itu terlalu berat dan sia-sia. Orang juga menjadi tidak
bersemangat kalau dirinya bekerja sendiri, padahal orang-orang di sekitar
tidak mengerjakan apa-apa. Ini semua dialami oleh Cinderella.

Kegigihan bisa luntur ketika yang hendak dicapai sungguh-sungguh di luar
kemampuannya. Aesop (± 6 SM) dalam Aesop's Fables, menceriterakan seekor
rubah yang hendak memetik buah anggur. Rubah itu pun berjuang dengan
gigihnya supaya mendapatkan anggur-anggur itu. Tetapi berhubung tidak bisa
mendapatkan anggur-anggur tersebut, sang rubah itu pun berkata,
"Paling-paling anggur-anggur itu adalah anggur yang asam!"

Dalam Kitab Suci, kita mengenal kegigihan Paulus dalam mewartakan kabar
gembira. Katanya, "Dalam segala hal kami ditindas, namun tidak terjepit;
kami habis akal, namun tidak putus asa, kami dianiaya, namun tidak
ditinggalkan sendirian, kami dihempaskan, namun tidak binasa" (2 Kor 4: 8 –
9). Rupanya para nabi memang memiliki nasib yang sama. Yeremia yang
mendapatkan panggilan Tuhan untuk menyuarakan kebenaran kepada umat Israel
yang mulai meninggalkan Tuhan dan menyembah illah-illah lain. Para penguasa
memusuhi dan nyaris membunuhnya (Yer 11: 21). Yeremia juga dimasukkan ke
dalam sumur, yang tentu akan mati kelaparan (Yer 38: 5 – 13). Orang-orang
yang mendapat panggilan Tuhan untuk mewartakan kebenaran, banyak tantangan
yang harus dihadapi. Para nabi itu mati di Yerusalem. "Yerusalem, Yerusalem,
engkau yang membunuh nabi-nabi dan melempari dengan batu orang-orang yang
diutus kepadamu!" (Luk 13: 34). Dunia memang sungguh adil. Ketika banyak
orang ditindas dan ketika para penguasa bertindak sewenang-wenang, muncullah
"pahlawan" yang dengan tulus ikhlas ingin menjadi pembebas. Spartacus,
gladiator dari Thrace yang di Capua pada tahun 73 – 71 SM memulai
mengadakan penyerangan kepada Roma yang menindasnya. Judah Ben Hur dalam
film Ben Hur memperlihatkan kepada kita bahwa kebebasan adalah hak azasi
manusia. Judah berjuang dengan gigih di bawah tekanan Roma, teristimewa
Messala. Selama 4 tahun, Judah hidup sebagai budak dan hidup dalam
pengasingan. Namun tekadnya yang gigih itulah yang membuat Judah bertahan.
Laura Ingalls Wilder (1867 – 1957) dalam Rumah Kecil di Padang rumput
mengisahkan tentang kegigihan keluarga. Perjuangan keluarga ini tidak pernah
berhenti. Perindahan dari desa satu ke desa yang lain, musibah dalam
keluarga, berhadapan dengan suku Indian merupakan tantangan yang senantiasa
dihadapi. Tetapi kegigihan tersebut memberikan hasil yang luar biasa. Pa,
Ma, Mary dan Laura serta Caroline menjadi keluarga yang kuat dalam
menghadapi pelbagai masalah .

Untuk menutup permenungan ini, Aesop – sekali lagi – memberikan kisah
tentang kegigihan. Dongeng yang berjudul," Elang dan Kumbang." Mengisahkan
tentang elang yang sewenang-wenang berlaku kasar terhadap kelinci. Kumbang
sudah memperingatkan elang untuk bertoleransi terhadap kelinci itu, tetapi
elang tidak mau mendengarkan dan membunuhnya. Maka, kumbang mati-matian
mengobrak-abrik sarang elang setiap kali bertelur, hingga elang itu melapor
kepada Jupiter. Meskipun demikian, kumbang tetap gigih untuk
"membalasdendamkan" si kelinci yang sudah dibunuhnya. (The Turtle becomes a
CEO, tulisan David Noonan). Kegigihan kumbang itu perlu untuk kita
teladani.

Skolastikat MSC, 12 September 2011
Biara Hati Kudus – Pineleng
Jl. Manado – Tomohon KM. 10
MANADO – Sulawesi Utara – 95361

Markus Marlon MSC

Selasa, 13 September 2011

PUTUS ASA

PUTUS ASA
(Sebuah Percikan Permenungan)

Penyakit merupakan bencana yang menakutkan dan ditakuti dari generasi ke
generasi. Orang-orang Eropa tentu masih ingat bencana nasional yang
menghantui mereka dengan black death-nya. Penyakit sampar itu terjadi pada
pertengahan abad ke-14. Bencana itu dibawa dari Timur Tengah oleh
tikus-tikus yang dibawa oleh para saudagar. Dan itu menyebar sampai ke
Itali, Spanyol, Perancis pada tahun 1347, Inggris (1348), Jerman (1349) dan
akhirnya Rusia (1350). Kisah ini bisa kita baca dalam 100 Peristiwa yang
Membentuk Sejarah Dunia tulisan Bill Yenne dan Eddy Soetrisno.

Pemandangan penyakit yang mematikan itu membuat orang kehilangan harapan. Di
zaman sekarang pun kita tidak bisa menutup mata dengan adanya penyakit yang
dinamakan AIDS/HIV. Kalau kita ikut nimbrung dalam percakapan sehari-hari,
kata-kata seperti kolesterol, trigliserit dan asam urat serta diabetes sudah
menjadi ungkapan yang akrab dengan hidup kita. Orang-orang gamang
menghadapi pelbagai penyakit tersebut. Kalau seseorang tertimpa penyakit
dan tidak sembuh-sembuh biasanya ada rasa putus asa yang mendalam dan lebih
gawat lagi jika menyalahkan Tuhan. Penyakit memang momok yang sangat
menakutkan di jaman modern ini.
Dalam dunia politik yang melibatkan peperangan, jika negara atau kerajaannya
kalah, sang jendral tidak mau tunduk kepada conqueror, maka jalan
keputusasaannya adalah bunuh diri. Kita bisa membacanya dalam Three Kingdoms
tulisan Kim Woo Il atau dalam The Life of Hitler yang mengisahkan Adolf
Hitler dan kekasihnya, Eva von Braun yang bunuh diri setelah Jerman kalah.
Keduanya menelan racun maut yang menghantarkan mereka ke alam baka di
bunker yang mereka buat sendiri.

Ada pepatah yang berbunyi, "kegagalan adalah sukses yang tertunda." Tetapi
tidak semua orang setuju dengan ungkapan tersebut. Kita lihat saja, di
Jepang dikabarkan memiliki tingkatan bunuh diri tertinggi, karena gagal
dalam study misalnya, seorang siswa bisa terjun bebas dari hotel lantai 10.
Keputusasaan juga melanda di dalam hidup harian manusia pada zaman sekarang
ini. Kelangkaan BBM – yang jika harganya naik – tentu akan membuat harga
barang-barang semakin melambung. Orang-orang miskin marah dan melampiaskan
dengan demontrasi. Tetapi nampaknya sia-sia belaka. Banyak orang menjadi
putus asa, ke mana harus mengadu jika diri mereka terimpit dalam masalah
ekonomi dan keamanan. Orang menjadi tidak bersemangat jika harus berurusan
dengan pemerintah. Ibaratnya, jika kehilangan ayam dan melaporkan kepada
yang berwajib malah akan kehilangan kambing. Sungguh tragis ibu pertiwi yang
menjadi pijakan kaki ini. Himpitan hidup semakin ketat, hanya karena uang
puluhan ribu rupiah saja, orang bisa baku bunuh.
Putus asa sungguh memasuki area yang begitu kompleks dan melebar. Orang
putus asa, bukan hanya masalah ekonomi, resistensi terhadap hidup yang
sudah di ambang batas, tetapi juga masalah percintaan. Kisah-kisah
percintaan dalam pelbagai budaya hendak menunjukkan bahwa pikiran yang buntu
bisa memaksa seseorang untuk mengakhiri hidupnya. Drama Romeo-Juliet
tulisan Shakespeare (1564 - 1616) merupakan kisah keputusasaan, setelah dua
sejoli itu tidak menemukan way out bagi kisah cinta mereka. Di Cina ada Sam
Pek dan Eng Tay dan di Indonesia khususnya Jawa Tengah ada Pronocitra dan
Roro Mendut. Mereka meyakini bahwa hidup mereka akan di alam ke-langgeng-an
setelah mati bersama dan percintaan mereka menjadi abadi.

Yang lebih tragis dan paling klimaksnya adalah keputusasaan karena merasa
hidupnya tidak berarti, meaningless. Dia merasa bahwa eksistensinya di
dunia ini tidak memiliki makna apa-apa, maka way out-nya adalah mengakhiri
hidupnya sendiri yakni bunuh diri, suicide.

Putus asa kadang melekat dengan kehidupan kita dan kita terlibat di
dalamnya. Secara tidak sengaja, saya membuka tulisan tentang putus asa dalam
Ensiklopedi Gereja. Adolf Heuken dalam Ensiklopedi Gereja menulis "Putus
asa merupakan kejahatan besar terhadap Bapa Yang Maharahim. Pengalaman
menunjukkan bahwa kecenderungan seseorang untuk putus asa dapat membahayakan
kesehatan jasmani dan mental dan tidak jarang menyebabkan seseorang
menjermuskan diri ke aneka kejahatan. Cukup banyak orang beriman merasa
tidak dikasihi Allah, karena kurang beruntung dibandingkan orang lain. Maka,
mereka menjauhi Allah. Sikap seperti ini berbahaya untuk iman."


Skolastikat MSC, 18 Juli 2011

Biara Hati Kudus - Pineleng
Jl. Manado – Tomohon KM. 10
Pineleng II, Jaga VI
Minahasa – MANADO – Sulawesi Utara – 95361

Markus Marlon MSC

Sabtu, 10 September 2011

Bosan

BOSAN

Di antara kita mungkin pernah mengalami bosan. Bahkan bosan untuk berbuat
baik, sebab orang kita baiki ternyata tidak merasa dibaiki. Ada orang yang
mengeluh demikian, "Saya seperti berada dalam sebuah liang. Siang saya
mengerjakan pekerjaan yang sama setiap hari. Pergi ke kantor, pulang ke
rumah. Makan, nonton TV, tidur. Saya ingin mengadakan perubahan, tetapi saya
tidak mampu."

Jika tidak diselesaikan dengan benar, kebosanan bisa menyebabkan penyakit
kejiwaan. Tandanya ialah: hilangnya pengharapan, depresi dan pesimis. Tetapi
sebagai orang beriman, kita harus menyertakan Kristus dalam hidup ini. St.
Paulus berkata, "Dan segala sesuatu yang kamu lakukan dengan perkataan dan
perbuatan, lakukanlah semuanya itu dalam nama Tuhan" (Kol 3:1). Demi nama
Tuhan, saya bekerja. Jika kita berpikir bahwa apa yang kita kerjakan itu
semua untuk Tuhan, maka pekerjaan kita akan memberi sebuah pandangan baru
pada pekerjaan. Jika kita telah menyadari bahwa kita melakukannya untuk
Tuhan, kita memberikan nilai tambah, nilai plus pada pekerjaan yang sedang
kita lakukan.

Misalnya, ada suami istri yang sementara baku marah. Kemudian dengan
diam-diam, sang suami menyerahkan baju untuk diseterika. Meskipun hati ini
agak marah dan jengkel, tetapi pandanglah dengan kaca mata iman, bahwa yang
sementara diseterika itu adalah jubah Yesus. Maka, sang istri itu akan
menyetrika dengan perasaan lain, dengan pandangan baru.

Skolastikat MSC, 17 Mei 2011
Pineleng - Manado
Sulawesi Utara

Markus Marlon msc

JENUH

JENUH
(Sebuah Percikan Permenungan)

Dalam pergaulan sehari-hari, kita sering mendengar kata-kata seperti, "Aku
jenuh dengan apa yang kukerjakan." Kejenuhan terjadi - kemungkinan - karena
adanya rutinitas yang selalu dihadapi. Mitologi Yunani telah melukiskan
rutinitas itu dalam diri Sisyphus. Tipu daya dan kelicikan serta pembunuhan
adalah reputasi buruk yang dibuat oleh Sisypus. Zeus marah. Ia membunuh sang
penipu itu dan masuk ke dunia bawah (Neraka). Di Neraka pun, ia memperdaya
para penjaga di sana. Akhirnya, ia diijinkan pulang ke dunia orang hidup,
namun hanya untuk sebentar saja. Di dunia orang hidup, ia tetap membuat
ulah, yakni tidak menghormati saran para dewa. Mereka akhirnya mengirim
Sisypus kembali ke Neraka. Ia dihukum untuk mendorong sebuah batu besar naik
ke atas bukit. Setiap kali sampai di puncak, batu itu pun akan menggelinding
lagi ke bawah. Sisypus, si penentang para dewa itu, harus memulai tugasnya
mendorong ke atas lagi dalam waktu yang tak terbatas (Bdk. Edith Hamilton)
Di mata Albert Camus (1931 - 1960), Sisypus adalah simbol bagi manusia yang
berhadapan dengan keseharian yang rutin, yakni absurditas yang harus
ditanggulangi setiap saat. Inilah yang dalam hidup harian kita sebut sebagai
rasa jenuh.

Ada banyak rasa jenuh yang dirasakan oleh manusia. Jenuh dengan pekerjaan,
jenuh dengan acara Televisi, jenuh dengan masakan yang dimakan dan - bisa
jadi - jenuh dengan pasangan hidup. Betapa jenuhnya jika kita setiap hari
menghadapi pekerjaan yang itu-itu saja dan dijalani bertahun-tahun.

Ada sebuah kisah motivasi yang patut untuk kita renungkan. Diceriterakan
ada seorang karyawan dari sebuah perusahaan yang hendak pensiun. Orang ini
amat senang, sebab umurnya sudah mencapai 60 tahun. Meskipun sudah purna
tugas, oleh boss-nya, ia diminta membantu perusahaan selama 2 tahun lagi
dengan dijanjikan jam bertali emas. Tugas utamanya adalah menempel
harga-harga pada sebuah kotak. Ia menyetujuinya. Tetapi ternyata, setiap
hari, dalam menunaikan tugas, dirinya diliputi rasa kejenuhan yang
mendalam. Setiap bangun pagi dan tatkala hendak berangkat kerja, ada rasa
sakit perut dan mual-mual. Kejenuhan yang berlarut-larut dan tidak diatasi
secara serius akan mengakibatkan penyakit kejiwaan. Orang bisa menjadi
apatis terhadap sesuatu yang sedang dihadapi.

Jenuh juga sering dialami oleh para prajurit dan perwira-perwira dalam
berperang. Dalam film yang berjudul, "Three Kingdom" atau kalau kita ingin
membacanya, bisa ditengok dalam buku yang berjudul, "Samkok". Ada episode,
bagaimana jika sepasukan utusan kerajaan hendak menyerang sebuah kerajaan.
Istana-istana di negeri Tiongkok pada zaman itu memiliki tembok yang tinggi
dan dibatasi dengan sungai yang dalam. Tak ayal lagi bahwa pasukan tersebut
tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali menunggu dan menunggu. Teriakan-teriakan
dan ejekan-ejekan yang ditujukan kepada "orang yang menjadi target"
dimaksudkan supaya mereka emosi dan marah dan pada saaatnya mau menanggapi
sepasukan penyerang tersebut. Strategi perang a la Sun Zu tersebut, jika
tidak ditanggapi, maka pasukan tersebut akan merasa jenuh. Untuk
menghilangkan rasa jenuh, biasanya mereka membersihkan peralatan perang,
seperti pedang, tombak, ketopong dan perisai maupun minum tuak. Mengisi
rasa jenuh bisa dilakukan dengan membuang waktu - yang dianggapnya sebagai
waktu sial. Yang pasti adalah bahwa ada dua sikap dalam menghadapi rasa
jenuh. Segi positifnya adalah membersihkan peralatan perang dan segi
negatifnya adalah minum tuak sampai mabuk.

Memang benar bahwa mengatasi rasa jenuh itu tidak semudah membalikkan
tangan, melainkan penuh perjuangan yang tiada henti. Namun sayangnya bahwa
perasaan jenuh itu sering dianggap hal yang biasa dan orang-orang tidak
menyikapinya secara serius. Tidak mengherankan jika kebanyakan dari kita
mengisi rasa jenuh tersebut dengan mencari hiburan yang tidak sehat dan
menikmati kenikmatan sesaat. Kita tidak bisa membunuh waktu yang diberikan
oleh Tuhan kepada kita, tetapi kita harus "bersahabat" dengannya.

Dibutuhkan sikap yang dewasa dan serius untuk mengelola kejenuhan. Sejak
masa muda, kita sudah menyadari gerak-gerik langkah laku kita. Ada orang
yang jika hati lagi "sumpek" pergi ke pantai. Di sana, ia berteriak
keras-keras dan melepaskan apa yang sementara ini menjadi pergumulannya.
Ada lagi orang, jika merasa jenuh berjalan-jalan dengan sahabat-sahabatnya.
Melalui rekreasi, jiwanya menjadi segar (refresh) dan kembali ke rumah
dengan hati senang dan gembira. Dengan rekreasi (Bhs. Latin, artinya
mencipta kembali) seseorang menjadi semangat kembali mengerjakan sesuatu
dengan semangat baru. Ada lagi keluarga-keluarga yang mengetrapkan suatu
jadual tetap bahwa hari Sabtu dan Minggu adalah waktu untuk keluarga dan
oleh karena itu tidak bisa diganggu gugat. Semua tilpon, hand-phone,
blackberry, e-mail di-off-kan. Itu semua merupakan cara-cara yang sehat dan
terpuji dalam mengatasi rasa jenuh.

Biara Hati Kudus, 23 Mei 2011

Skolastikat MSC - Pineleng
Jl. Manado - Tomohon KM. 10
Pineleng II, Dusun VI
MANADO
Sulawesi Utara 95361

Markus Marlon MSC

Jumat, 09 September 2011

MERAYAKAN HUT

MERAYAKAN HUT
(Sebuah Percikan Permenungan)

Kebudayaan Cina menjunjung tinggi umur panjang sebagai ukuran kebahagiaan.
Lambangnya adalah pohon pinus, yaitu sejenis cemara yang tinggi dengan daun
seperti jarum dan tetap hijau (ever-green) sekalipun diselimuti salju. Umur
pohon pinus dapat mencapai empat ratus tahun. Maka, gambar-gambar dinding di
rumah orang Cina kebanyakan pohon pinus. Di Eropa, lambang pohon Natal
adalah cemara, melambangkan umur yang panjang dan selalu segar. Kitab Suci
memandang umur panjang dengan Pohon Zaitun. Taman zaitun yang dahulu
digunakan Yesus istirahat dengan para murid, sekarang pohon-pohonnya masih
tumbuh dan belum mati. Umurnya 2000 tahun.

Merenungi tentang usia, tidak salahlah kalau kita menghubungkan dengan Hari
Ulang Tahun. Di kampung saya – Gunung Kidul, yang namanya Hari Ulang Tahun
itu merupakan "barang langka". Simbah (bhs Jawa: kakek, maaf menggunakan
bahasa ndesa kluthuk) saya barangkali akan heran setengah mati, ketika para
cucunya menyanyikan lagu, "Panjang umurnya, panjang umurnya, panjang umurnya
serta mulia!" Karena simbah saya tidak tahu kapan dilahirkan dan tidak ada
pengarsipan di sana. simbah saya hanya pernah berkata kepada saya bahwa
katanya dia dilahirkan ketika gunung njebluk. (bhs Jawa: gunung meletus).
Dengan demikian, hampir pasti bahwa simbah saya ini tidak memiliki tanggal
lahir yang pasti untuk HUT-nya. Kasihan! Barangkali di antara kita juga ada
yang tidak pernah merayakan HUT. Banyak pengarang buku ragu dengan
silsilah Sukarno. Penulis Jerman, Bernard Dahm dalam Sukarno dan Perjuangan
Kemerdekaan, mengaku bingung dengan tanggal kelahiran Sukarno: 6-6-1901.
Sebab dalam catatan stambuk HBS (Hoogere Burgerschool) Surabaya, ia
menemukan bahwa proklamator itu lahir pada 6-7-1902. Bernard Dahm menduga,
Raden Soekemi (1869 – 1945) – ayah Sukarno – memudakan umur anaknya saat
melamar ke HBS. Bung Karno, tidak memiliki tanggal lahir pasti. Bisa jadi
demi sesuatu maksud tertentu, seseorang mengubah tanggal lahir, misalnya
sebagai persyaratan test masuk suatu lembaga tertentu.

Setiap kali mendapatkan ucapan Hari Ulang Tahun, terbersit dalam diri kita
sebuah makna usia. Hari demi hari waktu kita berlari tanpa henti, bahkan
tanpa kompromi meninggalkan kita. Penyair Roma berkata, "tempus fugit" yang
artinya waktu berlari dengan cepatnya. Penulis Mazmur pun dengan tidak
ragu-ragu menulis, "masa hidup kami tujuh puluh tahun dan jika kuat, delapan
puluh tahun, dan kebanggaannya adalah kesukaran dan penderitaan; sebab
berlalunya buru-buru dan kami melayang lenyap" ( Mzm 90: 10). Adrian
Pristio dalam Jalan Spiritual Sehari-hari, menulis, "Waktu perjalanan
kembali ke Allah itu hanya sekitar 25.000 sampai 30.000 hari atau 70 sampai
80 tahun dan selebihnya merupakan bonus. Merenungkan tulisan-tulisan itu,
betapa singkatnya hidup manusia itu. Dan kita harus menyadari bahwa setiap
kali kita memperingati HUT, kita harus sadar bahwa umur kita berkurang
satu tahun. Perayaan HUT kadang dirayakan dengan ingar-bingar. Dan
anehnya ada beberapa orang – khususnya para wanita – tidak suka jika orang
mengetahui berapa umurnya. Dan betapa senangnya seseorang jika pada hari
HUT-nya mendapat pujian bahwa dirinya awet muda. Pujian tersebut akan
membuat hatinya berbunga-bunga. Tidak salahlah apa yang dikatakan oleh
Jonathan Swift (1667 – 1745) penulis dari Irlandia, "Everyone wants to live
long, but nobody to be old" yang artinya semua orang ingin panjang umur,
tetapi tidak seorang pun mau menjadi tua.

Ralph Waldo Emerson (1803 – 1882) penulis Amerika menulis, "It is not the
length of life, but the depth of life" yang berarti hidup ini bukan
persoalan berapa lama, tetapi berapa dalam. Kata-kata itu memang sungguh
memiliki arti yang mendalam. Kedalaman hidup itu terwujud ketika ketika
hidup kita memberi kontribusi bagi "dunia". Dalam hidup ini pertama-tama
kita tumbuh. Dalam bertumbuh tersebut kita perlu disiram, dipupuk dan
dipelihara. Setelah bertumbuh dengan baik, maka berbunga dan berkembang. Di
sanalah orang menjadi indah, harum dan banyak sahabat. Perkembangan ini
tentu saja merupakan rahmat dari Tuhan, tetapi sekaligus sebagai tugas untuk
semakin mewujudkan cita-cita. Tahap terakhir adalah berbuah (Mat 13: 1 –
9). Buah-buah ini yang dirasakan oleh banyak orang. Bagi orang-orang yang
mengasihi, usia tua adalah musim panen. Benih-benih cinta kasih yang ditanam
dengan sangat saksama pada waktu lalu telah menjadi matang bersama waktu.
Orang yang mengasihi dikelilingi dalam masa senjanya oleh kehadiran
orang-orang lain yang penuh perhatian. Apa yang telah diberikan secara
cuma-cuma dan penuh suka gembira mendapat balasan penuh minat dan perhatian
pada masa tuanya.

Renungan ini, akan saya akhiri dengan sebuah arti umur. Lao Tze ( sekitar
abad – 4 SM ) penulis buku Tao Te Ching dan pendiri agama Tao di China
pernah berkata demikian :

"Orang pada umur 20 tahun belajar bijaksana,
orang umur 30 tahun tumbuh bijaksana,
orang umur 40 tahun merasa bijaksana,
orang umur 50 tahun mencoba bijaksana
orang yang berumur 60 tahun mulai bijaksana
Dan orang berumur 70 tahun baru bijaksana".

Akhirnya saya ucapkan kepada orang-orang yang ber-HUT, baik itu tanggal
beneran maupun tanggal rekayasa, "Vivat ad multos annos, ad summam
senectutem" artinya Semoga ia hidup panjang umur mencapai usia tertua.

Skolastikat MSC, 15 Agustus 2011
Biara Hati Kudus - Pineleng
Jl. Manado – Tomohon KM. 10
Pineleng II, Jaga VI
Minahasa – MANADO – Sulawesi Utara – 95361

Markus Marlon MSC