Jumat, 29 Juli 2011

SENI BELAJAR

Seni Belajar
(Sebuah Percikan Permenungan)

Kemandegan adalah kata yang amat ditakuti bahkan bisa menjadi momok dalam
diri manusia yang ingin maju. Dalam buku yang berjudul, "Bhagavad Gita bagi
orang Modern" dikatakan bahwa Arjuna itu berarti "ia yang tidak lurus."
Dalam arti kata lain, ia yang bengkok. Begitulah sifat manusia, tidak
mandeg dan tidak bisa mapan. Kemandegan akan membuat manusia tumpul,
padahal ia harus berkembang terus. Atau dalam istilahnya Driyarkara dalam
filsafat manusia, manusia sebagai pribadi yang "menyebelum". Kemandegan
berarti pemberhentian. Seorang manusia dipanggil untuk maju dan berkembang
serta tidak cepat merasa puas diri. Tulisan ini, merupakan permenungan saya
pribadi, bagaimana peziarahan hidup sebagai religius mengalami jatuh bangun
untuk menemukan jati diri. Dan dari sana, saya meyakini bahwa sepanjang
hidup ini kita harus belajar atau istilah kerennya "on going formation",
atau "non scholae sed vitae discimus"

Awal Pembinaan di Seminari : Apresiasi Seni

Tidak dapat disangkal bahwa pembinaan di Seminari membawa kenangan indah.
Dan yang amat mengesankan bahwa pembinaan watak amat ditekankan. Saya masih
ingat, bagaimana harus menghafal kamus bahasa Inggris 6000 kata, ketika di
toilet. Dan ketika sore hari sementara bacaan rohani (lectio divina),
diperdengarkan musik klasik karya Johann Sebastian Bach (1685-1750), musisi
berkebangsaan Jerman, Ludwig van Beethoven (1770-1827) composer lagu klasik
dari Jerman, Joseph Haydn pemusik handal dari Austria dan Frans Peter
Schubert (1797-1828) seniman asal Austria pula. Peristiwa besar seperti MK
(Malam Kreativitas) dan Mamuri (Malam Musik Seminari), kiranya mengajak
para siswa untuk berani bebas mencipta. Dari sana pula, saya teringat
istilah creatio ex nihilo (dari tidak ada menjadi ada). Maka yang terjadi,
para seminaris ditantang untuk menjadi manusia yang kuat dalam memajukan
diri gaya Spartan. Menjelang Malam Kreativitas, para siswa rela wayangan
hanya demi satu artikel. Di ambang acara Mamuri, para siswa didorong
melototi not-not yang menghasilkan sebuah lagu. Last but not least, adalah
belajar bahasa Latin. Masih terngiang dalam benak saya bagaimana
mempelajari kisah legendaris Remus dan Romulus dalam cerita Historia Populi
Romani, dan Julius Caesar, seorang negarawan dan sastrawan Romawi. Selama
empat tahun dibina dalam tempat pendidikan itu amat membantu saya dalam
study Filsafat-Teologi dan terutama dalam karya pastoral di tengah umat.

Romo Dick Hartoko SJ (alm) pernah menuangkan gagasannya bahwa seorang
pastor haruslah menjadi seniman. Saya tidak bisa mengatakan bahwa ini benar
atau salah, tetapi saya sendiri menyadari betapa pentingnya sastra, dan
penghargaan terhadap seni bagi tugas perutusan. Apakah tradisi bacaan
rohani masih dimiliki para religis zaman sekarang? Kalau saya berjumpa para
frater, lalu saya bercerita tentang "Perang Troya", "Dua belas tantangan
Herkules", "Odysseus"-nya Homerus dan "Raja Oidipus" serta "Eneas"-nya
Virgilius, mereka seolah-olah mlongo seperti mendengar barang asing.
Rupanya kisah-kisah klasik yang membentuk watak (humaniora) mulai pudar di
kalangan para seminaris.

Padahal, pengetahuan klasik semacam itu, amat berperan bagi cara berpikir
di kemudian hari. Ketika study di seminari Tinggi, dasar-dasar pengetahuan
sudah dicicipi ketika belajar bahasa Latin. Dalam buku yang berjudul, "The
Complete Texts of Great Dialoguse of Plato", di sana begitu banyak
kutipan-kutipan lengkap tentang mitologi Yunani. Orang besar seperti
Sokrates, ( 470–399 s.M.) Plato ( 428–348/347 s.M.) dan Aristoteles
(384–322 s.M.), tidak mungkin terlepas di dalam seluruh study di Seminari.
Dan dari segala buku-buku yang kita baca sering ditemukan kata-kata seperti
"gadis itu cantik seperti Venus", "panah amor", "tumit Akhiles" dan masih
banyak lagi serta terlalu banyak untuk disebutkan semuanya. Sungguh, betapa
seninya belajar sastra kuno pada waktu itu. Dan kini, setelah menjadi
religius yunior, saya dapat memetik hasilnya.

Belajar Tiada henti sebagai suatu Seni.

Sabda sang Nabi Muhammad (570-632) yang berbunyi, "Kejarlah ilmu sampai di
negeri Cina" rupanya amat tepat bagi kehidupan religius. Hidup religius
yang sebagai saksi Kristus di tengah-tengah dunia nyata, hendaklah memiliki
sikap hidup yang mau belajar tiada henti. Dalam Mahabharata, ketika
menjelang perang dimulai, Doryudana dan Arjuna menghadap Krishna untuk
minta bantuan. Krishna berkata, "Dalam keadaan seperti ini, aku terpaksa
harus membagi rata bantuan yang dapat kuberikan. Kepada satu pihak, akan
kuberikan seluruh bala-tentara Dwarkawati, kepada pihak yang kedua, aku
serahkan diriku, seorang diri tanpa senjata apa pun." Doryudana ditunjuk
untuk menjatuhkan pilihan, tentu memilih bala-tentara Dwarkawati, sedangkan
Arjuna memilih Krishna. Arjuna berkata kepada Doryudana, "Terima kasih Kak,
sebenarnya yang pihak kami kehendaki hanya keberadaan serta nasihat-nasihat
Sri Krishna dan itu pula yang kami peroleh; terima kasih sekali lagi."
Kekuatan fisik dan kekuasaan materi semuanya itu tidak begitu penting.
Kemampuan untuk berpikir secara jernih, itulah yang penting. Kemampuan
berpikir secara jernih itu, salah satunya dengan banyak belajar. "Catatan
Harian Anne Frank" adalah sebuah buku yang menghebohkan dunia dan ditulis
sejak tanggal 12 Juni 1942. Kisah buku itu diawali oleh seorang remaja
putri, Anne Frank yang suka membaca buku. Dia mengatakan bahwa buku adalah
sahabat yang paling setia, yang tidak mungkin berkianat. Dari sana pula,
sebenarnya kita belajar banyak, betapa pentingnya memperbaharui hidup
dengan cara membaca. Dalam buku yang berjudul, "To have and to be", Erich
Fromm (1900-1980), penulis, psikoanalis dan kritikus sosial membedakan
makna "to have" dan "to be". Dalam diri seorang religius yang bermental "to
have", ia membanggakan diri pada pencapaian atau perolehan (achievement)
atau gelar. Gelar sarjana yang didapatkan sebagai titik akhir dari
hidupnya. Setelah selesai kuliah, selesai sudah belajarnya. Sedangkan
religius yang bermental "to be" ialah mereka yang manjadikan gelar sebagai
titik awal dari hidupnya. Dengan demikian, seorang religius diharapkan
senantiasa memperbaharui diri terus-menerus dengan belajar. Ia sebagai
orang yang "menjadi" menurut Erich Fromm.

Penutup

Arjuna dalam pedalangan sering diucapkan dengan predikat lelananging jagad,
yang artinya lelakinya dunia. Justru karena predikat tersebut, maka Arjuna
dilukiskan sebagai seorang play boy. Kemudian muncul pameo bahwa istri
Arjuna itu "sekethi kurang siji" yang artinya seratus ribu kurang satu. Di
samping Sumbadra dan Srikandhi, terdapat pula Larasati, Ulupi, Suryawati,
Srimendang, Citragada. Semua wanita itu adalah putri para pendeta tempat
Arjuna berguru. Dalam buku "Mahabharata" tulisan P. Lal ini, perkawinan
Arjuna dengan banyak wanita itu merupakan simbol, bahwa ia kawin dengan
pengetahuan yang didapatkan dari para guru. Arjuna adalah tipe pribadi yang
suka belajar. Selamat belajar untuk hidup!!!!

Merauke, 22 Maret 2011

Markus Marlon msc

Senin, 25 Juli 2011

TEKUN

TEKUN
(Sebuah Percikan Permenungan)

Ketekunan, sungguh menakjubkan. Dalam novel yang berjudul, Count of Monte
Christo, Alexandre Dumas (1802-1870), penulis Prancis, yang juga sering
dipanggil Dumas pere, memberikan ilustrasi yang begitu bagus tentang makna
ketekunan. Edmond Dantes, tokoh utama dari novel itu diperlakukan secara
tidak adil itu akhirnya masuk penjara yang mengerikan. Nama penjara itu
Chateau d'lf. Selama hampir 15 tahun, Edmond Dantes hidup dalam
keterasingan yang mendalam. Dalam penjara tersebut, hilanglah segala
harapan untuk bertemu lagi dengan Mersedes, tunangannya. Ketika dia sedang
merenungkan tulisan di dinding penjara, "Tuhan akan memberikan Keadilan",
tiba-tiba muncullah seorang napi lain yang sudah menggali dinding penjara
selama bertahun-tahun. Napi itu seorang pastor. Pertemuan dua anak manusia
itu sungguh luar biasa. Edmond Dantes yang dulunya seorang yang buta huruf
dengan penuh ketekunan ia akhirnya menguasai beberapa ilmu. Ia juga
berlatih untuk bermain pedang yang nantinya akan dipakai perang tanding
melawan Ferdinand Montego, yang memasukkan dirinya ke dalam penjara, karena
dia menginginkan Mersedes. Dan benar, ketekunannya dalam belajar di penjara
itu memberikan mukjizat yang luar biasa.

Cuplikan sepenggal kisah di atas meneguhkan kita bahwa kesuksesan seseorang
bisa diraih pun oleh orang yang tidak memiliki gelar akademik. Bahkan
beberapa kisah sukses banyak yang diduduki oleh mereka yang tidak mengenal
sekolah. Ada pemilik perusahaan adalah orang yang tidak memiliki gelar
akademik, tetapi memperkerjakan orang-orang yang memiliki gelar akademik.
Perusahaan menjadi besar tidak tanpa perjuangan, tetapi dilaluinya dengan
jatuh-bangun. Sang pemilik perusahaan itu berkisah, "Perusahaan ini menjadi
menggurita berazaskan pada kejujuran, kepercayaan dan ketekunan". Ketekunan
menata perusahaan, ketekunan memahami para karyawan, ketekunan mengadakan
ekspedisi, ketekunan berelasi dengan Bank adalah modal yang harus dilalui
untuk membesarkan sebuah perusahaan.

Kebanyakan dari kita dalam berkarya memimpikan kalau bisa langsung
menduduki tempat pucuk tertinggi. Kursi direktur, meja ka-bag, dan ruang
inspektur merupakan tempat yang empuk. Tetapi, apakah kita menyadari bahwa
untuk menuju ke sana, seseorang harus merangkak dari bawah?? Orang yang
merangkak dari bawah mengandalkan ketekunan yang luar biasa. Seorang
pemimpin yang baik memang harus berjuang dari bawah. Lewat perjuangan dan
ketekunannya, ia bisa merasakan dan solider dengan bawahannya. Alexander
Agung (356–323 s.M.) misalnya adalah seorang raja Macedonia dan menjadi
jendral terbesar pada zamannya, amat mengenal para prajuritnya. Di kala
istirahatnya, ia berkeliling dari tenda ke tenda untuk menyapa dengan
menyebut nama dan tanggung jawab mereka masing-masing. Alexander Agung
menyelami tugas para prajuritnya. Memang, untuk menjadi jendral tertinggi,
Alexander Agung harus mulai berjuang dengan tekun dari bawah. Namun yang
terjadi saat ini, mental menerabas sudah masuk dalam bagian hidup kita.
Mental menerabas mengandalkan koneksi, pelicin, katebelece, memo, sehingga
seseorang menduduki tempat yang empuk tanpa melalui perjuangan dan
ketekunan. Inilah yang menyuburkan korupsi, kolusi dan nepotisme di negara
kita.

Dalam dunia pewayangan ada tokoh yang bernama Ekalaya. Ekalaya dikenal
sebagai raja tampan, sakti yang beristri cantik dan setia bernama
Anggraini. Suami Anggraeini ini tidak pernah mengalami pendidikan strategi
perang dari guru agung, Dorna. Hal itu dikarenakan dia bukan dari keturunan
dinasti Bharata. Meskipun demikian, ia tidak pernah pantang menyerah. Maka
yang ia buat adalah memasang patung sang guru di studio-nya (ruang kerja).
Dan dari situ, ia belajar memanah "di bawah asuhan" Dorna. Berkat
ketekunannya, maka keahlian memanah Raja Ekalaya setara dengan Arjuna. Ia
tidak minta dikasihani, ia mulai memotivasi diri untuk ahli dalam bidang
memanah. Ketekunan tidak jatuh dari langit, melainkan harus diraih dan
harus diusahakan.


Jogjakarta, 10 April 2011
Markus Marlon msc

Minggu, 24 Juli 2011

SI BULE ...

SI BULE DAN TONGKAT AJAIB

Setelah mengirimkan renungan semalam dan mencari menu yang cocok untuk
santap malam, aku sedikit repot berkeliling untuk menemukannya. Ya, bagiku
tidak
ada makanan yang paling enak nan murah meriah selain nasi goreng apa pun
macamnya. Akhirnya, kutemukan di sebuah rumah makan kecil yang dilengkapi
dengan musik dan layar lebar yang membuat kita bisa mendengar musik sambil
melihat para penyanyi dan gerakan tubuh nan gemulainya. Kupesan nasi goreng
"seafood dengansegelas ice tea" menjadi cukup untuk santap malamku.

Kira-kira 3 meter dari mejaku seorang bule tua dengan tongkat kecil di
tangannya sedang bersantai ria dengan 2 botol beer hitam. Ada yang lucu dari
penampilan bule tua ini yang sendiri mengakui bahwa dia telah berumur 67
tahun, yakni ia selalu menyanyi mengikuti si penyanyi di layar walaupun
kadang ia sendiri tidak
menghafal syair lagunya. Maklum mungkin beberapa botol beer telah
dihabiskannya sehingga ia mulai mabuk dan berbicara sembarangan. Setiap lagu
diperdengarkan dan penyanyi tampil di layar yang berukuran besar itu, si
bule selalu berkomentar; "Aku menyanyi lebih bagus darinya." Ia mengulang
terus kalimat
yang sama untuk setiap lagu. Dari instrument awal lagu berikutnya langsung
kutahu bahwa itu lagu "To Love Somebody" sehingga ketika beliau mencoba
mengingat judul lagunya, aku langsung berteriak; Sir, itu lagu "To Love
Somebody." Terlihat kegembiraan di raut wajahnya ketika dia mendengar
suaraku
sebagai dukungan baginya. Maklum, cuma ada dua orang asing di dalam
restaurant kecil itu, yakni si bule dan aku. Ia langsung beranjak dari
tempat duduknya
dan menjabat tanganku seraya mengatakan; "You are my brother! I really love
the black man." (Dalam hati saya mengeluh; Sial si bule ini…biar pun hitam
begini
tapi suaraku lebih bagus dari kamu, tahu!) Aku membalasnya; "Thank you,
brother! Kita berdua seperti apa yang dinyanyikan oleh Michael Jackson
dalam
lagunya; "Black or white." Dia memelukku sekejab dan mengatakan; "I really
like your words" Kemudian, si bule langsung kembali ke tempat duduknya
ketika ia
melihat si pelayan telah menghampiri mejaku dengan nasi goreng seafood dan
segelas ice tea pesananku. Reaksi minuman membuat si bule sudah benar-benar
mabuk dan mulai berkomentar terhadap apa saja yang dilihat dan didengarnya
di dalam restaurant kecil itu. Kadang ia menjadikan tongkat kecilnya itu
sebagai
gitar dan memainkan mengikuti irama music, atau kadang ia menggunakannya
sebagai mikrofon dengan memperdengarkan suara jeleknya yang katanya lebih
bagus
dari para penyanyi di layar itu. Wow, sungguh seorang tua yang sedang
menikmati masa tuanya kalau tidak dengan secara negatif dikatakan sedang
menghibur diri.

Saudaraku,
Di sekitar kita pun atau di dalam komunitas atau di dalam keluarga, sering
kita bertemua bahkan hidup bersama dengan mereka yang sudah lanjut usianya.
Ada
sebagian yang tenang tanpa banyak bicara, tapi ada juga yang rewel dalam
sikap dan tingka lakunya, yang kadang membuat kita sulit untuk menerima
kehadiran
mereka. Si bule tua dalam cerita di atas adalah salah satu diantaranya.
Kendatipun suaranya jelek ketika terdengar di telinga tapi ia masih mau
menjabat
tanganku dan menguncapkan "good night" ketika aku meninggalkan restaurant
kecil itu. Ia merasa bahwa haya akulah satu-satunya yang mendengarkan dia,
yang
mau memuji dia dan rela menjadi sahabatnya tadi malam. Ia merasakan bahwa di
masa tuanya masih ada orang yang peduli dan mau berbagi dengannya.

Apa yang bisa kita petik sebagai pelajaran dari kisah kecil ini bahwa di
satu pihak, sebagai orang tua (lanjut usia) sebaiknya kalian tidak perlu
membandingkan masa lalu dengan masa sekarang, membandingkan dirimu dengan
diri orang muda di zaman ini seperti si bule tua yang selalu berkomentar;
"Saya dapat menyanyi dengan lebih baik darinya." Apa yang indah adalah
mengakui bahwa zaman telah berubah. Anda tidak mungkin membawa semua
kelebihan, keunggulan dan
segalanya di masa lampau ke masa sekarang dan memaksakan generasi muda untuk
mengikutimu dalam segala hal dan segi kehidupan. Biarlah masa lalumu menjadi
sebuah kenangan indah yang tak terlupakan dan akuilah ciri khas dan keunikan
masa sekarang ini sehingga hidup dan kesekitarannya tidak dikeluhkan setiap
saat melainkan dinikmati. Rasanya terlalu singkat waktu bagimu untuk
mengeluh dan tidak akan ada yang berubah sesuai dengan keinginanmu. Apa yang
singkat dalam hidupmu saat ini adalah menikmatinya tanpa keluhan sehingga
hidupmu sungguh menjadi berkat bagi generasi muda yang hidup bersamamu.
Sebaliknya, bagi generasi muda, hidup bersama orang-orang yang sudah lanjut
usia juga menjadi kesempatan untuk melatih kesabaran serta menjadi saat
pemberian terindah dari Tuhan untuk berbagi kasih, belajar mengerti dan
memahami kesepian dan kerinduan mereka yang lanjut usia. Menjadi seorang
sahabat bagi mereka di masa tua adalah sebuah kekuatan bagi mereka untuk
merasakan bahwa kehadiran mereka sungguh menjadi berkat bagi anak-cucu
mereka. Memang tidak semua hal pasti mengenakkan dari mereka, tapi mengikuti
kemauan mereka untuk beberapa kali rasanya tidak membuat hidupmu menjadi tak
berarti, kan?

Saudaraku,
Aku hanya mempunyai sebuah keyakinan dan keyakinan ini ingin kubagikan
kepadamu sebagai saudaraku malam ini bahwa "jika yang tua mau menyesuaikan
diri
dengan dunia sekarang dan yang muda rela memahami yang tua, maka keduanya
dapat hidup bersama dalam satu dunia dengan aman dan damai." Jika ini dapat
terjadi maka hidup ini sungguh menjadi sebuah berkat bagi orang lain di
sekitarmu. Keakraban dan keharmonisan antara yang tua dan muda sungguh
menjadi sebuah tanda bahwa damai itu indah bila kita masing-masing bisa
berpartisipasi di dalamnya. Bila itu terjadi maka hidup sesungguhnya menjadi
sebuah kesempatan untuk selalu bersyukur kepada Sang Pemberi hidup, yakni
Tuhan Pencipta kita. Ya, Anda putih saya hitam; Anda berambut lurus saya
keriting; Anda tua saya muda; Anda miskin saya kaya; Anda seorang karyawan
saya adalah bos; dan berbagai status dan ciri khas lainnya yang membuat Anda
dan saya berbeda, tetapi Anda dan saya adalah manusia. Ada sebuah lagu
karismatik yang syairnya sungguh indah untuk dimaknai;"beragam-ragam kita
hadir di sini tapi kita satu" semoga tetap mengingatkan saudara dan aku
(kita) untuk saling menerima yang lain apa adanya, dan hanya dengan inilah
kita dapat hidup dengan damai dan harmonis dalam dunia ini.

Salam seorang sahabat untuk para sahabat,

***Duc in Altum***
Efix Sj

PIDATO SANG PEMIMPIN

PIDATO SANG PEMIMPIN
(Sebuah Percikan Permenungan)

John Kennedy (29 Mei 1917 – 22 November 1963), dalam usia 43 tahun dilantik
sebagai Presiden Amerika Serikat, menjadikannya sebagai pria termuda dan
sekaligus penganut Katolik pertama yang menjadi presiden sepanjang sejarah
Amerika. Pidatonya yang memukau saat dilantik menjadi presiden memupus
ketakutan masyarakat bahwa ia terlalu muda dan tidak berpengalaman untuk
menduduki jabatan setinggi itu. Kennedy pandai dan senang berpidato. Ia
mempersiapkan dan memperbaiki sendiri naskah pidato pelantikannya sebagai
presiden selama dua bulan. Pidato yang disampaikan di Washington, 20
Januari 1961 saat pelantikannya menggoncang dunia. Ia berorasi, "Jangan
tanya apa yang bisa dilakuan negara untukmu; tanyakan apa yang bisa kamu
berikan untuk negaramu". Menarik juga apa yang diucapkan oleh Martin Luther
King Jr (15 Januari 1929 – 4 April 1968) dalam pidato terkenalnya berjudul,
"I have a dream" di Lincoln Memorial, Washington DC, 28 Agustus 1963.
Pidato yang mengagumkan juga disampaikan oleh Bung Karno (1901 - 1970),
"Kemerdekaan hanyalah dimiliki oleh bangsa yang jiwanya bekobar-kobar
dengan tekad merdeka – merdeka atau mati!"

Pidato yang disampaikan oleh "singa podium" ini mampu mengubah cara pandang
orang atau mindset, sehingga dengan kesadaran kolektif bisa mengubah dunia.
Pidato John Kennedy yang tekenal itu, rupanya sulit kita temukan dalam
pidato-pidato yang disampaikan oleh pemimpin kita zaman sekarang ini.
Apakah kita pernah menyaksikan pidato pelantikan Presiden kita dihadiri
oleh mantan-mantan Presiden sebelumnya ? Seharusnya sebagai Pemimpin bukan
lagi menjadi milik partai ini atau partai itu. Yang terjadi seharusnya
adalah sebagai satu kesatuan membangun negara. Secara tidak sadar, saya
diingatkan kembali akan motto Kota Merauke yang berbunyi, "Izakod Bekai,
Izakod Kai" yang berarti Satu Hati Satu Tujuan. Anehnya para pemimpin kita
terang-terangan mengatakan bahwa dirinya adalah tokoh oposisi yang tugasnya
mengawasi jalannya pemerintahan. Memang benar bahwa setiap kebijakan
Pemerintahan itu perlu untuk dievaluasi, supaya terkontrol. Namun sangat
disayangkan bahwa bentrokan terjadi di mana-mana, sehingga energi yang
sebenarnya dipakai untuk membangun negara
malah terkuras habis untuk urusan remeh-temeh.

Seorang pemimpin bertugas melindungi, mengayomi dan memotivasi para
rakyatnya. Pidato yang disampaikan bagaikan kata-kata inspirasi yang
mendorong mereka melaksanakan tugas sesuai dengan peran masing-masing.
Semakin sang pemimpin itu dicintai, maka para rakyat ingin berlomba-lomba
berbuat kebaikan baginya. Bahkan karena fanatiknya, seorang rakyat jelata
mempunyai jargon demikian, "pejah gesang ndherek Paduka" yang artinya hidup
mati saya ikut Paduka. Kepasrahan total kepada orang yang memimpin
mendorong rakyat semakin mencintai panutannya. Di sini bukan karena
pengaruh pidato yang disampaikan, melainkan karena sang pemimpin itu layak
untuk dibela dan layak untuk dicintai. Janji-janji ketika kampanye merebut
hati rakyat sudah saatnya diuji ketika rakyat tertimpa pelbagai masalah.
Seorang pemimpin ucapannya bisa dipegang dan tidak boleh plin-plan. Untuk
melukiskan seorang pemimpin yang tidak konsekwen bisa dikatakan, "Esok
dhele, sore tempe", yang artinya pagi hari mengatakan kedelai, sore harinya
berubah menjadi tempe. Ini yang bisanya mengecewakan hati rakyat.
Pidato-pidato yang disampaikan kepada rakyat, akan menjadi afdol jika
dibarengi dengan tindakan-tindakan nyata yang bertujuan mengangkat martabat
rakyatnya. Napoleon Bonaparte (15 Agustus 1769 – 5 Mei 1821) di sela-sela
waktu luangnya mencoba berjumpa dengan para prajurit dan bersendau gurau
serta menanyakan kabar keluarganya. Betapa bahagianya, orang yang disapa
oleh sang Kaisar tersebut. Perhatian, meskipun kecil dari seorang Pemimpin
dapat menumbuhkan semangat yang membara dan pada gilirannya membela
mati-matian Sang Pemimpin tersebut. Pidato-pidato Sang Pemimpin bagaikan
kata-kata magis yang menyihir orang-orang yang mendengarnya. Pidato-pidato
yang diucapkan oleh pemimpin itu memberikan inspirasi dan motivasi bagi
orang-orang yang mendengarkannya. Ki Hajar Dewantoro (2 Mei 1889 – 28 April
1959), sesepuh pendidikan pernah berujar : "Ing ngarso sung tuladha, ing
madya mangun karsa, tut wuri handayani" yang artinya, "Di depan menjadi
teladan, di tengah mendampingi dan di belakang memberi semangat". Pidato
Sang Pemimpin, akhirnya bukan sekadar berbicara ba-bi-bu, melainkan
bagaimana dirinya memenuhi janji-janji dan komitmen yang telah dipidatokan.
Menurut Sujatmoko seorang cendekiawan, sebuah ide haruslah memiliki kaki.
Demikian pula, pidato yang telah diucapkan akan ditangkap oleh para asisten
ataupun dewannya dan dilancarkan dengan program-program yang pada
gilirannya diharapkan dapat menyejahterakan yang dipimpinnya.


Merauke, 2 Februari 2011

Markus Marlon msc

Selasa, 05 Juli 2011

Untuk yang sudah punya anak.

Mitos Pendidikan Anak : Menjadi Mandiri Itu Identik "Tidak Butuh Orang Lain"

 


Selamat tahun baru 2010! Saya ingin menawarkan sebuah tulisan tentang pendidikan anak, yang terbuka untuk dikritik. Tulisan ini berakar pada pengalaman saya dalam keluarga, saat masih hidup bersama dengan orangtuaku (+) Aloysius Mujiman & Mg M Sulastimah, serta kedua adikku, Iie, & (+) Sugeng. Kenangan cara mendidik orang tuaku rasanya sangat mengesan bagiku. Pendidikan yang mengesan itu karena ternyata beberapa praktek yang saya jalani itu mengubah cara berpikir "keyakinan lama" tentang kemandirian anak. Keyakinan lama itu bisa jadi sebuah mitos yang masih diyakini "kebenarannya", antar lain ada pemahaman sbb,:  " anak yang dewasa adalah anak yang mandiri. Anak mandiri itu mampu mengurusi dirinya sendiri tanpa bantuan orang tuanya"


Pemahaman "kemandirian" itu menggerakkan banyak bapak ibu mendidik anaknya dengan tujuan "mandiri": bisa mengurus dirinya sendiri, tanpa merepotkan ayah ibunya. Itulah yang terjadi, banyak orang tua suka membentak-bentak anaknya karena mereka minta tolong diambilkan minum, minta ditemani belajar, minta ditemani beli sepatu, dsb. Dengan alasan kemandirian itulah, banyak orang tua juga akhirnya membuat acara tersendiri, saat anak anak belajar atau tidur siang, mereka pergi atau menghibur dirinya sendiri dengan nonton TV atau pergi jalan jalan tanpa mengajak anaknya.
Kalau ditanya, "Pak, Bu, kenapa anak anak tidak diajak pergi ?" Jawabnya dengan entheng, "Lha, anak anak kan harus belajar sendiri dan belajar mandiri, masak belajar saja ditemani. Kami orang tua kan juga mesti punya waktu untuk menghibur diri sendiri. Memangnya kita ini jadi Bapak Ibu harus terus menjaga anak ? Nanti kalau sudah nikah, kami juga akan ditinggalkan! Kuno, Mas, kalau orang tua diminta untuk menemani anak belajar, menemani beli sepatu! Kalau bisa kerjakan sendiri, kenapa mesti ditolong ? Bukankah pendidikan model "pertemanan" itu membuat anak jadi manja dan tergantung pada orang tua ?"


Di balik jawaban orang tua tadi, ada sebuah pemahaman tentang "kemandirian" yang sangat "pragmatis": bisa sendiri.
"Kemandirian" dalam bahasa Latinnya itu "otonom", dari kata auto & nomos= auto: sendiri, dan nomos: urusan rumah tangga. Namun otonomi itu diakui adanya justru hanya dalam "RELASI". Semakin banyak orang memiliki relasi, akan semakin jelas "otonominya": jelas bagaimana dia mengurus dirinya sendiri. Karena itu, "kemandirian" itu hanya tumbuh dan berkembang makin matang dalam "BERELASI". Relasi yang mengembangkan "otonomi" adalah relasi yang membebaskan orang untuk "mengambil keputusannya sendiri". Itulah inti dari "memberdayakan orang untuk mandiri: jadi dirinya sendiri". Persoalannya adalah "bagaimanakah kita akan mampu memberdayakan orang lain jadi "mandiri" kalau tidak mau membangun relasi ?


Relasi orang tua dan anak yang memungkinkan tumbuhnya otonomi anak adalah "relasi yang menawarkan pilihan". Sejak mereka sudah mulai bisa mandi sendiri, makan sendiri, mereka bisa diberi pilihan, "Dik, mau mandi sendrii, atau dimandikan? Mau disuapin atau makan sendiri? Besok mau cari baju baru: dibelikan saja, atau pilih sendiri tapi ditemani? Adik ditemani belajar, atau mau belajar sendiri?" Dengan berbagai pilihan itu, anak anak akan belajar untuk memutuskan, sekaligus mereka belajar untuk terbuka menanggung resikonya. Itulah latihan yang sangat sederhana, namun butuh ketekunan.


Masih ada banyak kesempatan untuk "menciptakan ruang" agar anak anak belajar ambil keputusan sendiri. Semakin dilatiih untuk membuat keputusan, di situlah anak akan belajar "menjadi dirinya sendiri", bukan menjadi "wayang" atau "copy" dari ayah -ibunya. Kebiasaan "menawarkan" pilihan, akan membuat anak merasa tidak terancam, melainkan merasa nyaman karena dipercaya untuk memutuskan sendiri. Anak itu akan belajar, kalaupun gagalpun orang tua akan ikut menanggung resikonya.


Cara berpikir macam ini, bukankah sebenarnya menjadikan "paham kasih" menjadi konkret : kasih orang tua kepada anak, bukan soal memberi barang atau fasilitas mewah, melainkan KASIH itu berarti "menjadi sahabat" yang membuat anak "TIDAK KETAKUTAN", melainkan MERASA NYAMAN untuk tampil sebagai pribadi. "Dalam ketakutan tidak ada kasih!" Dalam situasi yang tidak takut, anak pun bisa bertanya, "Pak, Bu, boleh nggak saya minta ditemani kalau saya belajar? Boleh nggak saya minta tolong untuk ditemani beli sepatu?" Itulah anak yang mulai mandiri, berani beresiko, juga kalau ayah atau ibunya tidak sanggup memenuhi permintaannya. Namun anak itu tidak lagi "memerintah" melainkan "meminta tolong".Itulah anak mandiri, yang tetap butuh bantuan orang lain, namun ia mengasihi orang tuanya, karena ia mampu menciptakan "ruang" bagi orang tuanya juga untuk membuat pilihan tanpa terpaksa. Dengan kebiasaan begitu, terbukalah harapan banyak anak makin tumbuh manusiawi.


Semoga di tahun baru 2010 ini kita belajar menciptakan "RUANG HIDUP" yang membuat siapapun tidak takut berhadapan dengan kita, melainkan mereka TERTANTANG untuk membuat pilihannya sendiri.


Warm regards

bslametlasmunadipr

 

Minggu, 03 Juli 2011

Buku Kehidupan

BUKU KEHIDUPAN

''Nama yang harum lebih baik daripada minyak yang wangi, dan hari kematian
lebih baik daripada hari kelahiran'', Pengkhotbah 7:1.

Hidup manusia seperti sebuah BUKU. Cover depan adalah tanggal lahir yang
merupakan awal kehidupan yang hanya sementara. Cover belakang adalah tanggal
kematian yang merupakan awal kehidupan yang kekal. Tiap lembarnya, adalah
tiap hari dalam hidup kita dan apa yang kita lakukan.

Ada buku yang tebal, ada buku yang tipis. Ada buku yang menarik, ada yang
tidak menarik sama sekali. Sekali ditulis, tidak akan bisa dihapus lagi.
Tapi seburuk apapun halaman sebelumnya, selalu tersedia halaman selanjutnya
yang putih bersih, baru dan tanpa cacat.

Sama dengan hidup kita, seburuk apapun kemarin, ALLAH selalu menyediakan
hari yang baru untuk kita. Kita selalu diberi kesempatan baru untuk
melakukan sesuatu yang BENAR dalam hidup kita setiap harinya. Kita selalu
dapat memperbaiki kesalahan kita dan melanjutkan jalan hidup kedepannya
sampai saat tutup usia, yang sudah ditetapkan NYA. ''Masa hidup kami 70
tahun dan jika kami kuat, 80 th,'' Mazmur 90:10a.

Terima kasih TUHAN untuk hari yang baru ini.

Mari kita isi halaman buku kehidupan kita dengan hal2 yang BENAR dan KUDUS.
Jangan pernah lupa, untuk selalu bertanya kepada Allah: '' Apa yang harus
kutulis untuk hari ini ?'' Sehingga pada saat halaman terakhir buku
kehidupan kita selesai, kita dapati diri ini sebagai pribadi yang berkenan
kepadaNYA. Dan buku kehidupan itu layak untuk dijadikan TELADAN bagi anak
cucu kita dan siapapun nanti.

Selamat menulis BUKU KEHIDUPAN. Tulislah dengan tinta IMAN dan CINTA KASIH,
serta pena KEBIJAKSANAAN.

''Ajarlah kami menghitung hari=hari kami sedemikian, hingga kami beroleh
hati yg BIJAKSANA'', Mazmur 90:12.

Bumijawa, 3 July 2011

From the desk of Jungky Junanto
- United Under One Star -

Sabtu, 02 Juli 2011

CEMBURU

CEMBURU
(Sebuah Percikan Permenungan)

Bahasa Ibraninya Cemburu adalah qin'a. Kata itu aslinya ialah menyala,
kemudian berarti warna merah yang kelihatan pada wajah seseorang yang
diliputi perasaan membara, lalu perasaan tidak senang terhadap seseorang
yang memiliki sesuatu, yang tidak dimiliki sendiri. Kata itulah yang
dikenakan pada sikap Rahel terhadap kakaknya. Ketika dilihat Rahel bahwa ia
tidak melahirkan anak bagi Yakub, ceburulah ia kepada kakaknya itu, lalu
berkata kepada Yakub, "Berikanlah kepadaku anak; kalau tidak, aku akan
mati." (Kej. 30: 1). Rahel cemburu terhadap Lea yang dikaruniai banyak
anak, sedangkan dirinya belum mendapatkan seorangpun. Kecemburuan ini
disebabkan karena dirinya tidak memiliki apa yang dimiliki oleh orang lain.
Tetapi ketika anak-anak Rahel yakni Yusuf dan Benyamin disayangi Yakub, maka
pada gilirannya anak-anak Lea cemburu kepada Yusuf si tukang mimpi itu,
sehingga sampai hati menjual kepada orang asing (Kej. 37: 12 – 36).
Kecemburuan sungguh mempunyai efek yang luar biasa.

Ada sebuah kisah rekaan tentang rasa cemburu yang mungkin bisa untuk kita
renungkan. Diceriterakan dua orang ibu pedagang sembako (Sembilan bahan
pokok) yang warungnya berhadapan. Tetapi amat disayangkan bahwa mereka
berdua memiliki rasa saling cemburu satu dengan lainnya. Pada suatu hari,
datanglah seorang malaikat untuk memberikan sesuatu kepada salah satu ibu.
Katanya, pada suatu kali kepada seorang ibu, "Ibu, saya akan memberikan
kepada ibu sesuatu. Jika saya memberi ibu satu rumah baru, maka ibu di
seberang jalan itu akan saya beri dua rumah baru. Jika Saya membuat warung
ibu laris dua kali lipat, maka ibu di seberang ibu akan mendapatkan laba
empat kali lipat. Sekarang ibu minta apa dari padaku?" Ibu itu berpikir
sejenak, kemudian berkata, "Malaikat yang baik, saya minta butakan mataku
sebelah kiri saja, supaya ibu di seberang jalan tersebut matanya buta
dua-duanya." Orang mau menderita – asal – orang yang dicemburui itu lebih
menderita. Cerita rekaan tadi merupakan kecemburuan karena kepemilikan
yang kurang. Orang menjadi puas, jika dirinya sudah berkelebihan dan orang
lain yang adalah "saingannya" berada di bawahnya. Orang yang memiliki
rasa cemburu kepemilikan, senantiasa berusaha menjadi "orang yang lebih".
Perasaan ini yang membuat dirinya tidak tenang dan tidak merasa berdamai
dan dia terus-menerus berusaha hidup dalam situasi yang tidak nyata.

Yang paling sering terjadi adalah cemburu dalam dunia percintaan. Bahkan
dikatakan dalam sebuah kelakar bahwa "cemburu adalah bumbu cinta." John is
jealous when he sees his girl joking around with another guy. (Si Joni
cemburu melihat pacarnya bercanda dengan cowok lain). Rasa cemburu yang
terjadi dalam percintaan, ada kecenderungan bahwa pihak yang satu ingin
memiliki yang lain. Maka tidak mengherankan jika kadangkala ada pertumpahan
darah dalam percintaan hanya karena cemburu. Drama tregedi berjudul
"Othelo" karangan William Shakespeare (1564-1616) hendak memperlihatkan
kepada kita betapa dahsyatnya cemburu itu. Wajah Othello menjadi menyala
ketika melihat Desdemona, istrinya sedang bercakap-cakap dengan Cassio.
Othelo cemburu karena disulut oleh Iago, yang provokasinya berhasil dengan
baik. Cassio dilukiskan sebagai letnan yang tampan, handsome, simpatik
sedangkan Othello orang Moor yang wajahnya - maaf - jelek dan cenderung
menakutkan. Rasa cemburu yang tidak beralasan itu mencapai klimaksnya pada
kematian istrinya di ranjang, yang yang dibunuh oleh Othello, dengan
menutup hidungnya dengan bantal sampai tidak bernafas lagi. Kecemburuan
dalam percintaan yang juga menghebohkan terjadi dalam diri Achilles dan
Agamemnon karena merebutkan seorang budak bernama Bereas (Bdk. "Illiad" –
tulisan Homerus – yang hidup ± 8 Seb. M). Cemburu bisa juga terjadi
tatkala orang masih kecil dan bertumbuh menjadi dewasa. "Bibit" kecemburuan
itu ditanam oleh orang tua serta leluhurnya, dan ini memicu perang yang
besar yakni Mahabartha (Bdk. "Mahabaratha", tulisannya Nyoman S. Pendit).
Rasa cemburu yang lain juga dialami oleh Gulliver, yang menjadi "tontonan"
baru di sebuah istana di negeri Brobdingnag karena badannya yang kecil.
Penghibur istana yang sudah lama di situ, karena banyolannya dan disayangi
oleh para bangsawan, kini mulai tidak laku lagi, sebab ada saingannya. Tidak
ayal lagi bahwa Gulliver itu pun terancam jiwanya karena kecemburuan si
cebol (Bdk. "Gulliver's Travels" tulisan Jonathan Swift, yang hidup tahun
1667 - 1745).

Ada lagi kisah tentang cemburu berkenaan tentang persaingan yang pada
akhirnya malah mematikan dirinya sendiri. Dikisahkan bahwa di kota Athena
ada seorang juara lari dalam olimpiade. Maka, sang juara tersebut dimahkotai
dan diarak sekeliling kota. Bahkan tidak tangung-tanggung, persis di
perempatan jalan, didirikanlah sebuah patung besar dari beton untuk
menghormati dirinya. Tentu saja, patung monumental tersebut semakin membuat
cemburu saingannya. Si Pencemburu, dengan maksud yang jelek ingin merobohkan
patung tersebut. Maka – setiap malam – ketika orang-orang di alam mimpi,
dirinya mendatangi patung tersebut untuk merobohkannya. Sedikit demi
sedikit, ia mencoba untuk melobangi beton tersebut. Tidak terasa, apa yang
dilobangi tersebut semakin menganga dan tumbanglah patung itu hingga menimpa
orang yang cemburu itu. Tak dapat disangkal, orang itu akhirnya mati konyol.

Rasa cemburu tidak hanya menyangkat hal-hal duniawi (percintaan, kekayaan,
persaingan dan ketrampilan), namun juga bagi mereka yang bekerja dalam ranah
religius. Karya pastoral yang telah dibuat oleh seorang pastor dan sukses
bisa menimbulkan rasa cemburu bagi pastor lain. Istilah dalam bahasa Latin
adalah invinida clericalis. Tentu saja, kecemburan dalam bidang pastoral
ini membuat bingung umat yang dilayani dan terkadang membuat umat jadi
terpecah belah (Bdk. 1 Kor 1:12 dan 3:4). Selain itu kita juga memiliki
Allah yang pencemburu (Kel. 34: 14), sebab Dia mempertahankan hak-Nya
sebagai Satu-satunya yang boleh disembah dan Dia tidak akan memberikan
kemuliaan-Nya kepada orang lain (Yes 42: 8). Sifat cemburu Allah itu membuat
kita semakin mencintai-Nya dan tidak menduakan-Nya.

Rasa cemburu adalah pengalaman yang amat nyata karena kita sering
mengalaminya sendiri. Melihat orang lain lebih maju, kita cemburu.
Akibatnya, jantung berdetak tidak teratur serta membuat hidup tidak tenang.
Ada seorang istri yang cemburu dengan Surat Kabar. Karena setiap pagi,
sembari minum kopi sang suami yang pertama-tama pegang adalah Surat Kabar.
Istrinya tidak hanya cemburu, tetapi marah juga kepada kertas yang diberi
nama Surat Kabar tersebut. Akhirnya, sebelum dibaca oleh sang suami, Surat
Kabar tersebut sempat diremas-remas karena gemasnya. Ah, ada-ada saja!!

Kantor "Percikan Hati", 30 Mei 2011
Biara Hati Kudus,
Skolastikat MSC - Pineleng
Jl. Manado – Tomohon KM. 10
Pineleng II, Jaga VI
Minahasa – MANADO
Sulawesi Utara – 95361

Markus Marlon MSC