Kamis, 14 April 2011

MEMBACA

MEMBACA
(Sebuah Percikan Permenungan)

Pengantar:

Pernahkah Anda menonton film Inggris atau Amerika dan melihat ada rak buku
yang terletak di ruang tamu atau ruang keluarga? Saya sering melihatnya.
Dan pernahkan Anda menonton sinetron Indonesia – yang umumnya bercerita
tentang keluarga-keluarga super kaya – dan melihat ada rak buku di ruang
tamu atau ruang keluarga? Saya belum pernah melihatnya!

Kegiatan Membaca Mulai Memudar

Sudah menjadi pemandangan umum bahwa di Ruang Tunggu seperti di Stasiun,
Bandara maupun Rumah Sakit tersedia pesawat Televisi. Bahkan di
rumah-rumah, pesawat Televisi bagaikan sahabat yang setia "menemani"
seorang ibu atau pembantu rumah tangga dalam memasak atau menyeterika dan
mencuci pakaian. Anak-anak kecil pun sejak bayi sudah diperkenalkan dengan
pesawat Televisi sebagai "teman" –nya. Dengan adanya pesawat Televisi atau
yang disebut juga kotak ajaib maupun box idiot, sebenarnya seorang bayi
"kurang berkenalan" dengan buku.

Kegiatan membaca seharusnya dipupuk sejak dini, karena di kemudian hari,
ternyata kebiasaan membaca yang pernah dibuat tersebut itu memiliki
kekuatan yang dahsyat. Tetapi kita harus mengakui bahwa anak yang sekarang
ini adalah anak zamannya. Mereka tidak bisa kita jadikan anak maupun remaja
tahun 70-an, yang pada waktu tehnologi tidak semaju seperti sekarang ini.
Pada zaman ini, buku memiliki "saingan" yang sangat berat. Pada zaman dulu,
kegiatan membaca sungguh mendapatkan tempat yang sangat istimewa. Bahkan
Thomas à Kempis (1379 – 1471), penulis buku terkenal "De imitatione
Christi" (Mengikuti jejak Kristus), pernah berucap, "In omnibus requiem
quaesivi et nusquam inveni, nisi in angelo cum libello" yang artinya aku
telah mencari ketenangan di mana-mana dan tidak di suatu tempat pun aku
menemukannya kecuali di sebuah sudut kecil dengan (membaca) sebuah buku.

Kedahsyatan Kegiatan Membaca

Pengaruh buku sungguh luar biasa. Banyak orang yang setelah "menjadi orang"
berkata bahwa dirinya menjadi seperti sekarang ini karena buku. Sebagai
contoh,
Pater Franz Magnis-Suseno SJ berkata demikian, "Kisah-kisah seperti The
Last of the Mohicans karangan Cooper, Winnetou-nya Karl May membuat daya
imaginasiku berkembang." Atau kita lihat buku terkenal yang berjudul "Don
Quixote" karangan Miguel de Cervantes. Cervantes, penulis Spanyol
(1547-1616) adalah seorang petualang buku. Pelbagai buku telah dilalapnya
habis. Ia menguasai bacaan-bacaan Latin Klasik. Ia mendalami bacaan-bacaan
sejarah bangsa-bangsa. Don Quixote adalah buku terkenal yang mengisahkan
tentang seorang yang bernama Don Quixote de la Mancha yang tergila-gila
dengan membaca. Lewat buku yang dibacanya, ia berpetualangan dengan
ide-idenya sendiri, sehingga dia menemukan kebahagiaan dalam hidupnya.
Pantas bila dunia menyebut Don Quixote sebagai the ambassador of readings.

Kalau kita mundur lagi ke zaman Yunani kuno, kita akan berjumpa dengan
Alexander Agung (356-323 s.M dari Macedonia. Oleh gurunya yakni Aristoteles
(384-322 s.M), Alexander Agung diberi bacaan wajib yang berjudul "The
Illiad" karangan Homerus (lahir abad ke-8 s.M). Dengan membaca karya sastra
tersebut, pikiran Alexander Agung menjulang tinggi – bahkan mungkin
"liar" – dan mengidolai sang pahlawan yakni Achilles dan akhirnya ia mampu
menguasai dunia pada usia mudanya. Konon, buku "The Illiad" dijadikan
bantal bagi Alexander Agung, tatkala dirinya tidur. Dalam film Troy, tokoh
Achilles ini memang sungguh luar biasa. Dan bukankah tokoh-tokoh para kudus
juga mengalami pertobatan ketika membaca buku? St. Ignatius dari Loyola
(1491-1556) misalnya, ketika dia sakit karena luka parah dan tidak bisa
berbuat apa-apa, "terpaksa" membaca buku Kisah Santo-Santa dan akhirnya
bertobat dan menulis buku yang sangat kesohor,
"Latihan Rohani." St. Agustinus (354-430) mengakui bahwa dirinya seorang
pendosa berat. Pada suatu hari ia mendengar suara. Suara itu datang dengan
nada berulang-ulang, "Tole, lege, tole, lege" (Ambil dan bacalah, ambil dan
bacalah). Sambil membendung air matanya, ia segera membuka Kitab Suci. Di
sana ia membaca teks yang memperingatkan, agar ia tidak hidup dalam
ketidakbenaran. Karena pengaruh buku yang ia baca, ia menjadi orang kudus
dan gagasan-gagasan teologisnya hingga sekarang masih dipelajari oleh
banyak orang.

Menumbuhkan Daya Refleksif

Perasaan yang didapat lewat membaca berbeda dengan menonton Televisi atau
film. Keunikan membaca adalah orang diajak untuk membayangkan hal-hal yang
diceriterakan di dalam buku. Berbeda dengan menonton yang secara visual
sudah bisa ditangkap oleh mata. Oleh sebab itu, seringkali menonton sebuah
film yang diangkat dari buku mengecewakan karena apa yang dibayangkan
berbeda dengan yang divisualisasikan. Ketika saya membaca buku "Gone with
the Wind" peran Scharlet Ohara begitu dahsyat. Sebagai tokoh utama ia
membuat orang yang membacanya menjadi gemas. Tetapi, setelah melihat
filmnya, bayangan kelincahan dan kecantikannya menjadi pudar. Tokoh yang
bernama Yuri dalam "Dokter Zhivago" karangan Boris Pasternak sungguh
memilukan bagi yang membaca. Tetapi setelah menonton filmnya, rasa kasihan
terhadap tokoh itu mulai menghilang. Membaca novel "Memoirs of Geisha"
karya Arthur Golden, hati saya menjadi miris karena Sayuri sebagai tokoh
utama diperlakukan semena-mena dan tidak adil. Tetapi setelah menyaksikan
filmnya yang berdurasi 90 menit itu, rasa miris itu pun lenyap.

Setiap buku atau majalah yang kita baca itu pada akhirnya mengajak kita
untuk mengkonfrontasikan dengan kehidupan kita. Misalnya, buku tulisan
Hans-Peter Grosshans yang berjudul "Luther" dapat memberikan pencerahan
kepada kita. Buah pena dan gagasan-gagasannya tentang "Reformasi"
menyadarkan Gereja Katolik untuk lebih bercermin diri karena sudah
menyimpang jauh dari ajaran Kitab Suci. Bacaan Rohani tulisan Wilfrid
McGreal berjudul "Yohanes Salib" yang adalah seorang penyair dan tokoh
mistik menginginkan agar orang yang tengah mencari kesatuan dengan Tuhan
mendapatkan bimbingan atau pembimbing rohani yang baik dalam perjalanan
mereka. Dari sana pula, kita kita merenungkan kembali, apakah sebagai
pribadi yang ingin maju dan berkembang dalam pengetahuan, masih senantiasa
"rindu" membaca buku? Petrarca (1304 – 1374) – seorang penyair dan humanis
Italy – berkata, "Libris satiari nequeo" yang berarti aku tidak pernah
dipuaskan oleh buku. Setelah buku yang satu dilalap habis, ada kerinduan
lagi melahap buku berikutnya. Kata-kata, "Lebih baik menjadi kutu buku
daripada mati kutu," mendapatkan penerapannya.

Penutup: Mari Mencintai Buku

Sahabat yang paling tidak pernah mengecewakan adalah buku. Buku bisa kita
bawa ke manapun pergi dan dia senantiasa setia menjadi "teman dialog."
Kebiasaan membaca buku tentu akan mengembangkan diri sendiri karena dengan
membaca dapat membuka cakrawala atau wawasan. Bukankah buku adalah "Jendela
dunia"?

Merauke, 28 Maret 2011

Markus Marlon msc

Merangkul lawan, memeluk sahabat

"MERANGKUL LAWAN MEMELUK SAHABAT"

"Mereka pasti tidak akan mengungkap dengan kata tapi tegakah hatimu untuk
tidak memberi penghargaan yang pantas bagi mereka ?"

Sewaktu menjalani tahun pembinaan sebagai frater di Seminari Tinggi di
Pineleng-Manado, saat terindah setiap minggu, adalah hari rabu siang sampai
malam. Ya, karena saat itulah waktunya bagi para frater untuk keluar
"kandang" (asrama) untuk bermacam kegiatan sesuai kebutuhan pribadi. Ada
yang mengunjungi keluarga; yang lain bertemu sahabat kenalan; yang lain
lagi pasti mengisi kursi-kursi kosong di bioskop President atau "21" di
kota Nyiur Melambai Manado. Suatu saat kami berlima berjalan menyusuri
area pantai "Boulevard" yang indah di waktu malam. Tiba-tiba kenalan
seorang
sahabat berpapasan dengan gerombolan kami ...heheheh .... penjahat kali.
Hanya dengan kalimat pendek : "Aku mau temui temanku dulu", seorang teman
meninggalkan kelompok kami. Kami menunggu dan menunggu tapi dia tidak
kembali (maklum waktu itu belum ada handphone, jadi susah berkomunikasi).
Akhirnya, kami pun kembali ke asrama tanpa teman kami itu, yang pergi
dengan temannya yang lain entah ke mana.

Sadar atau tidak sadar kadang inilah yang kita lakukan terhadap sahabat
dekat, sanak keluarga atau orang-orang dekat kita. Bila kita jujur terhadap
diri maka berapakah sahabat atau sanak keluarga yang kita lukai (korbankan)
perasaan mereka hanya demi menjaga nama baik pribadi ? Hanya demi posisi
dan jabatan kita ? Hanya demi relasi kita ? Teringatlah kisah populer
sewaktu masih di Sekolah Dasar dulu tentang "Si Malin Kundang." Ini yang
kurang ajar dariku; Biasanya kalau misa di komunitas suster-suster (maaf ya
saudariku para suster), aku selalu menekankan yang satu ini : "Wow...di
luar komunitasmu Anda HEBAT, tapi kembali ke komunitas, di tengah
saudari-saudarimu sendiri, Anda "HEBOH." Di luar komunitas, senyum Anda
mengembang – kempis kepada setiap orang yang Anda jumpai, tapi kepada
saudari sendiri di komunitas Anda selalu menampakkan muka "papan"(ekspresi
wajah datar alias biasa-biasa saja). Masih lumayan kalau cuma tidak
tersenyum, tapi kadang kita menjadi "domba jinak" di luar, di hadapan
sahabat dan kenalan kita...mentalitas "jaga image" tapi ketika kembali
kepada teman dan anggota keluarga sendiri, kita meraung-raung bagaikan
singa yang kelaparan, yang sedang mencari mangsanya, hanya karena mungkin
sebuah kesalahan kecil.

Pesanku singkat saja untukmu sebagai saudaraku malam ini; "Teman dan sanak
keluarga dekat kita pasti tidak mengungkapkan kerinduan hati mereka untuk
diperlakukan secara istimewa, tapi ini benar bahwa mereka pun memerlukan
sebuah penghargaan yang pantas darimu, biar cuma terima kasih atau maaf."
Mengapa ? Karena justru dalam suka dan dukamu mereka selalu berada di
sampingmu. (Walaupun pasti ada kekecualian dalam pengalaman beberapa teman
: merasa diterima di luar rumah tapi dimusuhi oleh teman dan sanak keluarga
sendiri) Aku hanya mau membisikan ini padamu : "Rangkullah lawanmu dan
peluk-eratlah sahabat dan sanak keluargamu di dekat jantungmu." Belum ada
yang terlambat untuk sebuah perbaikan sikap dan tingkah laku bila Anda
menghendakinya. Lakukanlah dan jangan menunda sampai esok, kawan!


Salam dan doa seorang sahabat untuk para sahabat,

***Duc in Altum***
Efix Sj

Rabu, 13 April 2011

BERANI MENGALAH

BERANI MENGALAH
(Sebuah Percikan Permenungan)

Salah satu episode dalam film yang berjudul "Abraham" sungguh memukau,
karena di situ dikisahkan bagaimana sang tokoh berani memilih untuk
mengalah setelah kemenakannya, yang bernama Lot memilih terlebih dahulu.
Kata-katanya yang terkenal, "Kalau kamu ke kanan, aku ke kiri, kalau kamu
ke kiri aku ke kanan". Suatu sikap mengalah yang luar biasa. Sikap yang
mengalah tidak selamanya kalah, tetapi nanti suatu saat akan memetik
hasilnya. Lihat saja tokoh Jean Valjean dalam novel legendaris "Les
Miserables" tulisan Victor Hugo (1802-1885) bagaimana ia begitu terobsesi
untuk mencintai orang lain, dengan mengadopsi Cosette, anak tidak sah dari
Fantine, meskipun banyak tantangan dari pelbagai pihak. Sudah menjadi
pemandangan umum bahwa orang yang kalah berarti salah. Olah karena itu, ada
sikap gengsi untuk mengakui segala kelemahannya.

Memang dunia ini seolah-olah milik para pemenang dan bukan milik pecundang.
Bagaimana orang-orang yang memenangkan sebuah pertandingan ? Bukankah
mereka diarak serta disambut dengan kalung bunga dan diarak di atas mobil
terbuka disertai sorak-sorai ? Ketika raja Nebukadnezar (605-562 s.M) raja
Babel berhasil melumpuhkan negeri Yehuda, maka dengan semangat dia
berteriak, "Dunia ini adalah milikku." Sebagai pemenang, sang Raja bebas
bertindak apa saja yang ia kehendaki. Sedangkan yang kalah dianggap sebagai
budak. Juga Pharoh, yang dianggap sebagai Dewa yang hidup senantiasa
bertindak sewenang-senang, karena pasti memenangkan segala perkara. Bahkan
dirinya tidak mau kalah dengan dunia kematian, sehingga dibangunlah
piramida yang menurut kepercayaan orang Mesir, sang Raja yang disemayamkan
di tengah piramida itu tidak akan mati.

Kisah-kisah klasik seperti "Jane Eyre" tulisan Charlotte Bronte atau "Si
Bongkok dari Notre Dame" tulisan Victor Hugo, adalah sepenggal cerita yang
hendak mengemukakan tentang perjuangan yang kalah, namun pada akhir cerita
mendapatkan kemuliaan. Jane Eyre hidup dalam penderitaan yang luar biasa.
Namun pada akhirnya menemukan jodoh yang setia kepadanya. Dunia sufi
mengenal ilmu yang namanya "wani ngalah luhur wekasane" yang artinya kalau
kita sabar akan mendatangkan kebaikan pada akhirnya. Bukankah dunia
pewayangan senantiasa mengkisahkan orang-orang yang pada awalnya kalah,
namun pada akhir cerita mendapatkan kemuliaan serta kejayaan. Para putera
Raja, yakni sang pangeran tidak langsung menduduki tahta yang nikmat,
melainkan harus melewati pelbagai cobaan yang amat berat. Dalam "Ramayana"
putra mahkota harus mengalami "pembuangan" selama 12 tahun. Demikian pula
dalam "Mahabaratha" para putra
Pandawa harus dihukum di hutan belantara selama 12 tahun. Memang, dalam
dunia yang mengagungkan kekuasaan dan kekayaan, mereka dipandang sebagai
orang yang kalah. Tetapi dalam kisah-kisah wira-cerita di atas hendak
memberikan makna yang mendalam kepada kita bahwa penderitaan yang
dilandaskan pada kejujuran, ketulusan dan keiklasan, akhirnya mendapatkan
kemenangan dan kemuliaan ataupun mahkota. (no cross no crown).

Banyak kisah nyata yang sebenarnya hendak mempermalukan orang-orang cerdik
pandai. Di Indonesia ini, terlahir orang-orang yang tidak mengandalkan
gelar sebagai wibawa akademik untuk menuliskan sebuah buku. Lihat saja
Sujatmoko alm, Pramudya Ananta Toer alm, Andreas Harefa, dan Andre Wongso
adalah
orang-orang yang tidak memiliki gelar, namun mereka sangat produktif dalam
menelurkan karya-karya ilmiah. Dari segi gelar mereka kalah, namun,
kemenangan gelar akademik tidak berarti menang pula dalam produktivitas
karya-karyanya. Bukankah banyak doktor mandul dalam menuangkan gagasannya.
Saya pernah mendengar ungkapan yang berbunyi, "Menjadi doktor merupakan
puncak dari segala segala praktek ilmiah." Dalam hal ini, gelar doktor
dianggap sebagai tujuan,
sehingga ketika orang sudah mendapatkannya, berhenti pula untuk belajar.

Keberanian untuk mengalah harus diimbangi dengan kebesaran jiwa. Ambil
contoh para misionaris lampau seperti Fransiskus Xaverius. Orang selalu
terheran-heran melihat kekuatan fisik dan mental yang dimilikinya ketika
menjelejahi tanah-tanah asing, berhadapan dengan situasi-situasi penuh
tantangan. Pepatah mengatakan, "Senjata paling digdaya adalah hati manusia
yang berkobar-kobar untuk menaklukkan dunia." Tetapi kita harus juga
mengerti bahwa kemenangan atas dunia itu pertama-tama disadari sebagai
kemenangan atas diri sendiri. Pepatah Latin, "vincit qui se vincit" yang
artinya yang dapat menang adalah yang dapat mengalahkan dirinya sendiri
dapat memberi juga inspirasi bagi permenungan ini. Nabi Muhammad (570-632)
juga pernah mengatakan kepada para pengikutnya, "Perang yang kita lalui
kemarin, belum apa-apa dibandingkan dengan perang yang akan kita hadapi
yakni berperang melawan diri sendiri."

Merauke, 19 Maret 2011

Markus Marlon msc

Selasa, 12 April 2011

Tune-up Pernikahan Anda

Tune-up Pernikahan Anda

Julianto Simanjuntak

Merawat Cinta jauh lebih rumit dari merawat wajah atau mesin mobil.

Membutuhkan banyak waktu, perasaan, pengorbanan, kreatifitas dan seni
menyatakan cinta tingkat tinggi.

Tune-Up Pernikahan Anda. Cinta ibarat mesin pernikahan. Sayangnya tak
banyak yang tahu bagaimana merawat mesin pernikahan itu. Setelah perayaan
nikah, mesin itu terus berjalan tanpa perawatan. Awalnya cinta yang baru
itu hangat, segar dan romantis. Namun karena minim perawatan, mesin cinta
pernikahan itu akhirnya "mati" . Seperti mesin mobil, cinta dalam
pernikahan perlu mendapat perawatan rutin (tune-up). Jika anda rutin
merawat cinta, mesin pernikahan anda ini tetap segar danberfungsi baik.

Beberapa hasil penelitian menunjukkan intimasi berkaitan erat dengan
stress. Relasi yang intim menjadi semacam benteng bagi efek negatif dari
stress. Mereka yang intim dengan pasangan, lebih sedikit mengalami syndrom
yang berkaitan dengan stress. Mereka umumnya cepat dalam mengatasi berbagai
penyakit, dan paling sedikit kemungkinan kumat dengan penyakitnya
dibandingkan mereka yang tidak memiliki relasi yang intim.

Merawat cinta.
Pertama-tama anda perlu memahami aspek-aspek keintiman dalam pernikahan.
Ada lima area keintiman yang perlu perawatan rutin:

Pertama, keintiman emosi. Ini merupakan pengalaman kedekatan secara
perasaan, kemampuan membagikan perasaan secara terbuka, dan mendapat
perhatian penuh dari pasangan. Wujudnya adalah kerinduan untuk bersama, ada
kesukaan ngobrol dan jalan berdua. Intinya, sediakan waktu bermesraan
secara emosi.

Kedua, keintiman sosial. Pengalaman memiliki teman dan kegiatan sosial
bersama-sama. Wujudnya, tidak mudah cemburu. Sebaliknya mau akrab bergaul
dengan sahabat pasangan Anda. Menyediakan waktu ngobrol dan bertemu dengan
sahabat masing-masing.

Ketiga, keintiman seksual (bagi suami-istri). Ini adalah pengalaman
menyatakan afeksi, sentuhan, kedekatan secara fisik dan aktivitas seksual.
Wujudnya adalah punya rasa tertarik pada tubuh pasangan, mengalami orgasme
dan bebas dalam mengkomunikasikan masalah seksual. Tipsnya, sediakan waktu
berkala menikmati hubungan seksual dengan pasangan Anda sesuai kebutuhan
dan kesepakatan, juga kreatif.

Kempat, keintiman rekreasional. Pengalaman membagi kesukaan lewat hobi,
olahraga, dan rekreasi bersama. Kemampuan menikmati waktu senggang bersama.
Rencanakan berlibur setidaknya dua kali setahun, yang menyenangkan bagi
kedua belah pihak termasuk anak-anak.

Kelima, keintiman spiritual. Kemampuan menikmati persekutuan bersama secara
rohani, bertumbuh secara iman serta saling mendoakan. Selain menikmati iman
yang utuh, perlu saling menguatkan saat pasangan dalam kondisi tertekan dan
banyak pergumulan. Anda menjadi teman sharing menyenangkan dan menguatkan

Secara praktis, wujud merawat cinta berikanlah waktu yang cukup dengan
pasangan. Usahakan Anda menjadi teman bicara yang menyenangkan. Sedikit ada
humor dan canda. Suka membantu ketika pasangan membutuhkan pertolongan atau
bantuan. Anda tidak hanya fokus pada bisnis dan karir Anda, sebaliknya
berfokus pada pasangan. Selalu memikirkan bagamana agar pasangan anda
senang dan puas.

Merawat cinta berarti peduli. Bersedia berbagi dan menyatakan diri pada
pasangan tanpa rasa takut atau berpura-pura. Ada kerelaan memelihara
pasangan dan memproteksi kebutuhan fisik dengan baik. Termasuk berkorban
bagi pasangan, membela pasangan saat dia terancam. Semua ini akan
memberikan pasangan Anda rasa aman yang paling mendasar.

Upah Keintiman. Jika Anda bisa membangun dan merawat keintiman di atas,
maka Anda membawa kenikmatan, kepuasan pada pasangan dan diri Anda sendiri.
Anda menikmati kegembiraan, kedamaian, ketentraman, dan minim stres.
Sebaliknya, jika Anda tidak merawat cinta dan keintiman dapat membawa hasil
yang negatif. Antara lain, mudah sakit, banyak keluhan fisik dan psikhis.
Akhirnya, perkawinan tanpa keintiman menimbulkan ketegangan dan kesulitan
yang mempengaruhi kinerja dan karir Anda.

Apakah cinta anda masih hangat membara ? Apakah mesin pernikahan Anda masih
berfungsi baik atau mulai merongrong ? Jika mulai terganggu, kini saatnya
men-tune-up nya. Carilah konsultan pernikahan untuk meraih cinta yang
seolah sudah "hilang". Membuat manis cinta yang sudah hambar. Menghangatkan
cinta yang sudah dingin. Jangan sampai mesin cinta Anda "turun mesin". Itu
hanya akan menambah luka derita hingga ke anak-cucu. Jatuh cinta itu mudah,
tapi tidak demikian merawatnya.

Julianto Simanjuntak

Pendiri Peduli Konseling Nusantara & Penulis "Seni Merayakan Hidup Yang
Sulit" (Gramedia)

Senin, 11 April 2011

Gambaru

*Japanese philosophy of Gambaru -
sharing dari seorang anak Indonesia yg study di Jepang**

Gambaru !
Oleh Rouli Esther Pasaribu pada 14 Maret 2011 jam 12:02

Terus terang aja, satu kata yang bener2 bikin muak jiwa raga setelah tiba
di Jepang dua tahun lalu adalah : GAMBARU alias berjuang mati-matian sampai
titik darah penghabisan. Muak abis, sumpah, karena tiap kali bimbingan sama
prof, kata-kata penutup selalu : motto gambattekudasai (ayo berjuang lebih
lagi), taihen dakedo, isshoni gambarimashoo (saya tau ini sulit, tapi ayo
berjuang bersama-sama), motto motto kenkyuu shitekudasai (ayo bikin
penelitian lebih dan lebih lagi). Sampai gw rasanya pingin ngomong, apa
ngga ada kosa kata lain selain GAMBARU? Apaan kek gitu, yang penting bukan
gambaru.

Gambaru itu bukan hanya sekadar berjuang2 cemen gitu2 aja yang kalo males
atau ada banyak rintangan, ya udahlah ya...berhenti aja. Menurut kamus
bahasa jepang sih, gambaru itu artinya : "doko made mo nintai shite
doryokusuru" (bertahan sampai kemana pun juga dan berusaha abis-abisan)
Gambaru itu sendiri, terdiri dari dua karakter yaitu karakter "keras" dan
"mengencangkan". Jadi image yang bisa didapat dari paduan karakter ini
adalah "mau sesusah apapun itu persoalan yang dihadapi, kita mesti keras
dan terus mengencangkan diri sendiri, agar kita bisa menang atas persoalan
itu". (maksudnya jangan manja, tapi anggap semua persoalan itu adalah
sebuah kewajaran dalam hidup, namanya hidup emang pada dasarnya susah, jadi
jangan ngarep gampang, persoalan hidup hanya bisa dihadapi dengan gambaru,
titik.).

Terus terang aja, dua tahun gw di jepang, dua tahun juga gw ngga
ngerti,kenapa orang2 jepang ini menjadikan gambaru sebagai falsafah
hidupnya. Bahkan anak umur 3 tahun kayak Joanna pun udah disuruh gambaru
disekolahnya, kayak pake baju di musim dingin mesti yang tipis2 biar nggak
manja terhadap cuaca dingin, di dalam sekolah ngga boleh pakai kaos kaki
karena kalo telapak kaki langsung kena lantai itu baik untuk kesehatan,
sakit2 dikit cuma ingus meler2 atau demam 37 derajat mah ngga usah bolos
sekolah, tetap dihimbau masuk dari pagi sampai sore, dengan alasan, anak
akan kuat menghadapi penyakit jika ia relawan penyakitnya itu sendiri.
Akibatnya, kalo naik sepeda di tanjakan sambil bonceng Joanna, dan gw
ngos2an kecapean, otomatis Joanna ngomong : Mama, gambare! Mama faitoooo!
(mama ayo berjuang, mama ayo fight!).

Pokoknya jangan manja sama masalah deh, gambaru sampe titik darah
penghabisan it's a must! Gw bener2 baru mulai sedikit mengerti mengapa
gambaru ini penting banget dalam hidup, adalah setelah terjadi tsunami dan
gempa bumi dengan kekuatan 9.0 di jepang bagian timur. Gw tau, bencana alam
di indonesia seperti tsunami di Aceh, Nias dan sekitarnya, gempa bumi di
padang, letusan gunung Merapi....juga bukanlah hal yang gampang untuk
dihadapi. Tapi , tsunami dan gempa bumi di Jepang kali ini, jauuuuuh lebih
parah dari semuanya itu. Bahkan, ini adalah gempa bumi dan tsunami terparah
dan terbesar di dunia. Wajaaaaaaar banget kalo kemudian pemerintah dan
masyarakat Jepang panik kebingungan karena bencana ini. Wajaaaaar banget
kalo mereka kemudian mulai ngerasa galau, nangis2, ga tau mesti ngapain.
Bahkan untuk skala bencana sebesar ini, rasanya bisa "dimaafkan" jika
stasiun-stasiun TV memasang sedikit musik latar ala lagu-lagu ebiet dan
membuat video klip tangisan anak negeri yang berisi wajah-wajah korban
bencana yang penuh kepiluan dan tatapan kosong tak punya harapan. bagaimana
tidak, tsunami dan gempa bumi ini benar-benar menyapu habis seluruh
kehidupan yang mereka miliki. Sangat wajar jika kemudian mereka tidak punya
harapan.

Tapi apa yang terjadi pasca bencana mengerikan ini? Dari hari pertama
bencana, gw nyetel TV dan nungguin lagu-lagu ala Ebiet diputar di
stasiunTV. Nyari-nyari juga di mana rekening dompet bencana alam. Video
klip tangisan anak negeri juga gw tunggu2in. Tiga unsur itu (lagu ala
Eiet,rekening dompet bencana, video klip tangisan anak negeri), sama sekali
ngga disiarkan di TV.Jadi yang ada apaan dong? Ini yang gw lihat di
stasiun2 TV :

1. Peringatan pemerintah agar setiap warga tetap waspada

2. Himbauan pemerintah agar seluruh warga jepang bahu membahu menghadapi
bencana (termasuk permintaan untuk menghemat listrik agar warga di wilayah
tokyo dan tohoku ngga lama-lama terkena mati lampu)

3. Permintaan maaf dari pemerintah karena terpaksa harus melakukan
pemadamanlistrik terencana

4. Tips-tips menghadapi bencana alam

5. Nomor telepon call centre bencana alam yang bisa dihubungi 24 jam

6. Pengiriman tim SAR dari setiap perfektur menuju daerah-daerah
yangterkena bencana

7. Potret warga dan pemerintah yang bahu membahu menyelamatkan warga
yangterkena bencana (sumpah sigap banget, nyawa di jepang benar-benar
bernilai banget harganya)

8. Pengobaran semangat dari pemerintah yang dibawakan dengan gaya tenang
dan tidak emosional : mari berjuang sama-sama menghadapi bencana, mari kita
hadapi (government official pake kata norikoeru, yang kalo diterjemahkan
secara harafiah : menaiki dan melewati) dengan sepenuh hati

9. Potret para warga yang terkena bencana, yang saling menyemangati : *ada
yang nyari istrinya, belum ketemu2, mukanya udah galau banget, tapi tetap
tenang dan ngga emosional, disemangati nenek2 yang ada di tempat
pengungsian: gambatte sagasoo! kitto mitsukaru kara. Akiramenai de (ayo
kita berjuang cari istri kamu. Pasti ketemu. Jangan menyerah)

*Tulisan di twitter : ini gempa terbesar sepanjang sejarah. Karena itu,
kita mesti memberikan usaha dan cinta terbesar untuk dapat melewati bencana
ini;

Gelap sekali di Sendai, lalu ada satu titik bintang terlihat terang. Itu
bintang yang sangat indah. Warga Sendai, lihatlah ke atas.

Sebagai orang Indonesia yang tidak pernah melihat cara penanganan bencana
ala gambaru kayak gini, gw bener-bener merasa malu dan di saat yang
bersamaan : kagum dan hormat banget sama warga dan pemerintah Jepang. Ini
negeri yang luar biasa, negeri yang sumber daya alamnya terbatas banget,
negeri yang alamnya keras, tapi bisa maju luar biasa dan punya mental
sekuatbaja, karena : falsafah gambaru-nya itu. Bisa dibilang, orang-orang
jepang ini ngga punya apa-apa selain GAMBARU. Dan, gambaru udah lebih dari
cukupu ntuk menghadapi segala persoalan dalam hidup. Bener banget, kita
mesti berdoa, kita mesti pasrah sama Tuhan. Hanya, mental yang apa-apa
"nyalahin" Tuhan, bilang2 ini semua kehendak-Nya, Tuhan marahpada umat-Nya,
Tuhan marah melalui alam maka tanyalah pada rumput yang bergoyang.....I
guarantee you 100 percent, selama masih mental ini yang berdiam di dalam
diri kita, sampai kiamat sekalipun, gw rasa bangsa kita ngga akan bisa
maju.Kalau ditilik lebih jauh, "menyalahkan" Tuhan atas semua bencana
danpersoalan hidup, sebenarnya adalah kata lain dari ngga berani
bertanggungjawab terhadap hidup yang dianugerahkan Sang Pemilik Hidup. Jika
diperjelas lagi, ngga berani bertanggungjawab itu maksudnya : lari dari
masalah, ngga mau ngadepin masalah, main salah2an, ngga mau berjuang dan
baru ketemu sedikit rintangan aja udah nangis manja.

Kira-kira setahun yang lalu, ada sanak keluarga yang mempertanyakan, untuk
apa gw menuntut ilmu di Jepang. Ngapain ke Jepang, ngga ada gunanya, kalo
mau S2 atau S3 mah, ya di Eropa atau Amerika sekalian, kalo di Jepang mah
nanggung. Begitulah kata beliau. Sempat terpikir juga akan perkataannya
itu, iya ya, kalo mau go international ya mestinya ke amrik atau eropa
sekalian, bukannya jepang ini. Toh sama-sama Asia, negeri kecil pula dan
kalo ga bisa bahasa Jepang, ngga akan bisa survive di sini. Sampai sempat
nyesal juga, kenapa gw ngedaleminnya sastra jepang dan bukan sastra inggris
atau sastra barat lainnya.Tapi sekarang, gw bisa bilang dengan yakin sama
sanak keluarga yang menyatakan ngga ada gunanya gw nuntut ilmu di jepang.
Pernyataan beliau adalah salah sepenuhnya. Mental gambaru itu yang paling
megang adalah jepang. Dan menjadikan mental gambaru sebagai way of life
adalah lebih berharga daripada go international dan sejenisnya itu. Benar,
sastra jepang, gender dan sejenisnya itu, bisa dipelajari di mana saja.
Tapi, semangat juang dan mental untuk tetap berjuang abis-abisan biar udah
ngga ada jalan,gw rasa, salah satu tempat yang ideal untuk memahami semua
itu adalah dijepang. Dan gw bersyukur ada di sini, saat ini. Maka, mulai
hari ini, jika gw mendengar kata gambaru, entah di kampus, dimall, di
iklan-iklan TV, di supermarket, di sekolahnya Joanna atau di manapun itu,
gw tidak akan lagi merasa muak jiwa raga. Sebaliknya, gw akan berucap
dengan rendah hati : Indonesia jin no watashi nigambaru no seishin to imi
wo oshietekudasatte, kokoro kara kanshaitashimasu. Nihon jin no minasan no
yoo ni, gambaru seishin wo mi nitsukeraremasu yoo ni, hibi gambatteikitai
to omoimasu. (Saya ucapkan terimakasih dari dasar hati saya karena telah
mengajarkan arti dan mental gambaru bagi saya, seorang Indonesia. Saya akan
berjuang tiap hari, agar mental gambaru merasuk dalam diri saya, seperti
kalian semuanya, orang-orang Jepang).

Say YES to GAMBARU!*

PT. Mitra Reka Graha - your reliable partner

========================================

Saya bekerja di sebuah bank Jepang lebih dari tujuh (7) tahun dan hampir
tiap tahun saya selalu dikirim untuk training di Kantor Pusat (Honbu) di
Tokyo yang letaknya di pusat industri jasa keuangan, mirip seperti di
Wallstreet (Manhattan) New York, yang terletak di Otemachi Chiyoda-ku
Tokyo.

Bangsa Jepang pada dasarnya adalah bangsa yang simpel dan sederhana.
Walaupun tingkat kemakmurannya amat tinggi namun mereka hidup sehat dan
hemat. Mobil hanya dipakai pada saat weekend ke luar kota, pada hari kerja
mereka lebih suka pergi bekerja naik kereta api dan subway (metro atau
kereta api bawah tanah). Tiap orang di sana yang telah bekerja rata2 punya
tabungan yang mencukupi serta polis asuransi yang rata2 tiap orang punya
lebih dari satu atau beberapa polis asuransi untuk bermacam keperluan.

Jika sedang bekerja, suasana di dalam kantor Jepang sangat sunyi dan khusuk
mirip seperti orang sedang beribadah, namun pada waktu istirahat makan
mereka bercakap dan bergurau ramai seperti pasar.

Bangsa Jepang memiliki semangat yang gigih pantang menyerah. Umumnya para
pekerja di kantor jarang mau pulang ke rumah jika pekerjaan penting hari
itu belum berhasil diselesaikan. Atasan berusaha sekuat tenaga memberi
contoh yang baik kepada bawahan dan bawahan jarang berani pulang dulu
sebelum atasan pulang meninggalkan kantor. Karena itu budaya lembur (tanpa
honorarium lembur) telah menjadi budaya dalam perusahaan.

Orang Jepang sangat menghargai hasil kerja kolektif atau yang disebut
sinergy. Jika ada satu tenaga kerja Jepang duduk bersama satu tenaga kerja
bangsa lain, tampaknya hasil kerja atau outputnya tidak berbeda atau sama
saja. Namun coba kumpulkan satu kelompok (team) kerja orang Jepang
dibandingkan satu kelompok kerja bangsa lain, terlihat bahwa kerja kelompok
(team work) orang Jepang sangat unggul dan mumpuni. Ibarat persamaan
matematika: 2 + 2 = 4, namun bagi orang Jepang yang biasa kerja dalam
kelompok, 2 + 2 = 8, atau 2 + 2 = 12.

Orang Jepang juga sangat menghargai dan menjunjung tinggi sebuah prestasi
keberhasilan, di samping itu mereka juga memiliki budaya malu dan budaya
kegagalan yang besar pula. Tiap tahun perusahaan selalu memberikan award
dan penghargaan, baik dalam bentuk sertifikat penghargaan maupun uang dalam
jumlah yang lumayan, bagi para karyawan tertentu yang dianggap telah
menonjol dan sukses di bidang tertentu dan telah memajukan perusahaan. Akan
tetapi tidak jarang pula kita melihat adanya pejabat atau pimpinan puncak
perusahaan yang mengundurkan diri atau bahkan sampai ada yang bunuh diri
jika mereka merasa telah melakukan kegagalan besar atau berbuat skandal
yang memalukan.

Jepang bukan bangsa yang cengeng dan suka minta belas kasihan. Olahraga
mereka yang keras seperti beladiri karate, kempo, kendo, jujitsu, judo,
aikido, sumo, semuanya mengajarkan sifat ksatria, berani mengakui kekalahan
dan dengan tulus menghormati pihak yang menang. Kekalahan diartikan sebagai
harus berlatih lebih keras lagi agar menjadi lebih baik dan sempurna di
kemudian hari. Di dalam budaya kerja semangat itu muncul dalam bentuk
pembaharuan dan perbaikan proses secara terus-menerus (continuous
improvement, yang secara khas Jepang disebut kaizen) demi menciptakan hasil
yang lebih baik atau lebih bermutu, atau lebih efisien, dan sebagainya.

Sikap tidak cengeng dan tidak minta dikasihani orang lain tampak nyata
ketika terjadi bencana gempabumi besar di Kota Kobe (tahun 1995) yang
menelan ribuan korban jiwa dan kerusakan yang sangat parah, Jepang berusaha
mengatasi masalah sendiri dan tidak minta bantuan internasional. Bahkan
dalam bencana terbesar saat ini yang konon paling besar nomor dua dalam
sejarah Jepang setelah Perang Dunia II, yakni:
1. Gempa bumi skala 9.0 richter;
2. Gelompang tsunami di pesisir timur;
3. Bencana darurat nuklir di Fukushima;
Jepang tetap berusaha mengatasi sendiri semua masalah yang ada dengan sabar
dan percaya diri tanpa minta bantuan kepada masyarakat dunia internasional.
Sekian hari dilanda tiga (3) bencana besar secara berturut dan sekaligus,
namun rakyat Jepang walau dalam kondisi menderita dan kekurangan tetap
tabah dan sabar serta tidak lakukan perbuatan tercela seperti penjarahan
atau perampokan makanan. Sungguh satu bangsa yang sangat disiplin dan
beradab.

Mari kita angkat topi bagi rakyat Jepang dan para pemimpinnya yang santun
dan sederhana serta jauh dari tindak pidana korupsi itu, seraya ikut bantu
berdoa kepada Tuhan agar Jepang yang selama ini rajin membantu dunia
internasional dapat segera pulih dari tiga (3) bencana berturutan yang maha
dahsyat itu.

Tuhan memberkati.

Salam.

Gregorius Wisnu Rosariastoko