Sabtu, 29 November 2008

Sakiro Suzuki

Sakiro Suzuki

First school day in an American School. The female Teacher introduces a new student. Sakiro Suzuki (son of Sony CEO).

The class starts.
Teacher : "Let's see who masters the American Culture History. Who said : GIVE ME THE FREEDOM OR THE DEATH".

It was quiet in the class. Suzuki raises the hand : "Patrick Henry  1775 in Philadelphia"

"Very good Suzuki. And who said : "The State is the people. The people may not go down.

Suzuki stands : "Abraham Lincoln 1863 in Washington".

The teacher looks at the students and says : "Shame you. Suzuki is Japanese and knows the American History better than you".

A voice is coming out from background : "Kiss my ass, you damned Japanese".

"Who said that ?" the teacher screams.

Suzuki raises the hand and without waiting he says : "General McArthur 1942 at Panama Canal and Lee Iacocca 1982 in the BOD meeting of General  Motor".

The class is super quiet From behind : "I must vomit"

The teacher screams : "Who was that ?"
Suzuki answers : "George Bush Senior to Japanese First Minister Tanaka during lunch in Tokyo 1991"

One of the students stands and screams angrily : "Blow me one".

The teacher upset : "Now stop. Who was that now ?"

Suzuki without blinking the eye : "Bill Clinton  to Monica Levinsky 1997 in Washington in oval room of White House".

Another student's stands and screams : "Suzuki damned you"

Suzuki says : "Valentino Rossi in Ryo at Grand Prix Motorcycle racing In South Africa 2002".

The class falls in hysteria, the teacher becomes unconscious. The door opens and the  principal comes in : "F**k, I have never seen such a mess"

Suzuki : "German Chancellor Schroeder after he was betrayed in the budget by Finance Minister Eichel".

Kamis, 27 November 2008

Panurata bermimpi : Air berubah menjadi minyak

Di Desa "Gemah Ripah", Panurata, seorang pemuda desa yang tampan dan cerdas ini, termasuk pemuda yang tidak pantang mundur terhadap situasi hidupnya, termasuk kesulitan keluarganya untuk mendapatkan minyak tanah. Dua hari antre di pasar, barulah ia dapat minyak 5 liter,meski dengan harga yang 3 kali lipat lebih mahal. Nah karena kesulitan itulah, Panurata berangan-angan mengubah air menjadi minyak. Isterinya, Jerawati sampai geleng-geleng kepala karena sudah satu bulan, minyak tanahnya malah sering habis tidak untuk masak, tapi untuk uji coba Panurata mengubah air menjadi minyak. Dia mencoba mencampurkan air dengan minyak...tapi tetap saja tidak bisa jadi satu, selalu saja pisah.

Jerawati pun suatu saat jengkel, "Mas, sudah tahu, air tidak bisa bercampur dengan minyak, tetep saja tiap hari dicampur campur...sampai minyak habis. Apa nggak nyadar sih, minyak kan mahal!! Kita saja kurang minyak untuk masak...eh malah buat mainan!! Sadar Mas,...Sadar...!! Dengan penuh kesabaran, Panurata menatap Jerawati, "Jeng...apa kita tidak boleh bermimpi, suatu saat terjadi penemuan yang menggegerkan jagad, air berubah jadi minyak, karena bisa bercampur.! Lalu dari pencampuran itu kan akan kelihatan...manakah unsur yang bisa membuat air bisa jadi minyak! Nah..sekarang ini saya lagi berusaha mencari unsur yang bisa mempersatukan air dan minyak...kalau unsur itu ketemu..wah...kita jadi orang kaya sedunia Jeng!! Jerawati makin cemberut,sampai maju 3 cm bibirnya maju..."Yeee...nggak usah mimpi deh...lihat kenyataan mas, nggak bakal minyak bisa bercampur dengan air, apalagi kok mau mengubah air menjadi minyak!" Panurata lalu berpangku tangan, mulai mengiyakan pendapat isterinya tercinta, "Jeng, memang benar, sampai sekarang, air tidak bisa bercampur dengan minyak, tapi apa salahnya sih aku mencoba?" Jerawati pun lalu mulai kendor ketegangannya, "Okey Mas, aku ikut mendukung percobaanmu...ehmm tapi apa kamu tidak konsultasi dengan seseorang yang bisa menjadi gurumu?" Panurata tersenyum, rasanya isteri tercinta mulai mendukung usahanya, "Okey, nanti aku cari!"

Benar, Panurata mencari seorang guru. Karena itu ia mencari seorang pinisepuh di Desanya, "Gemah Ripah". Pinisepuh itu namanya Mbah Gedhek. Simbah Gedhek menasihati Panurata katanya, "Dik Panu, saya salut dengan usahamu untuk membuat mimpimu jadi kenyataan, istilah yang bagus itu, a dream will come true! Nah, cobalah berjalan dari sini ke arah selatan menuju pegunungan Harta Karun, lalu carilah sebuah gua yang menghadap pantai selatan. Kalau kamu sudah memotong bukit itu, pasti akan ketemu pantai, tidak jauh dari situ akan ada gua yang bagus. Nah di situlah guru itu tinggal! Kira kira 50 km jaraknya!" Dengan wajah ceria penuh harapan, Panurata menanggapi petunjuk guru itu. "Mbah, saya boleh bertanya apa saja kepada guru itu?" Dengan senyum penuh wibawa, Mbah Gedhek pun geleng geleng kepala. "Tidak anakku, kamu hanya boleh bertanya satu kali saja, "unsur apa yang membuat air menjadi minyak?" Panurata pun hanya bisa mengatakan, "Baiklah kalau begitu!" Panurata lalu pamit dan berjalan dengan wajah bergairah, rasanya mimpi itu seolah olah sudah tinggal selangkah lagi!

Sepulang dari rumah Mbah Gedhek, Panurata lalu cerita kepada Jerawati. "Jeng, aku sudah tanya Mbah Gedhek. Aku harus ketemu seorang guru di gua, di balik pegunungan Harta Karun, Wilayah Provinsi Artomoro, sekitar 50 km. Dan dari jalan besar ke gua itu 25 km, hanya bisa ditempuh dengan jalan kaki." Jerawati terpana, "Haah....tapi ya kalau memang sudah jadi niat dan tekadmu yang "keukeuh", aku hanya bisa mendukungmu dengan doa!". Panurata begitu bahagia malam itu, rasanya mimpi itu sudah mulai terpampang di depan matanya, seperti membalik telapak tangan.

Akhirnya pada sabtu pagi, sekitar pk 4 Panurata memulai perjalanan. Dia naik bis kota, dan sesampai di perbatasan Provinsi Artomoro yang berjarak 25 km dari desanya, dia lalu turun dan berjalan menuju gua di balik pegunungan Harta Karun. Dia melewati jalan sempit, perbukitan, kadang jalan setapak yang tepi kanan dan kirinya berupa jurang. Sabtu sore, menjelang jam 15, Panurata sampai di gua itu. Lalu masuklah, dan dengan suara keras dia menyapa, "Punteeeen..... Punteeeen...!!" Lalu keluarlah seorang gadis yang kelihatan dewasa, bernampilan rok panjang warna putih dan rambut panjangnya sebahu terurai. Gadis itu kelihatan cantik! Panurata lalu menyapa, "Maaf, apakah saya bisa mencari seorang guru yang mengajari saya segala ilmu?" Gadis itu menjawab, "Mas, dapat informasi dari siapa, kok jauh jauh mencari seorang guru sampai di sini?" Panurata pun dengan agak malu-malu menjawab, "dari Mbah Gedhek, Non!" Gadis itu, melipat tangan di dadanya, lalu menanggapi, "Ehmmm...begitu..iya benar..saya kenal beliau! Terus apa yang mau kamu tanyakan pada saya? Dan ingat, kamu hanya boleh bertanya satu pertanyaan, tidak boleh lebih." Panurata lalu menyahut, "Baik, saya akan ajukan satu pertanyaan!" Panurata masih kelihatan grogi, melihat gadis cantik yang katanya "guru" segala ilmu itu. Lalu Panuratapun mengajukan pertanyaan,."Non, apakah Anda sudah menikah?"

Begitulah cerita pendek itu berakhir, dan sampai sekarang, air tidak pernah berubah menjadi minyak, karena Panurata tidak tanya "unsur apa yang bisa membuat air jadi minyak", tetapi malahan bertanya, "Non, apakah Anda sudah menikah?"

Cerita itu memberikan pesan,
"Begitu kuat niat dan tekad untuk mengubah segalanya, tapi ketika berhadapan dengan kenyataan sesungguhnya, kita kerap kali berubah pikiran."

Empati

EMPATI
By: Andy F Noya

Suatu malam, sepulang kerja, saya mampir di sebuah restoran cepat saji dikawasan Bintaro. Suasana sepi. Di luar hujan. Semua pelayan sudah berkemas. Restoran hendak tutup. Tetapi mungkin melihat wajah saya yang memelas karena lapar, salah seorang dari mereka memberi aba-aba untuk tetap melayani. Padahal, jika mau, bisa saja mereka menolak.

Sembari makan saya mulai mengamati kegiatan para pelayan restoran. Ada yang menghitung uang, mengemas peralatan masak, mengepel lantai dan ada pula yang membersihkan dan merapikan meja-meja yang berantakan.

Saya membayangkan rutinitas kehidupan mereka seperti itu dari hari ke hari. Selama ini hal tersebut luput dari perhatian saya. Jujur saja, jika menemani anak-anak makan di restoran cepat saji seperti ini, saya tidak terlalu hirau akan keberadaan mereka. Seakan mereka antara ada dan tiada. Mereka ada jika saya membutuhkan bantuan dan mereka serasa tiada jika saya terlalu asyik menyantap makanan.

Namun malam itu saya bisa melihat sesuatu yang selama ini seakan tak terlihat. Saya melihat bagaimana pelayan restoran itu membersihkan sisa-sisa makanan di atas meja. Pemandangan yang sebenarnya biasa-biasa saja. Tetapi, mungkin karena malam itu mata hati saya yang melihat, pemandangan tersebut menjadi istimewa.

Melihat tumpukan sisa makan di atas salah satu meja yang sedang dibersihkan, saya bertanya-tanya dalam hati: siapa sebenarnya yang baru saja bersantap di meja itu? Kalau dilihat dari sisa-sisa makanan yang berserakan, tampaknya rombongan yang cukup besar. Tetapi yang menarik perhatian saya adalah bagaimana rombongan itu meninggalkan sampah bekas makanan.

Sungguh pemandangan yang menjijikan. Tulang-tulang ayam berserakan di atas meja. Padahal ada kotak-kotak karton yang bisa dijadikan tempat sampah. Nasi di sana-sini. Belum lagi di bawah kolong meja juga kotor oleh tumpahan remah-remah.
Mungkin rombongan itu membawa anak-anak.

Meja tersebut bagaikan ladang pembantaian. Tulang belulang berserakan. Saya tidak habis pikir bagaimana mereka begitu tega meninggalkan sampah berserakan seperti itu. Tak terpikir oleh mereka betapa sisa-sisa makanan yang menjijikan itu harus dibersihkan oleh seseorang, walau dia seorang pelayan sekalipun.

Sejak malam itu saya mengambil keputusan untuk membuang sendiri sisa makanan jika bersantap di restoran semacam itu. Saya juga meminta anak-anak melakukan hal yang sama. Awalnya tidak mudah. Sebelum ini saya juga pernah melakukannya.
Tetapi perbuatan saya itu justru menjadi bahan tertawaan teman-teman. Saya dibilang sok kebarat-baratan. Sok menunjukkan pernah keluar negeri. Sebab di banyak negara, terutama di Eropa dan Amerika, sudah jamak pelanggan membuang sendiri sisa makanan ke tong sampah. Pelayan terbatas karena tenaga kerja mahal.

Sebenarnya tidak terlalu sulit membersihkan sisa-sisa makanan kita. Tinggal meringkas lalu membuangnya di tempat sampah. Cuma butuh beberapa menit. Sebuah perbuatan kecil. Tetapi jika semua orang melakukannya, artinya akan besar sekali bagi para pelayan restoran.

Saya pernah membaca sebuah buku tentang perbuatan kecil yang punya arti besar. Termasuk kisah seorang bapak yang mengajak anaknya untuk membersihkan sampah di sebuah tanah kosong di kompleks rumah mereka. Karena setiap hari warga kompleks melihat sang bapak dan anaknya membersihkan sampah di situ, lama-lama mereka malu hati untuk membuang sampah disitu.

Belakangan seluruh warga bahkan tergerak untuk mengikuti jejak sang bapak itu dan ujung-ujungnya lingkungan perumahan menjadi bersih dan sehat. Padahal tidak ada satu kata pun dari bapak tersebut. Tidak ada slogan, umbul-umbul, apalagi spanduk atau baliho. Dia hanya memberikan keteladanan. Keteladanan kecil yang berdampak besar.

Saya juga pernah membaca cerita tentang kekuatan senyum. Jika saja setiap orang memberi senyum kepada paling sedikit satu orang yang dijumpainya hari itu, maka dampaknya akan luar biasa. Orang yang mendapat senyum akan merasa bahagia. Dia lalu akan tersenyum pada orang lain yang dijumpainya. Begitu seterusnya, sehingga senyum tadi meluas kepada banyak orang. Padahal asal mulanya hanya dari satu orang yang tersenyum.

Terilhami oleh sebuah cerita di sebuah buku "Chiken Soup", saya kerap membayar karcis tol bagi mobil di belakang saya. Tidak perduli siapa di belakang. Sebab dari cerita di buku itu, orang di belakang saya pasti akan merasa mendapat kejutan. Kejutan yang menyenangkan. Jika hari itu dia bahagia, maka harinya yang indah akan membuat dia menyebarkan virus kebahagiaan tersebut kepada orang-orang yang dia temui hari itu. Saya berharap virus itu dapat menyebar ke banyak orang.

Bayangkan jika Anda memberi pujian yang tulus bagi minimal satu orang setiap hari. Pujian itu akan memberi efek berantai ketika orang yang Anda puji merasa bahagia dan menularkan virus kebahagiaan tersebut kepada orang-orang di sekitarnya.

Anak saya yang di SD selalu mengingatkan jika saya lupa mengucapkan kata "terima kasih" saat petugas jalan tol memberikan karcis dan uang kembalian. Menurut dia, kata "terima kasih" merupakan "magic words" yang akan membuat orang lain senang. Begitu juga kata "tolong" ketika kita meminta bantuan orang lain, misalnya pembantu rumah tangga kita.

Dulu saya sering marah jika ada angkutan umum, misalnya bus, mikrolet, bajaj, atau angkot seenaknya menyerobot mobil saya. Sampai suatu hari istri saya mengingatkan bahwa saya harus berempati pada mereka. Para supir kendaraan umum itu harus berjuang untuk mengejar setoran. "Sementara kamu kan tidak mengejar setoran?'' Nasihat itu diperoleh istri saya dari sebuah tulisan almarhum Romo Mangunwijaya.Sejak saat itu, jika ada kendaraan umum yang menyerobot seenak udelnya,
saya segera teringat nasihat istri tersebut.

Saya membayangkan, alangkah indahnya hidup kita jika kita dapat membuat orang lain bahagia. Alangkah menyenangkannya jika kita bisa berempati pada perasaan orang lain. Betapa bahagianya jika kita menyadari dengan membuang sisa makanan  kita di restoran cepat saji, kita sudah meringankan pekerjaan pelayan restoran.

Begitu juga dengan tidak membuang karcis tol begitu saja setelah membayar, kita sudah meringankan beban petugas kebersihan. Dengan tidak membuang permen karet sembarangan, kita sudah menghindari orang dari perasaan kesal karena sepatu atau celananya lengket kena permen karet.

Kita sering mengaku bangsa yang berbudaya tinggi tetapi berapa banyak di antara kita yang ketika berada di tempat-tempat publik, ketika membuka pintu, menahannya sebentar dan menoleh kebelakang untuk berjaga-jaga apakah ada orang lain di belakang kita? Saya pribadi sering melihat orang yang membuka pintu lalu melepaskannya begitu saja tanpa perduli orang di
belakangnya terbentur oleh pintu tersebut.

Jika kita mau, banyak hal kecil bisa kita lakukan. Hal yang tidak memberatkan kita tetapi besar artinya bagi orang lain. Mulailah dari hal-hal kecil-kecil. Mulailah dari diri Anda lebih dulu. Mulailah sekarang juga.

 

Rabu, 26 November 2008

Kebebasan

KEBEBASAN
by Wayne B. Lynn

Suatu hari di musim semi yang berangin, aku mengamati anak-anak muda sedang memanfaatkan angin untuk menerbangkan layang-layang mereka. Beraneka warna dan bentuk serta ukuran memenuhi langit, menukik dan menari-nari di angkasa.

Ketika angin keras berhembus, layang-layang itu tertahan oleh seutas benang. Bukannya hilang tertiup angin, layang-layang itu malah membubung tinggi. Layang-layang itu bergetar menarik-narik, tapi benang tetap mengekang mereka, mengarahkan mereka ke atas menentang angin. Ketika
layang-layang berjuang serta bergetar melawan benang itu, mereka seakan berkata : "Lepaskan aku! Lepaskan aku! Aku ingin bebas merdeka!"

Layang-layang itu melayang, membubung serta meluncur dengan indahnya meskipun mereka terikat oleh benang dan mendapat terpaan angin kencang.

Akhirnya, salah satu benang layang-layang itu putus. Layang-layang itu bebas. "Hura.., akhirnya aku bisa bebas juga", tampaknya itu yang dikatakan oleh layang-layang itu.

Namun kebebasan dari hambatan tali tadi membawa nasibnya ditentukan oleh tiupan angin yang kurang ramah. Ia - layang-layang putus itu - terombang-ambing sampai akhirnya jatuh ke tanah, mendarat di semak-semak liar.

Kebebasan itu berakhir, dia tinggal tidak berdaya ditiup angin kesana-kemari di atas tanah tanpa ada yang menolong dan akhirnya hancur berantakan.

Kitapun kadang-kadang mirip sekali dengan layang-layang. Tuhan memberi kita hukum dan peraturan-peraturan untuk diikuti agar kita bisa tahu cara untuk menggapai ketinggian. Tuhan juga memberi kita badai cobaan untuk meningkatkan kemampuan. Hambatan dan ujian adalah tantangan yang diperlukan agar kita semakin tinggi melayang. Tapi beberapa di antara kita menyentak dan meronta-ronta, mencoba lepas dari kekangan dan peraturan-peraturan, sehingga
kita malahan tidak berhasil membubung mencapai ketinggian yang semestinya kita raih. Kita tetap tertinggal di tanah.

Marilah kita masing-masing naik ke ketinggian yang disediakan oleh Tuhan kita. Kita sadari bahwa peraturan dan kesulitan yang Tuhan berikan sesungguhnya adalah tantangan yang membantu kita untuk bisa tinggal landas, melayang tinggi dan berhasil jaya. (JM)

Shared by Joe Gatuslao -- Bacolod City, Philippines

Selasa, 25 November 2008

Bakat terpendam

BAKAT TERPENDAM

Kadang-kadang kita semua ingin menyangkal bakat alami yang Tuhan berikan, sebab dengan adanya bakat dan ketrampilan akan datang pula tuntutan tanggung jawab.

Mungkin diperlukan seseorang lain untuk menunjukkan suatu bakat khusus yang kita miliki. Misalnya, ketika pada suatu pertemuan, aku berkata : "Saya cuma punya satu bakat". Dengan itu saya mau merangsang pendengar-pendengarku untuk memakai bakat yang dimiliki. Tiba-tiba ada seorang wanita muda menemui saya, kemudian berkata : "Yang anda katakan tadi tidak benar".  "Wah", aku ngomong sendiri, "apa aku tadi berbohong ?" Wanita itu melanjutkan dan membuatku tenang : "Aku tahu karya tulismu dan hal-hal lain yang anda kerjakan, tapi yang terbaik pada dirimu yaitu betapa akrabnya anda sebagai teman saat duduk ngobrol di perapian".

Jadi jelaslah bahwa kita bisa memakai suatu bakat biarpun kita tak sadar bahwa kita memilikinya. Malam itu aku merasa begitu berbesar hati ketika mengetahui, bahwa "hanya dengan duduk di perapian sambil menjadi sahabat" sudah merupakan "bakat" yang dianugerahkan Tuhan.

Kita bisa menghabiskan waktu sejam bersama dengan kawan-kawan untuk saling membantu mengenali dan menemukan bakat-bakat khusus yang telah kita terima. Dengan cara-cara sederhana seperti itu kita bisa saling menerangkan dan mendorong. Bukan lagi saatnya beralasan seperti : "Ah, aku tak bisa..... mengerjakan ini atau itu". Sebaliknya, akan lebih mermanfaat jika dapat saling membantu mengenali bakat dan kemampuan kita.

Mungkin kita bisa saja mempunyai beberapa pilihan mengenai bakat atau kemampuan yang kita miliki. Barangkali kita juga ingin mencoba menukar bakat kita  dengan dengan yang lainnya yang lebih menarik. Tapi Allah kita yang Maha Bijaksana sudah memberikan dan membagi sesuai kehendakNya. Dan suatu hari Dia akan meminta pertanggungjawaban, bagaimana kita masing-masing telah memanfaatkan anugerah-anugerah itu.

Kalau anda dan saya ingin dipakai oleh Tuhan, sudah selayaknya bila kita mulai tekun mencari kemampuan khusus kita dan langsung segera mempraktekkannya.

Ada pertanyaan bagus yang boleh kita tanyakan kepada diri sendiri: Kalau bukan saya yang mengerjakannya hari ini, lantas siapa yang akan melakukan ? (JM)

By Jeanette Lockerbie,
That Unrecognized Talent.

Senin, 24 November 2008

Menyediakan segalanya

Menyediakan apa yang kita tidak mampu

Seorang pimpinan sebuah toko mendengar bawahannya berkata pada seorang
langganan : "Maaf Bu, kami sudah sejak beberapa minggu ini belum
mendapatkannya dan kelihatannya kita tidak bakalan mendapatkannya dalam
waktu dekat ini".

Dengan kuatir, pimpinan itu bergegas lari menyusul si pelanggan yang sedang
berjalan keluar pintu, katanya : "Maaf Bu, itu tadi tidak benar. Tentu saja,
tidak lama lagi sudah akan kami terima, karena kami sudah mengirimkan
pesanan beberapa minggu yang lalu".

Lalu si manejer itu menarik pembantunya itu kesamping dan ia menasehati :
"Jangan jangan sekali-kali kau katakan kita tidak punya sesuatu. Kalaupun
kita tak punya, katakan saja kita sudah memesan dan sedang dalam perjalanan
kemari, pokoknya sudah dikirim dari sana, mengerti ? Sekarang, apa sih yang
Ibu tadi butuhkan ?"

"Hujan !"

Kadang-kadang sebanyak apapun yang ingin bisa kita sediakan bagi orang-orang
yang membutuhkannya, kenyataannya kita tidak mampu. Ada hal-hal lain yang
hanya bisa disediakan Allah.

Mungkin anda berada dalam situasi begitu akhir-akhir ini. Mungkin ada
anggota keluarga anda yang sedang menderita suatu penyakit berat. Atau
mungkin anda punya seorang anak yang sedang kuliah jauh dari rumah dan
sedang mengalami pencobaan dan kini sedang kesepian sekali. Atau mungkin ada
teman anda yang sedang mengalami masa-masa berat di dalam pernikahannya.

Ada beberapa hal kecil yang bisa anda bantu lakukan, namun pada akhirnya
anda begitu merasa tak berdaya, sebab anda benar-benar tak bisa menyediakan
apa yang benar-benar mereka butuhkan. Jadi anda lalu berdoa pada Tuhan,
sebab hanya Allah saja yang bisa menyediakan.

Terkadang kita membuat kesalahan dengan berpikir : "Berdoa, itu paling
sedikit yang bisa kita kerjakan".
Salah itu ! Bukan begitu, justru berdoa adalah yang paling banyak yang bisa
kita lakukan. Kita mempunyai Allah yang bisa menyediakan segala apa yang
kita sendiri tidak mampu lakukan. Ingatlah itu saat anda merasa tidak mampu
untuk memenuhi kebutuhan setiap orang di sekitar anda.

Shared by Joe Gatuslao

Jumat, 21 November 2008

Pilihan Bijaksana

PILIHAN BIJAKSANA

Di saat menuju jam istirahat kelas, dosen mengatakan pada mahasiswa/i nya :

"Mari kita buat satu permainan, mohon bantu saya sebentar". Kemudian salah satu Mahasiswa berjalan menuju pelataran papan tulis.

DOSEN : Silahkan tulis 20 nama yang paling dekat dengan anda. Dalam sekejap sudah dituliskan semuanya, ada nama tetangganya, teman kantornya, orang terkasih dan lain-lain.

DOSEN : Sekarang silahkan coret satu nama diantaranya yang menurut anda paling tidak penting !
Siswa itu lalu mencoret satu nama, nama tetangganya.

DOSEN : Silahkan coret satu lagi !
Kemudian Siswa itu mencoret satu nama teman kantornya lagi.

DOSEN : Silahkan coret satu lagi !

Siswa itu mencoret lagi satu nama dari papan tulis dan seterusnya. Sampai pada akhirnya diatas papan tulis hanya tersisa tiga nama , yaitu nama orang tuanya, Istrinya dan nama anaknya. Dalam kelas tiba-tiba terasa begitu sunyi tanpa suara, semua Mahasiswa/siswi tertuju memandang ke arah dosen, dan mereka mengira sudah selesai tidak ada lagi yang harus dipilih oleh
siswi itu.

Tiba-tiba dosen memecahkan keheningan dengan berkata : "Silahkan coret satu lagi ! "

Dengan pelahan-lahan siswa itu melakukan suatu pilihan yang amat sangat sulit. Dia kemudian mengambil kapur tulis, mencoret nama orang tuanya.

DOSEN : "Silahkan coret satu lagi!"

Hatinya menjadi binggung. Kemudian ia mengangkat kapur tulis tinggi-tinggi. lambat laun menetapkan dan mencoret nama anaknya. Dalam sekejap waktu, sepertinya mahasiswa itu sangat sedih.

Setelah suasana tenang, Dosen lalu bertanya " Orang terkasihmu bukannya Orang tuamu dan Anakmu ?, Orang tua yang membesarkan anda, anak adalah anda yang merawatnya, sedang istri itu bisa dicari lagi. Tapi mengapa anda berbalik lebih memilih istri sebagai orang yang paling sulit untuk dipisahkan ?

Semua teman sekelas mengarah padanya, menunggu apa yang akan dijawabnya. Setelah agak tenang, kemudian pelahan-lahan ia berkata : "Sesuai waktu yang berlalu, orang tua akan pergi dan meninggalkan saya, sedang anak jika sudah besar setelah itu menikah bisa meninggalkan saya juga, yang benar-benar bisa menemani saya dalam hidup ini hanyalah istri saya.

Kamis, 20 November 2008

Baju-baju yang menipu

Baju-Baju Yang Menipu

Seorang wanita yang mengenakan gaun pudar menggandeng suaminya yang
berpakaian sederhana dan usang, turun dari kereta api di Boston, dan
berjalan dengan malu-malu menuju kantor Pimpinan Harvard University.
Mereka ingin bertemu Pimpinan.

Sang sekretaris Universitas langsung mendapat kesan bahwa mereka
adalah orang kampung, udik, sehingga tidak mungkin ada urusan di Harvard
dan bahkan mungkin tidak pantas berada di Cambridge.

"Kami ingin bertemu Pimpinan Harvard", kata sang pria lembut.

"Beliau hari ini sibuk," sahut sang Sekretaris cepat.

"Kami akan menunggu," jawab sang Wanita.

Selama 4 jam sekretaris itu mengabaikan mereka, dengan harapan bahwa
pasangan tersebut akhirnya akan patah semangat dan pergi. Tetapi
nyatanya tidak. Sang sekretaris mulai frustrasi, dan akhirnya memutuskan
untuk melaporkan kepada sang pemimpinnya.

"Mungkin jika Anda menemui mereka selama beberapa menit, mereka akan
pergi," katanya pada sang Pimpinan Harvard.

Sang pimpinan menghela nafas dengan geram dan mengangguk. Orang
sepenting dia pasti tidak punya waktu untuk mereka. Dan ketika dia
melihat dua orang yang mengenakan baju pudar dan pakaian usang diluar
kantornya,  rasa tidak senangnya sudah muncul.

Sang Pemimpin Harvard, dengan wajah galak menuju pasangan tersebut.
Sang wanita berkata padanya, "Kami memiliki seorang putra yang kuliah tahun
pertama di Harvard. Dia sangat menyukai Harvard dan bahagia di sini.
Tetapi setahun yang lalu, dia meninggal karena kecelakaan. Kami ingin
mendirikan peringatan untuknya, di suatu tempat di kampus ini. Bolehkan ?",
tanyanya dengan mata yang menjeritkan harap.

Sang Pemimpin Harvard tidak tersentuh, wajahnya bahkan memerah. Dia
tampak terkejut. "Nyonya," katanya dengan kasar, "Kita tidak bisa
mendirikan tugu untuk setiap orang yang masuk Harvard dan meninggal.
Kalau kita lakukan itu, tempat ini sudah akan seperti kuburan."

"Oh, bukan," Sang wanita menjelaskan dengan cepat, "Kami tidak ingin
mendirikan tugu peringatan. Kami ingin memberikan sebuah gedung untuk
Harvard."

Sang Pemimpin Harvard memutar matanya. Dia menatap sekilas pada baju
pudar dan pakaian usang yang mereka kenakan dan berteriak, "Sebuah
gedung?! Apakah kalian tahu berapa harga sebuah gedung ?! Kami memiliki
lebih dari 7,5 juta dolar hanya untuk bangunan fisik Harvard."

Untuk beberapa saat sang wanita terdiam. Sang Pemimpin Harvard
senang. Mungkin dia bisa terbebas dari mereka sekarang. Sang wanita
menoleh pada suaminya dan berkata pelan, "Kalau hanya sebesar itu biaya
untuk memulai sebuah universitas, mengapa tidak kita buat sendiri saja ?"
Suaminya mengangguk. Wajah sang Pemimpin Harvard menampakkan kebingungan.

Mr. dan Mrs. Leland Stanford bangkit dan berjalan pergi, melakukan
perjalanan ke Palo Alto, California, di sana mereka mendirikan sebuah
Universitas yang menyandang nama mereka, sebuah peringatan untuk
seorang anak yang tidak lagi diperdulikan oleh Harvard. Universitas
tersebut adalah Stanford University, salah satu universitas favorit kelas
atas di AS.

Kita, seperti pimpinan Hardvard itu, acap silau oleh baju, dan lalai.
Padahal, baju hanya bungkus, apa yang disembunyikannya, kadang sangat
tak ternilai. Jadi, janganlah kita selalu abai, karena baju-baju, acap
menipu.

Rabu, 19 November 2008

Melampaui Suka Dan Duka

Rekan-rekan Alumni Pika yang budiman,
Ada pepatah mengatakan : Kehidupan itu seperti roda berputar, kadang naik kadang turun. Suatu siklus yang tidak terelakkan. Kalau sedang jaya, kita tertawa. Kalau sedang jatuh kita sedih. Gede Prama di bawah ini menuturkan : seharusnya baik jaya maupun jatuh kita bisa tetap tertawa. Bagaimana kiatnya ? Simak penuturannya berikut ini.

Melampaui Suka Dan Duka
Oleh: Gede Prama

Kalau sejarah manusia, dibentangkan dalam kurun waktu yang panjang dan lama, bisa jadi kebanyakan ditandai oleh siklus menaik dan menurun. Dalam spekulasi fikiran saya, mungkin tidak ada sejarah yang tidak ditandai siklus naik turun.

Coba perhatikan, kebanyakan manusia lahir sebagai anak-anak lengkap dengan sifat kekanak-kanakannya. Kemudian tumbuh dewasa - sebagian malah amat berkuasa, namun bagaimanapun hebat kekuasaannya, toh harus melewati masa-masa senja yang kekanan-kanakan lagi..

Demikian juga kisah banyak bangsa. Jepang, sebagai contoh, runtuh oleh kekalahan perang, kemudian pelan-pelan bangkit sebagai perekonomian yang berbasiskan barang murah dan kualitas rendah. Sekarang, sebagaimana kita tahu bersama, ia menjadi kekuatan ekonomi yang menentukan.

Di tengah-tengah sejarah yang by nature ditandai oleh siklus naik turun ini, kebanyakan orang hanya menjadi 'korban tidak berdaya'. Tatkala sejarah bergerak naik, tawa, bahagia yang kerap disertai kesombongan dan kecongkakanlah sahabatnya. Ketika sejarah bergerak turun, kesedihan dan air mata bergelimang di mana-mana. Jarang bahkan teramat jarang terjadi, ada manusia yang berhasil keluar dari perangkap naik turun ini.

Ini yang bisa menjelaskan, kenapa banyak bintang film/sinetron demikian cantik dan bersinar ketika masih jaya. Namun, jangankan kecantikan, yang lebih dalam dari penampilan fisikpun ikut pudar bersama ketidakterkenalannya. Atau, mereka yang demikian cepat meninggal ketika memasuki usia pensiun. Intinya cuma satu, ketika kehidupan bergerak naik, jarang ada orang yang sudah mempersiapkan diri - terutama secara kejiwaan - bahwa cepat atau lambat sang kehidupan pasti bergerak turun.

Dari seluruh ilustrasi ini, tampak jelas bahwa betapa lama kita manusia membiarkan diri menjadi korban tidak berdaya dari siklus suka dan duka. Hampir semua energi kita terkuras habis untuk naik turun bersama siklus tadi. Tidak sedikit persoalan manusia, justru berakar dari sini : hanya siap ketika naik, tidak siap tatkala turun.

Tidak hanya Anda, sebagai manusia biasa saya pun masih 'dipermainkan' oleh siklus tadi - kendati lewat meningkatnya kedewasaan dampak negatifnya semakin berkurang dan berkurang. Ada semacam kemanjaan untuk hanya menerima pujian, dan menolak kritikan orang lain. Ada sejenis kemaruk untuk hanya menerima kesenangan, dan menolak kesedihan. Ada dorongan dari dalam, agar keluarga menerima segala kelemahan saya, dan tidak siap menghadapi kenyataan bahwa ada segi hidup saya yang ditolak mereka.

Setelah lama dibuat amat lelah dengan siklus naik turun ini, saya sedang mempelajari hidup yang melampui suka dan duka. Banyak rekan yang ragu, kalau saya bisa melakukannya. Belum sepenuhnya berhasil memang - karena kadang masih dipermainkan siklus tadi, namun ada banyak sekali yang berubah dalam kehidupan saya, setelah jalan melampaui suka dan duka mulai ditempuh. Dengan niat hanya untuk berbagi - tidak ada niat lain, dan bahkan kalau ada yang mau melengkapi it's more than welcome - izinkan saya berbagi cerita bagaimana jalan melampaui suka dan duka saya buka dan jalani.

Pertama, penting sekali menyadari secara amat dalam, kalau suka dan duka itu pasti - sekali lagi pasti - datang silih berganti. Hanya persoalan waktu saja. Ketika Anda berpelukan dengan rasa suka, sadari dan ingatkan diri kalau dia akan diganti duka. Demikian juga sebaliknya. Tidak ada satupun mahluk Tuhan yang bisa membantahnya. Dengan kesadaran dan kesiapan seperti ini, pengaruh siklus suka-duka bisa dikurangi dalam kadar yang cukup menentukan. Di tingkatan yang lebih tinggi, belajarlah untuk berpelukan sama mesranya, antara berpelukan dengan suka maupun duka.

Kedua, meminjam logika dalam Roots of Wisdom yang ditulis Hong Yingming, manusia hidup seperti pemain teater. Ketika berpentas, aktor memiliki martabat dan rasa bangga - lebih-lebih kalau dia dipuja. Aktingnya mungkin bagus. Namun, ketika pertunjukan selesai, ia hanyalah orang biasa. Demikian juga kehidupan setiap orang. Berawal dari orang biasa dan berakhir sebagai orang biasa. Dengan menyadari akar dalam bentuk orang biasa, sehebat apapun siklus suka-duka, dia tidak akan bisa menghempaskan kita. Sebab, bagaimana bisa terhempas, kalau setiap saat kita mengingatkan diri akan asal muasal kita sebagai orang biasa.

Ketiga, baik suka dan duka sebenarnya tidak ada pada jabatan, uang maupun kejadian. Semuanya adalah hasil produksi fikiran. Fikiranlah yang membuatnya demikian. Nah, melampaui suka-duka berarti melampaui fikiran. Ada banyak rekan yang tidak percaya kalau fikiran bisa dilampaui. Seolah-olah, tidak ada dunia di luar fikiran. Dalam kesederhanaan ingin saya bertutur ke Anda, dengan mendalami bahwa ada suka dalam duka, dan ada duka dalam setiap suka, maka kita sudah membuat langkah pertama menuju melampaui sang fikiran.

Kalau kehidupan diibaratkan dengan perjalanan. Dalam kehidupan yang telah melampaui fikiran, di mana-mana tersedia 'petunjuk jalan'. Pada banyak kejadian terbukti, ada saja kekuatan yang membuat kehidupan mengalir tanpa paksaan. Ada memang orang yang menyebut kehidupan seperti ini seperti kaos kaki (baca : selalu diinjak). Ada juga orang yang bahkan menyebut kehidupan seperti ini dengan kehidupan yang tercerahkan. Saya sendiri kurang menyukai sebutan, karena dia juga output fikiran.

Selasa, 18 November 2008

Matematika Cinta

Matematika Cinta
Oleh: Gede Prama

Entah cerita ini benar atau tidak, dan saya tidak bisa mempertanggungjawabkannya, pada sebuah kelas pendidikan pemberantasan buta huruf yang diisi berbagai macam orang dewasa dengan beragam latar belakang di sebuah pojokan kota Jakarta, pernah terjadi sebuah dialog menarik. Ketika guru bertanya satu tambah satu sama dengan berapa, jawaban siswanya amat beragam.

Yang pertama langsung menjawab adalah murid dari Batak, dengan jawaban jelas dan tegas : dua! Murid-murid asli Jawa yang terkenal santun dan luwes, setelah mengerutkan dahi tanda serius dan menghargai gurunya, mereka sepakat menjawab : bisa tiga kurang satu, bisa juga empat dikurangi dua. Sahabat dari Sunda juga menjawab sopan : kumaha Bapa Wae.
Dan yang memperoleh perhatian paling banyak adalah jawaban rekan dari Padang. Mereka menyebut bahwa satu tambah satu sama dengan tiga. Ketika ditanya balik alasannya, serempak mereka menjawab : kalau satu tambah satu sama dengan dua, artinya pulang modal. Jadi, mesti ada untung sekurang-kurangnya satu!

Itulah matematika realita yang penuh dinamika. Bukan matematika ala sekolahan yang membuat semuanya serba steril, serta kurang dinamika. Dan Andapun bebas memilih matematika yang mana, entah matematika realita, atau matematika sekolahan. Tidak ada pilihan yang selalu lebih baik, selalu tepat, apa lagi selalu benar. Semuanya senantiasa dibingkai keterbatasan seperti ruang dan waktu.

Serupa dengan matematika realita tadi, ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) kalau boleh jujur sebenarnya juga penuh dinamika. Ada juga yang mensterilkan iptek, namun sebagai sebuah kendaraan kehidupan, sulit diingkari kalau manusia tidak saja mengelola iptek, tetapi iptek juga mengelola kita manusia. Seperti berada dalam lingkaran dialektis yang tidak mengenal henti, demikianlah nasib manusia dan iptek. Studi-studi bagaimana manusia mempengaruhi iptek ada segudang. Sayangnya, studi-studi sebaliknya, bagaimana teknologi juga sedang membuat manusia secara meyakinkan, hanya tersedia dalam bentuk
terbatas. Dalam keadaan demikian, bisa dimaklumi kalau sering kali kita hanya bisa terkejut, terbengong-bengong tidak mengerti kenapa kita bisa sampai di sini.

Sebut saja teknologi SMS sebagai sebuah contoh, hampir seluruh interaksi manusia - bahkan sampai ke orang desa yang mengenal HP - berubah karena teknologi terakhir. Rapat melalui SMS, bukankah tidak terbayangkan sebelumnya? Revolusi menjatuhkan sebuah rezim di Pilipina juga bersenjatakan SMS. Bahkan orang selingkuhpun sekarang banyak menggunakan SMS. Kalau logis tidaknya sebuah perkembangan dicarikan basis legitimasinya di masa lalu (baca: empirical basis sebagai
satu-satunya basis logika manusia modern) maka tentu saja teknologi SMS ini tidak logis. Namun seberapa tidak logispun dia, tetap sedang menghadirkan perubahan revolusioner.

Dalam cahaya kejernihan seperti ini, mungkin sudah saatnya memikirkan konstruksi iptek yang hanya berdiri di atas fundamen-fundamen empirik semata. Ada fundamen lain yang juga layak untuk direnungkan kembali. Dalam proses pencaharian fundamen-fundamen lain ini, tiba-tiba saja saya dan sebagian publik dihentakkan oleh kisah film Beautiful Mind
yang memperoleh delapan academy award - kalau tidak salah.

Film ini memang berkisah tentang seorang matematikawan brilian yang bernama John Nash. Demikian cintanya ia akan matematika, sampai-sampai kehidupan sosialnya terbengkalaikan. Dan jadilah ia manusia yang aneh dalam ukuran kebanyakan orang. Teorinya yang disebut governing dynamics memang menghebohkan dan amat berpengaruh. Tetapi sebagaimana karya besar yang kerap juga menuntut harga besar, hal yang sama juga terjadi dalam kehidupan John Nash.

Ia mengalami kehidupan yang amat berbeda dengan orang kebanyakan. Bahkan terpaksa harus dibawa ke rumah sakit gangguan jiwa. Bertahun-tahun harus mengalami perawatan yang membuat keluarganya demikian menderita. Penyembuhannyapun melalui pengorbanan keluarga dan kerabat dekat yang biayanya tidak kecil. Namun, cerita ini berakhir
mengagumkan. John Nash memperoleh hadiah nobel karena teori governing dynamics-nya. Dan dalam pidatonya yang mengagumkan, ia menyebut kalimat yang kurang lebih berbunyi begini: "Di luar realita fisika dan metafisika, ada keseimbangan misterius cinta."

Ya sekali lagi, keseimbangan misterius cinta, istilah asli John Nash adalah the mysterious balance of love. Saya mencoba menyebutnya dengan matematika cinta. Agak berbeda dengan banyak orang yang menyebut cinta sebatas dalam ruangan perasaan, ada ruangan cinta lain yang terlupakan : cinta juga sebuah kekuatan. Cinta istri John Nash adalah kekuatan besar
yang ada di balik hidupnya yang mengagumkan.

Contoh lain yang kerap saya pakai adalah sejarah India. Di tahun 1940-an salah satu tentara terkuat di dunia ketika itu adalah tentara Inggris. Namun, kendatipun memiliki jumlah tentara besar lengkap dengan persenjataannya yang juga besar, tentara Inggris harus ditarik mundur karena kekuatan cinta seorang manusia kurus kering, berbaju seadanya yang bernama Mahatma Gandhi. Ibu Theresa juga serupa, kendati setiap hari bergelut dengan orang-orang yang berpenyakit kusta, tidak pernah terdengar kalau beliau tertular penyakit yang sama.

Ini menghadirkan pemahaman, cinta juga meningkatkan kekebalan tubuh. Buku Bernie Siegel (seorang dokter ahli bedah asli Amerika) dengan judul Love, Medicine and Miracle bercerita banyak sekali di ruangan cinta sebagai kekuatan. Sekaligus memberikan basis logika yang cukup meyakinkan. Dan masih ada lagi bukti lainnya.

Aswin Wiryadi - seorang sahabat dekat yang menjadi direktur BCA - suatu hari mengirimkan SMS yang berbunyi begini. Pria pintar bertemu wanita pintar, kemungkinan hasilnya adalah romantika. Pria pintar bertemu wanita bodoh, hasilnya adalah selingkuh. Pria bodoh bertemu wanita pintar, ujung-ujungnya adalah pernikahan. Pria goblok bertemu wanita goblok, apa lagi akhir ceritanya kalau bukan kehamilan?

Saya tidak tahu suasana psikologis Pak Aswin ketika mengirimkan SMS ini ke saya. Apakah ia sedang merangkai matematika cinta, atau ia sedang melucu, atau sedang menceritakan pengalamannya sendiri, sampai hari ini saya tidak pernah melakukan konfirmasi. Dan Andapun boleh menyimpulkan bebas, apakah matematika cinta yang menjadi judul tulisan ini ada kaitannya dengan SMS tadi, atau SMS tadi hanya mengada-ada, atau tulisan ini yang diada-adakan. Yang jelas, seorang sahabat dekat menyimpulkannya dengan sebuah senyuman : ada-ada saja!


Senin, 17 November 2008

Pengakuan

Pengakuan

Seorang pengemis duduk mengulurkan tangannya di sudut jalan. Tolstoy,
penulis besar Rusia yang kebetulan lewat di depannya, langsung berhenti dan
mencoba mencari uang logam di sakunya. Ternyata tak ada. Dengan amat sedih
ia berkata, "Janganlah marah kepadaku, hai Saudaraku. Aku tidak bawa uang."

Mendengar kata-kata itu, wajah pengemis berbinar-binar, dan ia menjawab,
"Tak apa-apa Tuan. Saya gembira sekali, karena Anda menyebut saya saudara.
Ini pemberian yang sangat besar bagi saya."

Setiap manusia, apapun latar belakangnya, memiliki kesamaan yang mendasar:
ingin dipuji, diakui, didengarkan dan dihormati.

Kebutuhan ini sering terlupakan begitu saja. Banyak manajer yang masih
beranggapan bahwa orang hanya termotivasi uang. Mereka lupa, nilai uang
hanya bertahan sampai uang itu habis dibelanjakan. Ini sesuai dengan teori
Herzberg yang mengatakan bahwa uang tak akan pernah mendatangkan kepuasan
dalam bekerja.

Manusia bukan sekadar makhluk fisik, tapi juga makhluk spiritual yang
membutuhkan sesuatu yang jauh lebih bernilai. Mereka butuh penghargaan dan
pengakuan atas kontribusi mereka. Tak perlu sesuatu yang sulit atau mahal,
ini bisa sesederhana pujian yang tulus.

Namun, memberikan pujian ternyata bukan mudah.

Jauh lebih mudah mengritik orang lain.

Seorang kawan pernah mengatakan, "Bukannya saya tak mau memuji bawahan, tapi
saya benar-benar tak tahu apa yang perlu saya puji. Kinerjanya begitu
buruk." "Tahukah Anda kenapa kinerjanya begitu buruk?" saya balik bertanya.
"Karena Anda sama sekali tak pernah memujinya!"

Persoalannya, mengapa kita begitu sulit memberi pujian pada orang lain?

Menurut saya, ada tiga hal penyebabnya, dan kesemuanya berakar pada cara
kita memandang orang lain.

Pertama, kita tidak tulus mencintai mereka. Cinta kita bukanlah
unconditional love, tetapi cinta bersyarat. Kita mencintai pasangan kita
karena ia mengikuti kemauan kita, kita mencintai anak-anak kita karena
mereka berprestasi di sekolah, kita mengasihi bawahan kita karena mereka
memenuhi target pekerjaan yang telah ditetapkan.

Perhatikanlah kata-kata di atas: cinta bersyarat. Artinya, kalau
syarat-syarat tidak terpenuhi, cinta kita pun memudar. Padahal, cinta yang
tulus seperti pepatah Perancis: L`amour n`est pas parce que mais malgre.
Cinta adalah bukan "cinta karena", tetapi "cinta walaupun". Inilah cinta
yang tulus, yang tanpa kondisi dan persyaratan apapun.

Cinta tanpa syarat adalah penjelmaan sikap Tuhan yang memberikan rahmatNya
tanpa pilih kasih. Cinta Tuhan adalah "cinta walaupun". Walaupun Anda
mengingkari nikmatNya, Dia tetap memberikan kepada Anda. Lihatlah bagaimana
Dia menumbuhkan bunga-bunga yang indah untuk dapat dinikmati siapa saja tak
peduli si baik atau si jahat. Dengan paradigma ini, Anda akan menjadi
manusia yang tulus, yang senantiasa melihat sisi positif orang lain. Ini
bisa memudahkan Anda memberi pujian.

Kesalahan kedua, kita lupa bahwa setiap manusia itu unik. Ada cerita
mengenai seorang turis yang masuk toko barang unik dan antik. Ia berkata,
"Tunjukkan pada saya barang paling unik dari semua yang ada di sini!"
Pemilik toko memeriksa ratusan barang: binatang kering berisi kapuk,
tengkorak, burung yang diawetkan, kepala rusa, lalu berpaling ke turis dan
berkata, "Barang yang paling unik di toko ini tak dapat disangkal adalah
saya sendiri!"

Setiap manusia adalah unik, tak ada dua orang yang persis sama. Kita sering
menyamaratakan orang, sehingga membuat kita tak tertarik pada orang lain.
Padahal, dengan menyadari bahwa tiap orang berbeda, kita akan berusaha
mencari daya tarik dan inner beauty setiap orang. Dengan demikian, kita akan
mudah sekali memberi pujian.

Kesalahan ketiga  disebut paradigm paralysis. Kita sering gagal melihat
orang lain secara apa adanya, karena kita terperangkap dalam paradigma yang
kita buat sendiri mengenai orang itu. Tanpa disadari kita sering
mengotak-ngotakkan orang. Kita menempatkan mereka dalam label-label: orang
ini membosankan, orang itu menyebalkan, orang ini egois, orang itu mau
menang sendiri. Inilah persoalannya: kita gagal melihat setiap orang sebagai
manusia yang "segar dan baru". Padahal, pasangan, anak, kawan, dan bawahan
kita yang sekarang bukanlah mereka yang kita lihat kemarin. Mereka berubah
dan senantiasa baru dan segar setiap saat.

Penyakit yang kita alami, apalagi menghadapi orang yang sudah bertahun-tahun
berinteraksi dengan kita adalah 4 L (Lu Lagi, Lu Lagi -- bahasa Jakarta).
Kita sudah merasa tahu, paham dan hafal mengenai orang itu. Kita menganggap
tak ada lagi sesuatu yang baru dari mereka. Maka, di hadapan kita mereka
telah kehilangan daya tariknya.

Sewaktu membuat tulisan ini, istri saya pun menyindir saya dengan mengatakan
bahwa saya tak terlalu sering lagi memujinya setelah kami menikah. Sebelum
menikah dulu, saya tak pernah kehabisan bahan untuk memujinya. Sindiran ini,
tentu, membuat saya tersipu-sipu dan benar-benar mati kutu.

Pujian yang tulus merupakan penjelmaan Tuhan Yang Maha Pengasih Lagi Maha
Penyayang. Maka, ia mengandung energi positif yang amat dahsyat. Saya telah
mencoba menerapkan pujian dan ucapan terima kasih kepada orang-orang yang
saya jumpai: istri, pembantu yang membukakan pagar setiap pagi, bawahan di
kantor, resepsionis di kantor klien, tukang parkir, satpam, penjaga toko
maupun petugas di jalan tol.

Efeknya ternyata luar biasa. Pembantu bahkan menjawab ucapan terima kasih
saya dengan doa, "Hati-hati di jalan Pak!" Orang-orang yang saya jumpai juga
senantiasa memberi senyuman yang membahagiakan. Sepertinya mereka terbebas
dari rutinitas pekerjaan yang menjemukan.

Pujian memang mengandung energi yang bisa mencerahkan, memotivasi, membuat
orang bahagia dan bersyukur. Yang lebih penting, membuat orang merasa
dimanusiakan.

Penulis adalah dosen FISIP Universitas Indonesia dan konsultan di
Dunamis-Franklincovey Indonesia

Oleh: Arvan Pardiansyah

Rabu, 12 November 2008

Standford

Standford

Seorang wanita yang mengenakan gaun pudar dan suaminya yang berpakaian
sederhana dan terlihat usang, turun dari kereta api di Boston, dan ber-
jalan dengan malu-malu menuju kantor Pimpinan Harvard University dan meminta
janji temu. Sang sekretaris langsung mendapat kesan bahwa orang kampung,
udik seperti ini, tidak ada urusan di Harvard dan bahkan mungkin tidak
pantas berada di Cambridge.

"Kami ingin bertemu Pimpinan Harvard", kata sang Pria lembut.
"Beliau hari ini sibuk," sahut sang Sekretaris cepat.
"Kami akan menunggu," jawab sang Wanita.

Selama 4 jam Sekretaris itu mengabaikan mereka, dengan harapan bahwa
pasangan tersebut akhirnya akan patah semangat dan pergi. Tetapi ternyata
tidak, dan sang sekretaris mulai frustrasi dan akhirnya memutuskan untuk
melaporkan kepada sang Pimpinan.

"Mungkin jika Anda menemui mereka selama beberapa menit, mereka akan pergi,"
katanya pada sang Pimpinan Harvard.

Sang pimpinan menghela nafas dengan geram dan mengangguk. Orang sepenting
dia pasti tidak punya waktu untuk mereka, tetapi dia tidak menyukai ada
orang yang mengenakan baju pudar dan pakaian usang diluar kantornya. Sang
Pemimpin Harvard, dengan wajah galak menuju pasangan tersebut.

Sang wanita berkata padanya, "Kami memiliki seorang putra yang kuliah tahun
pertama di Harvard. Dia sangat menyukai Harvard dan bahagia di sini. Tetapi
setahun yang lalu, dia me-ninggal karena kecelakaan. Kami ingin mendirikan
peringatan untuknya, di suatu tempat di kampus ini."

Sang Pemimpin Harvard tidak tersentuh... dia bahkan terkejut. "Nyonya,"
katanya dengan kasar, "Kita tidak bisa mendirikan tugu untuk setiap orang
yang masuk Harvard dan meninggal. Kalau kita lakukan itu, tempat ini akan
seperti kuburan."

"Oh, bukan," Sang wanita menjelaskan dengan cepat,
"Kami tidak ingin mendirikan tugu peringatan. Kami ingin memberikan sebuah
gedung untuk Harvard."

Sang Pemimpin Harvard memutar matanya. Dia menatap sekilas pada baju pudar
dan pakaian usang yang mereka kenakan dan berteriak, "Sebuah gedung! Apakah
kalian tahu berapa harga sebuah gedung?! Kami memerlukan lebih dari 7,5 juta
dolar hanya untuk bangunan fisik Harvard."

Untuk beberapa saat sang wanita terdiam. Sang Pemimpin Harvard senang.
Mungkin dia bisa terbebas dari mereka sekarang. Sang wanita menoleh pada
suaminya dan berkata pelan, "Kalau hanya sebesar itu biaya untuk memulai
sebuah universitas, mengapa tidak kita buat sendiri saja?" Suaminya
mengangguk. Wajah sang Pemimpin Harvard menampakkan kebingungan.

Mr. dan Mrs. Leland Stanford bangkit dan berjalan pergi, melakukan
perjalanan ke Palo Alto, California, dimana mereka mendirikan sebuah
Universitas yang menyandang nama mereka, sebuah peringatan untuk seorang
anak yang tidak lagi diperdu-likan oleh Harvard.

Anda bisa dengan gampang menilai karakter orang lain dengan melihat
bagaimana mereka memperlakukan orang-orang yang mereka pikir tidak dapat
berbuat apa-apa untuk mereka.

-- by Malcolm Forbes.

Kamis, 06 November 2008

Blessing In Disguise

Blessing In Disguise

Adalah sepasang suami-istri yang sudah lama tidak mempunyai anak. Suatu hari
sang istri ternyata hamil lalu melahirkan seorang anak laki-laki. Semua
tetangga mengatakan mereka adalah pasangan yang beruntung. Anaknya laki-laki
lagi. Kalau nanti sudah dewasa, bukankah dia bisa bekerja keras dan merawat
orang tuanya? Sungguh beruntung mereka punya anak laki-laki.

Ternyata anak tersebut sangat senang kuda. Dia sangat ingin memiliki seekor
kuda. Tapi mereka miskin sehingga tidak bisa membeli hewan tersebut. Semua
orang mengatakan bahwa mereka benar-benar sial karena miskin, sehingga
tidak bisa membeli kuda. Kalau mereka kaya, kan bisa beli kuda? Sial benar.

Suatu hari ayahnya diberi seekor anak kuda oleh pelanggannya yang sering
membeli kayu bakarnya. Jadilah anak itu punya seekor kuda. Semua orang
mengatakan mereka sangat beruntung. Ingin punya kuda, eh ada yang memberi
kuda. Beruntung sekali.

Anak itu pun belajar berkuda. Dia sering berkuda ke mana-mana. Suatu Hari,
ketika sedang berkuda. ternyata kuda tersebut mengamuk, sehingga anak itu
terjatuh dan kakinya patah. Sejak kejadian itu dia menjadi pincang apabila
berjalan.

Semua orang menyesali mengapa dia berkuda. Kalau dulu tidak punya kuda, kan
dia tidak akan jatuh. Dan kakinya tidak akan pincang. Sial. Mengapa punya
kuda? Lebih baik tidak usah punya kuda. Sial sekali.

Setelah anak tersebut menginjak dewasa, ternyata di negara tersebut pecah
perang dengan negara lain. Semua pemuda harus menjadi serdadu. Anak pasangan
suami-istri itu juga harus mendaftar. Orangtuanya khawatir kalau anak
satu-satunya ikut berperang. Semua tetangga merasa kasihan dan menyesali
mengapa dulu tidak lahir anak perempuan saja. Kalau anak perempuan kan tidak
harus berangkat berperang. Aduh, sial benar, mengapa pasangan itu dulu
melahirkan anak laki-laki?

Ketika dilakukan pemeriksaan kesehatan ternyata anak itu yang kini sudah
tumbuh menjadi seorang pemuda, tidak diterima sebagai serdadu karena kakinya
cacat. Semua orang mengatakan, beruntung sekali dia tidak harus berperang.
Coba kalau dulu tidak jatuh dari kuda, dia pasti harus ikut berperang.
Untung dulu dia punya kuda. Untung dulu dia jatuh dari kuda. Untung kakinya
pincang. Sungguh beruntung dia.

Dari cerita ini, sebenarnya untung dan sial itu apa sih? Kapan seorang
disebut beruntung dan kapan kurang beruntung? Ketika anak laki-laki yang
lahir, katanya beruntung, tapi ketika dia harus berperang, orang-orang
mengatakan mengapa dulu tidak lahir anak perempuan saja?

Ketika dia mendapat kuda, katanya beruntung, tapi ketika dia pincang karena
jatuh dari kuda, katanya sial. Orang-orang menyesali mengapa punya kuda.
Lalu ketika dia tidak jadi berperang karena pincang, kata orang dia
beruntung karena dulu pernah jatuh dari kuda. Untung dulu punya kuda. Untung
dia pincang.

Jadi, sebenarnya kapan seseorang sial dan kapan seseorang beruntung? Apakah
karena tidak sesuai dengan yang kita harapkan lalu kita katakan sial atau
kita anggap musibah? Apakah ketika sesuai dengan keinginan kita, lalu
musibah tersebut bisa berubah menjadi keberuntungan? Kapan kita menyesali
sesuatu? Kapan kita mensyukuri sesuatu? Mungkin saja apa yang dianggap sial
atau musibah hari ini, mungkin bisa berubah menjadi keberuntungan di masa
depan. Mengapa? Mungkin karena kita belum bisa melihat blessings in
disguise. Kita tidak bisa melihat berkah dibalik musibah. Apa yang dilihat
sebagai musibah hari ini, ternyata di kemudian hari baru kita sadari bahwa
hal itu mengandung berkah.

Kisah berikut ini juga mengambarkan adanya berkah terselubung. Sekali waktu
ada seorang pria buta huruf yang bekerja sebagai penjaga sebuah sekolah di
Amerika Serikat. Sudah sekitar 20 tahun dia bekerja di sana. Suatu hari
pemimpin sekolah itu dipindahkan ke tempat lain dan digantikan oleh pemimpin
baru.

Pemimpin baru ini menerapkan aturan baru. Semua pekerja harus bisa membaca
dan menulis agar mereka bisa mengerti pengumuman yang ditempel di papan
pengumuman. Penjaga yang buta huruf itu terpaksa tidak bisa bekerja lagi.

Dia sangat sedih dan berjalan pulang dengan lemas. Dia tidak berani langsung
pulang ke rumah, tidak berani langsung memberitahu isterinya. Dengan sedih
dia berjalan pelan menelusuri jalanan.

Setelah hari gelap sampailah dia di sekitar pelabuhan. Dia pun ingin membeli
tembakau. Tapi setelah mencari kemana-mana, setelah mengelilingi beberapa
blok, tidak ada satu toko pun yang menjual tembakau. Tiba-tiba, dia berfikir
"Tembakau sangat perlu. Tapi di sekitar sini tak ada yang jual tembakau. Aku
ingin jualan tembakau saja ah."

Dia pun pulang, lalu dengan penuh semangat menceritakan idenya untuk
berjualan tembakau kepada isterinya. Dia tidak lagi menyesali nasibnya yang
baru saja kehilangan pekerjaan. Kemudian dia pun membuka kios tembakau.
Ternyata tembakaunya laku keras.

Tak berapa lama, dia bisa membuka toko tembakau. Beberapa tahun kemudian dia
bisa membuka beberapa cabang toko tembakau di tempat lain. Jadilah dia
pedagang tembakau sukses.

Ketika sudah jadi orang kaya, dia pun pergi ke bank untuk membuka rekening.
Tapi karena buta huruf, maka dia tidak bisa mengisi formulir. Karyawan bank
berkata "Wah, Bapak yang buta huruf saja bisa punya uang sebanyak ini,
apalagi kalau Bapak bisa membaca dan menulis, Bapak pasti lebih kaya lagi."
Dengan tersenyum dia berkata "Kalau saya bisa membaca dan menulis, saya
pasti masih menjadi penjaga sekolah."

Waktu dia dipecat, dia merasa sedih, putus asa, dan mungkin menyesali
kejadian itu. Peristiwa itu merupakan musibah. Tapi kini, dia bisa melihat
bahwa mungkin nasibnya tidak akan berubah menjadi seperti sekarang kalau
dulu dia tidak dipecat.
Apa yang dulu merupakan musibah, ternyata kini mendatangkan keberuntungan,
menjadi berkah. Mari kita mencoba bersabar dan tabah dalam menghadapi
apapun. Berdoa supaya bisa melihat berkah di balik musibah dan selalu
bersyukur terhadap apa yang sudah diberikan DIA untuk kita.

Do not give up! See the blessings in disguise!

.

Rabu, 05 November 2008

Dilema sang ibu yang bekerja

Dilema sang ibu yang bekerja

Yacinta Senduk SE, SH, MBA, LLM

Principal of Yemayo – Advance Education Center

Sebutlah ibu Arni namanya, seorang wanita berpenampilan rapi yang selalu kelihatan sibuk dengan segala macam urusannya. Ia terlihat tidak bisa diam, ada saja selalu yang diurusnya. Telepon genggamnya dari tadi berbunyi; kesibukan ibu Arni sungguh tidak terlihat dibuat-buat. Akhirnya ia mendapatkan waktu juga untuk berbicara dengan saya.

"Maaf nih, dari tadi telepon saya bunyi terus yah. Ya beginilah, urusan kantor saya memang banyak, sampai beberapa kali saya ingkar janji dengan anak saya karena waktu itu saya ada deadline sehingga pulang larut malam", kata ibu Arni yang terlihat begitu salah tingkah. Terlihat ia sangat antusias dan gembira mengatakan dirinya sebagai seorang wanita yang sibuk, namun mukanya pun terlihat tidak nyaman dan tersirat rasa bersalah saat mengatakan bahwa ia harus ingkar janji dengan buah hatinya.

"Duh! Saya salah yah? Gimana ya, saya lupa diri terus kalau bekerja. Tapi gimana yah, saya sangat menyukai pekerjaan saya, tapi saya sadar sih, seharusnya saya lebih menyediakan waktu bagi anak saya", terdengar suara ibu Arni meneruskan kata-katanya terdahulu. Saya yang diajaknya bicara belum mengemukakan apa-apa, tapi tampaknya ibu Arni yang berparas manis ini seperti ingin mengakukan dosa-dosa yang dilakukan terhadap anaknya.

Curhat ibu Dina lain lagi, ia merasa sangat bersalah karena harus kembali bekerja lagi setelah mengambil 3 bulan cuti melahirkannya. "Saya merasa sangat tidak tenang meninggalkan anak saya. Saya sedih kalau mengingat bahwa kemungkinan bukan saya yang akan mendengarkan anak saya mengucapkan 'ma' pertama kali. Saya sering merasa cemburu dengan pengasuh saya karena dia justru bisa dekat dengan anak saya di rumah", nadanya terdengar sangat sedih. Saya dapat merasakan kekacauan hatinya.

Cerita ibu Rima berbeda lagi, ia harus mendapat surat peringatan dari perusahaan tempat bekerjanya karena ia terlalu sering memakai telepon perusahaan untuk menelpon pengasuh anaknya di rumah. Inilah dilema-dilema para ibu yang bekerja. Banyak di antara mereka yang bertanya kepada saya : "Salahkah saya bekerja dan meninggalkan anak-anak saya?"

Saya agak kurang setuju dengan pertanyaan ini, sebab kalau dijawab 'salah', maka perasaan sang ibu akan semakin tertekan, pekerjaannya semakin kacau dan anaknya pun semakin tidak nyaman memiliki ibu berhati kacau, tetapi kalau dijawab 'tidak salah', bisa jadi anak-anak akan tidak pernah merasakan sosok peran ibu yang normal di rumah. Yang sangat menular dan dapat dirasakan oleh anak adalah 'emosi'. Jika seorang ibu bekerja dengan gembira dan mampu membawa kegembiraannya ke rumah, maka emosi positif akan tertular pada anaknya. Masalahnya, untuk ibu yang 'doyan' kerja, ia hanya senang di tempat kerja, tetapi yang dibawa pulang hanyalah emosi kelelahan, tentu saja ini tidak baik dan tidak adil untuk anak.

Sementara untuk ibu yang terpaksa harus bekerja untuk memiliki double income dalam rumah tangga; juga sama kacaunya, di dalam pekerjaan ia tidak tenang, bertemu dengan anaknya pun terasa menjadi sangat berlebihan menumpahkan kasih sayang sebagai kompensasi rasa bersalahnya.

Di dunia ideal memang sebaiknya kaum ibu tinggal di rumah dan kaum bapak sajalah yang mencari nafkah, sehingga urusan rumah dan urusan mencari uang tidak tumpang tindih. Sayangnya permasalahannya tidaklah sederhana.

Jaman sekarang ini, bekerja bagi kaum wanita tidak melulu hanya untuk mencari uang, namun justru seringnya sebagai sarana aktualisasi diri berkarya dan berkreasi dan menambah luasnya wawasan.

Seorang ibu lain yang saya kenal mempunyai masalah lain lagi, saat ia telah memutuskan berhenti bekerja, ternyata anaknya merasa tertekan karena kehadiran sang ibu yang terlalu mendikte. Lalu, apa permasalahan yang sebenarnya? Yang terutama adalah kemampuan anda mengolah emosi. Para ibu yang sangat mencintai pekerjaannya, perlu menjaga kestabilan emosi anda untuk senang bekerja dan senang kembali ke rumah. Untuk ibu yang merasa 'terpaksa' bekerja, perlu juga menjaga kestabilan emosi untuk tetap bekerja dengan tenang dan mengatur emosi sedemikian rupa agar tidak terlalu meluap-luap di depan anak sehingga anak membaca anda sebagai ibu yang labil.

Tips untuk para ibu yang bekerja:

 - Siapkan mental anda bukan mental 'eight to five', tetapi lebih dari itu, 'eight to sleeping time'. Ingatlah bahwa setelah pekerjaan selesai, ada tugas mulia lain yang menunggu anda, yaitu berinteraksi dengan putra-putri yang rindu pada anda.

- Pulanglah dengan gembira, jika anda terlalu lelah, segeralah masuk ke dalam kamar dan tenangkan diri anda 10 hingga 15 menit; anda bisa merendam kaki dengan air panas, tiduran sebentar, namun, ingatlah bahwa putra-putri anda memerlukan anda, keluarlah dari kamar tidur dengan senyuman.

- Bawalah anak anda sesekali ke tempat kerja dan perlihatkanlah kesibukan anda. Anda bisa meminta anak anda membantu pekerjaan sederhana, seperti melipat amplop, menjepret kertas, dll; bila dilibatkan, anak bisa belajar mengerti kesibukan anda. Berikan pandangan positif dan gembira tentang pekerjaan anda, maka anak anda akan turut gembira juga mengetahui bahwa anda gembira melakukan pekerjaan anda.

Tidak seorangpun yang pernah memberikan

yang terbaik itu menyesalinya

= George Halas