Kamis, 30 Oktober 2008

Ma, aku jatuh cinta

Ma, aku jatuh cinta…

Yacinta Senduk SE, SH, MBA, LLM

Principal of Yemayo – Advance Education Center

Tanpa sadar seorang ibu telah mengulang-ulang pertanyaannya kepada saya, "Duh! Gimana yah, anak remaja saya berkata bahwa ia sedang jatuh cinta. Dia kan masih kecil, tapi kalau saya larang dia pasti tidak akan cerita lagi ke saya. Kalau saya tidak larang, saya takut dikiranya saya menyetujui cinta monyetnya", ujar sang ibu kebingungan.

Masalah jatuh cinta? Duh! Kayak nggak pernah muda aja nih… Tentu secara logika masalah percintaan anak muda bisa berakibat buruk pada pelajaran sekolahnya, tapi jangan juga terlalu membesar-besarkan sesuatu yang belum mungkin terjadi. Bila anak remaja anda jatuh cinta, saya sangat menyarankan anda untuk mau menjadi sahabat yang baik anak anda. Sayangnya, hal yang satu ini cukup rumit juga terutama bagi orangtua yang telah terbiasa memberikan perintah dan merasa 'tidak perlu' melakukan komunikasi terbuka.

Beberapa orangtua berkata bahwa mereka telah berusaha melakukan komunikasi terbuka namun sang anak tetap saja berkonflik. Usut punya usut ternyata pola komunikasi yang disebut sebagai komunikasi terbuka itu adalah komunikasi interogasi dan nasehat. Maksudnya, di depannya anak ditanyai secara halus seolah-olah anak bebas mengungkapkan apa saja, tapi setelah anak secara blak-blakan bercerita, akhirnya anak malah dinasehati habis-habisan sehingga akhirnya anak sulit bisa percaya lagi bila kelak akan ada suatu pembicaraan masalah pribadi dengan orangtua.

Jatuh cinta adalah hal yang wajar itu berarti anak anda tumbuh normal sebagai biologis. Jadi kalau kita melarang sesuatu yang normal dan menentangnya habis-habisan, justru sebenarnya kitalah yang tidak normal. Sekarang tinggal tergantung bagaimana kita menyikapinya.

Dibiarkan saja? Tentu jawabnya tidak. Dilarang saja? Tentu jawabnya tidak. Bila anda telah beberapa kali membaca artikel-artikel saya terdahulu, anda akan mengerti benar bahwa saya selalu mengemukakan 'cara'. Tidak boleh 'terlalu', baik terlalu lunak ataupun terlalu keras. Biarkan anak anda berbicara dari hati ke hati tentang pujaan hatinya; anda bisa menanggapinya dengan pertanyaan-pertanyaan datar, seperti bagaimana perasaanmu? Rumahnya dimana? Bagaimana ceritanya sampai kamu jatuh hati dengannya? Tentu saja sebagai orangtua anda wajib memberikan batasan yang sopan bagi anak berpacaran. Sebelum anak anda sempat bercerita tentang keinginannya dicium atau mencium pacarnya, anda bisa memberikan peringatan dengan nada bersahabat, "mama nggak larang kamu pacaran, tapi nggak perlu pakai cium-cium deh. Kalian ngobrol-ngobrol saja dulu." Ini adalah suatu peringatan yang halus tapi bersifat 'mencegah', dengan keterbukaan seperti ini, justru anak akan mudah mengingat perkataan anda sehingga pada saat benar ia ingin mencium atau dicium, bukan tidak mungkin ia berkata pada dirinya, 'mama bilang, nggak boleh cium dulu.' Hal ini juga berlaku bila anda ingin memberikan peringatan ringan agar anak anda tidak sembarangan mau 'pegang-pegangan', janganlah menggunakan nada tinggi, anda bisa bertanya tentang pendapat anak anda, "menurutmu, kalau pacaran sudah seenaknya pegang-pegangan, baik atau tidak?" Tentunya, anda tidak bisa sampai pada pertanyaan semacam itu bila anak anda tidak mempercayai anda, karena kalau anda langsung tiba-tiba bertanya seperti itu, pastilah mereka mencurigai anda sedang menginterogasi mereka.

Anda wajib memberikan teguran yang keras bila ternyata anak anda mulai terlihat tidak bertanggung jawab, seperti melalaikan tugas sekolahnya ataupun nilai-nilainya mulai menurun. Katakan pada anak anda bahwa anda kecewa karena ia melanggar batas kepercayaan yang anda berikan yaitu mampu membagi waktu untuk belajar dan berpacaran. Teguran keras juga wajib anda berikan bila anak pulang malam atau melanggar janji waktu pulang ke rumah yang telah disepakati, tegurlah secara fokus bahwa anda merasa kesal dengan pelanggaran yang dilakukannya, hindarilah menyindir-nyindir tentang ia berpacaran.

Walaupun kita perlu mengandalkan komunikasi yang terbuka, saya sangat mewajibkan agar orangtua juga mengetahui teman dekat atau 'pacar' sang anak, paling tidak anda perlu tahu dimana ia tinggal, nomor teleponnya, orangtuanya. Tentu sangat konyol bila kita membiarkan anak kita jatuh cinta dengan orang yang 'tidak beres'. Dalam hal ini orangtua wajib menegur. Istilahnya, kalau sudah tahu anak mau masuk ke jurang, sebaiknyalah segera ditarik, bukan malah diberi kesempatan supaya masuk jurang.

Untuk anak-anak kuat yang mengerti benar tentang prioritas hidupnya, perihal berpacaran tidak akan membuat orangtuanya pusing karena kebanyakan mereka mampu memutuskan mana yang terbaik bagi dirinya. Anak-anak yang kuat seperti ini justru terbentuk dari keluarga yang positif. Orangtua yang membiasakan komunikasi terbuka dengan anak-anak, rutin berkumpul bersama dimana anak merasa nyaman untuk mengemukakan pendapat, mampu menghadirkan kegembiraan dan canda saat berkumpul bersama, tetap menyentuh anak-anaknya dengan belaian, cium, colek atau mengelitik sebagai tanda keakraban yang hangat, akan menghadirkan pribadi-pribadi yang kuat dan jauh dari kehampaan. Kalau pacarnya 'macam-macam' mereka tak segan-segan menendangnya.

Hati, itulah yang membedakan antara yang baik dengan yang hebat.

= Michael Jordan

Senin, 27 Oktober 2008

Pilihlah keduanya

Pilihlah keduanya!

Yacinta Senduk SE, SH, MBA, LLM

Principal of Yemayo – Advance Education Center

Dilema keluarga dan pekerjaan selalu dihadapi oleh para orangtua. Belakangan ini semakin banyak pekerjaan ataupun bisnis yang menyita waktu pribadi orangtua. Ditambah juga dengan prinsip-prinsip kebablasan yang mengatas-namakan kerja keras untuk kebahagiaan keluarga, padahal setelah ada penghasilan yang baik sekalipun, keluarga tidak juga diberikan prioritas. Sibuk, capek, itu merupakan alasan seseorang yang selalu sibuk bekerja untuk dapat lepas dari kewajibannya membagikan waktu dengan keluarga. Hal ini berlaku untuk pria dan wanita; ayah atau ibu yang selalu sibuk.

Seorang ibu mengutarakan dengan nada gembira bahwa suaminya sudah tidak sesibuk dulu waktu ia masih bekerja, dengan demikian, sang suami kini memiliki banyak waktu bercengkrama dengan anak-anak, sementara suaminya hanya mengangguk-angguk, tapi saya lihat anggukkan itu bukan suatu anggukkan tegas yang menyatakan bahwa ia benar-benar ikut gembira dengan kata-kata istrinya. Tidak berapa lama kemudian, sang suami berkata, "Bisnis apa ya yang menghasilkan uang namun tidak menyita banyak waktu?" Pertanyaan bapak itu membenarkan asumsi saya sebelumnya, bahwa sebenarnya bapak itu masih menginginkan kesibukan bagi dirinya, tentulah ia tidak puas dengan waktu luang yang dimilikinya saat ini. Buku karangan T. Harv Eker, yang berjudul Secrets of the Millionaire Mind, menyebutkan bahwa salah satu prinsip orang kaya yang sukses adalah memikirkan 'keduanya' (both), bukan memikirkan 'salah satunya' (either). Bila anda dihadapkan dengan pilihan keluarga atau pekerjaan, seandainya anda ingin benar-benar menjadi orang yang berhasil, pilihlah keduanya, yaitu memilih keluarga dan memilih pekerjaan.

Bukankah dengan memilih keduanya akan menyebabkan kita menjadi tidak fokus di dalam usaha pencapaian sesuatu? Mengenai fokus, ini tergantung dari pilihan yang kita buat dari awal. Sebagai contoh, bila kita memilih keluarga dan pekerjaan, maka kita akan fokus untuk dapat membagi waktu dengan bijaksana,  kita akan membiasakan pikiran kita untuk memenangkan kedua perkara tersebut. Namun bila kita hanya memilih salah satu, contoh, hanya memilih pekerjaan, fokus kita tentu saja memberikan waktu semaksimal mungkin untuk pekerjaan saja. Semua tindakan yang kita lakukan, tergantung dari pilihan apa yang kita buat. Kita bisa fokus memilih keduanya tentu saja kita bisa memilih fokus untuk memilih satu hal saja. Sebelum anda memilih; pikirkanlah konsekuensi yang mungkin anda terima pada akhirnya; bila anda memilih 'keduanya', keluarga dan pekerjaan, maka sebagai akibatnya anda dapat mengasihi dan dikasihi keluarga anda dan tetap mempunyai penghasilan yang baik. Bila anda memilih 'salah satu', maka akibatnya anda akan kehilangan salah satunya. Melihat dari akibatnya saja, memilih 'salah satu' sudah tidak menyenangkan, apalagi kalau kita sampai memilih untuk menjalaninya.

Anda mungkin akan berteriak dalam hati, tidak mungkin saya bisa memilih keduanya. Henry Ford berkata, berpikir bisa atau berpikir tidak bisa, sama saja. Jadi, kalau anda berpikir bisa, maka anda akan menemukan banyak jalan keluar yang bijaksana sehingga anda dapat berhasil baik di dalam keluarga maupun pekerjaan. Demikian sebaliknya, bila anda berpikir 'tidak sanggup' menjalani keduanya, maka anda akan menemukan banyak alasan bahwa anda tidak mungkin memilih keduanya. Ada begitu banyak contoh orang-orang pekerja keras yang sukses di dalam keluarga dan di dalam bisnis ataupun pekerjaan mereka, kesamaan dari orang-orang tersebut adalah tidak mau disuruh memilih 'salah satunya' saja. Keluarga sangat penting dan pekerjaan juga sangat penting. Bila ada kerunyaman di dalam pelaksanaan hal ini, sebenarnya sungguh dapat terlihat, bahwa anda sebenarnya hanya memilih 'salah satu' dari awalnya, sehingga mengorbankan yang lain. Sayang banyak orang kurang menyadari hal ini.

Seorang wanita workaholic yang saya temui mengatakan bahwa ia harus bekerja keras namun diceraikan suaminya, wanita inipun merasa semua usaha kerja kerasnya tidak dihargai anak-anaknya yang tumbuh menjadi anak-anak yang suka melawan orangtua. Namun ketika ia menceritakan tentang pekerjaannya, tampak benar ia sungguh-sungguh 'cinta mati' pada pekerjaannya tersebut. Ia menceritakan pekerjaannya dengan mata yang berbinar-binar, antusias dan penuh semangat. Inilah kenyataan yang menyedihkan! Banyak orang kurang menyadari apa yang telah dipilih dan dijalaninya, sehingga ketika menemukan keadaan telah menjadi kacau, mereka mulai menceritakan dirinya sebagai orang sengsara yang telah berjuang namun tidak dihargai. Hal ini sungguh tidaklah benar. Jika anda ingin benar-benar jadi orang bahagia dan berhasil, pilihlah keduanya, keluarga dan pekerjaan adalah penting. ANDA BISA!!!

Setiap orang sukses adalah seseorang yang pernah gagal, tetapi tidak pernah menganggap dirinya orang yang kalah.

= John C. Maxwell

Minggu, 26 Oktober 2008

Trik Mebel Hadapi Krisis AS

Trik Mebel Hadapi Krisis AS
Oki Baren
 
Tren mode yang sedang diminati adalah sebuah kecermatan dalam memandang pasar yang harus dipunyai pengusaha mebel dan kerajinan.
(Istimewa)
 

INILAH.COM, Jakarta – Anjloknya perekonomian Amerika Serikat menjadi sarana pendewasaan bagi pelaku pasar di Indonesia. Selama ini produsen Indonesia sangat tergantung pada pasar negara Paman Sam itu. Kini eksportir mesti pintar-pintar mencari alternatif pasar baru.

Salah satu pelaku pasar yang pintar menyiasati peluang itu adalah pelaku usaha kerajinan dan mebel. Setelah pesanan dari AS menurun drastis kini produsen mebel dan kerajinan Tanah Air mulai melirik peluang dari China.

Ketua Umum Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) Ambar Tjahyono mengatakan, China adalah solusi untuk menggantikan pasar AS yang selama ini berada di posisi tertinggi. China dipilih sebagai alternatif pasar baru karena pertumbuhan ekonomi negara itu yang luar biasa.

Padahal China merupakan eksportir mebel terbesar tapi hingga kini negara itu masih mengimpor mebel buatan Italia sebanyak 25% dari total konsumsi domestiknya.

"Orang-orang berduit di China tetap menginginkan produk mebel impor. Mereka tidak peduli dari mana asalnya, termasuk juga dari Indonesia. Hotel-hotel di sana juga sudah banyak yang menggunakan mebel dari Indonesia," kata Ambar, hari ini, di Jakarta.

Sejak 2002 hingga 2006 Indonesia menempati urutan ketiga eksportir produk mebel dunia dengan perolehan pangsa pasar 4,26%. Sedangkan China sebagai eksportir produk mebel utama memiliki market share 15,75%. Urutan kedua hingga keempat ditempati Italia, Polandia, dan Jerman.

Sedangkan importir mebel terbesar ditempati Amerika Serikat dengan market share 29,93%, dengan nilai mencapai US$ 6,2 miliar di 2006. Pasar mebel dan kerajinan China mampu menyerap produk berbahan baku solid wood maupun plywood.

Konsumen mebel dan kerajinan China juga lebih menyukai produk yang unik atau aneh. Sehinga mendorong produsen mebel terus melakukan inovasi baik dari sisi desain motif maupun proses finishing.

Tren mode yang sedang diminati adalah sebuah kecermatan dalam memandang pasar yang harus dipunyai pengusaha mebel dan kerajinan. Saat ini model minimalis masih mendominasi tren yang disukai konsumen.

Sekretaris Eksekutif Asmindo Jawa Timur, Chilman Suaidi, mengatakan perlu kontribusi dari seluruh pemangku kepentingan agar industri mebel Indonesia bisa lebih kompetitif. "Kita harus merangkul China sebagai calon konsumen potensial. Tapi juga jangan lupa bahwa mereka harus dipandang sebagai kompetitor," tegas Chilman.

Dari sisi kualitas produk, kata Chilman, mebel buatan Indonesia jauh lebih baik karena menggunakan kayu tropis berkualitas prima. Sedangkan kualitas kayu dari produk mebel China tidak sebaik Indonesia karena merupakan produk massal.

Ketersediaan bahan baku produk mebel relatif tidak ada masalah. Dari sisi pasokan kini pengusaha mebel sudah dilindungi peraturan yang mengikat bahwa kayu hasil hutan tidak boleh diekspor dalam bentuk log atau gelondongan. Hal itu demi menjamin nilai tambah bagi pendapatan negara. [E1]

Usia balita sudah harus bisa membaca ?

Usia balita sudah harus bisa membaca?

Yacinta Senduk SE, SH, MBA, LLM

Principal of Yemayo – Advance Education Center

Saat mendengar bahwa usia anak-anak TK harus sudah bisa membaca dan menulis, spontan saja saya berpikir bahwa ini benar-benar edan! Tentu saja bukan hanya saya yang berkomentar demikian, ada banyak orangtua yang juga mengeluhkan hal ini. Sambil masih terus mengeluh, mereka terpaksa memberikan les tambahan membaca dan menulis, bahkan sebagian kaum ibu sudah tidak sanggup membayangkan anaknya diharuskan duduk diam menulis dan membaca. Akhirnya banyak juga yang lepas tangan akan hal ini dan benar-benar melepaskan tanggung jawab ini kepada sekolah ataupun guru les tambahan. Sering para ibu cukup terkejut mendapatkan anak-anaknya yang mengucapkan kata-kata saja masih kacau ternyata sudah dapat mengeja kata-kata dan bahkan sudah dapat menulis. Walaupun demikian, masih banyak orangtua yang bertanya kepada saya, apakah baik mengharuskan anak usia balita membaca?

Walau pada awalnya ide ini terdengar memaksa, tapi saya memutuskan untuk menelusuri sumber dari mana asalnya berkembang ide bahwa anak balita sebaiknya diajarkan membaca. Jika hampir seluruh sekolah mengadopsi hal ini, maka akan sangat naif untuk mengatakan bahwa para bapak dan ibu guru itu sungguh tidak berperasaan karena memaksa anak-anak balita untuk dapat membaca.

Glen Doman, seorang pakar psikologi yang handal yang selalu melakukan riset secara sistimatis mengupas tuntas tentang hal ini. Doman pulalah yang diyakini sebagai pencetus ide mengharuskan anak balita membaca. Bermula dengan rasa skeptis yang besar, saya membuka buku Glen Doman pada halaman-halaman pertama dengan hati yang kesal dan sedikit banyaknya ingin menghakimi beliau sebagai bapak yang mungkin hanyalah seseorang yang menginginkan komersialisasi.

Namun setelah membaca bahasan-bahasan Doman sampai pada halaman terakhir, justru saya sangat bersemangat untuk menerapkan hal ini atau paling tidak menganjurkannya pada para ibu muda yang saya kenal.

Nah! Tentu anda bertanya, apa yang menyebabkan akhirnya saya dapat menyetujui buah pikiran Doman? Jawabannya adalah pada "cara". Bila kita membayangkan bahwa anak-anak harus melewati cara belajar membaca seperti yang kita lewati ketika kita masih duduk di bangku kelas 1 SD, dimana semua kata mulai dengan dieja,maka cara belajar seperti ini memang akan menjadi suatu hal yang menyulitkan. Tetapi Doman tidak menawarkan cara demikian, bahkan bayi berusia 3 bulan sekalipun bisa diajarkan membaca. (Saya yakin anda pasti heran). Tapi mari kita simak caranya, si ibu disarankan ke sebuah ruangan yang tidak terlalu banyak pernak-pernik, seperti ruang kosong saja, kemudian ibu mulai mengangkat satu kata, misalnya, apel, selama beberapa detik. Kata apel ditulis dengan tulisan yang besar di atas sebuah karton. Sambil mengangkat karton bertulisan apel itu, ibu harus juga menyebutkan 'apel'. Proses ini pun tidak boleh lama-lama karena rentang konsentrasi anak masih pendek. Semakin bertambah usia anak, barulah perlahan-lahan jumlah waktu ditambahkan. Hal paling menarik bagi saya dari cara ini adalah bahwa yang sangat penting bagi sang ibu atau sang ayah yang mau mengajarkan anak batita ataupun balitanya membaca untuk merasa senang dan menganggap bahwa sesi belajar membaca sebagai sesi bermain. Inilah esensi Kecerdasan Emosi!Bila kita mampu untuk merubah emosi suatu suasana belajar, maka belajar itu tidak akan menjadi suatu hal yang sulit ataupun menakutkan, tetapi justru sebaliknya. Di dalam buku Doman pun disebutkan bahkan banyak ibu mengaku bahwa sang anak selalu menanti ibunya untuk bermain 'membaca' bersamanya. Bila di usia yang begitu belia anak sudah dapat membaca dengan penuh sukacita tanpa merasa terpaksa, saya pikir anda pun kini tidak berkeberatan akan ide mengajarkan membaca kepada anak usia dini. Perihal teknis detil mengajar anak membaca dengan gembira dapat anda baca di buku Doman.

Namun hal yang kurang menggembirakan adalah kenyataan bahwa anak-anak usia dini ini justru masih banyak yang diajarkan dengan menggunakan cara lama, yaitu dengan cara mengeja. Akibatnya sekarang bermunculanlah kasus-kasus ke permukaan dimana banyak anak menjadi malas belajar. Pertama, karena metode yang dipakai kurang tepat (tidak seperti yang dianjurkan oleh sang pakar), kedua, karena usia anak memang belum memungkinkan untuk disuruh duduk diam dan menyimak. Akibatnya guru kewalahan, anak pun mungkin akan semakin membenci kata 'belajar' karena identik dengan suasana yang tidak nyaman.

Kembali ke pertanyaan awal, apakah baik mengharuskan anak usia balita membaca? Jawabannya adalah sangat baik, kalau diberikan dengan metode yang tepat. Ajaibnya lagi, bila metode yang digunakan sudah tepat, jangan heran kalau anak bukan hanya pandai membaca ataupun menulis, bahkan ia sudah dapat menjelajahi matematika ataupun science dengan keinginannya sendiri. Hal ini dikarenakan anak melihat sisi 'asyiknya' belajar. Kata belajar baginya identik dengan dunia eksplorasi yang menantang bukan identik dengan suatu paksaan yang mengikatnya yang membuat ia merasa bosan ataupun malas setiap kali mendengar kata 'belajar'.

Begitu anda berhenti belajar, anda berhenti memimpin

= Rick Warren

Kamis, 23 Oktober 2008

Pengaruh games pada anak-anak

Pengaruh games pada anak-anak

Yacinta Senduk SE, SH, MBA, LLM

Principal of Yemayo – Advance Education Center

Ada begitu banyak orangtua bertanya tentang baik atau tidakkah anak-anak bermain games? “Bolehkah saya mengijinkan anak saya bermain games? Soalnya saya takut dia tidak mau belajar.” Ya, hal itu memang suatu kecemasan yang cukup beralasan. Namun ada kisah lain lagi dimana seorang anak remaja merasa stres dan tidak mau ke sekolah karena merasa minder tidak mempunyai games sementara teman-temannya selalu membicarakan tentang games di sekolah setiap hari.

Lain lagi kasusnya dengan seorang murid kami, ia terbiasa menghabiskan waktu selama 3 jam setiap hari bermain games, sehingga ia menjadi seorang anak yang kaku dan sulit diajak berkomunikasi, emosinya meledak-ledak di dalam kelas, interaksi dan komunikasi dengan teman-temannya menjadi sulit.

Games mempunyai manfaat membuat tangan dan otak kita menjadi lebih gesit dan tangkas serta mengasah kegigihan mental anak, kata sebagian orang. Ya, saya setuju. Games itu merusak pikiran dan kemampuan sosial anak, kata sebagian orang lainnya. Ya, saya juga setuju. Sebenarnya masalahnya bukan pada games tersebut, tetapi pada cara orangtua memberikan ijin agar anak boleh bermain games. Banyak orangtua yang tidak membatasi waktu anak bermain games, tersirat dan tersurat dari alasan pemberian ijin yang terlalu longgar ini ialah orangtua dapat merasa tenang tidak ‘direcoki’ anak. Pada prinsipnya, segala sesuatu yang ‘terlalu’, tentu saja tidak baik. Ada juga orangtua yang hanya memberikan ijin anaknya bermain games selama setengah jam seminggu, sehingga membuat anak nekat mencongkel lemari games-nya karena kesal dengan pemberian ijin waktu bermain yang terlalu sedikit.

Hukum Timbangan

Untuk mudahnya, sebaiknya kita melihat hukum timbangan saja. Kalau terlalu banyak di sisi kanan, tentu ia akan oleng ke kanan, demikian juga sebaliknya. Di dalam kelas kami, kami menemukan beberapa kasus anak pecandu games. Sering pada awal mereka masuk kelas, pribadi-pribadi mereka seolah jauh di awang-awang dan sulit diajak berinteraksi. Bila bertanya pada mereka, maka jawabannya singkat-singkat dan kasar. Bila diberikan materi yang menuntut berpikir secara lebih, maka terlihat emosi mereka naik-turun dan hasil coretan tangannya pun sering tidak beraturan. Padahal mereka adalah anak-anak yang pandai di sekolahnya.

Ijinkanlah anak anda bermain games dengan cara yang bijaksana, sebagai contoh orangtua boleh membelikan player/games bila anak telah berhasil mencapai sesuatu, seperti 5 hasil ulangannya berturut-turut mendapat nilai 10. Hindari membuat janji yang terlalu lama jangka waktunya, misalnya, nanti kalau kamu naik kelas atau nanti kalau kamu juara kelas barulah akan dibelikan games. Bila anda sudah membelikan, sebagai orangtua anda perlu ingat bahwa tugas anda untuk mengontrol waktu penggunaannya harus anda jalankan dengan baik. Buatlah kesepakatan bersama putra-putri anda mengenai aturan waktu bermain games, janganlah menentukan waktu secara sepihak, misalnya, “Pokoknya, papa bilang kamu hanya boleh main dua jam dalam seminggu itupun hanya hari Sabtu saja.” Anda perlu menanyakan pendapat anak anda, “Berapa lama sebaiknya mama mengijinkan kamu bermain games?” Tentu saja anak akan me-negosiasikan waktu yang lebih panjang, sementara anda mungkin menginginkan waktu yang lebih pendek.

Carilah titik temunya, dimana anak mengurangi waktu yang dimintanya dan anda pun menambahkan waktu dari yang sebenarnya anda ijinkan. Anda juga perlu membicarakan apa konsekwensinya bila anak ataupun anda melanggar kesepakatan tersebut. Bertindaklah rasional! Jangan katakan, “Kalau kau melanggar, maka kau tidak boleh main games selama-lamanya.” Hal ini hanya mengacaukan pelaksanaan kesepakatan ini ke depannya.

Jika kesepakatan sudah didapat, maka mintalah anak untuk menulis di atas secarik kertas tentang kesepakatan yang telah dibuat tersebut, anak dan orangtua menandatangani kesepakatan tersebut lalu tempelkan di pintu kulkas agar semua dapat melihat kesepakatan tersebut. Sebagai variasi, anda bisa menambahkan ekstra jam untuk bermain games jika anak anda melakukan hal-hal yang baik, seperti bersikap baik pada saudaranya, atau mendapat hasil ulangan yang baik.

Saya juga sangat menyarankan orangtua untuk menyeleksi pilihan-pilihan games anak. Belakangan ini dunia games sudah jamak diwarnai dengan perkelahian, selain itu, marak pula karakter-karakter seksi yang menyerempet pada pornografi. Hindarilah apa yang disebut sebagai garbage-in, garbage-out (masuk sampah, keluar sampah). Banyak orangtua yang belum merasa yakin akan hal ini karena menganggap bahwa games hanyalah permainan elektronik biasa. Contoh nyata dari tidak terseleksinya tayangan mata dan games adalah Smack Down. Cukup banyak orang keheranan ketika melihat anak-anak menjadi korban Smack Down, “kok, bisa ya sampai jadi begitu?” Tentu saja bisa karena apa yang dilihat oleh mata tentu juga masuk ke dalam pikiran dan perasaan seorang pribadi, sehingga bila yang diserap pikiran terlalu banyak hal yang negatif, akan membuahkan tindakan yang negatif pula. Waspadai secara bijaksana! Bermain dan belajar sesuai hukum timbangan.

Ada orang yang kalau pun mereka tidak tahu,

anda tidak bisa memberitahu mereka

= Louis Armstrong

Katakan! Aku sayang padamu…

Katakan! Aku sayang padamu…

Yacinta Senduk SE, SH, MBA, LLM

Principal of Yemayo – Advance Education Center

Satu subjek yang masih agak asing yang ada di kelas kami sehubungan dengan melatih komunikasi murid adalah meminta mereka mengatakan, “Ma, aku sayang mama”, “Pa, aku sayang papa”. Meminta murid untuk mengatakan hal ini membutuhkan kesabaran yang luar biasa. Untuk anak usia belasan tahun, banyak dari mereka tertunduk merasa tidak nyaman. “Ih! Bulu kuduk sampe berdiri”, ujar seorang murid. “Emangnya penting ngomong kayak ginian, nggak usahlah! Nggak usah diomong juga udah tau, ya pasti aku sayanglah sama orangtuaku”, celetuk murid yang lain. Luar biasa menantang subjek komunikasi ini, rata-rata ketika mulai diminta mengatakan hal ini mereka memberikan dalih yang bermacam-macam, dari tidak penting, tidak bisa buat pintar, geli, jijik… Semuanya seolah menolak.

Nyatanya, 4000 anak remaja di Amerika bunuh diri per tahunnya; kebanyakan kasusnya adalah depresi, mereka melihat sisi gelap hidupnya namun sulit untuk mereka ungkapkan. Lucu ya, bahwa mengatakan, “Aku sayang padamu”, menjadi suatu subjek yang dipelajari? Nyatanya, kemampuan ini adalah sesuatu yang memang perlu dipelajari, perlu diluweskan menjadi suatu kebiasaan. Setiap anak mendapat giliran mengucapkannya, pada putaran pertama; tampak benar mereka tidak senang, lalu pengajar menyuruh semua murid mengulangi lagi pada putaran kedua; masih terlihat kaku, tetapi nada protes itu mulai memudar, putaran ketiga dan selanjutnya mereka mulai dapat diminta untuk menyebutkan, “Ma, aku sayang mama” secara lebih pelan, karena pada awalnya, hal tersebut selalu diucapkan dengan buru-buru, seperti orang sedang dikejar-kejar sesuatu. Ketika sudah selesai putaran kelima, pengajar bertanya, bagaimana rasanya sekarang kalian mengucapkan kalimat itu? Hmmm, kali ini terlihat kelas lebih tenang, tidak terlihat lagi rasa bergidik jijik seperti ketika diminta pertama kali.

Nyatanya, mengungkapkan perasaan memang memerlukan latihan. Lihatlah kebanyakan orang-orang yang berhasil, baik secara finansial maupun di dalam keluarga, mereka dapat mengungkapkan perasaan mereka dengan nyaman walaupun mungkin pernyataan mereka sebenarnya bukan suatu hal yang positif untuk lawan bicaranya. Namun keterbukaan dan kebesaran jiwa adalah hal yang penting di dalam kita berinteraksi dengan sesama kita agar kita dapat dimengerti oleh orang lain. Bila kita tidak cukup pandai mengungkapkan perasaan, maka kita akan sering berjalan dengan asumsi-asumsi yang seringnya tidak benar.

Selain mengungkapkan rasa sayang, kami juga meminta murid untuk mengatakan, “Saya merasa marah, karena kamu mengambil barang milikku.” Dalam hal ini, anda, pembaca dapat juga mempraktekkannya, sebagai contoh, apa yang akan anda katakan ketika teman anda merusak kacamata anda? Banyak orang akan langsung berkata: “Sialan kamu!”, “Lancang kamu!”, “Brengsek kamu!”. Semua kata-kata tidak terstruktur itu justru semakin merusak komunikasi anda dengan orang yang merusak barang anda, buruknya lagi, membuat emosi anda semakin kacau. Tentu saja anda berhak marah. Namun jika anda gunakan kata, “saya merasa marah karena…” Maka jika anda teruskan, kata-kata ini akan terdengar lebih dewasa secara emosi. Bandingkan, “Brengsek kamu ngerusakin kacamataku!” dengan “Saya merasa marah karena kamu merusak kacamataku!” Hanya dengan mendahulukan kata “Saya merasa..”, maka anda mengakui perasaan anda dan emosi anda menjadi lebih terstruktur.

Kemampuan mengungkapkan perasaan memberikan pengertian pada lawan bicara anda. Seorang suami yang mengatakan, “Aku sayang padamu” secara tulus kepada pasangannya akan lebih mendapatkan suasana rumah tangga yang jauh lebih segar demikian juga sebaliknya. Mengapa demikian? Banyak orang berpikir hal itu tidak perlu, toh dengan perbuatan juga sudah terlihat bahwa ia mencintai pasangannya. Namun sama seperti kasus seorang pencuri, tentunya polisi akan merasa lebih yakin bila sang pencuri mengaku sendiri bahwa ia telah mencuri daripada polisi bersusah payah membuktikan asumsinya bahwa si pencuri telah mencuri. Bagaimanapun ungkapannya adalah: Pikiran orang siapa yang tahu!

Membiasakan diri mengungkapkan perasaan akan sangat membantu diri anda untuk bertindak melakukan sesuatu untuk diri anda sendiri agar merasa lebih baik dan juga dapat lebih dimengerti orang lain. Sebagai contoh, karena merasa lelah setelah mengalami kemacetan di jalan, sampai di rumah anda membentak-bentak anak anda yang sedang menggambar, padahal penyebab utamanya adalah karena anda sedang kelelahan sehabis macet. Seharusnya kalau anda dapat mengatakan, “Saya merasa lelah karena tadi jalanan macet” maka selanjutnya karena tahu merasa lelah, anda dapat segera beristirahat di dalam kamar sehingga tidak harus membentak anak anda yang sebenarnya bukan penyebab kelelahan anda.

Saat pertama kali kita belajar menulis, tentu terasa sulit, namun setelah dibiasakan, menulis menjadi hal yang mudah; mengungkapkan perasaan pun demikian, bila anda telah terbiasa, anda akan lebih dimengerti orang dibandingkan bila anda hanya terbiasa menjawab, “Ah! nggak apa-apa kok, saya baik-baik saja”. Padahal mungkin anda sedang depresi berat. Lihatlah, ketika anda terbiasa mengungkapkan perasaan dengan benar, banyak hal berubah menjadi baik dalam hidup anda.

Tidak semua yang dihadapi itu bisa diubah.

Tetapi tidak ada yang dapat diubah hingga dihadapi.

= James Baldwin

Senin, 20 Oktober 2008

Orangtua, percayalah hal yang baik

Orangtua, percayalah hal yang baik !

Yacinta Senduk SE, SH, MBA, LLM

Principal of Yemayo – Advance Education Center

Seorang ayah mengeluhkan perilaku anaknya kepada saya, wajahnya nampak marah, "Saya sudah tidak tahu harus bagaimana lagi menghadapi James (bukan nama sesungguhnya). Semua usaha sudah saya lakukan tetapi James tidak berubah! Saya sudah kehabisan akal. Masak iya saya harus marah-marah terus?" Ujar ayah itu. Hari itu saya tidak memberi saran apapun kepada sang ayah, saya ingin melihat langsung saja si anak yang dikeluhkannya.

Memang benar, James yang berusia 7 tahun itu terlihat sulit diatur, bicaranya sinis cenderung kasar, bahkan sesekali ia memang terlihat sangat menganggu kelas. Beberapa kali pengajar harus memberikan peringatan dan mengharuskan ia menulis janji tulus tentang hal-hal apa yang perlu diperbaikinya.

Berangkat dari rasa percaya bahwa setiap masalah pastilah mempunyai jalan keluarnya, maka satu per satu masalah perilaku James kami pikirkan jalan keluarnya. Memang tidak ada proses instan, tetapi bagaimanapun, kami memilih percaya bahwa James adalah anak yang baik.

Setelah 2 bulan, kami melihat ada perubahan yang baik pada James, tapi sifatnya memang belum permanen, sesekali ia masih berperilaku kasar. Kembali kami bertemu dengan sang ayah. Kali ini tampak ia bukan saja frustrasi pada James, tapi ia sudah frustrasi juga dengan pengajar yang dianggapnya tidak berhasil mengubah James. "Saya sudah tahu dari awal, James memang tidak bisa berubah. James memang nakal dan dibawa kemanapun dia tidak akan berubah." Kami mengkomunikasikan hal-hal apa saja yang mulai berubah dari James walaupun sifatnya belum permanen, tetapi perubahan itu murni dari usaha James. Menurut kami itu adalah awal yang baik, yang harus lebih diperkuat lagi. Sang ayah berkata, "Saya tidak yakin James bisa berubah."

Belakangan kami mengerti bahwa sebenarnya yang membuat James tidak bisa berubah adalah keyakinan orangtuanya. Kami berupaya memberikan fakta bahwa James sudah mulai belajar sendiri setengah jam atas kemauannya sendiri, sudah mau mengurangi frekwensi bertengkarnya dengan teman di sekolah, sudah mulai mau menahan diri tidak marah-marah; tapi ayahnya terus saja mengatakan berulang-ulang kenakalan-kenakalan James, seperti ketika James berteriak-teriak di mal, menjambak rambut adiknya, membantah perkataan orangtuanya. Lalu kami berkata, "James selalu mengerjakan PR-nya". Sanggah ayahnya, "Ya, itu kan karena disuruh". "Tapi James juga mau membereskan mainannya".  Sanggah ayahnya, "Dia mana berani berantakan, nanti bisa saya hukum". "James sudah lebih sabar menunggu gilirannya beraktivitas di kelas kami", lanjut kami. "Iya, cuma di sini saja dia pura-pura baik, di rumah sih enggak tuh", ujar sang ayah sinis seolah merasa terpojok.

"Baiklah, menurut bapak, anak yang baik itu seperti apa?", tanya saya. Ayah itu tidak langsung menjawab, bahkan ia tampak kehilangan kata-kata sampai akhirnya ia berkata, "Ya seperti anak-anak lainnya itulah, yang tidak menyusahkan orangtuanya, yang kerjanya tidak bikin sakit kepala saja. Kita kan juga sudah sibuk, ditambah musti mengurus dia, kok dia nggak bisa ngerti yang kayak beginian sih?"

Untuk James, saya merasa sedih, ia ternyata anak yang dipercaya sebagai anak yang menyusahkan dan hanya membuat pusing orangtua. Padahal kami melihat bahwa sebenarnya James pun mau dan mampu berjuang memperbaiki dirinya.

Setengah bulan setelah pembicaraan dengan sang ayah, James kembali ke pola lamanya sebagai anak pemberang, di dalam percakapannya dengan pengajar, James berkata ketus dengan sorot mata tajam yang marah, "Papa bilang aku anak nakal kok, ya memang aku anak nakal, mau diapakan lagi!"

Menuai apa yang anda percaya

Sebut saja Ika, anak perempuan mungil yang lucu, berusia 6 tahun. Ika adalah anak yang cerdas, namun bila beraktivitas, ia terlihat kaku. Pada aktivitas melompat, Ika menangis tidak mau melakukan lompatan, ia berkata, "Aku kan nggak bisa melompat." Ika terisak-isak. "Bisa kok!" Ujar pengajar. "Nggak bisa! Mama bilang pinggul aku terlalu besar! Aku nggak bakal bisa melompat!" Tangis Ika menjadi-jadi. Melihat bentuk pinggulnya, malah kami percaya, jika tumbuh menjadi seorang gadis nantinya, Ika akan memiliki bentuk tubuh yang indah. Namun tidak etis jika mengatakan bahwa kata-kata mama Ika tentang dirinya itu salah. Akhirnya setelah tangis Ika mereda, pengajar membimbing lembut tangannya untuk melompat. Ika pun berhasil melompat, ia sendiri terkejut melihat dirinya bisa melompat. Kemudian ia melompat-lompat sendiri tanpa disuruh.

Apa yang anda percaya bagi putra-putri anda akan anda tuai hasilnya. Ada ibu yang tidak menyerah dengan anaknya yang autis, akhirnya anaknya bisa bersosialisasi dengan orang-orang normal. Ada ibu yang percaya bahwa anaknya pasti jadi orang berhasil walaupun lingkungannya tidak mendukungnya, nyatanya, anaknya benar-benar jadi orang berhasil.

Janganlah anggap remeh tentang apa yang anda percayai bagi putra-putri anda. Percayalah hal yang baik! Maka hal baik pulalah yang akan anda tuai.

"Setiap tindakan, cara bicara, dan pemikiran selalu dapat diubah,

dan perubahan itu dapat dijadikan kebiasaan."

= William Paley

(Presiden Columbia Broadcasting System)

Meja makan yang mulai ditinggalkan

Meja makan keluarga yang mulai ditinggalkan

Yacinta Senduk SE, SH, MBA, LLM

Principal of Yemayo – Advance Education Center

Ketika di dalam kelas, kami meminta anak-anak membuat jadwal tentang kegiatan mereka sehari-hari, sungguh kami, pengajar, dibuat terkejut dengan fakta bahwa hampir semua murid tidak pernah makan (baik makan pagi, siang ataupun malam) bersama secara lengkap dengan keluarga. Kebanyakan dari mereka makan bersama keluarga secara lengkap hanyalah bila sedang pergi ke restoran di akhir minggu. "Papaku kan pulangnya nggak menentu, biasanya sampai malam sekali. Jadi aku makan duluan. Kalau pagi, papaku masih tidur, jadi aku sarapan duluan sama mbak sebelum pergi ke sekolah." Inilah jawaban yang secara umum sering kami dapatkan dari anak-anak.

Tentunya, dengan berusaha segenap hati mengerti kesibukan orangtua, saya sangat menyayangkan hal ini. Di dalam keluarga, makan bersama di meja makan adalah ritual yang sebenarnya wajib dijalankan keluarga bersama. Mengapa saya sebut sebagai ritual? Sama halnya bila anda berada di kantor, meeting adalah sesuatu yang sering tidak bisa dihindarkan, karena meeting adalah sarana mempertemukan semua orang baik atasan maupun bawahan dan di sana tim kerja mulai membicarakan tantangan dan rintangan yang sering diakhiri dengan diskusi dan solusi. Hal ini dilakukan agar visi suatu usaha dapat secara langsung dimengerti oleh tim kerja.

Kecerdasan emosi adalah sesuatu yang sangat penting untuk kita miliki pada jaman ini. Jaman yang segala sesuatunya serba cepat, yang membutuhkan keputusan serba cepat, yang karenanya emosi pribadi sering dibuat naik-turun hanya di dalam jangka waktu singkat. Namun tidak perduli betapa gilanya jaman ini, suatu kenyataan yang tidak bisa kita pungkiri adalah dasar Kecerdasan emosi justru terbentuk dari rumah atau keluarga. Pada murid-murid kami yang memiliki antusiasme dan emosi yang positif, dengan jelas kami melihat pola didik orangtua yang sangat baik dan kompak. Sebaliknya, murid-murid yang bermasalah dengan pengendalian diri atau emosi, kami melihat pola didik orangtua yang terlihat hanya terbatas pada penyediaan material saja dan jarang melakukan interaksi yang positif.

Fakta yang kami dapati tanpa harus melakukan riset ataupun penelitian adalah pada anak-anak yang jarang makan bersama keluarga di meja makan rumah, mereka bermasalah dengan emosi, baik emosi yang meledak-ledak maupun emosi yang tertekan.

Pada saat kami meminta anak-anak membuat karangan singkat mengenai keluarganya, di situlah kami melihat pandangan-pandangan jujur anak-anak tentang keluarga mereka. Bagi anak yang mempunyai tradisi makan bersama, walaupun terkadang mereka lebih menyukai salah satu orangtua (misalnya lebih dekat ke papa atau ke mama); tetapi secara keseluruhan kami melihat anak tersebut mempunyai pandangan yang positif mengenai keluarganya, sebagai contoh mereka menulis: "Keluargaku asyik loh, kami sering bepergian. Papaku orangnya suka bercanda, mamaku lebih serius, tapi aku sangat sayang dengan keluargaku."

Dibanding dengan anak yang tidak makan bersama, mereka akan dengan sangat cepat memberikan penilaian kepada keluarganya secara keseluruhan, sebagai contoh : "Keluargaku biasa-biasa saja, tidak ada yang istimewa" atau "Aku merasa kurang akrab dengan keluargaku, biasanya aku lebih sering menghabiskan waktu di kamar."

Mengapa Makan bersama penting?

Seburuk-buruknya suatu keluarga, walaupun orangtua sangat tidak kompak, namun bila orangtua dapat mengusahakan kebiasaan makan bersama, anak-anak (juga orangtua) akan mampu menilai keluarganya secara utuh. Walaupun ayah seorang pemarah dan ibu seorang pembela (ini contoh ketidakkompakan orangtua), tetapi anak-anak akan mempelajari interaksi keluarganya secara keseluruhan justru pada saat semua berkumpul dan berinteraksi. Di meja makan, semua anggota keluarga dapat mempelajari ekspresi-ekspresi karena semua dapat saling melihat muka, di sini dapat ditanamkan berbagai macam nilai, baik nilai pendidikan, nilai moralitas, nilai kebaikan dan kebijaksanaan, nilai religi. Seringnya bila kita bisa saling menatap dan memahami ekspresi-ekspresi wajah, kita dapat mempunyai solusi-solusi yang lebih baik bila suatu masalah terjadi pada salah satu anggota keluarga kita. Saya sangat menganjurkan para keluarga mengusahakan ataupun menghidupkan tradisi makan bersama keluarga inti (ayah, ibu, anak).

Seringnya orangtua berkata bahwa mereka terlalu sibuk dan kesibukan itu sebenarnya untuk memberi makan anggota keluarganya. Namun hal yang sering dilupakan oleh orangtua yang sibuk, bila kesibukan itu sungguhlah ditujukan untuk keluarga mereka, mereka kurang menyadari bahwa perlahan-lahan mereka sedang kehilangan 'keluarganya'. Secara fisik anggota keluarga itu memang ada, namun secara hati, sebenarnya sudah lama hilang. Jadi bila orangtua terlalu sibuk mencari uang demi keluarga, nyatanya keluarga mereka sedang menghilang; lalu, ketika nanti benarlah uang telah didapat tapi keluarga itu sudah tidak ada lagi, maka apa gunanya semua kesibukan-kesibukan yang dilakukan? Bagaimanapun, saya yakin bahwa belum terlambat bagi para keluarga untuk membangun tradisi makan bersama keluarga setiap hari! Putuskanlah dan mulailah hari ini!

Jika anda tidak menyukai sesuatu, ubahlah! Jika anda tidak bisa mengubahnya, ubahlah sikap anda mengenainya. Jangan mengeluh karenanya.

= Maya Angelou

Kamis, 16 Oktober 2008

What's in a Name?: by William Shakespeare

What's in a Name?: by William Shakespeare
Jumat, 17 Oktober 2008 | 07:01 WIB

"What's in a name? That which we call a rose. By any other name would smell as sweet." Itulah kalimat yang sangat populer dari drama romantis-tragedi mahakarya William Shakespeare, "Romeo and Juliet". Shakespeare ingin ngomong, bunga mawar itu kalaupun diberi nama selain "mawar", bau wanginya akan tetap sama.

Tapi, dalam bukunya Positioning: The Battle for Your Mind, Al Ries dan Jack Trout mengkritik pendapat Shakespeare ini. Kalau bunga mawar itu dikasih nama selain "mawar", wanginya tidak akan terasa sama. Hal ini karena dalam benak kita sudah muncul persepsi yang kuat, seperti apa "mawar" itu; baik secara visual maupun dari baunya.

Jadi, buat marketers, brand itu sangat penting karena brand inilah yang sebenarnya dibeli orang. Seperti kata Walter Landor, pendiri konsultan brand terkemuka, Landor, "Produk dibuat di pabrik, namun brand diciptakan dalam benak (konsumen)."

Kata brand sendiri berasal dari bahasa Skandinavia Kuno, "brandr", yang artinya "membakar". Istilah ini mengacu kepada aktivitas para peternak yang mengecap hewan ternaknya dengan besi panas untuk membedakan antara hewan yang satu dengan yang lain.

Sampai saat ini, walaupun mungkin pemahaman dasarnya sama, namun memang tidak ada satu definisi yang tunggal tentang brand.

American Marketing Association (AMA) mendefinisikan brand sebagai "sebuah nama, istilah, tanda, simbol, desain atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang bertujuan untuk mengidentifikasi barang dan layanan dari suatu penjual atau kelompok penjual dan untuk membedakannya dari para pesaing."

Sementara, Profesor Douglas B. Holt dari Oxford University mengatakan bahwa brand merupakan budaya dari produk yang terbentuk sepanjang waktu. Jadi, menurut Holt, brand itu bersifat dinamis, seiring dengan interaksinya dengan berbagai pihak seperti konsumen dan pesaingnya.

Ada juga yang memberikan istilah lain untuk brand ini. Misalnya saja Kevin Roberts dari Saatchi & Saatchi, yang menciptakan istilah "lovemarks" untuk brand-brand yang memiliki unsur-unsur misteri, sensualitas, dan keakraban (intimacy).

Nah, bagi saya sendiri, brand adalah value indicator.

Brand bukan sekadar nama. Bukan juga sekadar logo atau simbol. Salah satu unsur brand memang adalah nama (brand name). Kedua istilah ini—brand dan brand name—sehari-harinya memang dianggap sama, namun sebenarnya berbeda. Brand punya makna yang lebih luas dan dalam daripada sekadar nama.

Brand adalah 'payung' yang merepresentasikan produk atau layanan, perusahaan, orang atau bahkan negara. Brand merupakan cerminan value yang kita berikan kepada pelanggan. Itulah sebabnya mengapa saya menyebutnya sebagai value indicator.

Value di sini artinya perbandingan antara hal-hal yang kita dapat dengan hal-hal yang kita berikan terhadap suatu brand. Hal-hal yang kita dapat berupa manfaat-manfaat fungsional dan emosional. Sementara, hal-hal yang kita berikan berupa harga yang harus kita bayar dan pengeluaran-pengeluaran lainnya.

Jadi, kalau suatu perusahaan atau produk sudah punya brand yang bagus, ia akan mampu menjadi price-maker, bukan sekadar price-taker. Brand adalah elemen paling penting dari price-driver. Brand-lah yang menentukan harga.

Brand ini juga merupakan jangkar dari segitiga Positioning-Diferensiasi-Brand (PDB). Kalau punya diferensiasi kuat tapi brand-nya tidak dikenal percuma saja.

Seperti sudah disingggung di atas, brand ini bukan hanya berkaitan dengan dunia komersial seperti product branding, service branding, atau corporate branding. Semua hal sebenarnya berkaitan dengan brand.

Ada yang namanya personal branding, yaitu branding terhadap seseorang atau sejumlah orang. Keluarga Kennedy misalnya, punya personal branding yang kuat sehingga disebut sebagai "the closest thing America has to royalty."

Tidak jarang personal branding ini saling memperkuat dengan corporate branding. Contohnya Donald Trump, yang berhasil melakukan personal branding secara konsisten sehingga nama belakangnya (Trump) digunakan pada berbagai bangunan dan proyek yang ia kerjakan, dan sudah jadi jaminan mutu.

Ada juga yang namanya country branding, seperti Malaysia dengan "Truly Asia"-nya, Hong Kong sebagai "Asia's World City", Thailand dengan "Amazing Thailand"-nya, atau Selandia Baru dengan "100% pure"-nya.

Di Indonesia sendiri saya nilai yang akan paling ramai tahun depan adalah political branding. Menjelang Pemilu 2009, ke 38 partai nasional dan 6 partai lokal di Aceh beserta para politisi di dalamnya tentu akan berjuang keras agar brand-nya bisa jadi pilihan utama rakyat Indonesia.

Di era New Wave, branding di berbagai aspek akan semakin sulit karena pesaing sudah tidak terbatas. Sulit sekali membuat brand yang dikenal, diketahui, dan sekaligus diakui PDB-nya.

--- Ringkasan tulisan ini bisa dibaca di Harian Kompas --


Hermawan Kartajaya

Perbanyaklah perbendaharaan kata yang positif

Perbanyaklah Perbendaharaan Kata yang Positif!

Yacinta Senduk SE, SH, MBA, LLM

Principal of Yemayo – Advance Education Center

Jangan terkejut bila ternyata memang cukup banyak orang tidak percaya akan kekuatan kata-kata. Sebuah kata akan memberikan suatu pesan tersendiri di dalam otak. Contoh: kata 'dingin'. Walaupun kita tidak punya gambar yang jelas tentang dingin, tetapi perasaan kita bisa memberikan reaksi pada kata 'dingin' tersebut. Bila saya berikan anda serangkaian kata seperti ini: sadis, ngeri, seram, jijik, marah, dendam, benci, bau, murka, mengamuk, memukul, memaki, membunuh, gila, bodoh… Saya yakin kata-kata ini telah mulai membuat tubuh anda kaku atau mengeras. Kalau anda kurang percaya, coba baca sekali kata-kata di atas.

Sekarang ini, saya akan memberikan anda serangkaian kata: cerah, indah, gembira, bahagia, sukacita, damai, makmur, sejahtera, tertawa, kasih, menang, tentram, sehat, terang, berhasil, sukses, pandai…  Kembali, sadarilah keadaan tubuh anda, bukankah kekakuan tubuh anda yang disebabkan kata-kata negatif di atas sekarang sudah mulai melunak? Anda sudah mulai lebih tenang? Contoh ini memberikan suatu gambaran yang perlu dimengerti bahwa tubuh kita bereaksi terhadap satu kata, walaupun hanya kata yang kecil saja.

Ada seorang murid kami, saat baru bergabung di kelas, ia terlihat sangat kaku, tegang dan serius. Tatapan matanya seperti mata seekor elang yang selalu berjaga-jaga seolah akan terjadi sesuatu yang buruk. Pelatih sungguh harus berusaha keras membuat anak laki-laki kecil itu tertawa, tampaknya tidak ada yang bisa membuatnya gembira, ia tetap saja tampak tegang. Bila diberikan materi menggambar, pilihan warna-warnanya pun adalah warna-warna yang suram, walaupun sebenarnya gambarnya itu adalah suatu gambar yang indah, namun tetap saja tampak suram dan sedih.

Ketika kami memberikan materi kelas yaitu meminta para murid menulis kata-kata positif sebanyak-banyaknya dalam waktu 15 menit, sebut saja Andy, sang murid yang selalu tampak kaku tersebut tiba-tiba berkata kepada pelatih, 'Coach, aku merasa mual.' Andy berhenti menulis sejenak. 'OK. Tapi coach sangat menghargai bila Andy mau berusaha konsentrasi menyelesaikan tugas yang diminta untuk diselesaikan. Jangan terlalu dipaksakan, tetapi berusahalah sebisamu. Coach yakin Andy bisa', kata pelatih memberikan dorongan penyemangat. Dalam 15 menit Andy hanya mampu memberikan 15 kata positif, sementara teman-temannya yang lain mampu memberikan sampai 40 kata positif bahkan lebih.

Saat melakukan games bersama teman-temannya, pilihan kata-kata Andy pun terdengar kasar jika ia sedang kesal terhadap temannya, sehingga membuat teman-temannya kurang senang berada di dekatnya. Pelatih menegur dengan halus dan tetap memberikan alternatif kata-kata yang baik padanya, 'Ayo, daripada kamu berkata kasar, sebaiknya kamu fokus dan sabar di dalam melakukan games-mu, berikan semangat pada teman-teman tim-mu. Kalau sabar, kalian bisa menang loh.'

Setelah beberapa kali pertemuan, kami kembali memberikan materi tentang mencari kata positif dalam waktu 15 menit, kali ini Andy mampu memberikan 30 kata, ia sudah terlihat lebih santai dan tidak mengeluh mual lagi, yang lebih menggembirakan lagi, Andy sudah lebih luwes dalam berkomunikasi bahkan ia sudah mendapatkan seorang teman di kelasnya dan sudah lebih sering tersenyum.

Dari Andy kami ketahui bahwa di rumahnya, perkataan kasar adalah suatu bentuk komunikasi yang lazim. Kesalahan-kesalahan kecil akan dihujani dengan makian yang tak beralasan. Jika sudah dimaki, biasanya Andy pun akan menyerang balik  dengan kata-kata kasar juga. Andy tidak mempunyai banyak perbendaharaan kata-kata positif, jadi ketika harus mencari kata-kata positif, tubuhnya memberikan reaksi yang menimbulkan rasa mual. Ini tidak terjadi pada Andy saja, kaum remaja cukup sering mengeluh 'mual' saat harus mencari kata-kata positif. Para remaja yang tidak terbiasa dengan kata-kata positif; biasanya tumbuh menjadi pribadi-pribadi pemarah ataupun suka mengamuk, ketika ditanya mengapa, mereka sendiri tidak tahu apa sebabnya. Hal ini sebenarnya mudah diatasi, hanya perlu mengganti kebiasaan berkomunikasi saja.

Pada orangtua kami sarankan untuk menambah kata-kata yang positif, sebagai contoh: Hari ini kamu cantik. Papa akan bekerja dengan semangat dan kamu belajarlah yang rajin. Mama senang hari ini cerah, jadi bisa ke pasar untuk beli sayuran, mama akan buat makanan yang enak, kamu pasti senang. Kita pergi ke rumah nenek ya, pasti nenek gembira melihat kalian, nenek sayang pada kalian. Kata-kata negatif menunjukkan negatifnya suatu pikiran. Bila pikiran anda negatif, pastilah tindakan yang anda ambil akan negatif ataupun pasif. 

Pribadi-pribadi seperti ini  akan mempunyai masalah sosialisasi dimana tidak banyak orang ingin mendekat. Berlatihlah untuk menambah kata-kata positif. Awalnya mungkin saja anda akan merasa mual, tapi lihatlah… Jika anda sudah mulai terbiasa, jangan heran bila hidup anda berubah menjadi sangat menyenangkan dan ceria.

"Kau tak pernah bisa belajar lebih sedikit; kau hanya bisa belajar lebih banyak. Alasan mengapa aku tahu begitu banyak adalah karena aku telah melakukan begitu banyak kesalahan."

= Buckminster Fuller

Ahli Matematika dan filsuf yang tidak pernah lulus program sarjana muda tapi menerima 46 gelar doktor kehormatan

Rabu, 15 Oktober 2008

Banyak anak dirusak oleh pola asuh yang tidak kompak

Banyak anak dirusak oleh pola asuh yang tidak kompak !

Yacinta Senduk SE, SH, MBA, LLM

Principal of Yemayo – Advance Education Center

Banyak orang percaya bahwa orang-orang yang bermasalah dengan narkoba dan seks bebas adalah  mereka yang berasal dari keluarga broken home. Pendapat ini memang ada benarnya, tapi tidak sepenuhnya benar. Sesungguhnya, banyak pribadi-pribadi bermasalah narkoba dan seks bebas datang dari keluarga yang mempunyai orangtua utuh, dalam arti ayah dan ibunya tidak bercerai. Anda terkejut?

Sangat banyak pasangan suami-istri yang masing-masing suami dan istrinya mempunyai prinsip yang berbeda dalam hal mendidik anak. Parahnya, perdebatan beda prinsip ini terjadi di depan mata anak, sehingga anak akan belajar dengan mudah memanipulasi satu pihak yang lemah.

Seorang ibu mengeluhkan perilaku anaknya yang susah diatur; jika disuruh belajar, anak itu punya banyak alasan menunda. Berbagai macam hukuman diberikan sang ibu, namun nampaknya anak sudah tidak perduli lagi. Nada-nada tinggi ibu, tidak digubris lagi oleh anak. Menambah runyam keadaan, sang suami berkali-kali menegur istrinya yang dianggap terlalu keras pada anak. "Sudahlah, ma, kalau dia sudah tidak mau belajar, terus mau diapakan? Masak kamu mau hukum terus? Sama anak keras bener!", tegur sang suami ketika keluarga sedang berkumpul di meja makan. "Loh, jadi dibiarkan saja, dia tidak usah belajar? Terus kalau tidak naik kelas bagaimana? Nggak! Pokoknya, habis makan ini dia harus belajar 2 jam!", bantah ibu. Pertengkaran perbedaan pendapat di depan anak ini, salah besar! Baru 15 menit anak belajar di kamar, sang ayah masuk dan berkata, "Tidak usah terlalu dipaksakan! Kalau kamu lelah, kamu tidur saja". Ayah ini tidak tahu bahwa ia sedang merusak suatu proses pendidikan yang besar bagi pribadi anaknya.

"Aku nggak suka sama mamaku, mamaku seperti monster. Kerjanya marah-marah melulu! Paling enak sama papa, aku bisa main-main terus", komentar Mira (bukan nama sebenarnya) gadis kecil berusia 8 tahun kepada pengajar di kelas kami.

"Iya, kalau saya sama anak sih, tegas loh. Tapi papanya itu, belain melulu", curhat sang ibu kepada saya. Mungkin saja cara ibu tersebut marah-marah terus pada anaknya tidak benar. Tetapi lebih tidak benar lagi tindakan sang suami yang tidak membela sang istri di depan anaknya. Seharusnyalah suami-istri kompak menetapkan suatu peraturan dan menjalankannya dengan konsisten. Jika terasa ada kesalahan di dalam menjalankannya, misalnya, suami merasa istri terlalu keras menjalankan-nya atau sebaliknya, tegurlah pasangan anda di belakang anak. Jika anda merasa perlu merubah suatu peraturan, bicarakan dahulu dengan pasangan anda. Hindari mengganti peraturan di depan anak, sebab jika terjadi pertengkaran suami-istri, maka anak akan mempelajari mana pihak pasangan yang lemah, ayah atau ibu.

Pada kasus ibu tersebut, saya meminta ia dan suaminya datang. Saya jelaskan bahwa Mira menceritakan kepada kami bahwa ia tidak belajar karena menurut papa belajar itu tidak boleh terlalu dipaksakan. Pernyataan ini memang ada benarnya, tetapi dalam kasus Mira, ini adalah usaha 'manipulasi' anak untuk mendapatkan kebebasan secara berlebihan, yaitu supaya ia tidak usah belajar dan lebih banyak bermain saja. Pada saat ayah berusaha menjadi pahlawan untuk melepaskan anaknya tersebut dari kewajiban belajar, ayah itu tidak menyadari bahwa ia sedang menunjukkan suatu kelemahan  yang besar. Anak mendapat persepsi bahwa papaku 'lembek' mudah dimanipulasi.

Sebulan sejak pembicaraan dengan pasangan suami-istri itu, saya melihat perubahan positif Mira, sang ibupun mengakui bahwa Mira mulai mau belajar sendiri. Pada saat ibu memarahi, ayah menimpali, "Iya, mamamu benar. Sekarang masuk kamar dan belajarlah." Di kelas pun Mira sudah sering bercerita tentang kebaikan mamanya. Syukurlah, mamanya sudah bukan monster lagi baginya…

Lihatlah kasus awalnya, hanya karena tidak kompak, pola belajar anak menjadi rusak; pola hormat kepada orangtuapun menjadi kacau!

Pada kasus pecandu narkoba, awalnya, ayah/ibu yang lemah adalah pihak yang selalu mendanai pembelian narkoba tersebut karena mudah dimintai uang. Pihak orangtua yang lemah merasa 'tidak tega' jika tidak memberi uang lebih, padahal uang itu dipakai untuk memperoleh narkoba atau untuk mendanai pesta-pesta malamnya. Sedangkan pihak yang keras menjadi pihak yang paling dibenci anak karena pihak itu dianggap berusaha menghalang-halangi kesenangannya.

Bagi orangtua yang merasa tidak tegaan atau ingin menjadi pahlawan bagi anak, ketahuilah bahwa anda justru sedang menjadi 'penjahat' bagi masa depan anak anda. Jika anda berpikir anak akan menyayangi anda, anda salah besar karena perlahan anak bertumbuh menjadi pribadi pembangkang yang tidak punya rasa hormat dan yang menganggap remeh peraturan, padahal hidup kita dikelilingi oleh banyak peraturan, seperti peraturan sekolah, peraturan kerja, norma-norma, dan sebagainya. Hari ini mungkin anak tampak menyayangi anda, namun ia akan menjadi kasar jika anda tidak memenuhi permintaannya. Kompaklah! Jika anda benar-benar sayang dengan keluarga anda. Selain anak akan tumbuh menjadi pribadi yang baik, pasangan andapun pasti akan merasa dihargai.

"Orang yang selalu mempersiapkan segala sesuatu

telah memenangkan separuh dari peperangannya."

= Miguel de Cervantes

Selasa, 14 Oktober 2008

Budaya serba cepat, menumpulkan anak

Budaya serba cepat menumpulkan anak !

Yacinta Senduk SE, SH, MBA, LLM

Principal of Yemayo – Advance Education Center

Sebut saja Kika namanya, berusia 5 tahun berparas molek. Selesai kursus ia berlari keluar dengan gembira, tangan mungilnya mengambil sepatu miliknya. "Ini sepatu baru loh", kata Kika senang sambil memamerkan dengan gembira kepada pengajar yang mengantarnya sampai pintu keluar. Nyatanya Kika masih terlihat bingung mana sepatu sebelah kiri mana yang sebelah kanan, ekspresi wajahnya sungguh antusias dan ia tidak berkeberatan mencocokan kakinya dengan sepatunya. Hanya untuk menemukan kaki yang tepat dengan sepatu yang tepat, Kika sampai terduduk di lantai, tetapi wajah gembiranya masih jelas terlihat.

Tiga menit berlalu, Kika berhasil memasukkan kakinya ke dalam sepatu kiri; tidak berapa lama kemudian dia makin tertawa senang tidak hanya memamerkan sepatu barunya, tapi kini ia memamerkan kepandaiannya memakai sepatu sendiri. Pengajar pun berkata, "Wah! Kika pandai yah, pakai sepatu kirinya bisa loh…" Kika terlihat semakin antusias memakai sepatu sebelah kanannya, tapi memang sepatu sebelah kirinya belum selesai ditalinya dengan benar. Namun pengajar masih belum mau campur tangan, hasil pemikiran dan pengerjaan anak harus dihargai sampai ketika anak 'memutuskan' sendiri bahwa apa yang dikerjakannya telah selesai. Namun belum lagi sepatu kanannya berhasil masuk, tiba-tiba tangan cekatan pengasuhnya segera memasangkan sepatu kanan Kika. Tangan mungil Kika diminggirkan, diganti dengan kegesitan tangan seorang pengasuh. Kika tidak terlihat sedih atau marah, dia sudah merasa hal itu sebagai hal yang biasa bahwa apa yang dikerjakannya memang sebagian besar sering diambil alih oleh pengasuh ataupun oleh mamanya. Hanya saja, walaupun tidak terlihat sedih atau marah, antusiasme yang  awalnya terlihat jelas di muka gadis mungil itu, kini berubah menjadi datar seolah hanya menunggu hasil saja. "Maaf bu, saya harus buru-buru, ditunggu mamanya Kika di rumah, mau diajak pergi", sela sang pengasuh sambil membenarkan sepatu kiri Kika yang tadi belum selesai ditali.

"Oh gitu... Kalau di rumah, apa diajarkan pakai baju sendiri?", tanya pengajar.

"Iya diajari, cuma Kika ini orangnya lelet, kalau apa-apa selalu pelan, jadi memang harus selalu dibantu pakai baju, kalau tidak, dia bisa terlambat ke sekolah… Sudah yah, permisi pulang", kata sang pengasuh sambil menarik tangan Kika pulang. Langkah Kika yang mungil terlihat agak terseret-seret mengikuti langkah pengasuhnya.

Selang dua minggu setelah itu, mama Kika datang bertemu dengan pengajar mengeluhkan betapa Kika ini seorang yang pelan dan kurang motivasi. "Kalau orang lagi cepet-cepet, eh! Dia malah nyantai. Kadang-kadang saya sampe geregetan loh. Gimana sih caranya supaya ngajarin dia bisa lebih cepet lagi, lebih bertanggung jawab lagi?", terdengar nada sang mama mulai meninggi. Mama Kika tidak sendirian, kami menemukan sejumlah orangtua lain yang mengeluhkan kekurang mandirian anaknya. Nyatanya setiap kali kami menanyakan apakah anak pernah dilatih untuk pakai pakaian sendiri, rata-rata orangtua menjawab ya, tetapi ketika ditanya seberapa sering, jarang yang mengatakan cukup sering, biasanya dijawab, "Yah, sesempatnya ajalah. Kita kan memang selalu dikejar-kejar waktu. Kalau pagi, pas mau sekolah, kan nggak mungkin karena takut terlambat sekolah, maka dipakaikan." Jawab orangtua.

"Kalau mau bepergian santai sama keluarga, apakah juga dibiasakan berpakaian sendiri?" Tanya kami lagi.

"Kalau mau pergi, papanya kan sudah nunggu di mobil, biasanya langsung aja digendong ke mobil dan dipakaikan di mobil." Jawabnya lagi.

Di jaman tehnologi yang setiap hari berlomba menyuguhkan kecepatan, justru anak-anaklah yang sering tidak diberikan ruang untuk belajar mandiri sesuai dengan kemampuannya. Bila si kecil memakai sepatu sendiri selama 15 menit, seolah ia telah melakukan suatu kesalahan yang fatal, seisi rumah kesal, bila ia berpakaian selama setengah jam karena kancing-kancing kemejanya belum mampu ia pertemukan, dianggap anak kurang bertanggung jawab terhadap waktu. Menambah buruknya situasi, dimana anak jarang dilatih, juga selalu dibantu pengasuh, toh! Akhirnya diomeli juga oleh orangtuanya karena dianggap tidak antusias.

Pada beberapa kasus, kemudahan-kemudahan yang diberikan oleh orangtua justru membuat anak terlihat menjadi hiperaktif, anak sering mondar-mandir tidak jelas mau mengerjakan apa, emosinya naik-turun tidak menentu, untuk beberapa anak malah harus sampai ke psikolog. Padahal, dengan diberikan beberapa latihan dan dorongan pada anak; yang tentunya dapat dilatih di rumah, seperti latihan memakai baju, latihan memakai sepatu, latihan cuci piring, dsb, perilaku anak dapat berubah menjadi positif. Di waktu senggang, bila anda mengajari anak anda berpakaian sendiri, bersabarlah. Siapkan waktu yang benar-benar luang, jangan terkejut kalau mereka membutuhkan waktu satu jam dan bukan satu hari saja, mungkin seminggu, tetaplah bersabarlah… Bila anda mau memberikan waktu sekarang lebih lama, anda akan menghemat banyak waktu di masa yang akan datang yaitu dimana anak dapat bergerak cepat dan lancar secara mandiri. Tetapi bila sekarang anda masih terus meributkan kelambatan anak tanpa mau memberi waktu mereka latihan yang cukup; maka anda akan semakin menjadi kesal dalam jangka waktu yang semakin panjang ke depannya. Bisa cepat tua loh!

Belajar, bekerja dan menuai hasil adalah tiga tahap kehidupan.

= Jack Balousek

 

Senin, 13 Oktober 2008

Pikir panjang untuk keluarga anda

Pikir panjang untuk keluarga anda !

Yacinta Senduk SE, SH, MBA, LLM

Principal of Yemayo – Advance Education Center

     Marak lagi berita poligami, marak lagi berita perselingkuhan, marak lagi berita-berita yang seharusnya tidak perlu dikonsumsi mata anak-anak. Rasanya ingin  menanggapi tayangan-tayangan gosip di TV dan mengkritik keras sisi komersil media, tapi nyatanya, realitas kehidupan sehari-hari juga sama saja buruknya menayangkan keretakan rumah tangga yang disuguhi sebagai reality show bagi anak-anak yang secara getir harus mereka jalani.

     Membentuk kepribadian seorang anak yang kuat di dalam rumah tangga yang utuh saja, sudah merupakan PR yang cukup kompleks untuk orangtua; apalagi harus membahas pola asuh anak dari orangtua yang bercerai?

     Cukup banyak orangtua bertanya kepada saya, mungkinkah seorang anak hidup bahagia bila orangtuanya bercerai? Menjawab pertanyaan ini, sama seperti menjawab pertanyaan, mungkinkah satu ditambah satu tidak sama dengan dua? Bisa dijawab "tidak mungkin" karena itu adalah suatu formula yang tidak bisa diganggu gugat, sebab bila dijawab 'mungkin', maka mungkinkah dua meter ditambah lima meter tidak sama dengan tujuh meter; seandainya formula awal kita bantah, tentunya para ahli tehnologi yang selalu membuat hitung-hitungan matematis setiap hari akan sulit menciptakan gedung-gedung tinggi, mesin, dsb karena tiada aturan yang jelas. Membantah satu formula awal berdampak negatif secara luas. Tapi kalau mau dipaksa menjadi  "mungkin" yah bisa saja, suka-suka yang menjawab sajalah.

     Saya tidak akan membahas tentang boleh tidaknya anda bercerai atau berselingkuh, dalam hal ini, andalkan hati nurani anda sajalah. Berpikirlah yang jernih agar jangan ada penyesalan di kemudian hari, jangan sampai ada masalah-masalah yang tidak selesai ketika ajal menjemput kita.

     Ingin sedikit saya berikan pandangan yang sesungguhnya dan bukan pendapat saya. Setidaknya seperlima jumlah murid kami, ternyata mempunyai kasus orangtua bercerai, single parent ataupun orangtua sering bertengkar kasar di rumah. Berat hati harus saya sampaikan bahwa anak-anak ini bermasalah dengan emosi walaupun secara intelijensi pandai; ada yang gemar berbohong, ada yang sangat penakut, ada yang sangat perasa, ada yang sangat pemarah, ada yang apatis.

     Anak-anak sering merasa stress bila ditanyakan teman-temannya tentang keluarganya, ia sulit menjawab tentang keluarganya yang retak; selain masalah pertanyaan orang lain, anak pun punya masalah menjawab pertanyaan dirinya sendiri, mengapa orangtuaku selalu bertengkar ataupun bercerai? Banyak orangtua yang pernikahannya bermasalah lupa bahwa anak belum cukup mampu 'dipaksa' mengerti permasalahan orangtuanya. Sebagian orangtua menganggap, "yah, nanti juga dia lama-lama tau siapa yang salah." Anak-anak selalu bersifat ego-sentris, mereka sulit mampu berpikir bahwa pertengkaran atau perceraian orangtua benar-benar tidak ada hubungannya dengan mereka. Mereka cenderung menuding diri mereka sendiri sebagai penyebab keributan orangtuanya. Belum lagi anak akan dibesarkan oleh orangtua yang bermasalah dengan emosi karena sakit hati dengan pasangannya, maka secara luar-dalam memang pribadi anak menjadi pecah. Bukan tidak ada anak-anak hasil keretakan rumah tangga yang berhasil menjadi pribadi kuat, namun kenyataannya sungguh jauh  lebih banyak pribadi-pribadi rapuh yang dihasilkan dari kekacauan ini.

Mungkin ada sebagian orang yang berkata, "itu tergantung dari pribadi anak itu sendiri, kalau dia kuat, dia pasti bisa mengatasi masalahnya." Formula awal bahwa kita diberikan sang Pencipta Semesta Alam ini dua orangtua; justru sebenarnya agar orangtualah yang membantu membentuk perkembangan pribadi anak. Ketika lahir anak harus diberi pakaian dan makanan oleh orangtua, harus juga diberikan pendidikan yang baik; anak tidak bisa mengerti dengan sendirinya tanpa bimbingan orangtua.

     Apa hasilnya bila kita menghancurkan suatu formula awal? Trend kawin-cerai sudah biasa, kemudian muncul lagi poligami, sementara selentingan poliandri sudah mulai terdengar. Belum reda-reda juga narkoba dan seks bebas. Mau dibawa kemana generasi muda kita ini ke depannya dengan kekacauan seperti ini? Bagaimanapun, formula awal seharusnya tetap ada untuk menjaga keteraturan hidup kita.

Keluargalah yang akan mengurus hari tua dan pemakaman anda

     Keluarga adalah sesuatu yang indah, dalam kehangatan keluarga kita bisa mulai bekerja dengan semangat dan kembali tidur memulihkan tenaga di dalam rumah yang penuh tawa-canda. Menyakiti hati keluarga, sering beresiko anda harus menjalani hidup yang kacau balau. Jika anda tergoda untuk bertengkar dengan pasangan ataupun tergoda ingin melakukan perselingkuhan, visualisasikan dengan jelas, siapa yang akan mengurus anda di hari tua? Siapa yang akan merindukan kepergian anda pada hari pemakaman anda? Apa yang akan diucapkan oleh pasangan dan anak-anak anda pada saat kematian anda? Bila anda memberikan luka yang dalam, sudikah mereka mengenang anda sebagai orang yang patut dihormati dan diteladani? Positif atau negatifnya cerita anak-cucu anda tentang anda kelak sangat tergantung dari keputusan dan tindakan anda semasa hidup anda kini.

"Pemikiran dan tindakan yang baik tidak akan pernah membuahkan hasil yang buruk, pemikiran dan tindakan yang buruk tidak akan pernah membuahkan hasil yan baik."

= James Allen

 

Minggu, 12 Oktober 2008

Masih banyak yang takut bermimpi

Masih banyak yang takut bermimpi!

Yacinta Senduk SE, SH, MBA, LLM

Principal of Yemayo – Advance Education Center

     Membawakan topik mengenai mimpi ataupun cita-cita di dalam kelas, ternyata sungguh merupakan suatu tantangan. Tidak hanya untuk usia yang lebih muda, untuk usia remaja juga pembahasan topik ini memerlukan satu sesi dan kesabaran tersendiri, mereka benar-benar tampak kurang bersemangat. "Aku nggak tau gimana", "nggak usahlah bercita-cita yang terlalu muluk", "nggak bakal tercapai deh, ngapain sih musti mengada-ada!", "nanti kalo nggak tercapai, aku bisa stress nih." Ini semua alasan yang banyak kami terima dari murid. Pengajar tanpa lelah terus memberikan motivasi, mulai dari memberikan contoh orang-orang yang berhasil ataupun menyebutkan orang-orang terkenal yang sukses yang masih hidup berikut dengan perjuangan-perjuangan gigih mereka. Beberapa murid malah mencoret apa yang telah mereka tulis sendiri karena menganggap mimpi-mimpi yang mereka tulis itu tidak ada artinya. "Yah… Kalau kalian sendiri tidak percaya dengan mimpi kalian, jelaslah mimpi itu tidak dapat terwujud. Kalian harus memikirkannya, menulis dan percaya akan apa yang sudah kalian tulis." Kata seorang pengajar.

     Saya yakin bahwa keengganan bermimpi ini tidak hanya terjadi pada para murid, namun mereka yang berusia puluhan tahun juga, termasuk para orangtua, masih sangat banyak yang takut untuk bermimpi. Alasan terbesarnya adalah 'takut gagal'.

     Di suatu kesempatan saya menonton kisah perjuangan Britney Spears, penyanyi terkenal Amerika yang telah meraup uang jutaan dollar, berusia 24 tahun. Melihat keberhasilannya sekarang ini tidak lepas dari perjuangan-perjuangan gigih dan dukungan lingkungannya yang luar biasa. Terlepas dari kontroversial yang diciptakannya akan gaya-gayanya yang provokatif, namun  yang  mencolok dari rangkaian kisah keberhasilannya adalah fokus kuat dirinya di dalam mengejar mimpinya. Sejak kecil dirinya telah mempunyai mimpi sejernih kristal bahwa ia ingin menjadi penyanyi berhasil. Ia mempelajari dunia menari dan menyanyi secara fokus. Beberapa kali mengikuti kejuaraan menyanyi dia tidak pernah menjadi juara utama, ketika menjadi penari ia hanya menjadi penari latar, sampai dengan ia mendapat tawaran menyanyi di album pertamanya, promosi yang dilakukan masih dari mal ke mal dan banyak orang tidak memperhatikan ia bergaya di panggung. Ketika ia telah menjadi 'mega star' banyak orang berkata bahwa Britney sangat beruntung dikelilingi oleh orang-orang pintar yang berhasil mengorbitkannya. Saya tidak dapat sepenuhnya setuju dengan predikat kata 'beruntung' ini karena nyatanya saya pun menangkap esensi perjuangan dan kenekatan Britney di dalam mewujudkan mimpinya. Kerja keras dan disiplin yang luar biasa dalam hal berlatih olah vocal, tour, menari, rekaman dan segala sesuatu yang telah rela dikerjakannya termasuk patuh menyimak dan melakukan arahan-arahan para koordinatornya. Sering ia terlihat kelelahan di depan kamera, tetapi tetap harus tersenyum untuk menciptakan citra yang segar. Ia berani bermimpi, berani gagal, pula berani sukses, tetapi usahanya ini sangat tidaklah mudah.

Perlunya mimpi

"Tunjukkan jalanku, wahai kelinci!" Tanya Alice kepada kelinci.

"Kemanakah tujuanmu?" Tanya kelinci.

"Aku sendiri tidak tahu." Jawab Alice.

"Jika demikian, ambillah jalan mana saja, tidak masalah."

Inilah cuplikan percakapan pada kisah Alice in Wonderland. Jika kita sendiri tidak tahu akan kemana maka jalan manapun yang kita ambil, OK saja dijalani, termasuk bila jalan itu akhirnya akan membawa kita ke jurang maut seperti seks bebas dan narkoba. Memiliki mimpi berarti mempunyai suatu tujuan jelas apa yang ingin kita capai, walaupun di dalam kenyataannya kita akan menemui rintangan, kita dapat berjuang mencari jalan lain untuk ditempuh. Semakin jelas mimpi kita memang bukan membuat perjuangan kita semakin mudah, namun kita tahu benar atau tidaknya arah perjuangan kita.

     Demikian pula di dalam dunia perkawinan, begitu banyak pasangan yang tidak mempunyai mimpi yang jelas. Bila pun ada, sering hanyalah mimpi pribadi yang tidak sinkron dengan mimpi pasangannya karena tidak dikomunikasikan dengan baik pada awalnya. Mimpi pernikahan banyaknya hanya dashyat sampai pada kesibukan dan visualisasi indahnya pesta pernikahan, lalu saat memasuki bahtera rumah tangga, banyak pasangan yang kehilangan arah dan berakhir pada perceraian.

     Bukan tidak mungkin kita perlu merevisi mimpi kita menjadi lebih besar lagi jika kita ketahui bahwa mimpi yang kita tetapkan ternyata kurang besar dibandingkan kemampuan yang kita miliki. Namun mungkin juga kita perlu merevisi mimpi kita agar sesuai dengan kemampuan kita karena ternyata mimpi tersebut terlalu biasa. Bila pada saat bermimpi kita telah meragukannya, besarlah kemungkinannya mimpi itu memang hanya isapan jempol saja. Seandainya anda bermimpi untuk dapat pergi ke matahari dan percaya dapat melakukannya, maka tetapkanlah mimpi tersebut, kedengarannya memang gila! Sebaliknya, jika anda tidak percaya pada mimpi yang sederhana, contohnya bermimpi untuk mampu membahagiakan orang-orang tercinta di sekeliling anda, jelas mimpi ini tidak akan terwujud. Jadi… Bermimpi dan percayalah!

95% dalam mencapai segala sesuatu dilakukan dengan mengetahui apa yang anda inginkan dan berupaya untuk mencapainya.

= Brian Tracy

Papa Mama, jangan bertengkar lagi

"Papa Mama, jangan bertengkar lagi!"

Yacinta Senduk SE, SH, MBA, LLM

Principal of Yemayo – Advance Education Center

     "Papa Mama, jangan bertengkar lagi! Baikan dong." Tulis seorang anak perempuan berusia 5 tahun dengan tulisan yang sangat jauh dari sempurna. Wajahnya lucu dan menggemaskan, ia adalah seorang anak murid yang cerdas yang sering terlihat mau menang sendiri di dalam kelas. Sangat menyentuh hati karena ternyata pada saat diberikan 2 tugas dalam subjek yang berlainan, gadis mungil ini masih membawa subjek yang sama, yaitu perihal jeritan hatinya agar ayah ibunya tidak bertengkar.

Benarkah tidak boleh bertengkar di hadapan anak?

     Di dalam kenyataan hidup, konflik-konflik memang sering kali tidak dapat dihindarkan. Konflik-konflik yang me-nyebabkan naik-turunnya emosi,  memang sering mewarnai hidup. Memang sangat manusiawi kita terbawa emosi, namun bila benar-benar kita mau memikirkan kepentingan anak-anak kita, sebaiknya anda mengetahui beberapa hal ini.

1. Bertengkar & berdamai di depan anak. Bertengkar dengan pasangan anda di hadapan anak sebenarnya boleh-boleh saja dengan syarat anda dan pasangan anda pun harus mampu berbaikan lagi dan memperlihatkan bahwa anda telah berbaikan lagi di hadapan anak-anak anda. Jika anda hanya tahunya bertengkar, sedangkan 'bermesraan' anda lakukan di belakang anak, baik di kamar tidur atau makan malam mesra di luar rumah berduaan, hal ini akan menimbulkan persepsi yang salah bagi anak-anak. Bertengkar dan berdamailah dengan pasangan anda di hadapan anak-anak anda, sehingga anak akan mempelajari perihal konflik sebagai suatu lingkaran yang utuh, yaitu orangtua bisa bertengkar tapi juga mampu berdamai.

Pesan tersirat yang disampaikan dari pasangan yang bertengkar namun mampu berdamai di hadapan anak adalah "kami, orangtuamu, bisa menyelesaikan masalah kami". Anak pun akan mampu mengaplikasikannya ke dalam kehidupan sehari-hari, dimana jika mereka berkonflik dengan sesamanya mereka pun akan mengusahakan untuk damai kembali. Bila orangtua hanya tahu bertengkar dari hari ke hari, pesan tersirat yang disampaikan kepada anak adalah "untuk memenangkan apa yang kita mau di dalam hidup ini adalah dengan cara bertengkar." Nyatanya, memang banyak anak menjadi pemarah justru karena terlalu sering mendapatkan orangtuanya bertengkar bahkan sampai bercerai. Dalam hal ini, anak tidak terlahir sebagai pemarah, tapi sesung-guhnya ia terbentuk menjadi pemarah karena hal itulah yang justru dipelajari dari orangtuanya.

2. Frekwensi bertengkar. Siapa yang dapat menahan lajunya emosi kemarahan? Nyatanya hal ini memang sulit luar biasa. Namun bila anda benar-benar mengasihi anak-anak anda, ketahuilah bahwa pertengkaran yang sering terjadi hampir pasti membuahkan kecemasan-kecemasan pada anak-anak baik terlihat pada sikap ataupun sering timbulnya penyakit pada anak. Bila memang anda dan pasangan anda tergolong 'sering' bertengkar dan pertengkaran demi pertengkaran tidak dapat terhindarkan, sebaiknyalah memang 'tidak sering' bertengkar di hadapan anak-anak. Anda berdua bisa memilih masuk mobil dan pergi di suatu tempat, kemudian bertengkarlah.

Memang sebaiknyalah saya menyaran-kan agar anda tidak bertengkar, tetapi saran ini akan menjadi lucu sekali mengingat pertengkaran memang sering tidak terduga datangnya.

Bagaimanakah emosi keluarga anda?

     Cobalah anda memikirkan bagaimana emosi keluarga anda saat ini. Tulislah di secarik kertas. Setelah itu baca kembali. Anda perlu mengerti bahwa emosi bersifat sangat menular. Seorang ibu menulis demikian mengenai keluarganya:

"Suami saya pekerja keras, pulang selalu malam hari. Saya sendiri selalu kelelahan di dalam menghabiskan hari saya setelah mengantar dan menjemput anak beraktivitas. Anak-anak saya sering sangat berisik di rumah, hal ini membuat saya sering marah-marah pada mereka. Anak bungsu saya hanya tahunya minta uang untuk dibelikan mainan-mainan baru…"

Dari contoh di atas, sungguh terlihat ketegangan sebuah keluarga. Tidak diperlukan seorang ahli jiwa untuk meramalkan kekacauan hati jiwa-jiwa di rumah keluarga ibu tersebut. Kami menyarankan perbaikan seperti di bawah ini:

"Suami saya pekerja keras, pulang selalu malam hari, tetapi saya selalu menantinya dan memberikannya senyum ketika ia pulang. Saya sendiri selalu kelelahan di dalam menghabiskan hari saya setelah mengantar dan menjemput anak beraktivitas, namun saya bangga melakukan hal ini demi masa depan anak-anak saya. Anak-anak saya sering sangat berisik di rumah, tapi saya bahagia dengan keberadaan mereka, tingkah mereka selalu lucu-lucu, saya sering mencubit pipi-pipi mereka karena merasa gemas. Anak bungsu saya hanya tahunya minta uang untuk dibelikan mainan-mainan baru, yah, jika memang mainan-mainan itu mendidik, tentu saja dengan senang hati saya membelikan-nya."

     Tidak ada keluarga yang sempurna kedamaiannya di dunia ini. Namun hendaknyalah dimengerti bahwa emosi-emosi anda sangat menular, baik sebagai pasangan ataupun sebagai orangtua. Hanya dengan merubah emosi negatif menjadi positif, anda dapat menciptakan keluarga yang positif.

 

Senin, 06 Oktober 2008

Pribadi yang rajin

Pribadi yang "rajin" tidak terjadi sendirinya

Yacinta Senduk SE, SH, MBA, LLM

Principal of Yemayo – Advance Education Center

     Seorang pribadi yang rajin atau malaskah anda? Coba telusuri lagi dengan cermat masa lalu anda. Bagaimanakah anda dibesarkan? Lingkungan yang membesarkan anda banyak sekali mempengaruhi tingkat kerajinan anda? Banyak orang kurang menyukai kata-kata 'kerja keras', karena istilah ini dianggap mengandung unsur stagnan dan tidak menghasilkan; istilah ini secara perlahan digeser dengan 'kerja cerdas', dimana kita perlu bekerja namun lebih cerdas. Diharapkan dengan penggantian istilah ini, maka seseorang dapat lebih menghasilkan. Apapun istilah yang akan banyak dipakai di masa depan, yang jelas harus diakui bahwa 'kerja' yang menghasilkan (baik menghasilkan banyak atau sedikit), memang tetap berhubungan dengan kerajinan. Pribadi tidak berpendidikan sekalipun, bila bekerja dengan rajin, pastilah ia tidak akan kekurangan dalam hal mencukupi kebutuhan primernya sendiri. Bila kebetulan anda merasa bahwa anda adalah pribadi yang tidak rajin atau justru pemalas, sebaiknyalah anda menelusuri dengan cermat masa lalu anda, dengan tidak bermaksud untuk mencari kambing hitam dari masa lalu, marilah dapatkan suatu wawasan lain bahwa sebenarnya anda telah dibentuk oleh lingkungan yang memang tidak menunjang anda menjadi rajin. Tujuan mengerti hal ini adalah agar anda mau membuka diri dan sejak hari ini anda mau memutuskan untuk mulai menyemangati diri anda sendiri untuk menjadi rajin ataupun ulet dalam hidup anda.

     Jika anda adalah orangtua, maka hal-hal ini dapat menjadi pengetahuan yang dapat membantu anda menghin-dari pola asuh yang dapat mengacau-kan masa depan anak.

    1. Lingkungan yang memanjakan yang merampas  banyak kemampuan anak, sering sekali seorang pribadi dirusak oleh lingkungannya yang terlalu memberikan kenyamanan padanya. Sebagai contoh bila terbiasa dilayani oleh pengasuh ataupun pembantu di rumah, ataupun oleh orangtua yang selalu melarang anda berbuat sesuatu dengan alasan takut anda, sang buah hati, kelelahan. Kemudahan yang terlalu banyak diberikan pada masa kanak-kanak tanpa dikombinasikan dengan memberikan anak pengalaman-pengalaman yang sederhana, seperti mengikat sepatu, makan, menyiapkan buku sekolah sendiri, membenahi kamar sendiri, justru akan sangat menghalangi proses pendewasaan seorang pribadi.

     2. Tidak memberi teladan, seringkali orangtua hanya rajin berteriak-teriak meminta anaknya melakukan sesuatu, tetapi dirinya tidak memberikan teladan yang dapat ditiru. Contoh sederhana banyak orangtua yang berusaha melarang anaknya nonton TV sampai larut malam, tetapi ketika anak masuk ke kamarnya, TV di ruang keluarga masih menyala, ayah dan ibu justru melanjutkan menonton. Alasan bahwa anda adalah orangtua dan menyebabkan anda mendapat hak istimewa untuk menonton lebih lama, sangat tidak dapat diterima anak secara bawah sadarnya, karena ia belum mengerti. Bagaimana pun, anak tetap mencari contoh nyata untuk ditiru sementara teriakan peringatan justru hanya akan mengacaukan pengertian-nya saja. Kenyataan dan pengertian yang tidak sinkron, akan sangat merusak seorang pribadi.

     3. Tidak Konsisten, inipun merupakan kekeliruan yang banyak terjadi di dalam pola asuh. Seringkali orangtua dengan alasan 'tidak apa-apa, kali ini saja', justru membuka celah bagi anak untuk membentuk kebiasaan buruk, seperti memanipulasi orangtua.

Sebagai contoh, bila anda telah menetapkan bahwa anak tidak boleh nonton TV pada jam-jam tertentu, kemudian karena suatu saat anda yang justru ingin menonton TV pada jam belajar anak, lalu anda mengijinkan anak anda menonton TV 'kali ini saja' untuk kepentingan anak, tentu saja bukan tidak mungkin anak anda jadi malas belajar, karena mengetahui bahwa jam TV sebenarnya bisa 'diakali', apalagi bila kebetulan ada acara kesayangan orangtuanya.

     4. Tidak pernah diturutsertakan, dengan alasan bahwa orangtua berhak menentukan segala sesuatu bagi anak (biasanya dengan alasan supaya cepat), orangtua sering mengabaikan pendapat anak. Contoh, bila berlibur, bila pergi makan keluar, orangtua yang menen-tukan segalanya. Bila anak terbiasa mendapat keputusan orang lain, maka ia tidak tahu mengapa ia harus bersusah payah mengupayakan sesuatu yang pasti menurut pengalamannya, tidak akan diterima orangtuanya. Pendapat anak mungkin sering aneh, tetapi jika orangtua bijaksana memberikan bebe-rapa kali persetujuan atas pendapat sang anak, anak akan menjadi aktif.

Banyak sekali anak-anak yang tinggal di daerah pedalaman, karena keadaan ekonomi yang sulit, justru mampu melakukan banyak hal yang luar biasa, seperti memasak, menjaga adiknya, berjualan di panas terik. Keadaan ekonomi yang sulit, membuat mereka tidak dimanjakan lingkungannya; melihat dan merasakan orangtuanya harus bekerja keras secara konsisten ini adalah teladan nyata; di dalam hal-hal sederhana, pribadi itu terpaksa harus memutuskan banyak hal untuk dirinya sendiri secara mandiri. Kedengarannya kejam, tapi justru banyak pribadi yang ulet terbentuk dari keadaan yang mendesak. Bagaimanakah lingkungan anda telah membentuk anda? Bila kurang baik, tanpa menyerah pada keadaan, putuskanlah untuk berubah hari ini juga.